AMOUR

By hwepiy

4.1K 1.4K 5.8K

Terlahir sebagai anak kembar identik, bagaimana perasaanmu? Pasti bahagia karena bisa saling tukaran pakaian... More

1. Yang bertopeng
2. Shaka dan Dunianya
3. Hitam Putih
4. Peringatan Pertama
5. Sisi Yang Berbeda
6. Milik Azka
7. Bukan Sembarang Kejutan
8. Baper? Ya kali!
9. Mascrush
10. Closer
11. Oh shit!
12. Icha vs Keysha
13. Pertandingan Sengit
14. Selimut Bernyawa
15. Prioritas
16. Belajar Bareng
17. Gara-gara Foto
18. He's annoying!
19. Jealousy
20. Esedensies
21. (Not) Strong Enough
22. Sibling Rivalry
23. One Fine Day
24. (Bukan) Shaka
25. Bak Kaset Rusak
26. Terjebak Dalam Labirin
HAI EVERYONE!

27. Favourite Man

95 17 385
By hwepiy

Hai! Im back in March.
Apa harapan kalian di bulan Maret ini?

🚀 Ready to read? Let's go 🚀

Pukul 6.45 Shaka masih bergelung di dalam selimut tebalnya, menyembunyikan diri dari dinginnya pendingin ruangan. Sudah tiga kali alarmnya berbunyi tapi diabaikan, matanya terasa berat sekali untuk dibuka. Seolah ada tarikan magnet di kasur yang membuat tubuhnya enggan sekali bangun.

Dengan keadaan setengah sadar, telinganya menangkap suara pintu dibuka, bukannya bangun malah menarik guling untuk dipeluk. Wanita berusia 40 tahun menyingkap selimut yang menutupi tubuh Shaka.

"Shaka, ya ampun! Udah siang, kamu gak sekolah?" pekik mamah Una saat melihat kedua mata anak itu terpejam. Beliau segera mematikan AC dengan remote yang menempel di tembok dekat stopkontak lampu kamar. Shaka meracau tidak jelas.

"Bangun, hei! Kamu terlambat loh, udah jam 6.45," ujar mamah Una sambil menepuk-nepuk tubuh Shaka. Mengguncangkan tubuh kekar pria itu agar cepat bangun.

Shaka terperanjat kaget mendengar waktu yang disebut mamah Una. Ia langsung mengambil ponselnya dan memeriksa jam pada lock screen handphone, benar ternyata ia kesiangan. Shaka bangun dengan baju yang kusut serta rambut yang sudah tidak berbentuk lagi. Bergegas ke kamar mandi.

"Mamah kok gak bangunin dari tadi, sih?" protes Shaka dari kamar mandi dengan suara berat efek bangun tidur.

"Mamah kira kamu udah berangkat. Pas ke kamar Azka, ternyata dia juga masih tidur. Feeling mama pasti kamu belum bangun juga, ternyata benar," jawab mamah Una sambil mengeluarkan seragam sekolah Shaka dari lemari pakaian. Lantas merapikan tempat tidur pria itu, tak lupa menyingkap gorden agar cahaya matahari masuk.

Lima menit waktu yang dibutuhkan Shaka di kamar mandi. Sejujurnya ia tidak mandi, hanya sikat gigi dan melamun karena tubuhnya masih syok. Selesai memakai seragam dan menyisir rambut, ia menyemprotkan parfum beraroma woody di leher juga tangannya.

Shaka menuruni tangga sambil memakai jam tangan hitam di pergelangan tangan kirinya. "Mah, aku sarapan di sekolah aja, udah gak keburu," ujar pria itu. Merampas satu-satunya kunci motor yang ada dari tempat gantungan kunci

Di pekarangan rumah, motor vespa abu-abu sudah bertengger manis. Siap dipakai. Namun itu merupakan hal janggal karena dia tidak merasa sudah mengeluarkan motor tersebut. Ah, pikiran Shaka kali ini positif thinking kalau pak Adi—satpam rumahnya—yang mengeluarkannya.

"Pak, pamit, pak," ujar Shaka saat melewati pak Adi yang berdiri di samping pagar hitam.

"Eh, eh ....." Pak Ujang menggaruk tengkuknya karena panggilannya tidak terdengar di telinga Shaka.

ָ࣪ ۰ Amour ‹!

Di jalan, Shaka melihat tukang bubur ayam, berhenti untuk membeli bubur sebagai sarapannya di sekolah. Sejenak melihat waktu di jam tangannya. "Ah, gas ajalah. Udah terlanjur telat ini," cicitnya.

"Dua ya, bang. Dua duanya jangan pakai kacang sama daun bawang, kerupuknya pisah, sambalnya juga pisah. Oh iya, kaldu kuningnya dipisah juga," pesan pria itu kepada mamang tukang bubur.

Tiga menit lagi bel masuk, tapi ia harus ke rumah Sekar dulu untuk mengantarkan satu bubur yang ia pesan. Ia sudah merencanakan ingin membelikan Sekar bubur itu dari semalam. Niatnya sebelum jam tujuh sudah berangkat dari rumah, agar tidak terlambat ke sekolah karena harus mampir ke rumah Sekar, tapi gara-gara terlalu asyik bermain gim bersama kembarannya sampai larut malam, akhirnya jadi kesiangan.

Shaka memutuskan untuk meredam egonya yang tidak terima akan ucapan Sekar kemarin padanya. Kalau api dibalas api, tidak akan pernah bisa padam.

Pria berseragam putih abu-abu itu mengeluarkan uang dari dompet kulit hitamnya untuk membayar bubur, setelah itu langsung tancap gas ke rumah wanita yang ia tuju. Sesampainya di rumah Sekar pintu diketuk tiga kali, membuat seorang Ibu dengan kemeja hitam keluar. Shaka menyapa Ibu dengan hangat, menitipkan bubur itu kepada beliau.

"Loh, kamu gak takut dihukum? Sempet-sempetnya ke sini padahal udah jam segini," tanya Ibunya Sekar. Sterofoam putih yang isinya bubur sudah berada di tangan beliau.

"Kalau belum lewat jam 7.30 gak dihukum, kok, tante. Shaka titip buat anak gadisnya, ya, tante. Maaf gak bisa lama-lama," jelas Shaka sembari mengulurkan tangan untuk salaman.

Ibu menjabat tangan pria itu. "Hati-hati, ya. Pulang sekolah mampir aja, temenin Sekar, soalnya tante mau ke kantor," pesan beliau diangguki Shaka.

ָ࣪ ۰ Amour ‹!

Gerbang sekolah sudah ditutup, tapi ia masih diperbolehkan masuk karena di SMA Agra batas terlambat itu sampai jam 7.30. Lewat dari jam yang sudah ditentukan, siswa dikenakan hukuman.

Pria itu baru sadar suatu hal saat akan memasukkan kunci motornya ke dalam tas. Kunci motor itu ada gantungan kunci berbentuk bulat dengan tulisan suatu nama sekolah 'SMA LAKSAMANA'. Shaka memeriksa vespa abu-abunya, ternyata di body motor itu juga ada stiker yang menempel dengan tulisan yang sama seperti di gantungan kunci itu.

"Ini motor Azka," gumam Shaka. Ia melirik jam tangannya, tidak ada waktu untuk memikirkan motor, ia harus ke kelas sekarang.

Bersyukur Shaka karena guru pelajaran pertama di kelasnya belum masuk. Menurut informasi teman-temannya, guru itu terlambat masuk karena masih menyiapkan lembaran soal ulangan harian fisika untuk hari ini.

"Tumben telat," ujar Aufa saat Shaka sedang melepas ransel hitamnya dari pundak.

"Kesiangan," jawab Shaka.

Sadam dan Bumi yang duduk di depan Aufa dan Shaka membalikkan tubuh mereka ke belakang, ikut nimbrung.

"Berarti kita gak jadi bolos ya, Mi?" tanya Sadam pada Bumi. Bumi mengangguk sambil menaik turunkan alisnya. Senyumnya sumringah seperti habis menang undian lotre.

Shaka bertanya, "Bolos ulangan fisika?"

"Iyalah. Kita kira lo gak masuk hari ini, kalau gak masuk, nanti siapa yang mau kasih kita jawaban ulangan?" curhat Bumi dengan alis mengerut.

Mata Shaka melirik ke teman sebangkunya.

"Aufa mah pelit gak mau bagi jawaban," cicit Bumi.

"Gue emang pelit soal bagi jawaban. Tapi gak pelit soal rumah yang mau lo tumpangin," balas Aufa untuk Bumi. Bumi nyengir teringat kalau ia memang sering menginap di rumah Aufa, dan pria itu selalu membuka rumahnya kapan pun Bumi mau menginap.

Seorang guru wanita masuk dengan tumpukan soal ulangan fisika di dekapannya. Beliau menginstruksi kepada seluruh warga XI IPA 1 untuk mengumpulkan buku fisika mereka di meja guru dan menaruh tasnya di dekat papan tulis. Guna mencegah adanya kegiatan contek mencontek.

Mereka yang sudah belajar tidak keberatan dengan instruksi itu, berbeda dengan yang belum belajar dan hanya mengandalkan jawaban dari teman pasti keberatan dengan instruksi dari guru tersebut. Di atas meja masing-masing siswa hanya ada alat tulis dan lembaran soal saja.

"Ekhem, ketua ekskul fisika jangan budek, dong," ujar Sadam setengah berteriak sambil menulis namanya di kolom nama pada lembaran soal itu.

Disusul kode-kodean berikutnya dari siswa lain dari kelas itu. "Yang pelit gue sumpahin gak punya ayang."

"Yang pelit kuburannya sempit."

"Yang ikut ekskul fisika, bolehlah ya sharing-sharing."

Kelas pun sepi. Semuanya sibuk berkutat dengan soal yang sudah diberikan. Mereka belum juga menggerakkan alat tulis untuk mengisi soal itu. Mengeluh. Mengeluh karena soal yang diberikan jauh berbeda dengan yang mereka pelajari selama ini.

"Kebiasaan banget nih guru, ngasih soal yang belum pernah dipelajarin," keluh Bumi, begitu juga dengan murid lainnya.

Sadam menyenderkan punggungnya ke kursi. "Untung gak belajar, soalnya beda gini sama yang dipelajari."

ָ࣪ ۰ Amour ‹!

Waktu istirahat tiba. Semua murid menghambur ke kantin, begitu juga dengan Sadam, Aufa, Bumi dan Shaka. Mereka langsung memesan soto ayam sebagai makanan, dan es jeruk sebagai minumannya.

Aufa sibuk membicarakan soal ulangan fisika tadi dengan Shaka. Saling bertanya jawaban nomor sekian apakah mereka menjawab dengan jawaban yang sama atau tidak. Menimbang juga apakah soal tadi banyak benarnya atau salahnya. Mereka berdua bukanlah tipe orang yang punya prinsip 'kerjakan lalu lupakan' di setiap ujian.

Beda dengan Sadam dan Bumi, raut wajah kedua pria itu kesal dan malas saat mereka mendengar obrolan Aufa dan Shaka. Semakin kesal karena tak satu pun jawaban Shaka berikan alias Shaka tidak memberikan mereka contekan.

"Asem banget tuh muka kayak gak punya duit," celetuk Aufa yang sebenarnya sudah tau alasan ekspresi muka Sadam dan Bumi.

"Pelit banget lo Shak, biarin aja gak punya ayang," ketus Sadam yang ngambek.

Shaka tertawa. "Bukannya pelit, tapi tadi gurunya ngawasin gue mulu. Emang lo berdua mau kena hukuman gara-gara nyontek? Gue si ogah."

Seorang pria melewati meja mereka, itu membuat Bumi mengalihkan pembicaraan mereka yang semula membicarakan ulangan fisika menjadi membicarakan pria itu.

"Lo gak mau nonjok si Gavin soal kemarin?" Bumi bertanya kepada Shaka setelah Gavin tidak lagi terlihat.

"Buat apa?"

"Gavin udah buat Sekar inget masa lalunya lagi." Sadam yang menjawab.

Shaka mengibaskan kedua tangannya di depan muka. "Kita gak ada urusan sama dia. Lagian itu urusan Sekar sama Gavin, percuma aja kita nonjokin Gavin sampe babak belur pun, kalau Sekar masih kayak kemarin."

"Kita cuma diminta tolong Shaka buat lindungi Sekar dari tuh cowok, tapi bukan berarti kita bikin tuh cowok babak belur," tutur Aufa yang memang fakta.

"Eh iya, kok lo bisa tau nilai matematika Gavin lebih jelek dari nilai bahasa Inggris gue?" tanya Bumi memajukan tubuhnya, ia penasaran akan hal itu.

"Easy. Anak kelas sendiri yang bocorin," jawab Shaka telak.

Setelah Aufa mengambil minuman pesanan mereka, Shaka menceritakan kronologi ia bisa tahu nilai matematika Gavin lebih rendah dari nilai bahasa Inggris Bumi.

Saat itu setelah selesai latihan basket, Shaka duduk di kursi tribun. Menyeka keringat sambil membaca beberapa pesan dari grup kelasnya. Ada berita heboh yang membuat grup kelas ramai. Katanya, guru matematika kelas 11 mendiamkan anak kelas bahasa dikarenakan semua nilai ulangan harian di kelas itu tidak ada yang mencapai KKM.

Kalian tahu nilai paling tingginya berapa? Ya ... 40. Itu sudah paling tinggi di kelas bahasa, dan nilai paling kecilnya itu 15. Sangat mencengangkan bukan? Dan satu-satunya orang yang mendapat nilai terkecil di kelas itu adalah Gavin.

- Grup Kelas 11 IPA 1 -

Jena: Nilai paling kecilnya anak baru, anjir

Amet: Kasian bener, mana anak baru, langsung kena mental diomelin tuh guru

Bram: Oh si Gavin yang anak ekskul basket itu bukan sih?

Jena: Iya. Gue sih jadi dia malu banget, pindahan Amerika dapet nilai segitu wkwk

Amet: Kayak lo gak dapet nilai rendah aja Jen😩🙏🏼

Bumi langsung ber-oh ria sambil menaikkan satu kakinya ke atas bangku seperti makan di warteg. "Pantesan rame tuh grup, ternyata ngomongin kelas bahasa."

"Lo gak buka grup ya?" tebak Sadam, menepuk pundak Bumi.

"Gak ada hal penting juga." Bumi bersiul.

Kini giliran Shaka, Aufa dan Sadam yang ber-oh ria dengan suara panjang.

"Pantesan suka gak tau ada ulangan, ternyata gak buka grup," cibir Sadam kesal. Bumi nyengir tidak berdosa.

Kadang tidak semua guru menginformasikan adanya ulangan harian saat pembelajaran tatap muka. Hingga menginformasikannya lewat grup kelas yang tersedia.

Bumi menarik napas sebelum ia menceletuki hal yang membuatnya geram. Sebenarnya ia ingin protes masalah ini kepada Shaka, karena jujur saja hal ini membuat harga dirinya jatuh. Ia juga ingin protes masalah ini waktu di kejauhan di lapangan, tapi tertahan karena waktunya tidak tepat.

"Tapi, Shak ... lo kenapa bawa-bawa nilai gue, anjir? Parah lo, mempermalukan gue di depan banyak orang. Lo pikir gue terima?" geram Bumi, ia menjeda omongannya saat ketiga temannya itu sudah menatapnya serius.

"Ya ... terimalah! Orang itu fakta," cicit Bumi dengan suara pelan. Sekarang dihujani remahan kerupuk dari ketiga cowok yang menatapnya geram.

ָ࣪ ۰ Amour ‹!

Parkiran motor khusus murid berangsur-angsur sepi. Tinggal beberapa motor lagi yang tersisa, termasuk motornya Shaka dan ketiga temannya. Mereka berencana untuk menemani pria itu ke rumah Sekar. Shaka yang meminta, ia tidak mau hanya berdua saja dengan gadis itu di dalam rumah. Tak lupa mengajak Icha dan Naya ikut bersama mereka.

"Ah! Gak asik lo, ada Naya, gue dibuang," protes Sadam saat Naya sudah berhasil duduk di belakang jok motor Bumi.

"Ya masa Naya mau sama Shaka, gimana sih lo?" jawab Bumi dengan ekspresi wajah tidak terima.

"Sini kunci motor lo, Shak, gue aja yang bawa," pinta Sadam. Pria itu memang cukup tahu diri untuk tidak merepotkan Shaka memboncenginya.

Kunci motor dengan bandulan gantungan kunci itu melayang dari tangan Shaka ke tangan Sadam. Berhasil tertangkap, Sadam melihat tulisan gantungan itu. Dan Shaka baru menyadari satu hal.

"SMA Laks—"

"Lama lo, udah sini gue aja yang bawa motornya. Lo duduk manis di belakang." Shaka berjalan cepat menuju tempat Sadam berdiri dan langsung merampas kunci motor itu sebelum Sadam selesai membacanya. Shaka menciptakan suasana canggung dari dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri.

Icha menginterupsi yang lainnya untuk lebih dulu ke rumah Sekar, karena ia akan mampir ke suatu tempat untuk membeli makanan dan minuman. Yang lain setuju dan langsung tancap gas menuju rumah Puteri Sekolah.

Kurang dari 25 menit, mereka telah sampai di depan rumah Sekar. Asisten rumah tangga di rumah itu langsung mempersilakan keempat orang itu untuk masuk. Bergegas ke kamar Sekar di lantai dua untuk memberi informasi kalau ada teman-temannya di ruang tamu.

Sekar yang sedang menulis sesuatu pun berhenti seketika. Menerka-nerka siapa yang datang, karena kalau Naya dan Icha, mereka sudah pasti langsung masuk ke kamarnya. Tidak mau membuat tamunya menunggu lama, ia langsung turun ke lantai satu tanpa mengganti baju lagi.

Saat ini gadis itu tengah mengenakan piyama one set berbahan satin berwarna merah marun. Rambutnya juga dicepol asal-asalan. Mungkin kalian akan mengira Sekar belum mandi, tapi nyatanya tidak seperti itu. Ia mandi setelah memakan bubur dari Shaka. Wangi parfum White Musk yang lembut membuat dirinya harum.

Langkah Sekar yang tadinya buru-buru pun memelan saat tersisa tiga anak tangga lagi. Ada Shaka, Sadam, Bumi dan Naya di ruang tamu sedang menatap dirinya. Naya melambaikan tangan ke arahnya.

"Ih, mentang-mentang gak sekolah, gak mandi pagi ya, lo?" Naya berkomentar.

"Enak aja, harum gini," protes Sekar tidak terima. Ia duduk di single sofa yang tersisa. "Ada keperluan apa?" Sekar bertanya pada tiga pria itu.

"Oh, ini nemenin Shaka. Katanya dia malu—" Lagi-lagi ucapan Sadam terpotong karena Shaka. Kakinya diinjak oleh Shaka yang menimbulkan kesakitan.

"Sakit, anjir," keluh Sadam.

"Silaturahmi aja, sih. Gak apa-apa 'kan?" Shaka yang menjawab juga bertanya.

Sekar mengangguk paham. Awalnya mengira ada sesuatu yang mendesak karena ini pertama kalinya kedatangan Sadam juga Bumi. Dan ... Aufa yang masih di jalan. Sekar mengajak teman-temannya itu ke halaman belakang rumahnya. Lebih santai jika mereka berada di sana ketimbang di ruang tamu yang membatasi pergerakan mereka.

Mereka disambut rerumputan hijau yang segar dan terpotong rapi, pohon palem tumbuh rapi di tiap pojokan. Suara air dari kolam ikan koi pun menambah kesan rindang. Sekar mempersilakan mereka bersantai di gazebo yang terbuat dari kayu jati. Bukan hanya sebuah gazebo, tapi ada bantalan juga yang bisa dipakai untuk tiduran atau jadi pegangan saja.

Asisten rumah tangga yang dikenal dengan panggilan teh Ayu mengantarkan minuman dingin berperisa jeruk. Bukan Sadam dan Bumi kalau malu-malu, belum dipersilahkan minum pun mereka sudah mengambil gelas dan menuang air itu ke gelas.

"Gak heran, sih," cicit Shaka melihat kelakuan temannya itu.

Sekar bertanya keberadaan Icha pada Naya, dan Naya bilang kalau gadis itu sedang mampir untuk membeli camilan.

Ini bukan pertama kalinya bagi Shaka bisa berada di halaman belakang rumah Sekar yang sejuk itu. Adalah kesempatan kedua dari yang pertama saat Sekar menceritakan hubungan gadis itu dengan Gavin.

Di mata Shaka, Sekar tetap terlihat cantik apapun pakaiannya. Bahkan ia tidak bisa bohong kalau penampilan Sekar kali ini terlihat lebih manis dengan rambut yang berantakan. Selama ini yang ia lihat, gadis itu selalu berpenampilan rapi. Shaka menyunggingkan senyuman saat melihat Sekar sedang tertawa karena celotehan Sadam dan Bumi.

Icha dan Aufa datang saat Naya meletakkan laptopnya di atas meja coklat, dengan beberapa kantong plastik di tangan. Suasana menjadi sangat rusuh sebab dua sejoli yang tak lain dan tak bukan Sadam dan Bumi yang berebut makanan.

"Nih anak dua emang gak tau tempat, dimana-mana ribut, rusuh. Sorry, ya, Kar," ujar Aufa sambil membantu Icha mengeluarkan makanan dari plastik satunya.

"Gak apa-apa, malah jadi seru." Sekar terkekeh.

"Tau gak, Kar, tadi ulangan fisika soalnya beda banget sama yang dipelajari. Gak ngerti lagi, deh, sama gurunya," kata Bumi sambil mengunyah kue balok rasa coklat.

"Tapi itu bukan jadi masalah besar 'kan buat lo?" tanya Sekar sambil mencomot kue yang sama dengan Bumi. "Maksudnya, lo 'kan biasa nyontek ke Shaka atau Aufa," sambungnya.

"Anjir ...," cicit Sadam, setelahnya ia tertawa paling kencang.

"Nggak, ya! Justru Shaka pelit gak mau ngasih contekan," kilah Bumi sesuai fakta.

Sebuah film bergenre action dari aplikasi berlogo huruf N merah telah terputar di layar laptop Naya. Mereka merapatkan posisi agar bisa menonton film dengan jelas. Tidak dengan Shaka yang justru malah menaikkan satu kakinya seperti makan di warteg, pria itu tidak sama sekali berminat menonton film.

Sekar mengajak pria itu duduk di sampingnya, tapi Shaka malah menyuruh Sekar yang duduk di sampingnya. Menggeser tubuhnya pelan-pelan karena ada rasa canggung akibat omongannya kepada Shaka tempo hari.

"How's your feeling?" Pertanyaan itu terlontar dari Shaka.

"Not bad," jawab Sekar singkat. Ia meremat ujung bajunya. "Thank you buburnya. Tau aja gue gak suka pake daun bawang sama kaldu kuningnya," sambung wanita itu.

"My pleasure. Apa yang gue gak tau tentang lo?"

Sekar mendorong pundak Shaka dan tersipu malu. Perbuatan reflek ketika kupu-kupu menyerang perutnya.

"Your favourite color is green, but you don't show it more. Your favourite food is sate Taichan tanpa nasi dan lontong. Your favourite parfume is White Musk The Body Shop." Selesai Shaka menyebutkan kesukaan Sekar, wanita itu mengangguk antusias. Jawabannya 100 persen betul.

"And i guess, your favourite man is me, ?" kata Shaka dengan tingkat percaya diri lebih dari 100 persen. Tidak munafik kalau pipi Sekar sekarang menghangat dan lama-lama memerah, ditambah sebelah alis Shaka naik.

"Najis banget dengernya, ew," sahut Bumi yang sebenarnya tidak fokus nonton dan malah tertarik mendengarkan dua insan di belakangnya.

Shaka melempar chiki yang masih terbungkus ke arah manusia yang menyahutinya. "Nguping aja lo, biarin aja telinganya panjang," ujar Shaka asal.

ָ࣪ ۰ Amour ‹!

Shaka menarik Sekar pergi dari gazebo itu. Ia memilih duduk di ayunan agar tidak ada yang mengganggunya. Membicarakan keseharian hari ini, mulai dari Shaka yang bangun kesiangan, ulangan fisika yang diawasi ketat oleh guru mata pelajaran, pengumuman pulang lebih awal yang batal karena gurunya tidak jadi rapat, dan sama sekali tidak menyinggung kejadian tempo hari yang menyebabkan Sekar tidak sekolah hari ini.

Shaka yang lebih banyak berceloteh, sesekali Sekar tertawa di bagian yang menurutnya lucu. Dan menertawai lawakan Shaka yang garing, tapi tetap tertawa untuk menghargai lawakan itu. Sekar bagian menanggapi karena tidak ada hal menarik yang bisa diceritakan, seharian ini ia hanya di kamar ditemani alunan musik dari handphone.

Hingga tidak ada lagi topik yang mau dibahas, mereka berdua saling diam, tenggelam dengan pikiran masing-masing. Sekar menatap teman-temannya yang berada di gazebo sedang berteriak-teriak karena film itu. Dan yang Shaka lakukan adalah menikmati keindahan dari Tuhan pada wanita di sampingnya.

"Lo cantik," puji pria itu tiba-tiba, membuat Sekar menoleh.

Awalnya senyum manis yang ingin Shaka lihat tersungging dari bibir Sekar, tapi lima detik kemudian senyum itu pudar.

Sekar geleng, "Banyak orang bilang kalau cewek cantik itu pasti aman, tapi itu gak berlaku buat gue."

Shaka belum memberikan komentar apa-apa, ia malah menunggu kelanjutan kalimat dari gadis berpiyama merah marun.

"Shak, kalau gue cantik, harusnya gue gak dibully 'kan?" tanya Sekar dengan suara sumbang. "Iri banget sama Icha, Naya, yang hidupnya tenang gak dikejar-kejar kayak gue," lanjut Sekar. Kini tatapannya tidak seceria tadi.

Shaka bangun, berdiri di belakang ayunan dan mulai menggerakkan ayunan itu perlahan. Sekar menikmatinya. "Lo pernah gak mikir kalau mereka itu mau kayak lo? Gue rasa nggak, karena kalau lo pernah mikir gitu, lo gak akan iri sama kehidupan orang," tutur Shaka yang tidak mendapat respon apa-apa dari wanita itu.

"Di luar sana banyak banget orang yang pengin jadi diri lo. Mereka begitu karena mereka gak pernah liat apa yang lo alami. Sekarang gini, kalau lo tau apa yang dialami Icha atau Naya, masih mau jadi mereka?" Respon Sekar hanya menggeleng.

"Manusia punya porsinya masing-masing dan Tuhan adil untuk itu. Lo punya A, yang lain belum tentu punya. Yang lain punya B, lo belum tentu punya B. Dan cantik itu gak melulu soal fisik, let be grateful," lanjut Shaka lagi.

"You look so beautiful from all sides. And am the luckiest man who can know you." Shaka mengacak-acak rambut Sekar dari belakang. Senyum Sekar mengembang, itu bisa dilihat Shaka dari samping.

Shaka izin ke toilet sebentar, meninggalkan handphone-nya yang tergeletak di tempat duduknya.

"He's right, he's my favourite man," ujar Sekar dalam hati sambil menatap kepergian laki-laki itu dari belakang.

Di satu waktu yang sama, ia juga merasa bersalah sudah menyama-nyamakan Shaka dengan Gavin. Nyatanya pria itu jauh berbeda dengan sosok Gavin yang hanya bisa menimbulkan luka paling dalam.

Sekar membuat ayunan itu bergerak dengan kakinya. Layar handphone Shaka tiba-tiba menyala, ada notifikasi chat masuk.

A
▪️Motor kita ketuker, gue baru engeh
▪️Lo di mana?

Tak sengaja membaca pesan itu meskipun tidak membukanya secara langsung. Penasaran. Tentu saja hal pertama yang menghinggapi dirinya adalah rasa penasaran, apalagi nama kontaknya cuma satu huruf. Namun, ia mengalihkan pandangannya saat pemilik benda itu kembali.

ָ࣪ ۰ Amour ‹!

Pukul lima sore, mereka memutuskan untuk pulang. Sekar mengantar teman-temannya itu sampai depan rumah. Bahkan saat mau pulang pun Sadam dan Bumi masih aja ribut.

"Gue pulang sama siapa, Bumi?" tanya Sadam. Ia tidak bisa pulang dengan Shaka karena beda arah.

"Naik angkot sana. Nyusahin lo," celetuk Bumi sambil menyalakan mesin motornya.

"Emang bener temen kalau udah punya bucinan, ngelupain temennya. Bumi contohnya." Sadam melirik Bumi sinis.

Aufa pun bersuara, "Ya udah ayo kita bonceng tiga."

Wajah Sadam sumringah dengan tawaran itu, ia tidak masalah jika harus bonceng tiga dengan Aufa dan Icha. Tapi harus siap risiko kalau di jalan ada polisi dan berujung dirazia.

"Cuma sampai depan aja, nganterin lo nyari angkot," sahut Icha disetujui oleh Aufa dan ditertawai oleh Shaka, Bumi, Naya dan Sekar. Rasanya bahagia sekali membuat Sadam tersiksa.

Sekar melihat vespa abu-abu yang diperkirakan punya Shaka. Ia kepikiran dengan chat di handphone Shaka tadi. Tidak paham motor mana yang tertukar.

Penderitaan Sadam berakhir saat Shaka bilang kalau ingin mengantar Sadam pulang. Tidak masalah kalau harus beda arah.

"Gue sama yang lain pamit ya," ujar Shaka dengan helm di kepalanya.

Sekar mengangguk sebelum berujar, "Shaka ... sorry yang kemarin. Gue gak maksud."

"Santai aja kayak di pantai. Oke, bye, Sekar cantik!" teriak Shaka saat motornya sudah keluar dari pekarangan rumah gadis itu.

ָ࣪ ۰ Amour ‹!

Dear Shaka ...

N E X T ?

Thank you for reading, babe

see yew next chapter 🚀

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 262K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
622K 45.9K 30
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
706K 55.4K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
766K 27.9K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...