Kurang dari Tiga

By bintang_disana

41.2K 1.7K 65

"GUE PACAR LO!" Cherry tersentak kaget mendengar bentakan Raka. "Apa masih kurang perhatian gue sama lo selam... More

1. Setelah sekian lama
2. Penyusup
4. Pacar Raka
5. Teman untuk Nadia
6. Kejujuran yang memalukan
7. Itik dan angsa
8. Strong
9. Demi siapa?
10. Senyum pertama Nadia
11. Rumah Raka
12. Langit dan bumi
13. M
14. Hukuman untuk Cherry
15. SMS

3. Harapan palsu

1.5K 133 7
By bintang_disana

Hai tirta di lautan. Jangan tertawa kan aku ketika aku tersenyum. Kamu tidak tau sekeras apa aku berjuang untuk mendapatkan senyum yang sesungguhnya.

—Nadia Prita Sari—

Happy reading...

*****

"Pak, titip sepeda ya."

Seorang bapak setengah baya mendongak. Beliau menutup koran paginya lalu membenarkan posisi duduk, "Taruh garasi, Nak."

Gadis berkacamata tebal itu menggeleng, "Di sini saja, Pak," katanya menyenderkan sepedanya di pagar rumah.

Menghela napas, bapak berpeci dan bersarung yang dipakai asal tersebut beranjak berdiri, berjalan lebih dekat menghampiri siswi SMA yang kini tertunduk mengusap sepedanya.

"Garasi Bapak masih luas. Kalau di sini sepedanya kepanasan. Nanti kalau terjadi apa-apa sama ban kamu, kamu kan jadi repot," ucap pria paruh baya itu.

"Enggak kok, Pak. Saya seminggu titip di sini sepeda tetap aman."

"Ya jelas aman. Orang Bapak masukin ke garasi."

Nadia tersenyum. Itu memang faktanya. Pagi hari dia menaruh sepeda di pinggir pagar, waktu pulang sekolah sepeda itu sudah ada di dalam garasi.

Bukannya apa-apa. Dia hanya merasa tidak enak dengan sang pemilik rumah. Parkir gratis tapi mendapatkan fasilitas baik? Tentu dia merasa malu.

"Saya pamit ke sekolah dulu, Pak," ucap Nadia.

Tangan pria itu melambai, "Nak-nak, sebentar."

Nadia kembali menoleh, mengurungkan niat untuk melenggang pergi.

"Sesekali coba kamu lapor sama guru. Anak-anak yang suka usil bukan cuman harus dihindari, tapi juga dikasih efek jera." Pria paruh baya itu melepas pecinya, "Bapak suka kasihan kalau kamu pulang sekolah selalu mampir ke bengkel sebelah mulu. Ban copot lah, keranjang penyok lah, dudukan sadel ilang lah."

Gadis itu tersenyum tipis, "Iya, Pak. Kapan-kapan saya lapor sama guru."

"Kapannya itu kapan?"

Nadia menyembunyikan bibirnya ke dalam, "Saya berangkat dulu ya, Pak."

Pria paruh baya itu menghela napas, "Ya sudah. Belajar yang bener, dan jangan lupa sama yang Bapak bilang tadi, lapor sama guru."

"Baik, Pak. Terima kasih sudah mau menampung sepeda saya," katanya yang dibalas anggukan oleh bapak tersebut.

Nadia mengeratkan pegangannya pada tali tas miliknya. Dia berjalan sedikit menunduk menghindari tatapan orang-orang berseragam sama seperti dirinya.

Selama seminggu terakhir gadis cupu itu memang suka memarkirkan sepedanya di rumah warga yang dekat dengan sekolahan. Sebenarnya di sekolahan juga ada parkiran, komplit malah. Ada parkiran khusus mobil, parkiran motor, dan parkiran sepeda. Kondisi sangat aman, tapi tidak untuk sepedanya.

Kendaraan murahannya itu sering sekali dibuat rusak. Hanya punya nya, sedangkan yang lain tidak. Sangat repot saat pulang sekolah harus mencari dan mengumpulkan kerangka-kerangka sepeda. Dia juga harus merogoh kantong lebih untuk memperbaikinya di bengkel.

Nadia berhenti di depan gerbang sekolah yang terbuka. Kepalanya mendongak menatap gapura yang berdiri kokoh.

Dia menelan ludah, pagi yang seharusnya cerah berubah menjadi seperti mendung dengan petir yang menyambar-nyambar kala dirinya menginjakkan kaki di sana.

Tiiiiin....!

Suara klakson berbunyi tepat di belakang Nadia, membuat gadis itu terperanjat kaget karenanya.

"Minggir, goblok!"

Nadia meminggirkan tubuhnya tanpa banyak bicara. Cowok dengan motor matic itu menatapnya tajam, lalu menendang kaki Nadia dengan sepatunya.

"Aw..." Nadia meringis menahan sakit di kakinya. Bahkan kaos kaki putihnya sampai kotor karena sepatu tersebut.

"Dikira sekolahan milik nenek moyang lo!"

Si gadis cupu diam tak menjawab. Dia menunduk sambil menautkan jemarinya satu sama lain tak mau menatap cowok di depannya yang mungkin bisa tambah emosi setelah melihat wajahnya nanti.

"Ck! Dasar cewek cupu aneh!"

Merasa tak ada faedahnya berbicara dengan Nadia cowok itu memilih melenggang pergi menuju parkiran khusus motor.

Lagian berlama-lama dengan gadis itu bisa membuat namanya tercemar jelek nanti.

Nadia kembali mendongak saat deru motor terdengar. Matanya menatap punggung cowok itu yang berangsur menjauh. Dia menghela napas. Ini masih di depan gerbang, belum memasuki kawasan sekolah.

Kakinya melangkah lagi, memasuki area sekolahan sebelum kondisi semakin ramai dan banyak orang yang membully nya nanti.

"Rara! Kembaran lo lewat tuh."

"Anjir! Kembaran lo kali."

"Adeknya Rahel."

"Jijik banget gue kalau punya adek modelan gitu. Udah gue buang sejak baru lahir kali."

"Pacarnya Rio."

"Gue tampol lo ya!"

Suara-suara macam itu sudah sering Nadia dengar. Karena saking seringnya, hatinya jadi kebal. Air mata pun sampai kering, sangat lelah memilah-milah untuk menganggap perkataan mereka hanya guyonan atau serius.

"Hai." Seorang cewek berdiri menghalangi jalannya.

Nadia tersenyum tipis, "I—iya."

Cewek berseragam ketat itu mengulum senyum, "Bareng yuk!"

Nadia mengangguk kecil. Ada perasaan ragu di hatinya, namun langsung dirinya tepis. Siapa tahu cewek di sebelahnya itu memang berniat menjadi temannya.

Bukankah itu hal yang sedari dulu dia idamkan? Nadia belum pernah merasakan memiliki teman. Bahkan teman-teman sekelasnya saja tak sudi menganggapnya sebagai teman.

"Helen! Lo jalan sama siapa tuh?!" teriak seseorang yang berjarak tak jauh dari Helen.

"Gue? Gue lagi jalan sama my bestie!" seru Helen seolah sengaja agar semua orang dengar.

"Anjir lah! My bestie dong." Nadia mendengar suara tawa yang dilontarkan bukan dari satu orang, tapi lebih.

Helen tampak berbisik pada teman-temannya. Suaranya begitu kecil sampai Nadia yang ada di sebelahnya tak begitu mendengar.

"Gak usah didengar. Mereka memang suka gitu," kata Helen pada Nadia.

"Iya," jawab Nadia yang justru membuat Helen mati-matian menahan tawa.

"Eh ngomong-ngomong seragam kita serupa, tapi gak sama ya."

"Maksudnya?"

"Iya, gak sama. Coba deh bandingin." Helen mendekatkan baju atasannya dengan baju milik Nadia, "Tuh, beda. Punya gue putih, punya lo kusam. Kayaknya punya gue keseringan dicuci kali ya, jadi gak bisa sama kayak punya lo."

Nadia tersenyum, "Punya ku juga sering dicuci kok."

"Masa sih? Air di rumah gue sama di rumah lo beda mungkin ya. Lebih bersih di rumah gue."

Nadia terdiam. Dia sudah mulai sadar sedang dipermainkan. Cewek di sebelahnya itu pura-pura baik padanya, ada niat terselubung untuk menjatuhkannya.

"Kamu duluan aja. Aku ada urusan di kantor guru," kata Nadia. Itu hanya alasan agar Helen tak lagi mengikutinya.

"Yah. Ya udah deh. Kapan-kapan ngobrol bareng lagi ya."

"Iya." Nadia benar-benar memasuki kantor guru.

Dia dapat mendengar suara gelak tawa yang membahana dari balik tembok.

Senyum getir itu tercetak. Sepertinya Nadia terlalu beharap bisa mendapatkan teman. Dia menghela napas lalu membuangnya, mencoba menyadarkan diri agar tidak berharap lebih pada siapa pun.

"Raka bawa cewek, anjir!"

"Raka?" Refleks Nadia mengucapkan nama tersebut.

___________________

Bersambung....






Continue Reading

You'll Also Like

Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 69.1K 34
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
2.4M 113K 24
Madava Fanegar itu pria sakit jiwa. Hidupnya berjalan tanpa akal sehat dan perasaan manusiawi. Madava Fanegar itu seorang psikopat keji. Namanya dike...
860K 6.1K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
2.1M 97.5K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...