BERTEDUH

By amellidong

61K 10.5K 1K

Perahu penuh lubang itu pada akhirnya berhasil bersauh. Sepasang jiwa yang penuh dengan luka itu pada akhirny... More

Berteduh
1. CUKUP SEPERTI INI
2. JANGAN TERULANG LAGI
3. HANYA AKU
4. APA LAGI INI?
5. AKU AKAN TETAP DI SINI
6. GEMURUH YANG DATANG
7. AKU DIAM TAK BICARA
8. SESUATU YANG KAU SEMBUNYIKAN
9. MERASA BERSALAH
10. KAU YANG KUBUTUHKAN
11. KITA PERNAH DI SINI SEBELUMNYA
12. PANTASKAH KITA?
13. KHAYALAN SAJA?
15. KEPUTUSASAAN YANG NYATA
16. MASA DEPAN YANG FANA
17. BADAI YANG MENERJANG
18. DI SAMPINGKU, SELAMANYA
19. MENGUATKAN GENGGAMAN
20. UNTUK BISA BERSAMA
21. BERTEDUH

14. KITA TAK KEMANA-MANA

2.1K 477 56
By amellidong

Tombak pernah berjanji kepada dirinya sendiri. Di sisa hidup yang ia jalani bersama perempuan yang ia cintai, ia tak akan membiarkan hal-hal buruk di masa lampau terjadi lagi. Ia hanya memiliki Aira saat ini. Bagaimanapun ... dalam keadaan apapun ... ia tak mau membuat perempuan itu kembali berjumpa dengan rasa sedih.

Semua hal telah Tombak siapkan untuk masa depan yang menawarkan ketenangan dan kebahagiaan. Termasuk mengubah diri menjadi sosok yang Aira butuh dan inginkan. Ia melatih dirinya sendiri. Mengendalikan semua sifat dan sikap dari sisi gelapnya, hanya untuk mendapatkan kepercayaan Aira. Ia mencoba melunakkan hatinya, untuk menerima perasaan hebat yang bernama cinta. Tombak ingin memasuki kehidupan baru, kehidupan yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan akan terjadi di hidupnya, dan itu hanya bersama Aira hingga akhir hayatnya.

Namun semua kepercayaan diri itu hancur kala melihat Aira menatapnya takut dan kecewa. Tombak mengingat dengan jelas tatapan itu, karena Aira pernah menatapnya dengan sorot yang sama di masa lalu. Sisi lemah Tombak kini kembali muncul dan menghantui, berkeliaran di dalam kepalanya tanpa henti. Ia takut. Ia kalut. Semua yang ia impikan, bisa jadi akan hancur dengan mudah, semudah menjentikkan jari tangan.

***

Di saat matahari belum sepenuhnya menampakkan wajah, pintu putih yang sejak berjam-jam tadi Tombak tatap itu berderit pelan dan terbuka. Tombak segera berdiri dari kursi makan, menanti dengan was-was keadaan perempuan yang ada di dalam. Tak lama kemudian Aira keluar dengan menundukkan kepala. Perempuan itu membiarkan rambut panjangnya terurai kusut di sekitar wajahnya yang tertekuk dan pucat di saat yang sama.

Tanpa menawari, Tombak menyodorkan cangkir berisi susu hangat yang mengepulkan uap tipis di atas meja. Sebuah isyarat agar Aira mau untuk duduk di hadapannya.

"Minumlah. Kalau kurang hangat, akan kubuatkan lagi," ucap Tombak penuh hati-hati.

Aira mengangkat kepala, memperlihatkan dengan jelas raut pucat dan lingkar hitam di bawah matanya. Tanpa menjawab, perempuan itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tombak.

"Kamu nggak lanjut tidur?" Tombak memperhatikan Aira lekat-lekat setelah kembali duduk.

"Kamu kira aku bisa?"

Tombak hanya menghela napas dan menundukkan kepala.

Dengan menahan kekecewaan yang menyesakkan dadanya, Aira memperhatikan gestur pria di hadapannya.

"Kamu sendiri yang meminta kita untuk melupakan masa lalu masing-masing, Tombak." Aira menarik napas dalam-dalam seraya menahan isakan. "Lalu apa ini? Kenapa Tombak yang dulu harus hadir lagi? Kenapa janji yang kita buat harus kamu langgar seperti ini?"

Kedua mata Tombak terpejam sesaat. "Maaf, Aira. Aku terjebak."

"Terjebak apa? Apa yang nggak aku ketahui?"

Susah payah Tombak menarik napas dalam-dalam. "Aku pemimpin organisasi."

Kedua pupil mata Aira melebar. Perempuan itu menyandarkan punggungnya dengan lemah, menatap Tombak tak percaya. "Apa ini lelucon?" tanyanya lirih.

Tombak menggeleng, lalu memberanikan diri menatap Aira lagi. "Aku menggantikan mantan Bosku yang sudah meninggal, Ra."

"Andrea tahu ini?" Entah mengapa Aira gatal untuk menanyakannya.

"Semua orang yang terlibat, mengetahui hal ini."

"Dan karena aku nggak terlibat, kamu merasa nggak perlu untuk kasih tahu aku?" Nada bicara Aira terdengar bergetar. "Kamu biarkan aku nggak tahu, dan tenggelam dalam asumsi yang kuciptakan sendiri waktu kamu nggak ada di sini?"

Pandangan Tombak meredup. "Bukan begitu maksud-"

"Apa proyek di Bandung hanya sebuah topeng?" sela Aira. Napasnya sudah memburu saat ini. "Kamu sering ninggalin aku sendirian di sini, karena sebenarnya kamu sedang dipuja karena jadi pemimpin dengan organisasi kamu. Gitu?"

"Ini nggak sepenuhnya seperti yang kamu pikirkan, Aira."

"LALU BAGIAN MANA YANG BENAR, TOMBAK? BAGIAN MANA YANG HARUS KUPERCAYA? KAMU BOHONGIN AKU SELAMA INI!"

Tak ada satu pun kata yang bisa Tombak ucapkan. Hatinya mencelos menatap perempuan di hadapannya kembali menitikkan air mata.

"Aku .... aku ..." Isakan mulai tak terkontrol. "Aku selalu menyingkirkan pemikiran burukku tentang kamu. Aku percaya kamu. Tapi yang kamu lakukan ... kamu ..."

Tangis Aira menghalangi kalimatnya. Ia menangis. Menumpahkan lagi kekesalannya yang sebelumnya ia tangisi sendiri. Aira menutup wajahnya yang sudah memerah dengan tangan gemetar. Tenaganya untuk berbicara mendadak hilang karena luapan kekecewaannya yang bertambah besar.

Tombak berdiri, dan menghampiri Aira. Pria itu berlutut, lalu memeluk erat istrinya. "Maaf," ucapnya lirih.

"Sam-sampai kapan kita begini?"

Kedua mata Tombak terpejam rapat. Tak berani membayangkan kelanjutan hidupnya di tengah keadaan yang belum bisa kendalikan.

"Aku nggak mau seperti ini, Tombak."

"Secepatnya, Aira." Pelukan Tombak mengerat. "Akan kubereskan ini secepatnya."

Tak ada kata yang terucap lagi di antara suami istri itu. Semua hal yang ada di hati mereka seolah terkubur oleh realita yang menyesakkan dada. Keduanya tenggelam dalam bentuk ketakutan yang menggerogoti hati masing-masing.

***

Tiga hari telah berlalu dengan nuansa dingin dan kaku yang terasa kental di rumah itu. Tak ada kehangatan sentuhan maupun tatapan di antara dua penghuni rumahnya. Tak ada ungkapan cinta dan kasih sayang yang tersampaikan seperti biasa. Nuansa yang asing ini mengingatkan Tombak pada masa-masa sulit saat meyakinkan Aira untuk pertama kalinya agar mau hidup berdua bersamanya. Ya, masa itu. Masa di mana Tombak belajar mengendalikan dirinya agar tak memaksakan sesuatu sesuai kehendaknya.

Namun ada yang beda saat ini. Nuansa ini menyakiti hati Tombak tiap kali memandang wajah Aira yang tertunduk. Perempuan itu tak mau menatapnya, dan menjauh tiap kali mereka bersama. Tombak tahu Aira sedang berusaha mengendalikan amarah. Tapi hal itu menyiksanya karena tak bisa menjadi sosok yang dibutuhkan istrinya, terutama saat perempuan itu nampak sakit dan tidak baik-baik saja.

"Kita ke dokter, ya?"

Aira yang baru keluar kamar mandi, hanya mengusap mulut seraya menatap Tombak di hadapannya.

"Kamu sering muntah tiga hari ini."

"Nggak apa-apa." Aira berjalan begitu saja menuju dapur.

Tombak mengekor di belakang Aira. "Nggak mungkin nggak apa-apa. Wajah kamu juga pucat, Aira."

"Ini normal."

"Apanya yang normal?"

Aira menatap Tombak lurus. Bibirnya begerak seolah ingin mengatakan sesuatu. "Asam lambung," ucapnya singkat sebelum menenggak air mineral.

Kedua alis Tombak mengernyit saat menunggu Aira menandaskan minuman.

"Kamu bisa panaskan masakan sendiri untuk makan malam, kan?" Aira kembali menatap datar Tombak. "Aku mau keluar."

"Ke mana?"

"Belanja."

"Kuantar."

Aira menggeleng tegas. "Aku belanja sama Mas Delvi."

Tombak hanya menarik napas dalam-dalam. Saat Aira melewatinya, ia meraih lengan perempuan itu. "Hubungi aku kalau ada apa-apa," ucapnya.

Satu sudut bibir Aira terangkat sinis. "Oh, jadi kamu sudah bisa dihubungi sekarang?"

"Aira!" Nada bicara Tombak berubah tinggi seketika.

Aira tak melunturkan senyumnya. "Oke, sesuai perintah kamu," ucapnya seraya melepas pegangan Tombak.

Sepanjang langkah Aira menuju pintu rumah, Tombak tak tahu harus berbuat apa.

***

"Ajak Andrea?"

Delvi yang baru masuk mobil, mengangguk sambil keheranan menatap reaksi Aira. "Kenapa, Ra?"

Aira kembali mengontrol dirinya. "Nggak apa-apa. Lebih enak kalau ada yang ikut lagi," ucapnya seraya mengusahakan tersenyum setulus mungkin.

Senyum Delvi terukir. Pria berkacamata itu menyalakan mesin mobilnya yang terparkir di parkiran restoran. "Hitung-hitung usaha, Ra."

"Mas Delvi beneran suka sama Andrea?"

"Haaah ... gimana, ya?" Pandangan Delvi menerawang ke depan. "Dia unik. Aku paling nggak bisa untuk nggak naruh perhatian lebih ke orang-orang kaya gitu."

"Suka?" desak Aira lagi.

Sambil menahan senyum, Delvi mulai menjalankan mobilnya.

***

Aira memperhatikan interaksi Delvi dan Andrea yang berjalan berdampingan di hadapannya. Sedari tadi, Andrea hanya menanggapi setiap perkataan Delvi dengan anggukan kepala pelan dan wajah datar. Jika dilihat dari gerak-geriknya, Delvi sedang memberi petunjuk setiap sisi area supermarket luas yang ada di pusat kota ini kepada Andrea.

"Dikira Andrea nggak bisa baca apa?" gumam Aira saat berhenti di rak bumbu jadi. "Gitu amat PDKT-nya."

Setelah mendapat bumbu yang ia cari, Aira kembali mendorong trolinya. Delvi dan Andrea sudah berada lebih jauh di hadapannya.

"Lagian udah tahu Andrea malas nanggepin, masiiiiiih aja berusaha deketin. Apa menariknya Andrea, sih? Muka judes gitu dibilang unik. Aneh."

Aira kembali berhenti, namun bukan untuk memilih barang, melainkan untuk menutup wajah dan menghela napas berat.

"Kamu kenapa sih, Raaaaa?" gumamnya kesal. "Dia nggak ada salah apa-apa. Ngapain kamu mikir kaya' gitu? Ini bukan kamu, Ra. Bukan kamu."

"Kak Aira sakit?"

Buru-buru Aira menurunkan tangan dan menatap Andrea yang berjalan sedikit terburu mendekatinya.

"Kenapa, Ra?" tanya Delvi dari jauh.

Andrea berhenti di hadapan Aira. "Dari tadi Kak Aira kelihatan pucat. Kak Aira nggak apa-apa?"

Sedikit kesusahan Aira menarik napas. Ia pun mengangguk. "Nggak apa-apa, Ndre."

"Kak Aira yakin?"

Senyum Aira terukir. "Iya. Tadi cuma teringat kalau aku belum ninggalin masakan buat makan malam Tombak," ucapnya seraya mendorong Andrea pelan untuk kembali berjalan.

***

"Untuk penjualan bulan sebelumnya memang ada penurunan, tapi dari sisi jumlah pelanggan, kita ada kenaikan." Herman menumpuk berkas yang ia bawa, lalu menatap Tombak yang duduk di hadapannya. "Untuk bulan depan, gimana kalau kita siapkan harga spesial untuk pelanggan lama?"

Tombak tak menyahut. Ia bahkan tak mengalihkan tatapan dari lembaran yang ia pegang.

"Tombak?"

Sorot mata Tombak nampak kosong.

"Tombak?" panggil Herman lagi dengan intonasi yang lebih tinggi.

Perhatian Tombak teralih seketika. Ia menatap Herman di hadapannya dengan sedikit linglung. "Maaf, Pak Herman. Saya melamun tadi. Jadi bagaimana rencananya, Pak?"

Herman menghela napas. "Sepertinya saya salah waktu untuk datang. Harusnya memang tadi saya kasih kabar dulu."

Tombak nampak segan. "Maaf, Pak. Ada hal lain yang saya pikirkan."

"Kelihatan." Herman tersenyum maklum. "Tadi saya mengusulkan untuk memberi harga diskon kepada pelanggan lama di bulan depan. Kalau setuju, kamu bisa siapkan harganya saja. Biar saya yang pilih pelanggan mana saja yang kita kasih diskon."

"Baik. Akan saya siapakan, Pak." Tombak menatap Herman penuh kesungguhan. "Terima kasih selama ini sudah membantu saya."

Lagi-lagi Herman tersenyum. "Ayah kamu orang baik yang saya hormati, Tombak. Saya sudah janji untuk terus membantu mengurus perkebunan beliau selama saya masih mampu."

Tombak mengangguk pelan. Lalu turut berdiri saat Herman berdiri.

"Sebenarnya ada hal yang menjadi kekhawatiran Ayah kamu sejak dulu." Herman menatap Tombak iba. "Beliau takut, perkebunan akan menyulitkan kamu yang mungkin memiliki mimpi lain."

Senyum kecil Tombak terukir. "Meneruskan apa yang beliau tinggalkan adalah cara saya berterima kasih, Pak. Saya akan selalu berusaha untuk lebih baik."

Herman tersenyum penuh arti, lalu mengangguk. "Saya pamit pulang, ya? Salam untuk Aira."

"Hati-hati, Pak Herman."

Selama beberapa saat Tombak berdiri di ruang tamu seraya menatap halaman rumahnya. Sejak tadi hatinya memang tak tenang lantaran selalu terpikirkan Aira seorang. Setelah lama berpikir, Tombak pun berjalan menuju ruang tengah untuk meraih gagang telepon rumahnya.

"Halo?"

"Di mana, Del?"

"Tumben amat pakai telepon rumah? Hp kamu kenapa?"

"Lagi di mana?" tanya Tombak sekali lagi.

"Supermarket. Kenapa? Mau ngomong sama Aira?"

"Aku susul ke sana. Sebutin aja kamu di supermarket mana, nggak perlu bilang Aira."

***

Lewat sudut matanya, Aira memperhatikan Andrea yang tengah memperhatikan satu per satu kopi di rak minuman kemasan. Sejak tadi Aira memperhatikan Andrea secara diam-diam. Mengawasi tingkah laku perempuan yang lebih muda darinya itu, barangkali ada sesuatu yang nampak mencurigakan.

"Aira .... berhenti," gumam Aira sendiri. Ia menghela napas dan memijat kepalanya yang kembali terasa pening. "Kamu cuma bakalan nyiksa diri kamu sendiri."

Aira menghela napas dan kembali fokus memilih daging beku di hadapannya.

"Ingat teh yang Kak Aira minum di rumahku?" ucap Andrea saat mendekati Aira. "Ternyata supermarket ini juga jual."

Kotak teh yang Andrea sodorkan, menjadi pusat perhatian Aira. "Bagus, dong! Kamu nggak perlu pesan online lagi."

Andrea mengangguk. "Kak Aira mau?"

"Hm?"

"Tehnya." Andrea tersenyum samar. "Udah lama kita nggak minum teh di rumahku."

Aira terdiam sejenak. "Kukira kamu bosan minum teh berdua sama aku," ucapnya seraya memasukkan daging ke dalam trolinya.

Bibir Andrea terbuka ragu. "Nggak kok. Aku senang bisa ngobrol berdua sama Kak Aira."

Kali ini, Aira terdiam lebih lama. Ia hanya menatap Andrea lekat-lekat hingga membuat perempuan itu nampak sedikit bingung.

"Kamu ..." ucap Aira lagi. " ... mau terbuka sama aku?"

Kening Andrea mengerut. Ia baru akan mengatakan sesuatu, sebelum pandangannya tertuju ke arah lain. "Bang Tombak?"

Aira mengikuti arah pandang Andrea, dan menemukan Tombak yang berjalan di samping Delvi, tengah menatap lurus ke arahnya.

"Tombak nyusul nih, Ra," ucap Delvi. "Katanya mau kasih kejutan."

Tombak menatap Aira lembut. "Kita makan malam di luar, ya?"

Delvi nampak takjub. "Widihhh ... dinner. Romantis banget."

Tak ada yang bisa Aira lakukan selain mengangguk. Keadaan ini seolah melemparnya ke masa lalu, di mana ia harus selalu menunjukkan hubungan rumah tangga yang harmonis di hadapan semua orang.

.

.

Dari tempatnya berdiri, Aira memperhatikan Delvi dan Andrea yang sedang memasukkan barang belanjaan di bagian belakang mobil. Keduanya nampak hangat saat bekerja sama dan berbincang ringan. Sungguh berbeda dengan nuansa di sekitar Aira, di mana ia hanya menunggu Tombak yang memasukkan barang belanjaan seorang diri ke dalam mobil.

Tombak menutup pintu belakang mobil setelah usai. Mobil Delvi sudah tak terlihat, namun Aira masih melamun menatap tempat yang sama. Perempuan itu berdiri bersandar di pintu mobil seraya melipat kedua lengan di perutnya. Cahaya keemasan matahari yang membanjiri tubuhnya, serta semilir angin yang menggoyangkan rambut panjangnya yang terurai, membuat perempuan itu nampak begitu bersinar sekaligus memancarkan aura kelelahan yang begitu jelas.

"Mau makan malam di mana?" tanya Tombak saat berdiri di hadapan istrinya, menghalau sinar matahari senja.

Aira tak menatap balik Tombak. Perempuan itu lebih memilih menutup mata dan menghela napas perlahan. "Pulang aja," gumamnya lirih.

Jemari Tombak terangkat untuk menyelipkan anak rambut Aira yang sedikit berantakan diterpa angin. "Kamu nggak apa-apa?"

"Aku ngantuk."

Untuk beberapa saat Tombak hanya berdiam diri menatap Aira yang masih menutup mata. Entah perempuan itu dalam keadaan sadar atau tidak. Yang jelas, Aira hanya berdiam diri saat Tombak menatapnya, dan mengecup keningnya untuk waktu yang lama.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Readers be like: Katanya sibuk? Kok updateeee?

Me just... 😗😗😗

Part sebelumnya kelar dengan nanggung, jadi gemes sendiri otak ini untuk tidak curi-curi kesempatan ngelanjutin.

Tapi kerasa ngga sih kalau part ini nanggung jugaaaaa? :')

.

.

.

Karena mereka gapernah terlibat project bareng, yah... inilah yang bisa kusuguhkan :')

Eniwei...

.

.

.


Taaak bosan-bosan, aku memandangmuuuuu 😗

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 49.1K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
2.9M 304K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
3.8M 55.9K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
4M 43.9K 33
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...