Di Balik Awan

By imaginayii

6.5K 943 147

Awan ingin selalu ada untuk membuat Angin mengerti seberapa keberadaannya masih berarti. Tetapi sulit bagi Aw... More

☁️Prolog☁️
☁️1: Di Balik Semalam☁️
☁️2: Di Balik Mereka☁️
☁️3: Di Balik Pertandingan Itu☁️
☁️4: Di Balik Entah Perasaan Apa☁️
☁️5: Di Balik SMA☁️
☁️6: Di Balik Yang Belum Waktunya☁️
☁️7: Di Balik Impresi Pertama☁️
☁️8: Di Balik 5370☁️
☁️9: Di Balik Yang Masih Tersimpan☁️
☁️10: Di Balik Intensinya☁️
☁️11: Di Balik Ketidaktahuan☁️
☁️12: Di Balik The Overdramatic One☁️
☁️13: Di Balik Keluh Kesah☁️
☁️14: Di Balik Peter Pan☁️
☁️15: Di Balik Instagram Story☁️
☁️16: Di Balik Bintang Kesepian☁️
☁️17: Di Balik Angkringan Hujan☁️
☁️18: Di Balik Midnight Cinema☁️
☁️19: Di Balik Unit 307☁️
☁️20: Di Balik Timezone☁️
☁️21: Di Balik Skenarionya☁️
☁️22(A) : Di Balik Ulang Tahunnya☁️
☁️22(B) : Di Balik Ulang Tahunnya☁️
☁️23: Di Balik Satu Kebohongan☁️
☁️24 : Di Balik Yang Berantakan☁️
☁️25(B) : Di Balik Gerhana☁️
☁️26: Di Balik Kita☁️
☁️27: Di Balik Kesedihan Yang Mengering☁️

☁️25(A): Di Balik Gerhana☁️

107 22 5
By imaginayii

But I know in my heart, you're not a constant star
And yeah, I let you use me from the day that we first met
But I'm not done yet
Falling for you, fool's gold

-From a song: Fool's Gold-

Di Balik: Gerhana🌖

Mama gue berhenti kerja setelah keluarga kami dapat titipan seistimewa Lunar. Adik perempuan gue memang terlahir berbeda. Kemampuan komunikasi verbalnya nggak selancar anak-anak lain. Sangat terbatas malah. Kurang lebih, seluruh hidup Lunar memang terjabarkan dalam satu kata itu: terbatas. Seperti bulan yang selalu berada di pangkuan langit, selain kesulitan bicara, adik cantik gue juga nggak bisa kemana-mana dengan bebas. Atrofi otot tulang belakang bikin Lunar nggak bisa lepas dari kursi rodanya.

Tentu saja gue paham memiliki anak berkebutuhan khusus adalah tanggung jawab besar dan Mama mungkin ingin menyanggupi kemuliaan itu dengan sebaik-baiknya. Tapi di satu sisi, setelah belasan tahun melihat gimana Mama nikmatin rutinitas, gue sangat tahu, bagi Mama melepas karir pasti bakal terasa seperti melepas identitas. Orang-orang bilang kalau Mama mengenalkan namanya lewat fotografi, sebaliknya menurut gue. Justru lewat kegiatan memotret yang didalaminya lah Mama belajar mengenali diri sendiri.

Pikir gue, apa Mama memang harus berkorban sebanyak itu?

Tapi supaya nggak salah paham, di sini gue bicara bukan atas dasar cemburu mengingat ketika gue kecil Mama masih suka keliling ke daerah-daerah eksotis entah karena ada pekerjaaan atau sekedar cuma mau muasin hasratnya. Enggaklah. Justru gue bangga lihat Mama sukses mengejar passion tanpa melalaikan prioritas utamanya sebagai wanita berkeluarga. Gue cuma nggak habis pikir aja. Kenapa coba Mama mesti berhenti total sedangkan ada gue yang waktu itu pun udah menginjak bangku SMP. Gue mengerti kok apa tugas seorang kakak laki-laki. Bukan masalah kalau Mama masih mau motret kemana-mana. Toh Mama selalu bisa mempercayakan Lunar ke gue, karena sudah insting alami gue buat menjaga dia.

Lagi dan lagi gue selalu kembali ke pertanyaan yang sama. Apakah adil buat ninggalin gairah terbesar dalam hidupnya demi memenuhi satu peran?

Kemudian, Mama menjawab gue sambil menyelipkan kekehan geli sebagaimana kebiasaannya ketika menyadari obrolan kami lebih serius dari biasa. Kata Mama, wajar saja kalau gue kurang setuju sama pilihannya. Sebab gue memang belum dewasa.

"Ge, ada kalanya hidup memang bukan lagi tentang diri sendiri."

Sepenggal ucapan Mama itu bikin gue beranggapan bahwa jadi dewasa pasti adalah hal yang amat menyebalkan. Yah, anggap saja gue mungkin berlebihan atau malah salah menginterpretasikan maksudnya. Tapi jujur gue memang sekhawatir itu. Iya gue tahu, bertumbuh itu satu hal yang pasti. Cuma, terlalu menyedihkan buat membayangkan kalau masa remaja yang menyenangkan ini bakal tersudahi.

Masalahnya gue nggak punya celah untuk menghindar. Jadi satu-satunya cara... ya dengan mengulur waktu biar gue nggak cepet-cepet dewasa. I'm being reckless since that day. Berulah. Ga mau kalah. Nggak serius bercita-cita. Nggak mau terikat oleh apapun juga. Gue menempatkan kesenangan diatas segalanya. Intinya, gue mau berpuas-puas dulu nikmatin kemerdekaan tanpa bertanggung jawab ini. Kalau setiap manusia nantinya bakal dewasa dan harus menerima bahwasanya hidup bukan lagi tentang dirinya sendiri, buat sementara, biarin dulu gue tersesat dalam ego yang sedang menyala-nyala.

Kalau lo tanya apa gue merasa bersalah? Gue rasa enggak juga. Karena menurut gue, memang udah sewajarnya kalau orang-orang seusia gue dipenuhi keegoisan yang kurang lebih sama.

Gue cukup yakin dengan pemikiran itu sebelum mengenal Bintang. Adik kelas yang gue palak cat airnya pas acara lomba melukis yang sebetulnya nggak berminat gue ikutin. Sekalipun gue suka seni dan orang-orang bilang gue berbakat, semasa itu gue memang hanya melukis buat kepuasan diri sendiri. Nggak ada ambisi lain lagi. Jadi bisa dibilang partisipasi gue itu terpaksa, supaya tunggakan kas bisa dianggap lunas sama bendahara kelas. Walaupun pada akhirnya gue bersyukur karena ada di sana dan nggak melewatkan keberadaannya.

Mengingat-ingat lagi hari itu nggak akan pernah gagal bikin gue ketawa. Siapa sangka, tingkah tengil gue malah membawa kami pada perkenalan yang nggak direncanakan. Bisa gue bayangin impresi pertama yang didapat Bintang pasti jauh dari kata mengesankan. Bahkan gue tahu Bintang sempat kesal dan menganggap gue sebagai anak kelas tiga yang suka semena-mena. Apalagi kemudian perkaranya jadi lebih besar karena-entah gimana-gue merebut posisi juara satu yang dia incar.

Gue samperin dia ketika nangis di kedai mie ayam. Merasa nggak enak karena gue menang bermodal cat yang gue palak dari dia. Walaupun, jujur aja awalnya gue agak males juga. Maksud gue, kenapa deh ini cewek segitunya banget? Orang juga cuma lomba lukis antar kelas. Emang siapa sih yang mau dia sombongin?

Sampai kemudian gue denger dia ngungkapin keresahannya.

"Dari! Lo gausah ngehibur gue!" marah Bintang ke sahabatnya yang duduk sambil sembunyi-sembunyi muka di seberang meja. "Jelas-jelas kekalahan gue bikin kelas kita gagal jadi juara umum!"

Jadi dia nangis bukan karena nggak bisa nerima kekalahannya tapi karena merasa gagal menuhin ekspektasi orang lain? Batin gue heran.

Gue nggak benar-benar paham soal apapun disitu. Tapi hati gue tiba-tiba melunak. Kaki gue bergerak begitu aja lalu tahu-tahu gue sudah berpindah duduk di sampingnya. Gue sodorin piala juara satu yang untungnya nggak patah sehabis gue masukin sembarangan ke dalam tas. Gue nggak tahu benda simbolis berbahan plastik murah kayak gini ternyata seberharga itu bagi dia. Sekalipun yang gue lakukan tetap nggak mengubah hasil class meeting dan kelasnya tetap nggak jadi juara umum, setidaknya gue mencoba menghibur Bintang.

"Lo harus tahu, lo adalah juara pertama, versi gue."

Gue kasih tahu dia sambil pasang senyum kuda, tapi gue serius. Gue nggak ingin Bintang berkecil hati atas keputusan juri. Dia udah melakukan yang terbaik. Dia juga berusaha lebih keras ketimbang gue. Bintang lebih pantas menang. Sayangnya memang bukan gue yang berhak memutuskan.

Harusnya urusan kami selesai setelah gue menukar seamplop uang reward dari lomba lukis dengan semangkuk mie ayam dan segelas es teh manis kepunyaan Bintang. Gue sendiri bingung mau apalagi gue balik ke mejanya. Saat sadar-sadar tangan gue sudah mengulurkan ponsel untuk minta nomor telepon Bintang, gue berusaha tenang dengan menganggap spontanitas itu hanyalah bentuk rasa penasaran gue saja. Seminggu dua minggu lagi, antusiasme yang menggelitik di perut gue pasti bakal hilang sendiri.

Tapi ternyata gue salah. Setelah dia, gue nggak pernah bisa berpindah kemana-mana.

Seperti perasaan ketika terbangun saat dini hari. Sedikit mengganggu karena nggak dikehendaki. Tapi tidak bisa marah tentang udaranya.

Gue nggak begitu siap untuk jatuh hati. Tapi gue nggak mampu menolaknya.

Ia sangat mirip dengan waktu di antara malam dan pagi yang membuat seseorang lebih memilih terjaga karena memikirkan sesuatu bisa sangat menyenangkan sepanjang saat itu.

Bintang Arashi, sudah nggak tertepikan sepanjang siang. Dan gue akan lebih senang lagi bila ia kembali menjadi topik utama dikala menunggu hari berganti. Dari sekian banyak hal yang mengantri untuk dimengerti, jawaban tentangnya adalah yang paling ingin gue capai.

Dari jauh, Bintang tampak seperti objek bersinar yang sederhana. Namun ketika gue berada cukup dekat, dia jauh lebih rumit dari yang gue kira. Kadang malah sangat membingungkan karena kami betul-betul berkebalikan jika direfleksikan.

Gue ikut lomba demi kepentingan gue sendiri. Bintang ikut lomba demi kepentingan teman-teman sekelasnya. Gue cuma melakukan apa yang gue mau. Sementara Bintang melakukan sesuai dengan apa yang orang lain mau.

Setiap kali ada temen yang ngajakin gue ngeband ketika senggang, gue nggak akan sungkan buat milih lagu berdasarkan personal favorit gue. Beda halnya dengan Bintang. Asal ada temen yang ngajak dia pergi ke bioskop bareng, Bintang udah kelewat seneng. Sekalipun nggak tertarik sama filmnya, Bintang bakal iya-iya aja ngikutin pilihan mereka. Gue membangun pergaulan dengan orang-orang yang sefrekuensi. Sedangkan Bintang akan berusaha menyesuaikan diri agar diterima dalam pergaulan. Meski seringkali itu membatasi ruangnya untuk berekspresi.

Gue dan Bintang sama-sama penggemar film barat lawas. Tone warna juga penggambaran suasana dalam film-film tersebut adalah hal yang kami setujui sebagai sesuatu yang indah. Tapi berbeda dengan gue yang bisa sesuka hati memenuhi dinding kamar dengan koleksi poster film atau lukisan, karena Bintang masih berbagi tempat tidur dengan Rasi-adik perempuannya, ia memilih mengalah dan memberikan space terbatas yang ada agar Rasi dapat memajang poster atau foto-foto Boy Group yang ia idolakan. Mengenai hal-hal kecil pun, ada perbedaan yang mencolok perihal cara kami memprioritaskan diri.

Selain Mama, Bintang adalah orang yang paling sering gue cari ketika sedang penat. Bukan masalah meski dia nggak terlalu pintar memberi saran. Dengan Bintang berada di samping gue, sekedar mendengarkan, udah cukup buat bikin gue merasa lebih baik. Tentu saja gue benci ketika Bintang harus mengalami hari yang berat. Tapi gue selalu berharap Bintang bisa menyadari gue sebagai tempat aman yang sama. Yah, tapi bisa ditebak. Sebelum situasinya benar-benar buruk sampai tidak dapat ia tangani, sekeras mungkin Bintang akan berusaha tetap terlihat baik-baik saja.

Satu hal lagi yang berlainan diantara kami. Gue menganggap sedikit mengeluh ke seseorang itu wajar untuk mengurangi beban. Sebaliknya, Bintang menganggap beberapa keluhan lebih baik disimpan sendiri sebab ia tidak ingin membuat orang lain ikut terbebani.

Buat ukuran anak SMA, dia terlalu mengkhawatirkan segalanya. Sampai bikin gue geleng-geleng kepala.

Padahal Bintang itu 2 tahun lebih muda dari gue. Disaat gue sibuk mengulur kedewasaan, Bintang malah sudah disana, lebih cepat dari seharusnya.

Kalau orang bilang tidak ada yang baik tentang ego masa muda. Gue justru ingin melihat egoisme tersebut pada Bintang. Sesekali saja. Karena pada titik tertentu gue mulai merasa tersiksa melihat hidupnya yang nggak pernah tentang dirinya sendiri.
Bukan berarti gue mempermasalahkan Bintang yang selalu sebaik itu. Gua hanya nggak setuju sama caranya menempatkan diri di nomor sekian. Bintang boleh baik ke siapapun tapi dia harus baik ke dirinya dulu.

Funny to think how I care that much about her. But I do care about her. Herself. Her happiness. Her dreams.

Karena itu gue marah besar ketika tiba-tiba Bintang ngabarin kalau dirinya bakal kuliah Manajemen bareng Andari. Yang mana artinya dia udah nyerah dengan ambisinya untuk nyusul gue masuk DKV.

Memang gue sendiri yang menyarankan supaya Bintang gap year setelah gagal lolos seleksi masuk universitas di tahun kelulusannya. Ayah Bintang meninggal tepat di pekan ujian, dan kondisi Bintang benar-benar berantakan ketika itu. Alhasil, persiapan-persiapannya soal perkuliahan ikut berantakan juga. Bahkan dari semua jalur yang sudah Bintang coba, nggak ada satupun yang berhasil dia tembus. Gue khawatir Bintang bakal sakit karena terlalu stress dan tertekan. Jadi gue yakinin dia untuk ambil jeda. Beruntung Andari ternyata memutuskan hal yang sama karena ia masih nggak punya pandangan ingin masuk kemana. Jadi lebih mudah membuat Bintang setuju.

Gue berharap satu tahun yang Bintang punya cukup untuk dia menyembuhkan diri. Pelan-pelan menata hatinya yang sempat berhamburan juga lebih memperhatikan kesehatan fisiknya. Tentu saja sembari mematangkan persiapan sebelum kembali mengejar kesempatan kedua.

Kami memang nggak bisa ketemu setiap hari, tapi gue akan selalu cari celah di antara padatnya mata kuliah. Memastikan tetap pulang ke kota lama sebulan sekali buat menemui Bintang. Bahkan habis sehancur itu, dia masih Bintang yang akan selalu bilang, "Nggak usah repot-repot, Kak Ge. Lagian aku nggak apa-apa kok!"

Meski katanya begitu, nggak sekalipun gue memutar arah. Entah dibutuhkan atau tidak, gue bakal ada disana. Karena gue mau ada untuk dia ketika hal-hal dalam hidupnya nggak berjalan sesuai rencana.

Yang nggak gue sangka, di tahun selanjutnya gue justru mendapati Bintang lari dari cita-citanya sendiri. Alasannya, "Kasihan Bunda kalo aku tinggal kuliah jauh-jauh." Gue bisa langsung tahu kalau dia bohong. Dan benar. Yang diceritakan Andari sama sekali nggak seperti apa yang Bintang beritahu ke gue.

Andari bilang, sebetulnya Bintang berubah pikiran karena persoalan biaya. Mengingat Ayahnya sudah tidak ada, Bintang khawatir Rasi akan kehilangan kesempatan untuk menyambung pendidikan nantinya bila tabungan keluarga mereka habis untuk kuliahnya saja. Terlebih Bintang tahu DKV termasuk jurusan dengan biaya yang tinggi. Belum lagi alat-alat penunjang pembelajarannya juga mahal. Jadi saat mendapat tawaran dari Papa Andari untuk berkuliah di kampus dan jurusan yang sudah ditentukan, dengan syarat setelah lulus Bintang akan ditarik untuk berkerja di perusahaan beliau, Bintang tidak lagi berpikir panjang dan langsung menerima tawaran yang dianggapnya sebagai solusi terbaik tersebut.

Apanya yang solusi terbaik kalau tidak membuatnya merasa baik?

Selalu saja. Hidupnya nggak pernah tentang dirinya sendiri.

Kalau keputusan terbaik harusnya dipilih sesuai kemauan hati, kenapa pilihan bagi Bintang selalu seterbatas ini? Kenapa terus menerus menuntut Bintang untuk lebih dulu memperhitungkan keputusan mana yang terbaik untuk orang-orang ketimbang untuknya sendiri?

Untuk sekali itu gue nggak tahu gimana caranya buat nggak terlihat marah dan kecewa. Terutama mengenai ketidakmampuan gue untuk meringankan bebannya. Bintang meresahkan sesuatu sebesar itu selama ini, bisa-bisanya gue nggak tahu? Kenapa seolah-olah Bintang berpikir gue nggak perlu tahu? Bahkan dia juga nggak merasa penting untuk mendengar pendapat gue seakan gue nggak bakal peduli.

Senaif apa Bintang kalau masih mengira dirinya bukan seseorang yang berarti buat gue?

Bintang memang bukan pacar pertama gue.
Tapi dia jatuh cinta pertama gue.

"Gabisa, Kak."

Yang sekaligus jadi pengalaman ditolak gue yang pertama.

Tapi itu bukan bagian terburuknya. Entah kenapa, rasanya gue selalu tahu jawaban apa yang bakal gue terima. Dibalik kedekatan kami yang terbangun dengan mudah, ada parit-parit yang Bintang gali di sekeliling hatinya. Gue nggak mengerti kenapa, yang jelas gue nggak pernah mampu melampauinya.

"Maksudnya kamu nggak bisa pacaran sekarang?" gue cengengesan. Nggak mau langsung dipatahkan oleh penolakannya yang keterlaluan terus terang.

"Aku gabisa ngimbangin Kakak."

Gue menatapnya, menaikkan alis berusaha menampilkan ekspresi kasual walaupun faktanya mental yang sudah gue persiapkan dari jauh hari benar-benar berhasil Bintang runtuhkan. "Soal perasaan?"

"Kak Ge sadar nggak sih kita ini terlalu ramai dan sunyi. Terlalu gemilang dan tenggelam. Nggak perlu aku perjelas juga kelihatan banget masing-masing dari kita ada di sudut yang mana."

"Kok omongan kamu jadi kemana-mana gini, Bi?"

"Aku cuma nggak mau Kak Ge terjebak. Apalagi sama aku dan kebuntuanku. Engga. Kamu punya pilihan yang lebih baik. Jauh lebih baik dari sekedar 'aku'. Pasti banyak kok di luar sana. Sekali lagi, jangan salah paham, ya Kak... kamu berhak dapetin yang lebih terang dari sekedar Bintang."

"Bi, kamu itu bukan sekedar."

Bintang tidak senang disela ketika tengah berbicara. Karena sekali isi kepalanya buyar, bakal merepotkan untuk menyusun kembali kalimat-kalimat yang semula sudah tersusun rapi di sana. Tapi gue lebih nggak suka mendengar ucapannya yang memandang rendah diri sendiri. Jadi gue nggak meminta maaf kali ini.

"Sebetulnya nggak akan terlalu sulit kalau kamu nggak melulu lihat satu sama lain sebagai perbandingan." Gue mencari bola matanya. Mungkin hal yang sudah berkali-kali gue tekankan ini akan lebih mudah dia terima jika disampaikan lewat tatapan. Sayangnya hati Bintang nggak juga melunak. Dia bahkan buru-buru mengangkat cup kopi sebab sadar gue hendak meraih tangannya.

"Aku sayang sama kamu, Bi. Sederhana. Dan yang perlu ditanya cuma hatimu saja. Ada perasaan yang sama nggak disana?"

"Kita jalani seperti biasa aja ya, Kak?"

Wajah kerasnya memaksa gue mencari pengalihan. Hanya saja melarikan pandangan pada gerbong-gerbong di depan sana tampak tidak ada bedanya. Keras dan dingin. Persis seperti sikap yang ia pertahankan.

"Iya." Kalahku. Tapi tidak seperti semua orang yang meninggalkan bangku tunggu setelah keberangkatan kereta diumumkan, gue masih nggak beranjak.

Seperti biasa ya?

Bintang meneriaki gue agar bergegas. Berkacak mengingatkan soal UTS gue yang dimulai besok. Persetan. Gue mengepal tangan, meremas kertas tiket di genggaman. Memilih tinggal sebab hanya itu hal yang terasa 'seperti biasa' bagi gue.

Kenyataannya, itu permintaan yang nggak mudah disanggupi. Nggak buat gue. Gue bahkan nggak benar-benar paham menjalani seperti biasa itu seperti apa. Yang gue ingin adalah hubungan kami jelas. Bukan sebatas kedekatan yang mengambang. Hanya saja, Bintang belum juga berubah pikiran bahkan setelah gue menyatakan perasaan untuk kesekian kali. Karena gue lebih nggak ingin Bintang menarik diri dan hilang sepenuhnya, alhasil yang gue lakukan sepanjang waktu hanya menyayanginya tanpa memilikinya.

Sulit.

Jujur saja.

Terutama belakangan, ketika gue tahu kalau tempat yang selalu gue harapkan ternyata nggak benar-benar kosong seperti yang selama ini gue kira. Sebelum gue, ternyata ada yang sudah lebih dulu menemukan Bintang. Seseorang yang sempat mengisi hatinya yang sampai sekarang belum berhasil gue jangkau. Yang kemungkinan jadi alasan kenapa parit-parit pembatas itu ada.

Di antara jarak kami serta ketidakberhakan gue atas pilihan Bintang, perasaan-perasaan yang gue punya terlalu susah untuk diletakkan. Padahal gue pun nggak menutup diri ke siapapun yang berniat mendekat. Tapi rasanya mereka semua cuma datang dan pergi. Silih berganti. Sampai akhirnya gue sadar, mencari Bintang di raga lain nggak akan pernah berhasil.

Jatuh cinta pada orang yang belum lepas dari masa lalunya adalah bencana. Gue nggak punya banyak pilihan selain merawat sendiri patah hati yang acap gue dapat dari sikapnya yang membuat gue merasa tersisih. Gue akui menyayanginya terkadang merepotkan. Masalahnya gue seperti nggak kenal jera dengan terus berharap akan ada cerita menyenangkan tentang kami, padahal dia saja cuma mampir sesekali saat butuh melipur sepi.

Entahlah gue ini sebetulnya baik-baik aja atau sebaliknya. Mungkin gue cuma pura-pura terbiasa. Posisi gue yang sebatas tokoh sampingan dalam ceritanya ini mau tidak mau memang harus disadari. Jika hal-hal tentang Awan ia temukan sebagai sesuatu yang lebih menyenangkan untuk ditulis ketimbang hal-hal tentang Gerhana yang hanya sebatas bayang-bayang, maka gue harus rela. Yang penting Bintang tidak lagi menganggap hidupnya sebagai draft yang berantakan.

Tetapi yang nggak gue kira, terlalu ingin melihatnya bahagia malah membuat gue salah langkah.

Telepon dari Andari datang menginterupsi gue di tengah kelas. Mengabaikan keberatan dosen, gue tetap keluar ruangan dan menjawab panggilan tersebut. Gue yakin alasan Andari tiba-tiba menghubungi pasti ada hubungannya dengan Bintang. Sebulan lebih gue nggak berkomunikasi langsung dengan gadis itu. Setiap gue coba cari tahu lewat Anfal, dia bakal bilang Bintang lagi nggak mau diganggu karena sibuk merampungkan tugas akhir. Walaupun rasanya mengganjal, gue berusaha untuk nggak berpikir kalau gue sedang dibohongi. Mengingat gue juga nggak tahu pasti sepadat apa schedulle mereka menjelang sidang.

Sialnya, ternyata gue memang dibohongi.

Sebelum Andari menjelaskan apa-apa, sapaannya yang terdengar parau otomatis membuat gue merutuk. Kenapa gue nggak berusaha lebih jauh untuk memastikan keadaannya?

"Gue gagal jagain Bintang, Kak. Maafin gue..." suara tangis Andari benar-benar pecah. Berulang-ulang dia mengatakan maaf karena tidak memberitahuku sejak awal.

Sementara itu, gue yang sepatutnya marah justru membatu. Rasanya sebuah peluru timah baru saja menembus perut gue sehingga selama beberapa detik gue kehilangan kemampuan merasakan.

Selanjutnya, setelah halusinasi ekstrem itu berakhir, gue menemukan tubuh gue sudah merosot di balik pilar. Semakin gue coba menguasai diri, kewarasan gue semakin melayang-layang. Ponsel yang gue pegang masih tertempel di daun telinga. Tapi gue kesulitan menangkap suara Andari. Lebih tepatnya gue terlalu nggak siap menghadapi kekacauan yang Andari kabarkan sehingga pusat proses dalam kepala gue menolak bekerja. Gue sudah nggak peduli sedang ada dimana. Atau apakah ada orang melintas yang akan melihat gue seperti ini. Sekuat apapun pandangan dunia terhadap seorang laki-laki, gue tetap berakhir meringkuk dibalik pilar. Hancur.

"Andari, tolong ya? Bintangnya jangan ditinggal sendiri sampai gue di sana."

Sesingkat kalimat itu menjadi batas kesanggupan gue untuk nggak meluapkan emosi seperti orang lupa diri.

🌖⭐🌖⭐
.
.
.
.
.
.
.
Basically G describe B in 3000+ words
.
.
.
.
.
.
.
And more
.
.
.
.
.
.
.
He'll tell you more on part B
.
.
.
.
.
.
But before that he wanna know
.
.
.
.
.
.
.
What's your fav line/quote from this part?

Continue Reading

You'll Also Like

4.8M 366K 51
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
2.3M 156K 49
FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!! "𝓚𝓪𝓶𝓾 𝓪𝓭𝓪𝓵𝓪𝓱 𝓽𝓲𝓽𝓲𝓴 𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓱𝓮𝓷𝓽𝓲, 𝓭𝓲𝓶𝓪𝓷𝓪 𝓼𝓮𝓶𝓮𝓼𝓽𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓹𝓸𝓻𝓸𝓼 𝓭𝓮𝓷𝓰𝓪�...
3.6M 170K 63
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
649K 43.9K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...