The Reason Why I Live

By winaalda

132 51 49

Bagaimana jadinya jika takdir seseorang bisa ditentukan oleh manusia? Xavier adalah putra mahkota kerajaan Cl... More

Prakata
Bab 1: Terlempar
Bab 2: Tertangkap
Bab 3: Jadi Babu
Bab 4: Menghilang
Bab 5: Muncul Lagi
Bab 6: Dari Mana Aku Berasal?
Bab 7: Dunia Paralel
Bab 8: Hidup Ini Membingungkan
Bab 9: Dia Kenapa?
Bab 10: Perasaan yang Menghilang
Bab 11: Teman Baru
Bab 12: Bertemu Kembaran
Bab 13: Kamu Adalah Aku, Aku Adalah Kamu
Bab 14: Sebuah Buku
Bab 15: Dunia Xavier
Bab 16: Tokoh Fiksi
Bab 17: Penyamaran
Bab 18: Sekolah
Bab 19: Gosip
Bab 20: Luka yang Tertinggal
Bab 21: Linglung
Bab 22: Tempat yang Nyaman untuk Bercerita
Bab 24: Dua Versi
Bab 25: Jika Jatuh Cinta adalah Jalan Keluar
Bab 26: Manusia itu Aneh
Bab 27: Jalan-jalan
Bab 28: Misi Penyelamatan Reynand
Bab 29: Jangan Jadi Orang Baik
Bab 30: Mama
Bab 31: Kontak Batin
Bab 32: Beri Aku Waktu
Bab 33: Jatuh Cinta
Bab 34: Pamitan
Bab 35: Pada Akhirnya Semua Orang Pergi
Bab 36: Mengantarmu Pergi
Bab 37: Akhir Bahagia (Bagian 1)
Bab 38: Akhir Bahagia (Bagian 2)

Bab 23: Kulit Bedug

1 0 0
By winaalda

Xavier berdiri di balkon memperhatikan Reynand yang memacu kendaraannya keluar dari parkiran bakery dan membelah jalanan kota. Napasnya menyembur begitu saja. Lega rasanya dia bisa mengatur ekspresi wajah sesuka hati lagi. Setelah tersiksa semalaman mendengarkan obrolan konyol Dean dan Reynand, dia hanya sembunyi di bawah selimut untuk menahan tawa, sementara dua anak itu terbahak seolah tanpa henti menertawakan apa saja. Tapi itu masih tidak seberapa dibanding kalau Ayah Bima tiba-tiba menyebut nama Xavier, dan Reynand menyebut nama Aiden. Mereka berdua terlalu larut dalam obolan yang tidak ada sangkut pautnya dengan Xavier maupun Aiden.

Xavier kembali masuk ke rumah dan pergi ke dapur. Reynand buru-buru pergi karena harus pulang dulu untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Dia menolak ajakan Ayah Bima untuk sarapan dulu. Padahal, pria itu sudah semangat sekali menyiapkan sarapan pagi ini.

"Ayah, biar saya saja," ujar Xavier ketika menghampiri Ayah Bima di depan counter.

"Tidak perlu. Kamu siap-siap aja berangkat sekolah. Nanti kesiangan."

"Apa?"

Xavier terkaget sendiri disuruh siap-siap sekolah, sedangkan Ayah Bima menoleh padanya dengan tatapan bingung.

"Kamu, kan, sudah mulai sekolah lagi," katanya. Ternyata Ayah Bima sadar kalau Xavier sempat pergi ke sekolah, padahal tidak bilang-bilang padanya.

"O-oh ... i-iya ...." Xavier menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Luna, kamu juga siap-siap. Ini biar Ayah yang selesaikan."

"Oke."

Luna bergegas pergi dengan riang, sedangkan Xavier pergi ke kamar Dean dengan perasaan bingung. Dean sedang memakai seragamnya ketika Xavier masuk. Rambutnya acak-acakan belum disisir. Namun, dia lebih peduli untuk merapikan tempat tidur dulu daripada rambutnya.

Xavier duduk di kursi belajar Dean dan berujar, "Ayah mengira aku benar-benar kembaran Aiden dan sekarang sudah mulai masuk sekolah lagi."

"Terus?"

"Aku harus bagaimana? Kalau tidak berangkat, dia akan bertanya-tanya."

"Ya udah, berangkat aja."

Xavier menghela napas mendengar Dean yang bicara enteng sekali. "Masalahnya, kalau aku pergi, aku pergi ke mana? Kalau ke sekolah dan di sana tiba-tiba ada dua Aiden, bisa-bisa heboh."

Dean menegakkan tubuh dan bola matanya bergerak-gerak seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kamu gantiin Aiden lagi aja."

"Tidak mau. Bisa-bisa syaraf wajahku mati semua kalau terus-terusan jadi Aiden."

Dean berdecih dan pergi mencari sisir sambil mengomel, "Kalau gitu ngapain tanya aku?"

Xavier merengut sebentar sebelum akhirnya penasaran akan sesuatu. "Tapi ngomong-ngomong, apa Aiden sudah sembuh?"

"Mana aku tahu?"

Xavier beranjak menuju nakas dan mengambil handphone Dean. Dia menyodorkan benda itu pada Dean dan berkata, "Panggil dia sekarang."

Dean menoleh sambil menghela napas. Diraihnya handphone itu dan dia mengotak-atiknya sebentar. Setelah bunyi tut-tut sebanyak tiga kali, terdengar suara Aiden di seberang sana.

"Halo, Dean." Suaranya terdengar sedikit lemah.

"Kamu udah sembuh? Hari ini mau sekolah?"

"Iya, nih. Lagi siap-siap."

Dean menoleh pada Xavier sebelum kembali berbicara. "Kalau kamu belum sehat betul, biar Xavier aja yang berangkat."

Xavier memelotot dan berniat menolak. Namun, perkataan Aiden keburu menginterupsinya.

"Ide bagus. Kebetulan ada sesuatu yang harus aku kerjakan," katanya.

"Oke. Nanti pulang sekolah kami mampir lagi."

Dean memutus sambungan dan menaruh handphone-nya di saku celana. Xavier langsung melayangkan protes padanya.

"Kenapa kamu bilang aku mau gantikan dia lagi?" ujar Xavier sebal.

"Katanya kamu mau sekolah."

"Aku tidak bilang seperti itu."

"Terus maunya apa, sih? Gak jelas banget jadi orang! Udah. Kalau mau berangkat ya oke, enggak juga terserah."

Dean kemudian keluar dari kamar meninggalkan Xavier yang hanya bisa tertunduk lesu. Dia kemudian menoleh ke tempat gantungan baju di sudut ruangan. Di sanalah seragamnya menggantung. Setelah membuang napas kasar, Xavier malas-malasan mengambil seragamnya. Namun ketika hendak mengenakannya, Xavier tiba-tiba ingat sesuatu. Dia belum mandi. Jurus mandi bebeknya dia gunakan lagi sebelum berganti seragam dan keluar untuk ikut sarapan.

Nasi goreng buatan Ayah Bima sebanyak satu piring penuh dihabiskan Xavier. Dia harus punya tenaga yang banyak untuk akting menjadi Aiden. Selesai sarapan, Luna memesan taksi online lagi sebagai kendaraan untuk berangkat sekolah. Enak sekali kehidupan anak sekolah di dunia ini, pikir Xavier.

"Semua siswa di dunia ini naik taksi online, ya, kalau ke sekolah?" celetuk Xavier ketika mereka bertiga menunggu taksi yang belum datang di pinggir jalan depan bakery.

"Enggak semuanya, kok. Ada yang naik motor kayak Reynand. Ada yang naik angkot seperti itu." Dean menunjuk sebuah mobil yang lewat di hadapan mereka.

"Yang itu, kan, bentuknya sama saja dengan yang kita naiki." Mata Xavier mengikuti mobil yang makin menjauh.

"Tapi cara naiknya beda. Kalau angkot, harus nunggu dulu di pinggir jalan. Gak bisa dipanggil. Terus ada jurusannya juga, gak bisa sembarangan naik. Nanti kamu bisa tersesat."

Xavier termenung sebentar. "Kalau taksi online, tujuannya bisa terserah kita?"

Dean mengangguk yakin. "Iya."

"Kalau begitu, aku bisa pesan taksi online untuk pulang ke Cloudpolis?"

Dean dan Luna tiba-tiba kompak menoleh pada Xavier dengan ekspresi heran.

"Cloudpolis ada di dalam buku. Gimana cara ke sananya?" Dean berujar dengan wajah kesal. Xavier merengut dibuatnya.

"Aku, kan, bisa datang ke dunia ini. Harusnya aku bisa pulang ke duniaku juga, kan?"

"Iya, tapi gak pakai taksi online!" Wajah Dean tampak makin kesal. Dia bersedekap dan menatap lurus ke jalan yang dipenuhi kendaraan berlalu-lalang.

Setelah beberapa saat, taksi yang dipesan Luna berhenti di depan mereka. Mobil berwarna hitam itu segera meluncur menuju sekolah. Tidak ada percakapan apa pun selama perjalanan. Hanya terdengar senandung lagu yang Xavier tidak tahu asalnya dari mana. Mungkin mobil ini bisa memutar lagu juga, pikirnya. Setelah hampir ketiduran, barulah mobil itu menepi di depan gerbang sekolah.

Xavier malas-malasan mengikuti Dean dan Luna yang masuk ke area sekolah duluan. Tiba-tiba, dia diadang beberapa orang gadis sampai membuatnya nyaris terperenyak. Sebisa mungkin Xavier menyembunyikan wajah terkejutnya. Dean dan Luna tidak menyadari hal itu, sehingga Xavier tidak bisa meminta tolong. Gadis-gadis itu menarik jasnya dan merengek meminta nomor WA. Xavier plonga-plongo tidak paham.

"N-nomor apa?" Xavier menatap gadis-gadis itu kebingungan.

"Nomor WA!" tegas seorang gadis. "Ayo, dong, kasih. Jangan pelit!"

"M-maaf, aku tidak punya."

Xavier melepaskan diri dan memacu kakinya untuk berlari. Di belakang, gadis-gadis itu malah mengejar. Xavier menoleh sesekali dengan napas terengah. Tiba-tiba dia teringat dengan gadis yang peluk-peluk Reynand sembarangan.

"Sebenarnya tempat apa ini? Kenapa banyak perempuan aneh?" omel Xavier sambil terus berlari.

Akhirnya Xavier bisa menemukan pintu kelas tanpa tersesat. Namun belum juga dia menstabilkan deru napas, Felly sudah menghambur ke arahnya sampai membuat Xavier terkejut. Makin tidak habis pikir saja dia dengan perempuan-perempuan ini.

"Aiden, kamu masuk akun lambe sekolah!" pekik Felly sembari menunjukkan handphone-nya.

Xavier membelalak karena wajahnya terpampang di layar. Posisinya ketika dia berdiri di pinggir lapangan dan berhasil memasukkan bola ke dalam keranjang.

"K-kenapa wajahku bisa masuk ke situ?" Telunjuk Xavier mengacung ke handphone Felly.

"Kamu udah bikin gempar cewek-cewek!" ujar Felly berapi-api. "Kamu didukung buat masuk tim basket gantiin Reynand!"

Xavier tidak bisa menahan mulutnya agar tidak menganga. Kenapa situasinya jadi begini? Masa dia masuk tim basket setelah Reynand didepak? Bagaimanapun, Reynand dan Aiden adalah teman. Xavier harus berhati-hati agar tidak menimbulkan perselisihan di antara mereka berdua.

"Masuk tim basket apanya? Tidak mau!" kata Xavier sembari menyingkirkan Felly yang menghalangi jalannya. Dia berjalan menuju tempat duduknya.

"Wah, sekarang giliran kamu yang masuk akun lambe?" ujar Dean setelah Xavier duduk di kursinya.

Belum juga Xavier menjawab, Felly sudah ada di hadapannya lagi. Dia kembali meyakinkan Xavier untuk masuk tim basket.

"Ini kesempatan kamu buat memperbaiki citra diri," katanya.

Xavier termangu bingung. "Memperbaiki citra diri?"

"Duh, Aiden! Selama ini, kan, banyak gosip miring tentang kamu. Tapi aku yakin, kalau kamu sebenarnya gak kayak gitu. Iya, kan? Masa wajah seganteng ini disebut monster?" Felly bersedekap sambil cemberut.

Xavier mendengkus. "Lalu apa bedanya kalau aku masuk tim basket? Paling julukannya berubah jadi monster yang bermain basket."

Felly menggaruk pelipisnya dan mengamati wajah Xavier baik-baik. "Emang kamu beneran monster, ya? Kamu punya kelainan psikologis?"

Mulut Xavier terbuka dan menutup. Dia bingung harus menjawab apa. Belum juga dia bersuara, Felly sudah menginterupsi.

"Kalaupun punya kelainan psikologis, kamu tetap bukan monster, kan? Kamu bukan psikopat, kan? Memangnya kamu pernah bunuh orang? Kamu cuma punya masalah dengan ekspresi wajah. Iya, kan?"

Xavier menelan ludah mendengar Felly yang terus mencerocos layaknya keran bocor. Dean sampai menutup kedua lubang kupingnya dengan telunjuk. Sepertinya suara cempreng dan nyaring gadis ini sudah membuat kotoran telinganya hampir berlarian keluar. Sementara itu, perhatian anak-anak lain terpusat pada Xavier. Perkataan Felly telah berhasil membuat suasana kelas menjadi senyap.

"Aku memang bukan psikopat," ujar Xavier begitu saja.

Semua orang masih terdiam, sampai salah satu di antara mereka ada yang bertanya, "Terus apa yang terjadi dengan wajah kamu?"

"Wajahku ...." Ucapan Xavier menggantung sebentar. " ... cuma kaku."

Orang-orang kini menatapnya heran.

"Kalian tahu kulit bedug? Seperti itulah wajahku," kata Xavier lagi.

Sontak saja hening di dalam kelas itu berubah riuh dengan gelak tawa. Xavier sendiri bingung apa yang mereka tertawakan. Tatapannya kini berubah tajam ke arah Luna yang juga sedang tertawa. Xavier merasa sudah dikerjai oleh gadis itu. Sedangkan dia sendiri tidak tahu bentuk kulit bedug itu seperti apa sampai membuat orang-orang menertawakannya.

"Kok bisa, sih, dia ngomong kayak gitu dengan ekspresi lempeng?" celetuk seorang anak lelaki sambil terbahak memegang perutnya.

"Mukanya beneran kayak kulit bedug, kali," timpal yang lain.

Xavier hanya bisa menghela napas dan mengatur ekspresinya setenang mungkin. Padahal, dia ingin memelotot pada mereka sambil misuh-misuh. Seumur-umur belum pernah ada yang berani menertawakan sang pewaris takhta kerajaan Cloudpolis, tetapi hari ini adalah kesialannya. Hidupnya benar-benar sudah jungkir balik. Namun berkat hal itu, anak-anak jadi lebih berani bicara dengannya. Lebih tepatnya dengan Aiden—di mata mereka.

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 105K 56
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
2.4M 131K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.1M 289K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
2.5M 148K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...