Di Balik Awan

By imaginayii

6.5K 944 147

Awan ingin selalu ada untuk membuat Angin mengerti seberapa keberadaannya masih berarti. Tetapi sulit bagi Aw... More

☁️Prolog☁️
☁️1: Di Balik Semalam☁️
☁️2: Di Balik Mereka☁️
☁️3: Di Balik Pertandingan Itu☁️
☁️4: Di Balik Entah Perasaan Apa☁️
☁️5: Di Balik SMA☁️
☁️6: Di Balik Yang Belum Waktunya☁️
☁️7: Di Balik Impresi Pertama☁️
☁️8: Di Balik 5370☁️
☁️9: Di Balik Yang Masih Tersimpan☁️
☁️10: Di Balik Intensinya☁️
☁️11: Di Balik Ketidaktahuan☁️
☁️12: Di Balik The Overdramatic One☁️
☁️13: Di Balik Keluh Kesah☁️
☁️14: Di Balik Peter Pan☁️
☁️15: Di Balik Instagram Story☁️
☁️16: Di Balik Bintang Kesepian☁️
☁️17: Di Balik Angkringan Hujan☁️
☁️18: Di Balik Midnight Cinema☁️
☁️19: Di Balik Unit 307☁️
☁️20: Di Balik Timezone☁️
☁️21: Di Balik Skenarionya☁️
☁️22(A) : Di Balik Ulang Tahunnya☁️
☁️22(B) : Di Balik Ulang Tahunnya☁️
☁️23: Di Balik Satu Kebohongan☁️
☁️24 : Di Balik Yang Berantakan☁️
☁️25(A): Di Balik Gerhana☁️
☁️26: Di Balik Kita☁️
☁️27: Di Balik Kesedihan Yang Mengering☁️

☁️25(B) : Di Balik Gerhana☁️

142 27 12
By imaginayii

But if you change your mind you'll find me
Hanging on to the place
Where the big blue sky collapse

-From a song: Blue Sky Collapse-

Di Balik: Gerhana🌘

Gue tahu apa yang dipikirkan ibu-ibu itu saat melihat seorang gadis muda ikut duduk di depan poli kandungan dengan wajah pucat setengah sembab. Apalagi orang yang menemaninya adalah laki-laki dengan umur yang tampak sebaya dan tidak terkesan sudah mengerti tanggung jawab.

Ketika gue dan Bintang diam, riuh rendah mereka tidak kunjung lenyap tetapi malah menjadi-jadi. Gue nggak merasa salah untuk memaki orang yang lebih tua ketika mereka sudah keterlaluan. Tapi gue kira ribut-ribut juga nggak akan ada gunanya. Kita nggak bisa mengontrol perilaku orang-orang, yang bisa kita lakukan hanya mengontrol perasaan sendiri.

Beruntung, gue punya kebiasaan mengantongi earphone di saku.

Bintang menoleh ketika tangan gue menyelipkan sebelah earphone ke telinganya.

"Mau lagu apa?" tawar gue.

"Yang lagi suka Kak Ge dengerin aja."

Gue tersenyum. Memilih Blue Sky Collapse milik Adhitia Sofyan tanpa pikir panjang. Setelah dua bait pertama, Bintang yang semula duduk dengan tegang mulai mencari sandaran. Gue rasa ia sedikit terbawa suasana karena lagu yang kami dengarkan punya instrumen gitar yang lembut.

"Bikin ngantuk ya? Mau ganti?"

Yang gue tanyai segera menggeleng. Mencegah niat gue mengganti lagu dengan mengatakan kalau ia menyukai lagunya.

Still everyday I think about you
I know for a fact that's not your problem
But if you change your mind you'll find me
Hanging on to the place
Where the big blue sky collapse

Gue hafal di luar kepala semua lirik lagu ini. Ketika memasuki bagian refrain, gue ikut menyanyikannya sambil sedikit membungkuk agar lebih mudah menilik mata Bintang. Ia terkekeh geli melihat gue yang sama sekali nggak peduli meski sekarang gue jadi pusat perhatian orang-orang.

You see people are trying
To find their way back home
So I'll find my way to you

Still everyday I think about you
I know for a fact that's not your problem
But if you change your mind you'll find me
Hanging on to the place
Where the big blue sky collapse

Tiba-tiba Bintang menangis. Tapi juga masih berderai tawa. Segera saja gue menyembunyikan wajah malu-malunya yang manis ke dalam pelukan. Gue amat lega. Tangisan Bintang ini berbeda dari tangisannya yang menyambut gue saat baru tiba semalam. Atau tadi pagi sebelum kami berangkat ke rumah sakit. Setidaknya, lagu kecil tadi berhasil mengalihkan pikirannya yang penuh walaupun hanya sesaat.

Mengeluh tidak bisa bernapas, Bintang lantas mengangkat wajahnya. Gadis itu membuka tas selempangnya berniat mencari tisu, bibirnya mengerucut saat sadar dia lupa membawa kertas lembut yang kata Andari sudah jadi kebutuhan Bintang belakangan ini. Tadinya gue mau ke depan sebentar untuk beli tisu dan minum, tapi Bintang nggak mau ditinggal sendiri. Jadi yasudah, berhubung antrian di poli juga masih panjang, kami putuskan beranjak sekalian jalan-jalan sebentar.

"Ciee calon ibu nih..."

Bintang langsung mencubit sengit pinggang gue, "NGAWUR!" bantahnya dengan memelotot.

"Loh kenapa?" Gue tergelak. Lalu merangkulnya. Tangan gue bergerak sendiri mengusap-usap bahu Bintang yang terasa kecil dan lebih ringkih dari yang bisa gue ingat. Seolah dengan melakukan itu, gue bisa menjatuhkan ketakutan dan kekhawatiran yang gue tahu masih dipikulnya. "Jadi ibu kan sesuatu yang mulia, Bi."

Pendapat barusan langsung dibalasnya dengan decakan sinis. "Ya Kak Ge pikir aja! Mana cocok aku jadi ibu. Masih nggak bisa apa-apa gini. Yang ada ini itu bingung."

"Kan kalau bingung tinggal tanya."

"Tanya siapa?"

"Tanya Bunda kamu. Tanya Mama aku."

"Mana bisa gitu... Mama kamu jelas bakal marah besar kalau kamu betulan berhenti kuliah buat nikah."

Semalam, sewaktu Andari dan Anfal sudah pindah ke ruang tengah sehingga gue dan Bintang punya kesempatan untuk bicara empat mata, gue memang langsung berterus terang menyampaikan niatan yang ada di kepala. Bisa ditebak kemauan Bintang nggak sejalan. Gue ditolak. Lagi dan lagi.

Bintang diam seribu bahasa ketika gue tanya apa dia memang hanya menginginkan Awan? Apakah setelah yang dia lakukan, pandangan Bintang kepada cowok itu tidak berubah? Karena tidak bisa menjawab, Bintang membuat pengalihan dan mulai mengabsen begitu banyak alasan mengapa 'proposal' yang gue ajukan tidak mungkin ia terima. Seperti biasa, daripada memikirkan hatinya, Bintang lebih mengkhawatirkan masa depan gue.

"Haha, yaudah. Nanti kita nonton tutorial mengasuh anak di Youtube aja." gue berujar entang. Bermaksud mencairkan suasana.

"Kak..." Bintang menjeda langkah. Menurunkan tangan gue dari bahunya. "Jangan sebaik ini sama aku."

Kami di tengah-tengah halaman depan, diantara mobil-mobil yang terparkir. Tanpa mempermasalahkan sengatan matahari diatas kepala, kami tetap meneruskan perbincangan yang mendadak menjadi serius.

"Kak Ge, tahu engga? Tiba-tiba aku jadi mikir kalau mungkin alasan kenapa aku terus-terusan bikin kesalahan begini tuh gara-gara kamu juga."

"Setiap kali aku bikin kacau sesuatu. Setiap kali aku ngeberantakin hidupku. Kakak pasti dateng dan beresin semuanya. Lama-lama aku terbiasa dengan kebaikan Kak Ge dan selanjutnya aku malah jadi orang yang nggak berpikir panjang. Aku nggak lagi mikirin perbuatanku dua kali karena aku merasa punya kamu, Kak. You'll find a way to save me at the worst day like you always did."

"Tapi buat kali ini, aku nggak bisa nerima kebaikan kamu lagi. Nggak karena udah terlalu berlebihan dan malah nggak baik buat kamu sendiri."

"Bi, sebentar." Gue mangangkat satu tangan, meminta diberi kesempatan. "Kamu salah paham. Aku nggak begitu karena aku baik. Tapi memang begitu caraku menyayangi kamu, Bi."

Jemari gue membelai rambut Bintang kemudian turun menuju pipinya yang samar-samar bersemu. "Maaf kalau ternyata selama ini caraku berlebihan. Yang aku tahu aku cuma menyayangimu."

Sampai kemarin sore, gue masih laki-laki putus asa yang marah perihal hidup Bintang yang nggak pernah tentang dirinya sendiri tanpa tahu harus melakukan apa supaya nggak harus selalu begitu. Tapi gue menempuh ratusan kilometer buat sampai disini bukan untuk marah. Sebaliknya gue datang agar Bintang berhenti khawatir. Karena gue adalah orang yang Bintang cari di titik terendahnya, gue akan menjadi dewasa untuknya.

"Aku sayang kamu, Bintang. Setiap bagian dari kamu yang dulu maupun yang baru."

Mulai sekarang mungkin hidup nggak bisa lagi tentang gue sendiri. Tapi gue nggak keberatan sebab dia adalah alasannya.

Sebelum Bintang terlarut dalam semua ucapan tadi yang kemungkinan bakal mengundang tangisannya kembali, gue segera menggandengnya, mengajak ia minimarket supaya bisa bergegas kembali, sebelum antrian kami diserobot pasien lain.

Tapi gadis itu menyetopku tepat di depan pintu. "Aku aja yang masuk!"

"Ikuuuut..."

"Nggak! Aku cuma butuh beli tisu. Kalau sama Kak Ge nanti yang dibeli malah yang lain-lain."

"Hehe, yaudah nitip air ya?"

"Okey."

Gue nggak bisa menahan tangan gue yang gemas ingin mengacak puncak kepalanya.

Gue mungkin bakal senyum-senyum sendiri lebih lama lagi semisal nggak menyadari seorang baru saja berseru memanggil-manggil Bintang. Nggak berselang lama, cowok bercelana Chino yang belum pernah gue temui berhasil sampai di teras tempat gue berdiri. Gue yang menyadari niatnya untuk mengejar Bintang ke dalam, buru-buru mencegat jalannya.

Cowok itu menepis tangan gue. Matanya yang menyorotkan tanda tidak suka seolah mengatakan, "Gue nggak ada urusan sama lo!"

"Ada urusan apa sama Bintang?" tembak gue tanpa basa-basi.

"Gue yang bakal temani Bintang periksa." Jawabnya tanpa menyebut nama.

Seketika kesadaran menghujani otak gue. Yang kontan memancing otot-otot wajah gue mengeras sempurna. Dalam satu detik, sepercik kemarahan memantik dari dasar perut gue. Lalu meluap sampai pangkal tenggorokan. Gue meraup kerah kemejanya yang tidak terkancing dengan kesetanan. Menyeretnya turun dari teras minimarket dengan kepala yang dipenuhi keinginan untuk menghabisi cowok ini.

Si sialan Awan.

Sesaat, gue betul-betul hilang kontrol. Gue bahkan nggak melihat sekitar ketika mendaratkan tendangan ke perut cowok itu sampai seorang gadis kecil yang berlarian bersama kakaknya hampir tertimpa tubuh Awan yang limbung. Teriakan ibu anak-anak itu mengembalikan sedikit kewarasan gue, yang mana menyelamatkan Awan secara tidak langsung.

Bukan berarti amarah gue surut. Gue masih cukup kesetanan sampai nggak sempat meminta maaf kepada ibu dari anak kecil tadi ketika beliau berlari menggendong anaknya untuk dibawa menjauh.

Gue nggak ingat kapan terakhir kali gue semarah ini. Mungkin bahkan gue belum pernah semarah ini sebelumnya. Tapi persetan sekalipun kami bahkan belum saling kenal. Orang yang masih meringkuk di depan ban mobil itu nggak pantas gue beri belas kasih. Beruntung bagi dia karena gue nggak suka menyerang orang yang bahkan nggak bisa berdiri. Jadi sampai dia cukup berani buat menatap gue senyalang tadi, gue bakal menanyakan beberapa hal yang seringkali bikin gue nggak habis pikir.

"Lo tau? Gue biarkan Bintang, meskipun hati gue sakit bukan main. Karena itu adalah pertama kali gue lihat Bintang mementingkan dirinya sendiri dan perasaannya. Gue pikir, kalau Bintang sampai seegois itu, dia pasti sangat menginginkan hal yang sedang dia usahakan."

"Emangnya sesulit apa buat lo bisa paham kalau Bintang cuma ingin dapat penyelesaian yang jelas?"

Dada gue naik turun. Gue nggak peduli kalau gue harus habis nafas untuk bikin bajingan satu ini ngerti apa kesalahannya.

"Sekalipun lo adalah 'orang pertama' buat dia, bukan berarti gue akan berterima kasih. Walaupun gue tahu perasaan-perasaan yang lo kenalkan pernah bikin Bintang senang. Karena itu nggak berarti apapun. Yang lo kasih ke Bintang itu terlalu sedikit dibanding kebingungan panjang yang harus dia tanggung."

"Lo satu langkah di depan gue, kesempatan pertama yang lo sia-siakan itu adalah hal berharga yang nggak pernah gue dapat. Kalau memang lo nggak pernah menginginkan dia sejak awal, terus lo ngapain dateng lagi, yakinin dia buat buka hati lagi. Kurang ajarnya lo malah hancurin satu hal yang Bintang sangat percaya bakal bisa dia perbaiki."

Sehabis kalimat gue yang panjang, lawan bicara gue tetap nggak mau mengangkat wajah. Awan bahkan lebih pengecut dari yang gue duga. Sialan. Apa sebenarnya yang Bintang lihat dari dia?

"Gue nggak pernah bisa menyangkal perasaan yang gue punya tapi gue juga nggak pernah merasa berhak menyangkal apa yang bisa bikin Bintang bahagia hanya karena alasan cemburu. Sayangnya ternyata gue mengalah ke orang yang salah. Masa lalu yang sia-sia seperti lo, nggak pantas diberi kesempatan kedua."

Sial, dia masih kekeh menutup mulutnya dan sekarang gue benar-benar bernafsu ingin menghajarnya sampai mau membuka suara.

"KAAAK GEEE!" sayang Bintang lebih dulu datang. Dari arah belakang dia langsung menubruk badan gue. Sekuat tenaganya, Bintang berusaha membawa gue menjauh.

Gue menyadari banyak orang mulai berkerumun, kalau gue melanjutkan kegaduhan ini, kemungkinan gue justru bakal diusir oleh keamanan. Karena gue ingat Bintang bahkan belum sempat periksa, gue rasa nggak ada pilihan lagi selain menyudahi ini.

Gue menahan Bintang di samping gue. Supaya Bintang yakin gue nggak berniat meneruskan ulah. "Apapun alasan lo datang sekarang. Gue cuma bakal menekankan satu hal..."

Lalu untuk memperingatkan Awan agar dia tidak berani-berani menyusul kami ke poli, gue mengeratkan genggaman pada sebelah tangan Bintang yang tidak memegang plastik belanja. "Menyingkir. Gue yang bakal bertanggung jawab disini."

☁️🌘☁️🌘


Bahkan bulan yang tenang sekalipun, akan menarik gelombang pasang untuk melindungi seseorang yang teramat ia sayangi

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hitung berapa kali G mengumpat di chapter ini😆

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 10.4K 1
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
5.3M 357K 67
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2M 109K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
2M 101K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Kita emang nggak pernah kenal, tapi kehidupan yang Lo kasih ke gue sangat berarti neyra Gea denandra ' ~zea~ _____________...