Kisah Nak Dare dan Pengayuh S...

By Sari_Atsumi

67 22 4

Cerita berlatar belakang kota Pontianak di tahun 1940an. Tentang kesaksian sejarah kota yang dibom Jepang di... More

1.| Dari Mata Turun Ke Hati
2.| Pelangi Sesudah Hujan
3.| Segala Kebetulan Ini
4.| Sahabat
5.| Aku Cemburu
6.| Proklamasi
7.| Cintamu Kusimpan Rapi Dalam Hatiku
8.| Lalu Bagaimana Kalau Aku Rindu?
9.| Aku Sayap Cintamu
11.| 19 Desember 1941
12. | Kala Janji Harus Ditepati
13. |Kita Berdua
14.| Ikhlaslah
15. | Romansa Kapuas
16. |Aksara
17. |The story of Nak Dare and The Boat Paddler --Till the end of time
18. | Mendung Tak Berarti Hujan

10.| Bukan Digantung Tak Bertali

2 1 2
By Sari_Atsumi

Part 1
******

Pontianak, November 1941

Malam ini Hamid datang mengunjungi aku di rumah kosku. Bu Rahmah yang membukakan pintu dan menerima secetak kue bingke berendam yang dibawa Hamid.

Pandai sekali ia mengambil hati orang tua. Aku tersenyum. Kami dibiarkan duduk berdua di teras.  Langit cerah bertatahkan bintang. Tak ada bulan, tapi suasananya menyenangkan.

Apakah karena ia ada di sini? Duduk di sebelahku?

"Ingin sekali tinggal dan tidak jadi ke Singapura. Atau kau ikut saja?" Tanya Hamid. Sungguh suatu tawaran konyol. Aku terkikik geli.

"Lalu yg sekolah menggantikan aku siapa? Bu Rahmah? Atau Aziz?.." Tawa kami berderai bersamaan.

" Aku juga tak lama pergi. Sekedar mencari peluang di sana. Kantor dagang negara-negara Eropa banyak buka di Singapura. Tapi aku benar-benar mengincar perdagangan kain." Ujar Hamid.

"Kanda mau buka toko kain?" tanyaku.

"Iya, kan tidak mungkin selamanya mengayuh sampan. Diri ini tentu menua, dan akan banyak keterbatasan.."

"Tapi ayahmu kan memiliki toko rempah. Tak dilanjutkan?" Tanyaku lagi.

"Bapak memang sudah seharusnya istirahat, tapi pribadi beliau memang suka bekerja..mungkin inilah hiburan agar tetap ada yang dikerjakan setiap harinya..agar tetap sehat."

"Toko rempah itu bisa aku lanjutkan. Tapi aku rasa adikku si Ros yang lebih handal mengurusnya.. Aku akan memulai toko kainku sendiri. Insyaallah ada kemudahan.."

Aku manggut-manggut. Lelaki yang sudah merencanakan masa depannya. Jangan-jangan ia sudah berencana ingin punya anak berapa. Pikiran iseng muncul. Coba kutanyakan.

"Kanda, nanti ingin punya anak berapa?"

Ia menoleh..heran dengan pertanyaanku. Tapi begitu ia mendapati senyum tersungging di bibirku, ia tergelak.

"Sepuluh!" serunya. Tawa kami berderai lagi.

"Soal anak berapa, itu bukan kuasaku. Itu ketentuan Allah. Kita cuma manusia ciptaan-Nya. Diberi berapapun, kita usahakan sehat, pintar, sholeh dan sholehah," begitu katanya.

Ngeri juga dapat sepuluh anak. Kalaupun rezeki kami mendapat sepuluh anak, aku setuju kata-katanya barusan.

"Dinda sayang, kau jangan sering-sering bicara dengan pak guru Belandamu itu ya.." Hamid mengeluarkan maklumat larangan pertama.

Pak guru Belanda itu bernama Eddie. Ia mengajar seni lukis di sekolah kami yang semua murid dan  gurunya wanita. Ia satu-satunya pria. Ia berusia sekitar 25 tahun. Ia tinggal di komplek perumahan orang-orang kaya Belanda di dekat Tanah Seribu. Orangnya ramah dan berpenampilan menarik.

Sering ia bercakap-cakap denganku dalam bahasa Belanda. Aku senang sekali bisa praktek percakapan begitu. Rupanya Hamid memperhatikan cerita-ceritaku tentang Eddie.

Larangan..apakah artinya Hamid cemburu ?

"Aku ingin segera melamarmu, jadi kau jangan berdekatan dengannya ya.  Jangan sampai ternyata ia suka padamu, Dinda." katanya.

Aku tersenyum simpul.

"Iya..aku usahakan."

"Ingin sekali aku menyentuhmu, tapi, belum boleh" ujar Hamid.

"Ya tidak boleh" sahutku. Aku tersenyum lagi. Padahal jantung ini berdegup seperti rebana yang ditepuk.

"Kanda, guruku bilang, setiap sentuhan laki-laki dan perempuan yang berpaut hati, itu tidak pernah memuaskan. Selalu akan meminta lebih. Lebih baik menikah, akan terpuaskan satu sama lain.."  Jelasku.

Hamid tersenyum jenaka,"Ah, kau ini Dinda, belum pernah merasakan tapi bisa ceramah, bagaimana kalau kau mencoba dulu."  Godanya.

Cubitan mendarat di lengannya.

"Cepatlah lamar aku..." bisikku.

"Aah...baru kenal udah  minta dilamar.." Godanya, lagi.

Cubitan mendarat lagi sebagai balasannya.

***

Kisah Nak Dare dan Pengayuh Sampan--Bukan Digantung Tak Bertali---part 2
***************************

Pontianak, November 1941

Rabu pagi yang cerah, secerah wajah teman-teman sekelas yang bergegas di lorong menuju pintu keluar. Ada apa gerangan? Aku jadi penasaran dan ikut arus para gadis menuju keluar.

Olala... Ternyata meneer Edward yang kami sapa dengan Eddie-guru seni lukis kami-baru saja datang dan spesialnya hari ini ia membawa buket mawar berwarna merah darah yang besar, lebih besar dari buket bunga para pengantin bergaun putih. Para gadis mendekatinya. Mereka ingin menyentuh buket itu. Maklum, buket mawar yang besar dan cantik adalah barang langka. Eddie tersenyum dalam balutan jas warna abu-abu.

Ia tampak bagaikan pengantin pria yang paling ganteng di buku dongeng anak-anak.

"Ani! Kemarilah!" panggil Eddie saat matanya menangkap kehadiranku yang berdiri di puncak anak tangga. Aku turun dan berjalan menghampirinya, para gadis pun merenggangkan jalan. Bahkan ada yang bersuit mengolokku dan Eddie seolah kami adalah pasangan.

Eddie menyerahkan buket padaku, "Tolong ini bawa ke kelas, masukkan dalam jambangan kaca bening yang besar itu ya. Saya mau ketemu mevrou dulu, nanti kita melukis ini." demikian perintahnya.

Buket cantik itu kudekap dalam pelukan. Hmmm. Wangi. Gadis-gadis yang lain pada mendekat. Sekelebat aku menjatuhkan pandangan ke kiri, agak jauh di sana, di dermaga, sepertinya kulihat sosok Hamid berdiri menatap ke sini.

Aku berhenti berjalan, ya memang itu dia. Tapi mengapa buru-buru turun dan pergi dengan sampannya? Apa tidak salah kulihat mimik  marah di wajahnya?

Dengan hati galau aku meneruskan langkah ke dalam gedung sekolah. Mungkin tadi Hamid melihat Eddie memberiku buket bunga dan mungkin ia marah karena dikiranya aku melanggar larangannya. Ah, pelik!

Kuputuskan melaksanakan perintah Eddie  dulu, belajar dulu, pulang sekolah nanti baru aku mencarinya. Pelajaran melukis berlangsung muram untukku. Tidak seperti teman-teman yang semangat melukis buket itu, aku melayangkan pikiran pada Hamid.

Saat istirahat makan siang, Hamid tak ada, walau aku sudah menunggu di dermaga selama 10 menit. Aku hanya bertemu Aziz yang mengantar penumpang ke dermaga ini.

"Kitak ngape? Hamid ade di warong kopi seberang tu. Muke masam jak dari pagi.." demikian lapornya.

"Ndak ade ape-ape bang. Mungkin die agik ade masalah yang laen," sahutku.

"Nanti balek sekolah saye mo ketemu die," sambungku.

"Baek kau cepat-cepat malam  ini kan die berangkat ke Singapura."
Aku terperanjat.

Kok bisa aku lupa? Ah, tugas-tugas sekolah sangat menyita waktu dan pikiranku.

Sepulang sekolah aku segera menumpang sampan dan menyeberang, menuju rumahnya.

Ibunya yang membukakan pintu, dan dengan ramah mempersilahkan aku duduk di ruang tamu. Katanya Hamid sedang mandi.
Lama juga aku menunggu sendirian, sampai Hamid muncul dan duduk di seberangku. Wajahnya dingin.

"Kanda, mengapa tadi kanda pergi begitu saja?" tanyaku.

"Kau kan sudah bisa menebak?" Hamid menjawab dengan balik tanya.

"Aku patuhi larangan kanda untuk tidak akrab dengan meneer Edward, dan kami memang tidak akrab, karena aku murid, dia guru lukis"

"Tapi tadi pagi? Bunga itu?" cecarnya.

"Kanda, bunga itu bahan lukisan kami hari ini."  aku merogoh tas dan mengeluarkan buku sketsaku.

Aku membuka sketsa buket tadi dan menunjukkannya pada Hamid.

Kekakuan di wajahnya perlahan mencair.
"Tapi mengapa tadi ramai sekali dan mengapa ia memanggilmu, memberikan bunga padamu?"

"Ya tentulah ramai, kanda. Meneer Edward itu idola teman-teman sekelas, apalagi membawa barang langka seperti buket bunga mawar tadi, cantik dan pasti mahal harganya. Semua jadi penasaran kan. Aku dipanggil karena aku kan ketua kelas. Aku cuma disuruh membawa bunga itu ke kelas karena meneer Edward mau bertemu mevrou, gitu kanda"

Keheningan beberapa saat merajai waktu.

"Aku berangkat malam ini. Tadi itu aku mau memberitahumu. Tapi.."
"Sudahlah kanda...ada yang bisa kubantu untuk persiapan berangkat?"

"Sudah siap semua..aku cuma membawa satu tas. Biar ringkas kalau bergerak."

Demikianlah siang, sore, dan malam itu aku di rumah Hamid, berbaur dengan keluarganya. Sampai akhirnya perpisahan tiba di pelabuhan Pontianak. Kapal besar itu bersandar, mulai disesaki penumpang. Hamid duduk di sebelahku. Ia merapatkan lengannya pada lenganku. Hingga kurasakan hangat tubuhnya. Kami tak banyak bicara. Leher ini rasa tercekat, susah untuk bicara, karena bila dipaksa, yang keluar adalah tangisan.

Hingga saatnya tiba. Hamid beranjak, menyalami ayah ibunya. Menepuk puncak kepala adik-adiknya. Berpelukan dengan sahabat-sahabatnya para pengayuh sampan. Kemudian langkahnya terhenti di hadapanku.

Aku tahu hampir semua orang memalingkan muka, pura-pura melihat ke arah lain. Dalam temaram lampu tembak pelabuhan. Kulihat matanya, wajahnya, ada kesedihan juga ada keteguhan hati.

"Dinda, aku pamit. Aku akan kembali, untukmu.."

"Lakukanlah yang terbaik di sana. Jangan sia-siakan masa. Aku akan menunggu."

Ah, tenggorokan mengeluarkan suara parau. Sedikit lagi pasti airmataku menetes.
Hamid meraih jemariku, meremasnya, lalu melepasnya. Ia tersenyum. Kemudian  ia melangkah menuju kapal.

Airmata ini berlinang dalam diam mengiringi langkahnya menaiki tangga kapal, lambaiannya, dan kenangan-kenangan bersamanya berkelebatan di benakku. Aku akan baik-baik saja. Semoga Allah menjagamu, dan membawamu pulang untukku.

Pontianak, 9 Maret 2018
00.22

Digantung tak bertali adalah ungkapan melayu yang berarti suatu hubungan yang tanpa ada kepastian. Judul episode ini adalah Bukan Digantung Tak Bertali. Ini berarti ada kepastian.

Continue Reading

You'll Also Like

533K 33.6K 122
A girl named Drishti falls into the era of Mahabharata and everything in her life goes upside down. Read to find out about Drishti's adventures in t...
10.3M 773K 88
Marriage had always been my dream but not to a man about whom I know nothing. The moment my father fixed an alliance of me to a Prince without even t...
418K 16.9K 122
It all started when Princess Catheline married the dangerously attractive and recently crowned King of Anthreal, Xander. After their marriage, he ne...
90.6M 2.9M 134
He was so close, his breath hit my lips. His eyes darted from my eyes to my lips. I stared intently, awaiting his next move. His lips fell near my ea...