NAMANYA ARUM.

By ElAlicia

130K 23.7K 2.9K

Kota Pelabuhan, 1965 Arum adalah seorang gadis pantai yang gesit dan trengginas selayaknya ombak di kala huja... More

INTRO
PROLOG
1. SAWAH PAK TARNO
2. RUMOR
3. DANU
4. MAMA SINTHA
5. PERASAAN TAK BIASA
6. BISKUIT AYAH
7. RUMAH MAS DANU
8. SURAT
9. HARI TERAKHIR
10. KOTA KEPENDUDUKAN
11. SATU RANJANG
12. SENI RAKYAT
13. MALAM BERSAMA
14. PAGI HARI
16. KABAR BAIK
17. KEJELASAN
18. KEBENARAN
19. PAKSAAN HALUS
20. SURAT
21. KOTA PELABUHAN
22. JANGGAL
23. KETAKUTAN
24. MIMPI BURUK
25. DILEMA
26. BOHONG
27. BANTUAN
28. FRUSTRASI
29. SEBELUM MELAUT
30. KESEPAKATAN
TENTANG NAMANYA ARUM

15. KEPERCAYAAN

3.8K 671 153
By ElAlicia

"Ditolak."

Ucapan itu disertai dengan sebundel kertas yang dilemparkan di meja kerja atasan Danu. Danu tetap berdiri dalam diam dengan ketenangannya yang sempurna. Tidak ada ekspresi marah, kecewa atau pun bingung yang terlintas di wajahnya. Ia hanya berdiri diam sembari menatap atasannya tepat di mata, seolah menyampaikan kegigihan hatinya.

"Setelah apa yang saya berikan pada kamu, kamu memilih untuk meninggalkan saya," ucap pria paruh baya itu dengan wajah kecewanya yang jelas. Pria itu bersandar di kursi kerjanya yang mewah sembari menghela nafas kasar. "Apa karena perempuan itu?"

"Tidak," jawab Danu cepat. "Ada hal lain..."

"Apa itu?" potong pria paruh baya tersebut tanpa membiarkan Danu melanjutkan perkataannya. "Apa yang tidak bisa saya berikan pada kamu?"

"Kebebasan," jawab Danu berani dan lugas.

"Lalu, apa kamu pikir itu semua sepadan dengan segala pengorbanan yang saya berikan pada kamu?" balas atasannya dengan sengaja memutar kata agar menempatkan Danu sebagi orang yang paling bersalah di situ. Danu tahu pola ini. Ia terbiasa dan tidak lagi termakan, tetapi seberapa pun Danu berusaha menghindar, ia terus terjebak dan tidak akan pernah keluar. Inikah kutukannya?

"Ingat yang pernah saya lakukan pada kamu. Ketika seluruh keluarga kamu mati, saya yang memberi kamu tempat untuk tinggal, pendidikan dan mengajari kamu menjadi pria yang hebat," jelas pria paruh baya itu dengan nafasnya yang terengah karena marah. Pria itu meraih rokok dan menyalakannya. Ia menyesapnya dengan agresif dan mengeluarkannya lagi dengan perasaan frustrasi. "Kamu bukan apa-apa tanpa saya."

"Saya paham," jawab Danu singkat, padat dan jelas.

"Tidak!" seru pria paruh baya itu dengan nadanya yang jengkel. "Kamu tidak paham dan tidak akan pernah paham. Jika kamu sudah paham, tidak mungkin kamu meminta hal yang sama untuk kedua kalinya."

"Maaf," jawab Danu lagi sembari menundukkan kepalanya untuk menunjukkan formalitasnya.

Tiba-tiba saja semuanya hening dan hanya terdengar suara sesapan rokok yang agresif. Danu masih menunduk sembari menatap bundel kertas pengajuan undur dirinya yang sudah ditolak dua kali. Atasannya menatap jalanan kota Djakarta yang lengang sembari menyesap rokoknya, berusaha memulihkan emosinya.

"Saya menganggap kamu seperti anak sendiri," gumam pria itu memecah keheningan. Kali ini nadanya terdengar lebih lembut dan Danu bisa mendengar nada kecewa di sana. "Saat pertama kali bertemu kamu saat itu, rumahmu terbakar hingga menjadi abu. Kedua orangtua dan adikmu, semuanya menjadi abu. Namun, kamu selamat dan itu adalah rahasia Tuhan. Kamu spesial dan saya yakin kamu akan menjadi sesuatu nantinya. Nyatanya, dugaan saya benar. Kamu adalah yang paling kompeten dari semua orang yang pernah saya temui."

"Seberapa banyak yang harus saya berikan untuk berhenti?" tanya Danu lagi dengan ketenangannya yang sempurna.

Alis atasannya menukik tajam. "Kamu berhutang pada saya seumur hidup. Ingat itu!" serunya jengkel.

"Saya hanya akan memberikan kamu cuti. Satu bulan. Nikmati hidup kamu bersama istri barumu itu. Lalu, kembali lagi ke sini dan saya tidak ingin menerima kertas sialan ini lagi!" tambah pria itu sembari melemparkan kertas itu pada Danu dengan penuh amarah.

"Ingat, Rendra, jika kamu saja punya kuasa sebesar itu, bayangkan kuasa sebesar apa yang saya miliki," lanjut pria paruh baya itu pada Danu dengan ancaman khasnya, lalu berjalan keluar dari situ dengan hentakan langkah agresif.

***

Ayah, Arum rindu. Sampai kapan Arum akan tetap di sini dan berpisah dengan Ayah? Arum rindu ikan tembang Ayah. Arum rindu rumah kita. Ayah di sana baik-baik saja? Apa Ayah makan dengan baik? Makan biskuit dengan baik? Di sini Arum diberikan banyak sekali biskuit, sampai Arum bingung memilihnya. Ayah harus coba biskuit di sini, Ayah pasti akan langsung suka.

Surat Arum pada Ayah memang tidak pernah tertata. Arum selalu menumpahkan semua isi hatinya; semua yang terlintas dalam benaknya dalam surat itu. Apa yang ia tuliskan dalam surat itu adalah perasaannya yang sebenarnya, sehingga seringkali kata-katanya akan berantakan dan beberapa kesalahan ejaan pun tidak akan sempat ia perbaiki.

Mata Arum berair. Ia selalu emosional ketika menulis surat pada Ayah. Arum tidak pernah berpisah sejauh ini dan selama ini dengan Ayah. Ia sangat merindukan pria paruh baya itu; merindukan pikirannya yang nyeleneh; merindukan guyonan yang terkadang tidak lucu dan yang terakhir merindukan ikan tembang Ayah yang keasinan.

Air mata Arum jatuh dan membasahi kertas suratnya hingga beberapa tinta luntur dan mengabur. Arum cepat-cepat menghapus kembali air matanya, lalu melipat surat itu dengan baik dan memasukkannya ke dalam amplop. Arum memeluk surat itu dengan erat sembari menghela nafas panjang. Tragedi ini tidak akan lama. Sebentar lagi, Arum pasti akan bertemu dengan Ayah.

Arum menatap langit kota kependudukan yang mulai berwarna oranye. Udara mulai dingin -jauh lebih dingin daripada kota pelabuhan. Kota Djakarta akan sepi ketika melewati jam enam malam. Orang-orang mulai kembali ke rumah mereka masing-masing dengan tergesa. Sedikit aneh, sebab kota pelabuhan saja bahkan terkadang lebih ramai daripada kota kependudukan, yang mana mirisnya kota kependudukan adalah kota pusat.

Tiba-tiba saja terdengar lantunan musik dari dalam rumah. Musik yang ceria dan riang dengan tempo yang teratur. Arum buru-buru memasukkan surat itu ke dalam saku terusannya dan berjalan ke dalam rumah. Lampu ruang tamu telah dinyalakan, menampilkan Mbok Asri tersenyum lembut pada Arum dengan teh dan biskuit di tangannya.

"Saya dipesankan untuk memutar musik ketika Non sedang sedih," gumam Mbok Asri lagi sembari meletakkan teh dan biskuit itu di meja pendek.

"Arum ndak sedih," gumam Arum sembari menundukkan kepalanya, menyembunyikan matanya yang berair.

Mbok Asri hanya tersenyum lembut, lalu tiba-tiba saja menghentakkan kakinya pelan mengikuti irama lagu. "Hidup masih panjang dan melelahkan, Non. Bagaimana kalau untuk sesaat saja kita melupakan semuanya dan menari?"

Mbok Asri mendekati Arum, lalu meraih kedua tangan gadis belia itu. Dengan penuh semangat dan tawa, Mbok Asri mengajak Arum menari bersamanya mengikuti irama lagu. Awalnya Arum malu dan tidak terbiasa, tetapi lama kelamaan ia mulai menikmati tarian tak beraturan ini. Sesekali Mbok Asri akan memutar Arum dan Arum akan balik memutar Mbok Asri. Lalu keduanya kembali tertawa sembari menari mengikuti tempo lagu 'Rindu Lukisan' kesayangan Arum.

Arum tertawa sembari menggerakkan tubuhnya sesuai dengan instingnya. Ia memundurkan langkahnya, mengikuti tempo, sampai tiba-tiba saja punggungnya menabrak sesuatu yang kuat dan kokoh. Sepasang tangan menggenggam pinggang Arum dengan kuat, menahan agar tubuh kecilnya tidak oleng. Arum refleks mendongak dan matanya langsung bertemu dengan Mas Danu.

Melihat kehadiran Mas Danu, Mbok Asri buru-buru pamit ke dapur, meninggalkan pasangan suami istri itu. Meskipun genggaman Mas Danu sederhana, tetapi Arum merasakan tubuhnya memanas karena malu. Arum buru-buru menegakkan tubuhnya dan berniat segera menjauh dari situ. Namun, belum beberapa langkah, pinggangnya sudah ditarik dan ia kembali masuk ke dalam pelukan Mas Danu. Mas Danu memeluknya dari belakang sembari menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Arum.

"Sebentar saja, Arum. Berikan saya waktu sebentar," bisik Mas Danu di bawah telinga Arum, membuat bulu roma Arum berdiri.

Arum membiarkan Mas Danu memeluk tubuhnya. Tubuh liat pria itu terasa begitu jelas di belakang tubuhnya, membuat Arum mulai membayangkan sesuatu yang aneh dan tak senonoh. Astaga, anak gadis!

"Harum," bisik Mas Danu lagi dengan suaranya yang serak, membuat Arum kembali tersipu.

"M-mau makan ap-"

"Apa kamu akan selalu mempercayai saya, Arum?" potong Mas Danu tiba-tiba, membuat Arum terdiam. "Apa pun yang terjadi?"

Arum menoleh, berusaha mencari mata Mas Danu. Pria itu melepaskan pelukan di pinggang Arum sembari meneggakkan tubuhnya. Tatapan keduanya kembali bertemu dalam keheningan singkat.

"Arum hanya punya Mas Danu saat ini," gumam Arum dengan senyuman getirnya.

"Ya, hanya Mas yang kamu miliki sekarang, Arum," balas Mas Danu dengan nadanya yang tak biasa. "Hanya Mas yang kamu punya."

Danu mengulurkan tangannya, menyentuh anak rambut Arum. "Mas akan menjaga Ayah dan kamu, Arum. Karena itu, sebagai gantinya, jagalah kepercayaan kamu pada Mas, Arum. Hanya itu yang Mas minta dari kamu."

Arum menggenggam tangan Mas Danu dan meremasnya dengan lembut. Senyuman tulus terpancar dari wajah manisnya. "Arum akan selalu kembali pada Mas. Pasti."

TBC....

Selamat menikmati 

Nikmati saja dulu uwu-uwunya bestie (ง ͠° ͟ل͜ ͡°)ง




Continue Reading

You'll Also Like

487K 39.9K 33
Kehidupan Evelyn yang sempurna berubah setelah kematian kedua orang tuanya. Ia harus menjual harta dan kediamannya untuk membayar hutang keluarga. Se...
1.5M 110K 73
(Bakal direvisi kalo authornya gak males.) Selena, seorang perempuan nolep yg pinter, dia ber transmigrasi ke tubuh seorang antagonis di buku novel...
27.8K 5.9K 9
Sebagai gadis malas yang lebih suka duduk bahkan jika disuruh berdiri, Serayu merasa aturan wanita bangsawan tidak cocok untuknya. Karena itu, ketika...
373K 31.2K 155
Title: Death Is the Only Ending for the Villainess BACA INFO!! Novel Terjemahan Indonesia. Hasil translate tidak 100% benar. Korean ยป Indo (90% by M...