NAMANYA ARUM.

By ElAlicia

130K 23.7K 2.9K

Kota Pelabuhan, 1965 Arum adalah seorang gadis pantai yang gesit dan trengginas selayaknya ombak di kala huja... More

INTRO
PROLOG
1. SAWAH PAK TARNO
2. RUMOR
3. DANU
4. MAMA SINTHA
5. PERASAAN TAK BIASA
6. BISKUIT AYAH
8. SURAT
9. HARI TERAKHIR
10. KOTA KEPENDUDUKAN
11. SATU RANJANG
12. SENI RAKYAT
13. MALAM BERSAMA
14. PAGI HARI
15. KEPERCAYAAN
16. KABAR BAIK
17. KEJELASAN
18. KEBENARAN
19. PAKSAAN HALUS
20. SURAT
21. KOTA PELABUHAN
22. JANGGAL
23. KETAKUTAN
24. MIMPI BURUK
25. DILEMA
26. BOHONG
27. BANTUAN
28. FRUSTRASI
29. SEBELUM MELAUT
30. KESEPAKATAN
TENTANG NAMANYA ARUM

7. RUMAH MAS DANU

3.3K 697 68
By ElAlicia

"Selamat pagi saudara pendengar di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan di mana pun Saudara berada. Inilah Radio Republik Indonesia, studio Jakarta..."

Lantunan pembukaan radio itu mengisi keheningan di antara Mei Li dan juga Arum yang tengah sibuk membaca majalah. Arum duduk bersadar di samping ranjang Mei Li dengan majalah Diskorina di tangannya, sedangkan Mei Li sudah terlentang dengan majalah yang sama di tangannya. Arum meraih pao yang diberikan oleh ibu Mei Li dan menggigitnya perlahan sembari membalikkan halaman majalah itu. Majalah itu memang dikhususkan untuk perempuan dan remaja sepertinya yang sedang senang-senangnya merawat diri dan berdandan agar seperti pelakon dalam layar tancap.

"Kamu pernah kepikiran ndak untuk pergi dari kota ini?" tanya Arum tiba-tiba pada sahabatnya.

Mei Li tampak berpikir sejenak kemudian menggeleng. "Ke mana?"

"Ke kota kependudukan mungkin?" tanya Arum lagi yang diiringi musik 'Rindu Lukisan' yang memang sedang populer akhir-akhir ini. Tak terhitung berapa kali lagu itu diputar di radio beberapa hari terakhir ini. Lagu itu memiliki lantunan irama yang menarik, tenang, namun juga tidak membuat kantuk; bersemangat, namun tidak agresif, sehingga tak heran lagu itu menjadi lagu favorit dirinya dan Mei Li.

"Memangnya buat apa di sana?" tanya Mei Li lagi dengan nadanya yang masih tidak paham.

"Sekolah mungkin? Atau bekerja?" tanya Arum sembari menggidikkan bahunya tidak mengerti.

"Ah ndak... Mei Li akan terus di kota ini sampai Mei Li menua. Lagipula kota kependudukan, orangnya pasti jahat-jahat," jawab Mei Li lagi sembari menegakkan tubuhnya dan duduk menghadap Arum. "Memangnya kamu akan ke kota kependudukan, Rum?"

"Ndak... tetapi Arum ditawari, hanya Arum menolak," balas Arum lagi dengan senyuman lebarnya. "Arum juga ndak mau ke kota kependudukan. Kota ini udah yang paling baik."

"Kita pasti menua bersama di kota ini. Seperti kata Ba Ba, kita lahir di kota ini, ya akan meninggal di kota ini juga," balas Mei Li santai sembari menggigit paonya dengan lahap.

"Janji ya jangan ke mana-mana," ucap Arum sembari mengulurkan jari kelingkinganya pada Mei Li dengan matanya yang menyipit tajam. "Soalnya siapa yang akan panjat pohon jambu kalau bukan kamu."

Mei Li tertawa lebar, namun tak ayal ia mengaitkan jari kelingkingnya pada Arum dengan erat. Arum mengenal Mei Li sejak mereka masih di bangku sekolah dasar. Gadis tionghoa itu adalah satu-satunya teman terbaik yang pernah Arum punya di kota itu. Mei Li liar sama seperti Arum dan yang paling penting adalah Mei Li menganggap Arum sebagai saudaranya seperti halnya Arum pada Mei Li, meskipun keduanya berasal dari kebudayaan dan keluarga yang sangat berbeda jauh. Terkadang, Mei Li akan mengajari Arum berbahasa Hokkian dan beberapa saat Arum akan mengajari Mei Li berbahasa Jawa yang fasih.

"Kamu ngomong begitu seperti kita akan berpisah lama toh," ejek Mei Li, kembali berbaring di lantai dan melanjutkan bacaannya.

"Ya siapa tahu."

"Ya, jangan didoakan toh. Lagipula, hal paling buruk apa yang mungkin terjadi?" balas Mei Li lagi sembari tertawa pelan.

Arum sama-sama mendengus geli. Mei Li benar; memangnya hal paling buruk apa yang mungkin terjadi?

***

Ketika pulang dari rumah Mei Li, gerimis kecil mulai turun dan membasahi kota pelabuhan itu. Berkali-kali, ayah dan ibu Mei Li terus menahannya untuk tidak pulang, mengingat cuaca yang tidak bagus. Namun, Arum bersikeras pulang dan menolak mereka dengan sopan, sebab semakin sore dan Arum takut jika ia pulang saat matahari terbenam. Arum tidak membawa payung sama sekali, hingga membuatnya harus mematahkan daun pisang yang besar sebagai pengganti payungnya. Dengan langkah cepat, Arum berjalan di pinggir jalanan yang mulai sepi itu. Orang-orang berlari untuk berteduh, termasuk para pedagang keliling dan juga pesepeda biasa. Beberapa ada yang mengikuti Arum dengan mematahkan daun pisang lebar sebagai payung mereka.

"Arum."

Panggilan itu terdengar dari belakang tubuh Arum. Ia menoleh dan mendapati Mas Danu-lah yang memanggilnya dengan mengendarai sepeda Ayah.

"Naik, Rum," ucap Mas Danu lagi sembari memberhentikan sepedanya di samping Arum. Arum dengan segera naik di jok belakang sepeda itu, lalu membantu memayungi Mas Danu dengan daun pisangnya yang lebar. Mas Danu mengayuh sepedanya dengan sedikit tergesa, khawatir hujan turun semakin deras. Arum memeluk tubuh Mas Danu dengan erat di kala pria itu membelokkan sepedanya ke arah jalan setapak di sawah.

Daun pisang itu memang tidak membantu banyak, sebab mereka masih tetap basah di bawah guyuran hujan. Namun, Arum tidak panik atau marah. Ia malah sangat menikmati suasana ini. Arum bisa merasakan dinginnya air hujan di kulitnya. Terpaan angin di rambutnya dan tubuh hangat Mas Danu dalam pelukannya. Beberapa kali daun pisang itu memukul lembut kepala Mas Danu karena diterpa angin. Hal itu tak ayal membuat Arum tertawa lebar. Tawa Arum nyatanya juga memancing tawa Mas Danu yang tengah mengayuh sepeda.

Mas Danu melambatkan kayuhannya ketika mereka sudah sampai di rumah. Anehnya, Mas Danu malah menghentikan sepedanya di rumah pria itu sendiri, bukan di rumah Arum.

"Ayah sedang di tempat timbang, sepertinya dia menunggu hujan berhenti, karena takut terpeleset di sawah," gumam Mas Danu, berusaha meluruskan prasangka Arum. "Saya disuruh menjemput kamu, karena takutnya kamu berjalan sendirian di hujan deras ini."

"Ayah nanti pulang dengan apa, Mas?" tanya Arum khawatir.

"Ayah memakai sepeda saya. Setidaknya sepeda saya kondisinya lebih baik daripada sepeda Ayah yang ini," gumam Mas Danu lagi sembari menaikkan sepeda Ayah ke beranda. "Kamu bawa kunci rumah kamu sendiri?"

Arum menepuk kantong di gaun selututnya, lalu menggelengkan kepalanya. Mas Danu mengangguk, kemudian membuka kunci pintu rumah sederhananya itu. Dibukanya pintu itu, lalu mempersilahkan Arum masuk.

"Saya buatkan teh ya, biar hangat," ucap Mas Danu lagi sembari melenggang masuk, meninggalkan Arum yang masih mematung tidak percaya.

Tunggu. Dirinya, anak gadis, di rumah pria dewasa?!

Arum melangkah masuk perlahan ke rumah kayu yang kecil itu. Langkahnya ragu dan pikirannya berkeliaran ke mana-mana. Rumah itu sangatlah kecil hingga ruang tamu menjadi ruang tidur Mas Danu juga. Dapur ada di belakang dan tidak ada kamar mandi. Biasanya, Mas Danu akan meminjam kamar mandi di rumah Arum yang letaknya juga di belakang dan terpisah dari rumah utama. Kamar mandi itu hanya ditopang oleh serat kayu yang dijalin rapat, namun kuat.

Arum mengerutkan kening bingung. Meskipun kecil, namun rumah itu sangat tertata. Tidak ada satu pun barang yang berantakan. Arum sampai malu dibuatnya, mengingat ia jauh lebih berantakan daripada Mas Danu. Tak hanya itu, buku dan surat kabar memenuhi rumah yang kecil itu. Buku ditata dan ditumpuk, mulai dari yang tebal sampai yang paling tipis. Surat kabar pun juga ikut ditata sama rapinya.

"Kamu... mau pakai baju saya dulu?" tanya Mas Danu yang tiba-tiba muncul dengan teh di tangannya.

"N-ndak usah, Mas," gumam Arum sembari tersenyum gugup.

"Saya khawatir kamu masuk angin," balas Mas Danu lagi.

Arum menunduk dan mendapati dirinya memang basah kuyup. Namun, ia tidak mungkin bukan memakai baju pria itu, apalagi sampai harus mengganti baju di ruangan yang sama dengan Mas Danu.

"M-mas, ada sarung?" tanya Arum perlahan.

Mas Danu berjalan ke arah lemari kayu kecilnya dan mencari pakaian yang cocok untuk Arum. Diraihnya kaos hitam dan celana batiknya begitu juga dengan sarung, lalu diberikan pada Arum. Arum menerimanya dengan gerakan gugup, lalu berjalan mundur menjauhi Mas Danu.

"Saya di ganti di dapur dulu. Kalau misalnya sudah selesai langsung bilang ya, Arum," ucap Mas Danu sembari mengambil baju gantinya dan pria itu menghilang dari balik pintu pembatas antara dapur dan ruang utama.

Cepat-cepat, Arum mengganti seluruh pakaian basahnya dengan wajah paniknya. Ia juga melepaskan pakaian dalamnya, mengingat benda itu juga sudah tidak terselamatkan. Arum memakai pakaian Mas Danu yang menjadi kebesaran di tubuhnya. Lalu, dengan sigap ia langsung menutupi tubuhnya lagi dengan sarung yang untungnya cukup tebal. Arum melipat baju basahnya dan menyembunyikan pakaian dalamnya, sebelum berseru jika ia sudah selesai.

Tak lama kemudian, Mas Danu muncul dari balik pintu dapur. Hujan semakin deras, membuat Arum khawatir jika Ayah pulang larut. Ia khawatir Ayah susah bersepeda di malam hari dengan rabun ayamnya dan ia khawatir harus berduaan saja dengan Mas Danu! Arum duduk di dipan Mas Danu, sembari memeluk tubuhnya sendiri. Ia meraih tehnya dan meneguknya perlahan.

"Mas... langganan surat kabar?" tanya Arum pelan.

Mas Danu mengangguk dengan senyuman lembutnya sembari duduk di kursi kayu ysng berseberangan dengan Arum.

"Mas... sebenarnya ke sini untuk apa?" tanya Arum terang-terangan.

"Saya melakukan penelitian," jawab Mas Danu pada akhirnya, membuat Arum merasa lebih lega, sebab pria itu akhirnya tidak bersikap misterius dan menakutkan lagi.

"Penelitian?"

"Tentang sosial," jawab Mas Danu lagi. "... makanya saya ke sini dan menyamar sebagai nelayan."

"Kenapa... harus menyamar, Mas?"

"Saya ndak ingin terlalu mencolok," balas Mas Danu seadanya.

"Untung saja... Arum dari kemarin, mengira Mas itu buronan," gumam Arum dengan tawa leganya.

"Apa saya mencurigakan sekali?"

"Sangat. Mas tiba-tiba muncul tanpa penjelasan apa pun," balas Arum lagi sembari mendengus geli.

"Dari semua tempat kenapa Mas ke sini?"

"Atasan saya yang menyarankan saya ke sini," gumam Mas Danu sembari melipat kakinya dengan gaya yang tak biasa -persis seperti gaya orang kota kependudukan.

"Apa... Mas akan kembali lagi nanti?"

"Kamu mau saya tinggal?" balas Mas Danu cepat dengan senyuman miring bermain di wajahnya.

Arum menundukkan kepalanya dengan pipinya yang merah padam. "Arum ndak mungkin... itu adalah keinginan Mas... Arum..."

"Kamu mau ke kota kependudukan, Arum? Bersama saya?" tanya Mas Danu lagi dengan nadanya yang setenang mungkin. "Saya akan menjaga kamu."

"N-ndak, Mas. Arum sudah nyaman di sini," jawab Arum dengan pipinya yang merah padam sembari menyeruput tehnya hingga tandas, saking gugupnya.

Mas Danu tiba-tiba saja berdiri dari kursi kayunya dan mendekati Arum. Tatapan pria itu mengunci tatapan Arum, membuat nafas gadis itu berat saking gugupnya. Mas Danu meraih gelas Arum yang sudah kosong itu drngan gerakan yang lembut dan halus. Tangan keduanya tak sengaja bersentuhan sekilas, membuat Arum semakin ketar-ketir di tempatnya.

Tiba-tiba saja, jemari lembut mengusap ujung bibirnya. "Saya akan menunggu kamu berubah pikiran, Arum," bisik Mas Danu pelan dengan usapannya yang berpindah di pipi gadis itu. Usapan itu singkat, tak sampai beberapa detik, namun mampu membuat pipi Arum semerah tomat.

Mas Danu menjauh dari Arum dan melangkahkan kakinya ke arah dapur. Ketika punggung pria itu akhirnya menghilang dari balik pintu, Arum menghembuskan nafas yang ia tahan-tahan sejak tadi.

Ada satu sisi dalam diri Arun mengatakan jika Mas Danu memang menyukainya. Namun, ada sisi lain dalam dirinya yang merasakan jika Mas Danu menginginkan sesuatu dari dirinya.

TBC...

Selamat menikmati✨

Kalau kalian punya rekomendasi lagu lawas bolehh dishare juga di sini eheheh

Continue Reading

You'll Also Like

2M 315K 69
Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan dimana sebenarnya jasad I Gusti Ketut Je...
KASHMIR By B.O.S๐Ÿš€

Historical Fiction

377K 24.6K 120
Menjadi pengantin dari kerajaan yang wilayahnya telah ditaklukkan bukanlah keinginanku. Lantas bagaimana jika kerajaan yang aku masuki ini belum memi...
363K 30.9K 155
Title: Death Is the Only Ending for the Villainess BACA INFO!! Novel Terjemahan Indonesia. Hasil translate tidak 100% benar. Korean ยป Indo (90% by M...
Edelweis By - La

Historical Fiction

76.1K 9.9K 40
Flowers are the music of the land. From the lips of the earth spoken without a sound. Then I know that happiness is simple. - Persephone; goddess of...