BERTEDUH

De amellidong

61K 10.5K 1K

Perahu penuh lubang itu pada akhirnya berhasil bersauh. Sepasang jiwa yang penuh dengan luka itu pada akhirny... Mais

Berteduh
1. CUKUP SEPERTI INI
2. JANGAN TERULANG LAGI
3. HANYA AKU
4. APA LAGI INI?
5. AKU AKAN TETAP DI SINI
6. GEMURUH YANG DATANG
7. AKU DIAM TAK BICARA
8. SESUATU YANG KAU SEMBUNYIKAN
9. MERASA BERSALAH
10. KAU YANG KUBUTUHKAN
11. KITA PERNAH DI SINI SEBELUMNYA
12. PANTASKAH KITA?
14. KITA TAK KEMANA-MANA
15. KEPUTUSASAAN YANG NYATA
16. MASA DEPAN YANG FANA
17. BADAI YANG MENERJANG
18. DI SAMPINGKU, SELAMANYA
19. MENGUATKAN GENGGAMAN
20. UNTUK BISA BERSAMA
21. BERTEDUH

13. KHAYALAN SAJA?

2.1K 441 60
De amellidong

"Anjing! Bangsat!"

Tombak hanya terengah memperhatikan Bram yang baru saja mengumpat seraya memukul dinding sebuah bangunan. Saat ini keduanya berada di sebuah gang sempit yang gelap setelah berlari cukup jauh dari diskotik.

"Apa maksudnya ini?" gumam Bram seraya mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Lo lihat pelakunya?"

Bram menggeleng.

Tombak melepas jas abu-abu yang dihiasi bercak darah. "Hubungi Gembul," ucapnya seraya membuang jas itu ke tong sampah.

Saat Bram mengeluarkan ponsel, Tombak menahannya.

"Matiin hp lo. Hubungi Gembul dengan cara lain."

"Kenapa?"

"Matiin."

Nada bicara dan tatapan Tombak membuat Bram melaksanakan perintah tanpa bertanya lagi.

***

Di depan sebuah minimarket 24 jam, Tombak duduk di sebuah kursi dengan ditemani sebungkus rokok dan kopi kalengan. Ia membunuh waktu dengan memperhatikan laju kendaraan di jalanan lengang di hadapannya. Menunggu Bram yang telah pergi lima belas menit lalu untuk mencari cara, bagaimana menghubungi Gembul agar bisa menjemput mereka.

Angin malam berhembus semilir, menyejukkan Tombak yang kini mengenakan atasan kemeja hitam. Pria itu melepas dua kancing teratas kemejanya, lalu melipat bagian lengan. Ia benar-benar merasa begitu membutuhkan angin untuk mendinginkan tubuh serta pikirannya.

Sebuah mobil putih yang memasuki halaman parkir minimarket tersebut menarik perhatian Tombak. Jika seseorang yang muncul dari sana membahayakan dirinya, Tombak siap untuk menarik pistol dari belakang tubuhnya. Beberapa detik berlalu, Tombak bisa bernapas lega karena penumpang mobil itu adalah sebuah keluarga kecil yang nampak bahagia. Seorang pria turun dan masuk ke dalam minimarket, menyisakan seorang perempuan di kursi penumpang depan, dan dua anak kecil di bangku belakang.

Tombak meraih bungkus rokok dan menyelipkan satu batang di bibirnya. Saat akan menyalakan api, kedua matanya tak sengaja menangkap tatapan mengantuk dari anak yang duduk di bangku belakang. Entah mengapa walau kedua matanya nampak sayu, anak perempuan itu terus menatapnya tanpa kedip dari balik jendela. Tiba-tiba saja, Tombak diselimuti sedikit perasaan bersalah tanpa tahu dengan pasti apa penyebabnya.

"Tom!"

Panggilan itu membuat perhatian Tombak teralihkan. Sebuah mobil hitam di pinggir jalan yang berisikan Gembul dan Bram di bangku depan, membuatnya bergegas pergi meninggalkan rokok dan minumannya begitu saja.

"Handphone lo masih mati kan, Boy?" tanya Gembul setelah Tombak menutup pintu.

"Hm. Dari kemarin lusa."

"Sip." Gembul menekan gas, dan menjalan mobil.

Bram menoleh Gembul dan Tombak bergantian. "Ada sesuatu yang gue nggak tahu?" tanyanya.

Dari spion di atasnya, Gembul melirik Tombak. "Lo yang ngomong atau gue nih, Boy?"

Tombak menyamankan sandarannya. "Gue capek, Mbul. Lo aja," ucapnya seraya memejamkan mata.

Gembul mulai menambah kecepatan mobilnya. "Sebenarnya ini agak sensitif sih, Bram. Tapi nggak mungkin juga nutupin ini semua dari lo sekarang."

Dengan seksama Bram mendengarkan Gembul di sampingnya.

"Arthur berencana untuk singkirin Tombak."

Kedua mata Bram melebar. "Bang Arthur?"

Gembul mengangguk. "Arthur. Anak almarhum Bos. Atasan lo. Temen baik Rusdan."

Bram hanya bisa terdiam.

"Selama ini dia ngadu domba Tombak sama banyak orang. Klien, tetua, bahkan adiknya." Gembul berbelok di jalanan besar Ibu Kota. "Dia pengen posisi Tombak. Tapi dia nggak pengen kelihatan menyedihkan, apalagi sampai berantem sama adiknya."

"Penyerangan tadi juga termasuk rencananya?"

Lagi-lagi Gembul mengangguk. "Buat hancurin reputasi Tombak sebagai pemimpin organisasi."

Bram menghela napas berat, lalu menoleh Tombak yang sedang memejamkan mata di kursi belakang. "Jadi kalian udah memperkirakan ini?" tanyanya.

"Udah, karena langkah Arthur terlalu kasar dan kelihatan. Lo tahu sendiri kan, dia nggak punya kemampuan apa-apa di bidang ini." Gembul menggeleng heran. "Nggak bawa bekal, tapi nekat berenang. Gila, kan? Kelaperan bego!"

Tombak yang masih memejamkan mata, mendengkus geli mendengar perumpaan temannya.

"Terus setelah ini gimana?"

"Tombak harus menyingkir dulu, Bram. Nunggu momen yang tepat buat balik dan bersihin namanya."

"Gue nggak peduliin itu, Mbul," sahut Tombak tiba-tiba. "Gue cuma mau nggak terlibat lagi."

"Nggak bisa gitu, Boy! Lo kira kejadian tadi cuma ngundang keributan orang-orang di dunia kita aja? Polisi dan orang biasa pasti bakal ikut-ikutan."

Tombak tak menjawab, dan memilih untuk merebahkan tubuhnya di kursi belakang.

"It's, okay. Pelan-pelan kita cari jalan keluarnya. Oke, Boy?"

"Kalau gue?"

Gembul berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah. Ia menoleh Bram dan terdiam.

"Mereka tahu kalau gue sama Tombak malam ini," ucap Bram. "Gue harus gimana?"

"Lo maunya gimana, Bram?" sahut Tombak.

Bram menoleh Tombak yang merebah seraya menutup wajah dengan satu lengan.

"Gue nggak keberatan kok, kalau lo bocorin obrolan ini ke Arthur. Bagaimanapun lo masih anggota organisasi yang harus hormat sama atasan, apalagi sama orang yang udah rekrut lo."

"Apa aturan organisasi nggak ngebolehin anggota buat naruh hormat ke anggota lain?"

Gembul mengernyitkan dahi, sedangkan Tombak menyingkirkan lengan dari wajahnya.

"Gue ikut lo, Tom."

"Huwaw," sorak Gembul gembira.

Tombak tersenyum simpul. "Lo nggak cuma sesaat kan mikir ini?"

Bram menggeleng. "Gue sendiri sebenarnya udah curiga waktu dapat tugas jadi asisten lo. Gue ngerasa lo dan Gembul sengaja dipisahkan untuk kepentingan lain."

"Kan?" seru Gembul kencang. "Anjing, Bram! Gue juga sempat mikir gituuuuu! Lo mikir gitu juga nggak sih, Boy?"

"Nggak," sahut Tombak singkat.

"BANGSAT, LO!"

Senyum geli Bram tersungging. "Jadi gue harus gimana setelah ini?"

Tombak kembali duduk dan menatap Bram. "Balik ke markas. Bilang kalau gue kabur gitu aja setelah nyerang lo. Hp lo jatuh dan keinjek orang-orang waktu lo ngejar gue. Lo nggak tahu apa-apa. Lo hanya tahu Kevin tertembak saat negosiasi kelar."

"Berarti lo harus dapat jotos dulu, Bram," sahut Gembul.

"Nggak meyakinkan. Gue harus ditembak."

"Waaaah ... ekstrim juga nih anak!"

Tombak mengangguk. "Lengan kiri, gimana?"

"Oke," jawab Bram.

Gembul memeluk stir mobilnya pasrah. "Emang orang-orang gila," gumamnya.

"Selama di markas, lo kumpulin informasi dan koordinasi sama Gembul. Dia bersih dari kejadian malam ini. Dia aman."

Bram mengangguk. "Lo butuh apa lagi, Tom?"

Untuk sejenak Tombak berpikir. "Stock peluru."

"Oke. Gue aturin nanti."

"Asyik, kita ketambahan anggota." Gembul tertawa setelahnya.

"Makasih, Bram," ucap Tombak.

Senyum Bram merekah. "Sebuah kehormatan bagi gue, Tom."

Gembul menaikkan gigi mobilnya. "Oke, sekarang kita ke bengkel penitipan mobil Tombak dulu. Let's go!"

Dan mobil hitam yang dikeumdikan Gembul itu pun melesat kencang membelah jalanan malam.

***

Aira menatap cemas pintu utama rumah sakit pusat kota yang ada di hadapannya. Sepanjang perjalanan tadi ia cukup yakin dengan apa yang akan ia lakukan di sini. Namun entah mengapa, tekadnya malah mengendur seiring langkah kaki yang semakin dekat dengan tujuannya.

"Ayo, Aira," ucapnya seraya menarik napas dalam-dalam. "Ayo."

Dengan memaksa langkahnya, Aira berjalan menuju pusat informasi untuk menanyakan di mana letak poli kandungan berada.

.

.

"Selamat pagi. Dengan Ibu Aira Sekar, ya?"

Aira yang baru saja duduk di hadapan dokter laki-laki itu pun mengangguk sekali.

"Kehamilan pertama?"

Lagi-lagi Aira mengangguk, namun terlihat lebih kaku.

"Sudah tes sendiri?"

"Su-sudah. Kemarin. Muncul dua garis."

"Kapan terakhir menstruasi, Bu?"

Aira membeku sesaat. "S-saya nggak ingat pasti. M-mungkin dua atau tiga bulan lalu."

"Baik."

"Apakah saya beneran hamil, Dok?"

Dokter laki-laki itu tersenyum penuh pemakluman. "Ibu Aira rileks, ya? Kita pastikan dengan pemeriksaan lebih lanjut."

***

Sebuah pesan berisi foto candid dirinya yang sedang membaca, mau tak mau mengalihkan perhatian Andrea sejenak.

Delvi Owner Resto: Makasih seharian kemarin sudah ditemani. Foto ini boleh kusimpan? Hehe...

Andrea ganti menatap bagaimana air bening di hadapannya menguning kecokelatan secara perlahan. Bermenit-menit ia memperhatikan perubahan teh yang ia seduh, seraya mencoba menelaah apa yang telah ia rasakan saat menghabiskan waktu berdua dengan Delvi seharian.

Tak bisa Andrea sangkal, ia jelas merasa Delvi tertarik padanya dan berusaha untuk mengenalnya lebih dalam. Bagaimana cara pria itu menatapnya, berbicara, serta memperlakukannya. Semua terasa begitu lembut dan manis untuk ukuran pria. Seumur hidup Andrea, ia tak pernah menemukan pria selembut dan sesabar Delvi dalam menanggapi sifat dan perkataannya. Bahkan para mantannya sekalipun. Ia tahu ia tak boleh terlalu cepat menyimpulkan, namun entah mengapa saat bersama Delvi, ia merasa cukup untuk mengukur seberapa baik pria itu dalam sehari.

Satu tangan Andrea terangkat untuk menopang dagunya. Pikirannya melalang buana menuju kemungkinan-kemungkinan fana, yang ia tahu tak akan mungkin bisa ia rasakan seumur hidupnya.

"Kenapa bukan lo aja sih, Bang?"

Lalu Andrea pun tersenyum miring seraya menggelengkan kepala.

***

Berlatar belakang langit jingga yang nampak indah dari jendela besar di dapur rumah, Aira duduk melipat kaki di kursi makan seraya menatap sebuah foto abstrak yang ada di tangannya. Dadanya perlahan terasa berat. Lagi-lagi ia begitu emosional saat mengingat momen pertama menatap gambar itu di layar mesin USG seraya berlinang air mata. Bahagia, tak percaya, haru, bingung dan juga lega.

Entah perasaan mana yang harus Aira dahulukan. Yang pasti, segala pemikiran negatifnya sejak kemarin mendadak hilang, dan digantikan dengan semangat tulus untuk melahirkan dan membesarkan buah hati Tombak yang berada di perutnya.

"Hai," ucap Aira lirih seraya mengusap pelan perutnya. "Ini Ibu."

Aira menarik napas dalam-dalam saat merasa air matanya akan tumpah. Ia tahu, aneh baginya untuk berbicara dengan perutnya sendiri. Namun tak dapat Aira pungkiri, hatinya menghangat saat melakukan hal tersebut. Ia merasa seperti tengah mengusap kepala seorang anak kecil dengan begitu lembut.

Deru suara mobil yang Aira kenal, membuatnya mengusap dengan cepat sisa air mata di kedua pipinya. Sedikit ragu, Aira berdiri dan berjalan menuju pintu rumah untuk memastikan perkiraannya.

Sapuan perasaan lega menjalar cepat di dada Aira saat melihat Tombak yang mengenakan setelan kemeja dan celana hitam, sedang turun dari mobil pribadi pria itu. Ia baru saja akan menghampiri suaminya, sebelum menyadari satu hal ganjil di hadapannya.

"Dua minggu lebih kamu nggak bisa dihubungi, sekarang tiba-tiba pulang." Pandangan Aira tertuju ke kedua tangan Tombak. "Dan kamu nggak bawa tas baju, kamu cuma sebentar lagi di sini?"

Langkah lelah Tombak terhenti di teras. Pria itu menarik napas dalam-dalam. "Boleh nggak, aku peluk kamu dulu?"

Giliran Aira yang terdiam. Lalu dengan langkah pelan, ia menghampiri Tombak dan memeluknya.

"Banyak hal di sana yang buat aku sibuk dan lupa waktu." Tombak mendekap Aira di dadanya. Meluapkan semua rindu yang selama ini tak dapat ia tuntaskan dengan segera. "Kamu berhak marah sama aku."

Aira tak menanggapi, hanya memeluk Tombak lebih erat.

"Aku minta maaf."

"..."

"Setelah ini aku janji dengerin semua omelan kamu."

"..."

"Tiga jam pun nggak apa-apa."

"..."

"Yang penting kamu bisa ngerasa lega."

"..."

"Aira?"

Aira melepas pelukan seraya menghapus jejak air mata di pipinya. "Aku mau ngomong sesuatu."

Tombak berubah panik. "Ada apa?"

"Nanti," ucap Aira seraya mengusap wajah lelah suaminya. Perempuan itu menyunggingkan senyum setulus yang ia bisa. "Setelah makan malam."

"Ada apa, Aira?" tanya Tombak lagi.

"Bukan sesuatu yang buruk, Tombak." Senyum Aira masih terukir. "Mandi, lalu ke ruang makan. Oke?"

.

.

.

.

Aira terpaksa harus menelan gusar saat melihat orang yang seharusnya duduk di meja makan dengannya sejak tadi, malah terlentang di atas ranjang dengan raut kelelahan yang tercetak jelas. Menyingkirkan emosinya, Aira lebih memilih untuk mendekat dan mengambil perlahan handuk basah di bawah kepala suaminya.

"Kamu kenapa bisa secapek ini, sih?" gumam Aira seraya mengecek suhu leher dan kening suaminya.

Tombak tak bereaksi sedikitpun. Pria itu masih saja menutup mata, meskipun Aira kini sedang mengeringkan rambutnya.

"Padahal ada sesuatu yang harus kamu tahu." Bibir Aira tersenyum tanpa sadar. "Sesuatu yang besar. Yang akan menanti kita di depan."

Aira menatap wajah Tombak lekat-lekat. Oh... betapa ia sangat merindukan setiap inchi dari wajah yang kini tampak lelah itu. Ingin sekali rasanya Aira memainkan pipi, hidung, dan bibir itu dengan gemas. Namun ia tahu, ia tak akan setega itu menggangu istirahat pria yang sangat ia cintai. Termasuk membangunkan pria itu untuk menerima kabar darinya.

Tangan Aira reflek menyentuh perutnya. Ia menunduk, dan mengusapnya perlahan. "Kita coba besok, ya?" bisiknya ceria.

Setelah mengecup pipi Tombak, Aira meninggalkan kamar untuk memulai makan malam sendirian.

***

Di tengah tidur lelapnya, Aira membuka mata perlahan. Ia tidak baru saja bermimpi buruk. Ia terbangun hanya karena merasa kedinginan dengan udara malam ini. Aira sendiri heran mengapa ia merasa kedinginan hingga sedikit menggigil seperti ini. Padahal seingatnya tadi ia sudah memastikan tubuhnya terkurung selimut tebal sebelum berbaring.

Saat menoleh ke samping, Aira tak menemukan keberadaan Tombak. Pria itu mungkin ke kamar mandi, pikir Aira. Baru saja ia kembali memejamkan mata, perhatiannya teralih pada suara samar pintu rumah yang ditutup, lalu dikunci dari dalam. Kedua mata Aira kembali terbuka, ia meraih jam beker di atas nakas dan bertanya-tanya siapa yang menutup pintu di jam setengah dua malam begini. Kalaupun itu Tombak, apa yang sedang dilakukan pria itu saat ini?

Setelah menyibakkan selimut, Aira beringsut duduk di atas ranjang. Ia kembali mendengar suara pintu yang dibuka, dan itu lebih jelas. Pintu itu pasti berada tak jauh dari kamarnya. Dengan langkah pelan tak bersuara, Aira berjalan keluar kamar untuk memastikan situasi yang kini membuatnya bertanya-tanya.

Dapur dan ruang tengah nampak gelap dan lengang. Begitu pula dengan ruang tamu. Aira menoleh ke arah lorong yang menuju kamar mandi. Sudut itu pun tak memperlihatkan adanya kegiatan di sana. Saat Aira berjalan maju, ia menyadari pintu kamar di sampingnya tak tertutup dengan sempurna dan menyisakan sedikit celah. Tanpa berpikir panjang, Aira menuju ke kamar itu untuk lanjut memastikan keadaan.

Dengan perlahan Aira membuka pintu kamar lama Tombak. Benar, memang ada bayangan suaminya itu di sana. Berdiri di samping jendela disirami cahaya bulan, dan sedang menunduk seperti memeriksa seuatu di tangan. Entah mengapa Aira mendadak ragu dan tak ingin mendekat. Ia pun meraih saklar lampu yang berada di samping pintu, lalu terpaku di tempat karena apa yang kini ia lihat.

Tombak tengah menodongkan pistol ke arahnya, dengan tatapan yang sama terkejutnya.

"Aira?" seru Tombak seraya dengan cepat menyembunyikan pistol di belakang tubuhnya. "Kamu ... kamu ngapain di sana?"

Aira bergeming. Bahkan mengedipkan mata pun tidak.

Napas Tombak memburu melihat reaksi istrinya. Ia mengambil langkah mendekat, namun seketika berhenti saat Aira memberi isyarat.

"S-stop," ucap Aira penuh ketakutan.

"Aku bisa jelaskan-"

"STOP!" Seluruh tubuh Aira bergetar hebat sekarang. "J-jangan bilang apa-apa. Diam. Stop."

Tombak hanya bisa menatap Aira penuh rasa bersalah.

Dengan terburu, Aira masuk ke dalam kamar. Perempuan itu mengunci pintu, lalu meletakkan kursi rias untuk menahannya. Merasa tak cukup bisa melindunginya, Aira menggeser dengan frustasi satu nakas dari samping ranjang, dan menempatkannya di belakang pintu.

"Kamu orang yang aku cintai, Aira. Aku nggak akan menyakiti kamu,"

Gerakan Aira terhenti saat ia baru saja akan menggeser nakas kedua. Suara Tombak terdengar begitu pedih dan lemah.

"Aku akan tetap di sini, menunggu kamu untuk siap kuberi penjelasan. Tapi tolong ... tolong ... jangan sakiti diri kamu sendiri."

Ketakutan Aira seketika berubah menjadi kekecewaan yang begitu menggerus batinnya. Tombak telah melanggar janji di antara mereka. Kehidupan penuh kebahagiaan yang selama ini Aira dambakan, ternyata hanya akan menjadi khayalannya saja. Sisa malam itu pun Aira habiskan untuk menangisi semua kenyataan menyedihkan yang meluluhlantakkan semua impiannya.

.

.

.

Dan tanpa Aira tahu, Tombak pun turut merasa tersiksa di depan pintu, karena tak bisa berbuat apa-apa saat mendengar tangisannya yang terdengar begitu pilu.

.

.

.

Remember all the things we wanted
Now all our memories, they're haunted
We were always meant to say goodbye

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Karena badai kerjaan udah intip-intip mau bersilaturahmi, malam ini saya nekat mau selesaikan dan publish chap ini daripada nanti terbengkalai karena kerjaan lagi 😂

Sehat-sehat ya teman-temaaaaaan. Chap ini sebenarnya bisa kelar lebih cepat kalau saja saya ngga KO beberapa hari. Hahahahah....

See you... next chap gak janji cepet yak 😂

.

.

.

Senyam-senyum mulu... nggak tau apa kalau binimu ngamok sama kelakuanmu, Mas?

Ih... mana ganteng lagi 😭

Continue lendo

Você também vai gostar

2.1M 9.8K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
839K 80.1K 34
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
1.1M 112K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...