Tangga Nada

By yazelnat

77 28 101

[Orang terdekat lebih mudah memberikan luka] Ungkapan rumput tetangga lebih hijau terealisasi dalam kisah dua... More

2. Awal dari Kecurigaan
3. Senin Abnormal

1. Intuisi

47 15 55
By yazelnat

   Tak seperti hari Minggu sebelum- sebelumya, dimana penghuni rumah dengan teras yang dihiasi berbagai jenis tumbuhan ini akan sibuk dengan acara mereka masing-masing dan baru akan berkumpul di sore hari. Pagi itu, ditemani cuaca cerah dengan hawa yang cukup panas seperti Surabaya biasanya, keluarga Denandra memilih untuk menyibukkan diri di rumah.

   Diantaranya adalah dua remaja berstatus anak yang sibuk mengeluarkan beberapa barang untuk dipindahkan ke gudang di sebelah kediaman mereka. Hanya berbeda pintu masuk saja.

    Juanada sebagai pelopor kegiatan bersih-bersih itu tentu sangat semangat. Selain karena ini merupakan inisiatifnya sendiri, ia juga tidak sabar untuk bertemu kakaknya yang akan kembali menetap setelah menyelesaikan studi S1 di Bali, pulau yang juga pernah keluarganya tinggali selama kurang lebih enam tahun lalu. Pertemuan terakhir mereka secara langsung yakni saat Nada duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar, sebelum akhirnya pindah ke kota Pahlawan dan meninggalkan si sulung bersama keluarga pak dhe yang merantau disana. Entah karena apa.

    Menjalani hubungan jarak jauh selama bertahun-tahun kerap membuat gadis itu frustasi. Selain karena harus toleransi dengan rindu, ia juga dipaksa memiliki karakter seorang anak sulung yang terlihat anti banting meski dihujani segala macam tuntutan sebab perhatian selalu tertuju padanya. Tangis penuh lelah kerap keluar saat berhasil terhubung dengan sang kakak di pulau seberang melalui saluran telepon ataupun video call. Tak seorang pun tahu bagaimana lemahnya Nada dibalik senyum yang membuat matanya menyipit. Hanya si sulung.

    Nada menyayangi kakaknya lebih dari apapun.

    Usai membalas pesan terakhir dari sang kakak yang mengatakan bahwa dirinya baru menginjakkan kaki di bandara, Nada kembali membersihkan ruang baca yang akan disulap menjadi kamar kakaknya nanti. Bersama Jiyan si bungsu, yang bertugas sebagai anak sekaligus adik laki-laki yang sedari kegiatan ini dimulai harus rela diminta kesana kemari oleh Nada beserta orang tuanya.

   Tak berbeda jauh dengan arti figuran secara harfiah yakni pemeran pembantu. Bocah dengan tinggi 180 cm—hampir menyentuh dua meter—itu sempat protes karena Nada memanggilnya babu meski dalam konteks bercanda. Dengan sogokan berupa es campur serut Arela langganannya, Jiyan pun dengan lantang berkata bahwa dia akan ikhlas membantu jalannya acara bersih-bersih ini.

   Ikhlas katanya....

    “Disuruh pindah kamar juga mau aja aku, Mbak.” kata laki-laki bermata sipit itu setelah mendapat sebungkus es campur kesukaannya.

   Pilihan untuk menukar kamar Jiyan dengan calon kamar kakaknya tentu tidak Nada ambil. Ibaratnya, Jiyan menukar barang bekas dengan kondisi buruk yang justru dibayar menggunakan barang baru yang jelas bagus. Siapa juga yang mau bersihin kamar si bocah tengil itu yang berantakan minta ampun! Mau dibayar pakai lima porsi Arela pun nggak bakal rela.

   Sementara itu, orang tua kakak beradik itu tengah asik membersihkan rak pot bersusun yang letaknya tepat di depan rumah. Keduanya memang menyukai kegiatan berkebun dan mengoleksi tanaman sejak masih tinggal di Pulau Dewata. Rumah bercat abu-abu khas industri yang mereka tinggali pun menjadi rumah dengan pekarangan sederhana paling hijau dibanding tetangganya. Hal ini membuat beberapa tetangganya kerap berkunjung untuk meminta bibit tumbuhan atau mengambil hasil pekarangan yang bisa diolah seperti cabai, gambas, dan daun kemangi.

    Belum tuntas kegiatan yang Nada lakukan, sebuah panggilan masuk membuat lagu milik Peterpan yang diputarnya harus terhenti. Jiyan yang duduknya lebih dekat dengan meja pun secara sukarela meraih ponsel dengan casing bergambar Optimus Prime milik kakaknya.

   “Epan nih Mbak, tak angkat ya?” Setelah memastikan sang pemilik setuju, Jiyan pun menggeser logo telepon berwarna hijau ke atas. Tak lupa juga untuk menghidupkan mode loudspeaker agar kakaknya yang kurang menaruh kepercayaan padanya itu dapat mendengar dengan jelas.

    “Waalaikumsalam, Mas,” celetuk Jiyan saat panggilan baru terhubung, tidak membiarkan penelepon menyapa dahulu.

    “Belum juga bilang Assalamualaikum, Yan!” Dari intonasi bicaranya sudah jelas bahwa pemuda di seberang sedang menahan amarah.

    “Nah itu udah! Waalaikumsalam, ya ahli kubur.”

    “Kurang ajar!”

    Tawa yang sempat ditahan pun keluar secara bersamaan dari mulut kakak beradik itu. Kemarahan itu menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Setengah menit berselang, Nada mengambil alih ponselnya dari Jiyan yang masih tertawa sambil memegangi pipi yang mulai nyeri, “Kenapa, Van?”

    Revan selaku sang penelepon menjawab dengan nada ketus, “Jadi belajar bareng nggak?”

    Hp berusia dua tahun itu dihimpit antara rahang dan bahu kiri si gadis, sebab tangannya masih sibuk menurunkan tumpukan buku dari atas rak. “Besok nggak ulangan loh, Pak? Jangan bikin orang panik deh,” protes Nada sambil melemparkan beberapa buku ke adiknya yang masih terlentang di lantai dengan mata terpejam. Enak saja bocah itu bersantai disaat tugasnya belum selesai.

    Jiyan mengaduh kesakitan ketika sebuah hard cover diary mengenai dahi tak bersalahnya, “Nek aku insomnia, pean harus tanggung jawab!” keluhnya sambil mengusap kening.

    “Amnesia, kampret.” Tepat setelah berkata demikian, Nada dengan tangan ajaib yang menjadi senjatanya menggelitiki Jiyan hingga bocah tower itu terhantuk dinding. Ia juga menginjak kedua punggung kaki adiknya agar tidak melawan selama penyerangan terjadi. Terlalu asik hingga tidak menyadari tangan Jiyan yang bebas dari pengawalan secepat kilat menjangkau leher Nada, titik paling lemahnya, memulai pembalasan setelah mengamankan smartphone sang kakak. 

    Sementara itu, sambungan telepon yang masih terhubung membuat Revan mengulas senyum sambil meredakan gejolak di hati. Ada rasa iri pada keluarga Nada, jauh dalam sanubarinya. Orang tua yang masih utuh, adik yang menjadi bahan kejahilan dan kakak yang meski di rantauan selalu menyempatkan diri untuk bertanya “Gimana hari ini?” Persis seperti komposisi keluarga idaman laki-laki yang selama ini menyandang status anak tunggal tanpa ibu dan sering ditinggal sang ayah itu. Membuatnya sempat merasa bahwa bersahabat dengan Nada hanya akan memperbesar rasa irinya. 

    Tapi curhatan gadis yang dikenalnya sejak berada dalam ekskul yang sama di tahun pertama SMK menyadarkannya. Nada yang ceplas-ceplos saat bersamanya sering kali secara tidak sengaja mengeluh perihal beban yang membuat gadis itu tertekan. Juga perihal trauma tak kasat mata yang di alami tanpa ada uluran bantuan untuk disembuhkan dari keluarganya. Membuktikan bahwa tak ada keluarga yang sempurna. 

    Tak sampai disana. Revan cukup peka terhadap kondisi keluarga beranggotakan tiga laki-laki dan dua perempuan yang memiliki berbagai masalah namun mampu disembunyikan dengan baik itu..., saking baiknya hingga tidak diketahui satu sama lain. Senyum dan sapaan lembut yang mereka tunjukkan hanyalah topeng untuk menutupi segala kebohongan yang turut hidup bersama. Sebaik mungkin ia berusaha tidak keceplosan saat bersama Nada, sebab ini bukan ranahnya. Ia tidak berhak.

    Sesekali ia berpikir, bagaimana bisa orang-orang yang memendam masalahnya itu memiliki senyum dan tawa yang mampu membahagiakan orang lain? Seakan masalah tidak pernah menyapa mereka.

    Usai menuntaskan tawa karena lelah, Nada dibuat khawatir karena tidak mendengar suara Revan padahal panggilan masih tersambung. Terakhir kali pembicaraan mereka terhenti karena laki-laki itu merasa tidak enak badan. “Kamu gapapa kan, Van?” Pertanyaan singkat darinya hanya direspon deheman dari seberang. Tidak ingin kembali berprasangka buruk, gadis itu segera membahas obrolan mereka tadi, “Emm... aslinya Masku mau pulang, jadi aku nggak bisa keluar.”

    Ada jeda yang Nada berikan sebelum melanjutkan pembicaraan, menunggu jawaban dari seberang yang ternyata lebih memilih untuk menunggu sampai ucapannya selesai, “Kalau kamu kesini, mau nggak? Sekalian Jiyan mau ngasih oleh-oleh, anak kelas sepuluh kan abis study tour ke Malang.”

    “Masmu netap?” tanya Revan setelah memastikan ucapan sang perempuan telah selesai. 

    “YESSS!”

    “Dalam rangka apa?”

    Dengan kesal Nada menjawab, “Kan ini rumahnya! Pertanyaanmu lho, nggak logis blas.”

    Revan tertawa puas ketika berhasil membuat sahabatnya kesal. Lalu laki-laki itu mengangguk meski tidak dapat dilihat. Setelah mengonfirmasi bahwa ia akan kesana, Nada mematikan panggilan secara sepihak. Gadis itu buru-buru mandi. Revan hafal betul kalau sahabatnya punya hubungan love-hate dengan istilah mandi. Apalagi memasuki musim hujan. Udah kayak alergi.

   Ingatannya memutar kembali peristiwa di pertengahan bulan Februari tahun lalu, saat keduanya menjalani Praktek Kerja Lapangan di perusahaan yang sama, bersantai di ruang kerja Revan yang kosong karena para pegawainya mengikuti visit relasi. Dengan izin dari atasannya, Nada yang telah menyelesaikan semua pekerjaan pun memutuskan untuk membantu Revan. Lumayan buat nambah daftar kegiatan di makalah PKL, katanya saat itu. Keduanya berbincang ngalor-ngidul hingga secara gamblang gadis yang tengah melubangi tanda terima pesanan menggunakan perforator itu berkata dengan semangat, “Fun fact, aku udah tiga bulan nggak mandi loh!”

    Pernyataan tak terduga itu membuat Revan yang sedang mengetikkan nomor pengiriman di sistem buatan perusahaan nyaris menekan cancel alih-alih submit. Bukannya malu, gadis itu justru tertawa. Setelah memastikan semua nomor sudah diperiksa, Revan berbalik badan dan menemukan Nada yang sedang asyik menyelami daftar putar lagunya untuk menemani hari yang sepertinya akan hujan sebab bau petrikor masuk melalui jendela.

    “Beneran, Nad?” tanyanya dengan ekspresi tak percaya yang hanya dijawab dengan anggukan. Revan berjalan mendekat, duduk di lantai tak beralas, berhadapan dengan sahabatnya. Hidungnya mengendus kuat, “Kok nggak bau?”

    Tanpa berniat mengalihkan pandangan ke sumber suara, Nada menjawab sekenanya. “Tergantung amal ibadah, Mister.”

    “Berarti kalau amal ibadahnya kurang, nggak bau?”

    Dengan begitu, emosi Nada tersulut dan mulai memukuli lengan Revan dengan ritme yang sama hingga pemiliknya membalas dengan sengaja menyepitkan telapak tangannya di ceruk leher sang gadis. Tidak butuh banyak effort untuk membuat gadis itu menggeliat minta ampun dengan tangan yang belum lepas dari jepitannya.

o0o

    Dalam waktu sepuluh menit, Revan sudah mencapai rumah Nada yang terletak tak jauh dari jalan raya. Baru saja memarkirkan motor di dekat lapangan yang terletak tepat di samping kanan kediaman keluarga pak Denandra, seorang wanita berdaster dengan pot di tangan menyambutnya, “Eh Mas Revan. Masuk gih, ada Jiyan. Nada masih ambil kardus ndek sebelah.”

    Revan mengangguk sopan. Sebelum masuk, ia menyalami bu Wanda yang merupakan ibu dari Denandrawan bersaudara—yang tadi menyapanya. Tak lupa melakukan hal yang sama pada pak Denandra yang sedang menyirami tumbuhan. 

    “Temennya Nada apa Jiyan, Dek?” tanya pak Denandra yang sudah Revan duga akan terlontar dari bibir pria berusia setengah abad tersebut. Bukan rahasia lagi bahwa ayah dari Denandrawan bersaudara itu sulit menghafal siapa teman anak-anaknya bahkan bila sudah cukup sering berkunjung. Bukan masalah besar memang, tapi istri dan anak-anaknya terkadang kesal bila harus menjelaskan panjang lebar perihal siapa yang berkunjung. Pun tak menjamin pria dengan kerutan menghiasi wajahnya itu bisa ingat.

    Nada yang baru keluar dari gudang sambil membawa dua kardus bekas menyambar, “Temen Nada, Yah. Yang dulu magang di gudang.”

    “Oalah. Baru main kesini, toh? Nggak pernah liat.”

    “Wong ya Revan kalau kesini pas sampean kerja. Masa harus setor wajah dulu ke sampean?” final bu Wanda dengan nada kesal yang mengundang tawa dari mulut tiga orang di depannya.

    Setelah berpamitan, Nada memimpin jalan menuju ruang tamu yang hanya berjarak lima langkah dari teras. Usai mempersilahkan Revan untuk duduk terlebih dahulu, gadis yang kini mengenakan jersey lengan panjang dari klub sepakbola kenamaan Perancis berpadu dengan kerudung instan berwarna hitam itu pamit mengambil buku di kamar yang letaknya di sebelah kanan ruang tamu.

    Mata pemuda yang kini mengenakan kemeja flanel merah dengan inner kaus putih itu melihat jauh ke ruangan paling ujung dekat pintu dapur yang terbuka. Sepasang kaki berbalut celana bola, sepertinya setelan dengan milik Nada karena goresan motifnya sama, terlentang hingga melewati kelambu kerang yang menjuntai di depan pintu. Di samping kaki panjang itu nampak beberapa tumpukan buku yang siap dipindahkan kemana pun pemiliknya membawa mereka.

    Tanpa ragu Revan menyapa,“Yan?”

    Tak perlu waktu lama untuk sang pemilik kaki menyembulkan kepalanya ke luar pintu. “OI MAS BRO! Welcome to the jungle.”

    “Jungle matamu.” Dari logat medoknya dalam menyebut huruf t, Revan tahu pemilik suara sarkas yang terdengar dekat itu. “Ambilin oleh-olehnya, Yan! Janji adalah kutang.”

    “Hutang, donat!”

    Kediaman keluarga Denandra bukanlah rumah yang menjunjung konsep estetika. Bukan juga yang menggunakan barang dengan warna senada. Hanya sebuah rumah yang nyaman ditinggali siapapun di musim apapun. Meski dinding luarnya di cat abu-abu, bagian dalamnya menggunakan warna biru muda—terkecuali kamar tidur Nada dan Jiyan. Tahun lalu, kakak beradik itu mengganti warna kamar mereka yang sebelumnya sama dengan ruangan lain.

   Karena cat masih tersisa, bu Wanda menggunakannya untuk memoles dinding luar dan ruang baca yang kini akan menjadi kamar si sulung, namun habis saat baru menutupi separuh dari dinding dalam ruangan itu. Tanpa berniat membeli lagi untuk menyelesaikannya, sang ibu sengaja membiarkan dinding itu memiliki warna abu di kanan dan biru muda di kiri, baginya cukup unik. 

    Beralih ke luar rumah, dimana bermacam tumbuhan berada dalam pot yang ditata rapi di atas rak kayu buatan sendiri. Di samping-sampingnya berdiri bangunan rumah lain dengan atap yang saling berdempetan. Tanah milik bersama yang berada diapit jalan raya, supermarket, SPBU, serta lapangan luas menjadi tempat dibangunnya kurang lebih lima belas rumah. Dari rumah pribadi, rumah kontrakan, hingga rumah merpati ada disana. Bagian favorit dari tempat ini adalah keberadaan lapangan yang di pinggir-pinggirnya disediakan gazebo tanpa dinding. Saat ada pertandingan, penonton bisa bersantai disana.

   Salah satu gazebo yang berjarak tak sampai tiga meter dari kediaman keluarga Denandrawan merupakan spot favorit Nada. Siapapun yang berkunjung untuk menemuinya pasti pernah diajak kemari. Salah satunya Revan. Bisa dibilang, gazebo itu merupakan base camp keduanya setiap bertemu di luar jam sekolah.

   Tempat dua remaja itu bertukar cerita ataupun belajar. Menjadi saksi bisu bagaimana mereka tumbuh menjalin hubungan persahabatan yang diragukan orang-orang. Tanpa mengesampingkan keraguan itu, disana pula mereka merasakan suatu intuisi yang harus dicegah agar tidak mengecewakan pihak terkait dan menghancurkan apa yang sudah dibangun.

    “Ini mutasinya dibikin tabel apa laporan?”

    Satu pertanyaan dari Nada yang telah berhadapan dengan modul Tata Kelola Keuangan dan buku besar bermotif batik ungu membuat kegiatan belajar dimulai. Tak ada tawa, hanya terdengar lagu milik Slank yang disambungkan dari hp ayahnya melalui bluetooth ke speaker dengan volume cukup keras. Dua siswa SMK berbeda jurusan yang sedang fokus mengubah jurnal menjadi catatan mutasi itu tidak terdistraksi.

    Keduanya tenggelam dalam konsentrasi penuh hingga tidak lagi ada perbincangan. Revan yang mulanya mengajari Nada pun kini kembali mengerjakan tugasnya sendiri yang tak kalah sulit, sejenak ia kembali menyesali mengapa masuk jurusan akutansi. Awalnya Nada masih santai. Namun ketika ujung tabel menyatakan bahwa jumlah akhir debit dan kredit tidak sama, ia kesal bukan main. Ditambah suara kuku yang mengetuk-ketuk, mengundang emosinya untuk segera diluapkan.

    “Diem, Van,” pinta gadis itu penuh penekanan tanpa menatap lelaki yang dimaksud. Mata Revan membelalak kaget sebab dituduh demikian. Tidak ingin dijadikan tersangka disaat mengetahui pelaku sebenarnya, pemuda itu menepuk lengan yang digunakan sahabatnya untuk menopang kepala hingga mata keduanya bertemu. Revan memberi kode dengan dagunya, meminta agar Nada menoleh ke belakang. 

    Awalnya gadis itu tak acuh. Bola matanya berputar—kesal, lalu kembali meratapi tugasnya. Hingga sebuah tangan hinggap di bahunya, membuatnya mau tidak mau menoleh setelah membuang nafas kasar.

   “Apas—MAS MARSEEELLL!!!”

    Begitulah awal dari seorang pria dengan ransel yang tergeletak di atas rerumputan menerima pelukan dari adik perempuannya. Menanggalkan image tegas yang selama ini disandang, turut larut dalam suasana yang membuat buliran air keluar dari mata lelahnya. Butuh waktu bagi mereka untuk kembali menetralkan detak jantung dan nafas yang seakan sesak.

    Revan yang tidak sengaja menjatuhkan penggarisnya membuat perhatian Marsel teralih, baru ingat ada orang lain disana. Nada juga dengan secepat kilat membersihkan sisa air matanya lalu memperkenalkan sahabatnya. “Ini Revan, yang adek bilang—

    “Cowok idaman adek?”

    Sambaran Marsel membuat adik perempuannya menghentakkan kaki kesal. Semburat merah terlihat dari pipi tembam dan telinganya. Tanpa berniat memberikan cubitan kecil seperti saat dia merasa kesal pada orang-orang yang membuat emosinya mendidih, Nada justru menarik tangan Revan untuk bersalaman dengan kakaknya.

    Tidak seperti yang diharapkan. Ekspresi Marsel setelah benar-benar berhadapan dengan Revan dipenuhi keterkejutan. Jabatannya tidak berniat dilepas, membuat Revan melirik sahabatnya, meminta bantuan sekaligus penjelasan mengapa orang yang baru ditemuinya bersikap demikian.

    Belum sempat membantu, suara Jiyan dari teras lebih dulu menjadi alasan genggaman terlepas. Marsel beranjak, namun dengan pandangan yang tak lepas memperhatikan eksistensi sahabat adiknya.

    “Rapopo, Van. Mas tuh takjub gara-gara liat orang ganteng. Saking gantengnya sampe cowok juga terpanah, lho.” Ucapan Nada membuat Revan tersenyum malu, sesekali menggaruk rambutnya yang terlalu kentara kalau hanya aksi mengurangi rasa tak enak karena secara langsung dipuji.

   "Ngakuin aku ngganteng berarti?"

   "Yo nek ayu kan wedok! Ora jelas blass!"

   (Ya kalo cantik kan perempuan! Nggak jelas banget!)

    Meski pikirannya mengiyakan, batin Revan bergejolak. Sebuah intuisi membuat tubuhnya meremang. Jantungnya berdegup kencang hingga sang pemilik seakan tidak berdaya untuk melanjutkan kegiatan belajarnya yang sempat tertunda. Batinnya bertanya, ini benar pertemuan pertama mereka, kan?

Continue Reading

You'll Also Like

838K 72.2K 44
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
1.7M 121K 81
[Brothership] [Not bl] Setiap orang berhak bahagia, meskipun harus melewati hal yang tidak menyenangkan untuk menuju kebahagiaan. Tak terkecuali Erva...
5.4M 367K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
2.3M 234K 58
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?