Menunggu

By Ami_Shin

31K 4.6K 411

Alma dan Arka saling bersahabat. Sejak kecil, mereka selalu bermain bersama, melakukan berbagai hal nakal ber... More

Part 1
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Epilog

Part 2

2K 445 26
By Ami_Shin




"Makan di sini?" tanya Adel begitu mobil Arka berhenti di sebuah parkiran Restoran yang terlihat sangat ramai itu.

                Arka mengangguk sembari membuka kancing kemejanya, melepaskan kemejanya yang sudah tak rapi dan sedikit bau keringat. Arka menyemprotkan parfum disekitar tubuhnya yang cukup atletis itu, kemudian memakai kemeja putih yang Adel bawakan untuknya.

                Adel yang mengamati apa yang dilakukan saudara kembarnya itu, kini mengernyit curiga. Wajahnya menoleh ke bangku belakang, menatap pada sebuah buket bunga yang tergeletak di sana. "Itu bunga buat siapa?"

                Sambil merapikan rambutnya dan memandang wajahnya melalui spion mobil, Arka menjawab. "Elena."

                Melipat kedua tangannya di depan dada, dengan satu alis terangkat ke atas, Adel memandang Arka dengan tatapan curiga. "Pacar kamu?"

                Arka melirik padanya. "Bukan."

                "Terus?"

                "Temen."

                "Kok bawa bunga?"

                Arka menghela napas malas, lalu merangkum wajah Adel. "Adel, saudaraku sayang, coba kamu lihat itu." dia mengarahkan wajah Adel pada seluruh papan bunga yang mengelilingi restoran. "hari ini pembukaan restoran barunya, aku diundang, makanya bawa bunga."

                Adel mengamati sekitarnya, baru menyadari apa yang Arka katakan memang benar. "Kenapa nggak ajak Alma aja sih." decak Adel seraya menepis kedua tangan Arka. Sama seperti Papinya, Adel memang cenderung malas berada di keramaian seperti itu.

                "Udah. Tapi kan kamu tahu, dia nggak suka diajakin makan ke tempat kaya gini. Malah tadi yang ada aku nemenin dia makan mie instan di minimarket."

                "Terus, ngapain kamu ke kantor Polisi?"

                Ditanya seperti itu, Arka tersenyum geli. "Abis gebukin copet, terus ditangkap Polisi."

                Adel menatap Arka malas, lalu dari gerak-geriknya, Arka tahu dia akan mengeluarkan ponsel untuk menelefon orangtua mereka. "Papi udah tahu kok. Soalnya tadi Om Abi datang ke kantor Polisi buat ngelepasin aku sama Alma." Arka tidak lupa memerlihatkan senyuman miringnya yang menyebalkan.

Adel mendengus, lalu menjitak kepala Arka pelan.

                Kini Hamizan bersaudara itu melangkah beriringan memasuki restoran. Untung saja Adel sangat mengerti bagaimana selera kembarannya ini. Maka itu, saat mendengar Arka mengajaknya makan bersama di luar, Adel tahu tempat seperti apa yang akan mereka datangi. Jadi, dia memakai gaun hitam tanpa lengan yang hanya sebatas lutut. Rambutnya dia biarkan tergerai, ada kalung liontin yang tersemat di leher indahnya.

                Sembari memeluk lengan Arka, Adel melangkah santai dengan memasang wajah tenangnya yang terkesan angkuh. Berbanding terbalik dengan wajah saudara kembarnya yang tak henti-hentinya memasang senyuman ramah, bahkan menyapa beberapa orang yang dia kenali.

                Arka mengitari pandangannya ke sekitar, lalu dia menemukan sosok perempuan tinggi semampai, memakai gaun berwarna peach, berpenampilan indah serta elegan, sedang berjalan menuju ke arahnya. "Itu dia." Bisik Arka pada Adel. Adel menoleh pada Arka yang kini tersenyum ramah ke satu arah, dan hal itu membuat Adel menoleh ke arah yang serupa.

                "Hai, Ka." Sapa Elena ramah dengan suara merdunya yang mendayu.

                "Hai, El. Congratulation." Arka menyerahkan buket bunga itu pada Elena, kemudian mengeup pipi kiri dan kanan wanita itu.

                "Thank you. Aku pikir kamu nggak bakalan datang."

                "Sori. Gue kesulitan mencari teman untuk pergi ke sini. Untung aja ada Adel." Arka melirik Adel yang sejak tadi hanya diam, kemudian dia memberi isyarat pada saudaranya itu untuk berusaha bersikap ramah pada Elena.

                Adel menghela napasnya, kemudian tersenyum seadanya dan mengulurkan tangan. "Adel."

                Dengan kernyitan tak percaya, Elena membalas jabatan tangan Adel. "Saudara kembarnya Arka, kan?"

                "Hm."

                "Wow."

                "Wow?"

                "Hm, maaf. Aku cuma nggak nyangka aja bisa ketemu sama kamu, Del." Elena mencium kedua pipi Adel dengan sikap ramahnya. "kamu tahu, akhir-akhir ini nama kamu sering dibahas dimana-mana. Anggota DPR termuda dan yang paling pemberani." Elena melirik Arka dengan senyuman manisnya. "thank you, ya, Ka, udah bawa saudara kamu ke sini."

                Arka mengangguk dengan senyuman yang dikulum. Kemudian Elena mempersilahkan mereka berdua duduk di tempat yang dia minta khusus pada pelayan. Arka melirik Adel sejenak kala mereka berjalan mengikuti kemana Elena membawa mereka, dan saudara kembarnya itu terlihat memutar bola matanya malas, membuat Arka tersenyum geli dan mengedipkan sebelah matanya.

Elena menyuguhi mereka berdua dengan menu makanan terbaik yang dimiliki restorannya. Sembari menjelaskan keunggulan masakan itu, serta cita rasanya yang berbeda dari restoran lainnya, Elena juga menjelaskan dari mana saja bahan-bahan makanan terbaik yang digunakan di sana dia dapatkan.

                Dari caranya bicara, tutur katanya, sikap ramah dan sopannya, Adel tahu kalau wanita di hadapan mereka ini sangat berattitude, sepertinya berasal dari keluarga baik-baik. Dia tidak pernah menolak panggilan siapa pun, menghampiri siapa pun yang memanggilnya, menerima pelukan dan segala hadiah untuknya dengan senyuman dan ucapan terima kasih yang tulus.

                Dan Adel pun juga tahu, sepertinya Elena ini menyimpan perasaan khusus pada Arka. Karena sejak tadi, siapa pun yang memanggilnya, kemana pun dia pergi untuk menemui orang-orang, Elena pasti tetap akan kembali ke meja mereka, menemani mereka makan dan mengajak Arka mengobrol.

                Adel menggelengkan kepalanya pelan, dan menatap wanita cantik itu dengan tatapan kasihan. Arka memang bermulut manis, wajahnya tampan dan dia senang sekali bersikap baik pada seluruh orang.

Tapi, hingga detik ini, sebagai orang yang paling dekat dengannya, Adel tahu kalau Arka sulit untuk jatuh cinta. Tidak. Dia bahkan tidak pernah jatuh cinta. Punya pacar saja juga belum pernah. Sekalinya ada yang menyukainya, Arka malah bingung dan tak enak hati.

                Yang Arka tahu hanyalah bermain bersama Alma, mengikuti Alma kemana pun. Alma, Alma, dan akan selalu Alma. Adel pernah mengira kalau mereka berdua berpacaran, tapi saat meluangkan waktu berharganya untuk mengamati kedua orang berisik itu, Adel menyesal telah membuang-buang waktu.

                Mana mungkin Alma dan Arka berpacaran, kalau setiap kali bertemu saja mereka hanya berbaring sembari bermain game, menonton film sembari saling memaki satu sama lain, atau yang paling tidak waras adalah melakukan taruhan saat menonton pertandingan sepak bola dimana yang kalah harus menjaili rumah tetangga dan menerima hukuman dari orangtua masing-masing.

                "Gimana? Kamu suka nggak?" tanya Elena pada Arka yang baru saja selesai menghabiskan satu prosi Steak.

                Arka mengangguk sembari mengelap sekitar bibirnya dengan serbet putih. "Suka. Enak banget, El. Gue yakin restoran lo bakalan sukses besar."

                Kedua mata Elena berbinar ceria. "Oh, ya?"

                "Hm." Arka mengangguk, lalu tersenyum tipis. Senyuman sederhana yang luar biasa memesona. Persis seperti senyuman Maminya.

                Ada rona merah tak kasat mata yang terlihat di pipi Elena. Adel menyadarinya, sementara Arka sama sekali tidak. Dia bahkan sudah sibuk memeriksa ponselnya, membaca sederet pesan yang Alma kirim untuknya sembari tersenyum geli.

Lo udah makan?

Arka?

Woi!

Lo udah makan belum, sih?

Mau gue kirimin makanan?

Arka!!!

                "Nggak sabaran banget, sih." kekeh Arka yang setelah itu mulai membalas seluruh pesan yang Alma kirim untuknya.

Gue baru selesai makan

Lo udah sampai rumah, kan?

                "Kamu kalau besok-besok mau ke sini, bilang sama aku, ya, Ka. Biar aku bisa kasih tahu waiters buat melayani kamu." ujar Elena lagi.

                "Hm, oke." Gumam Arka tanpa menoleh. Bahkan sepertinya dia pun tidak tahu apa yang Elena katakan karena terlalu sibuk berbalas pesan bersama Alma.

Makan apa?

Dimasakin siapa?

Adel?

Steak

Kalau Adel masakin gue

Artinya gue lagi sekarat

Boro-boro masak

Ke dapur aja dia suka males

Steak?

Iya.

Dimana?

Di restoran barunya temen gue

Lo jadi kesana?

Jadi. Ditemenin sama Adel

Dari pada gue mati kelaparan

Bungkusin satu dong, Ka

Gue jadi pengen nih

Bilangin ke temen lo sana

Nggak!

Ih, pelit banget lo!

Siapa suruh tadi lo nggak mau nemenin gue?

Ya elah, gitu doang ngambek

Bungkusin dong, Ka... laper nih gue...

Heh, memangnya siapa yang tadi gue

Temenin makan mie instan pake sosis

Seabrek-abrek?

Itu kan cemilan

Rakus lo!

Pelit lo!

Jelek!

Babik!

Heh!

                Elena masih saja mengajak Arka mengobrol, namun Arka tetap fokus terhadap ponselnya hingga Adel yang sejak tadi tak bersuara dan kini sudah selesai makan menggigit bibirnya gemas. Adel meraih serbet, membersihkan bibirnya dengan gerakan tenang, setenang raut wajahnya saat ini. Namun kakinya yang memakai heels di bawah sana dengan sengaja menginjak kaki Arka hingga saudaranya itu memakik kesakitan.

                "Aduh!" Arka memelototi Adel.

                "Kenapa, Ka?" tanya Elena terkejut.

                Adel berdehem, menoleh lambat menatap Arka. "Kamu jangan lupa kasih tahu Elena kalau mau ke sini."

                "Hah?" Arka menatap Adel tidak mengerti.

                Rasa-rasanya Adel ingin sekali menancapkan ujung garpu di atas piringnya ke atas kepala Arka. Benar kan dugaannya, Arka sama sekali tak mendengar apa yang Elena katakan. "Elena bilang, kalau kamu mau ke sini, kasih tahu dia. Elena mau kasih pelayanan khusus untuk kamu."

                Wajah Arka menoleh seketika pada Elena yang menyunggingkan senyuman tipis. "Beneran, El? Gue boleh kontak lo kalau misalnya gue sama temen gue mau makan di sini?" Elena mengangguk. "dapat harga temen nggak?" Arka menyengir kecil.

                "Iya..." kekeh Elena.

                Arka ikut tertawa bersamanya. "Nggak kok, gue cuma bercanda. Lo nggak perlu kasih harga temen, apa lagi kasih pelayanan khusus buat gue. Selagi makanan yang lo jual enak dan gue suka, gue bakal sering mampir kesini, dan gue tetap bayar full." Arka tertawa lagi. "Karena itu cara gue buat menghargai perteman kita." Arka yang bijaksana serta baik hati semakin membuatnya terlihat sangat sempurna di mata Elena hingga kini Elena menatapnya dengan binar mata yang penuh cinta.

                Sementara itu, Adel yang kini menopang dagunya, hanya menatap malas pada mereka berdua, sembari menerka-nerka, bagaimana akhir dari kisah membosankan dari mereka berdua.

***

"Elena cantik." Ujar Adel ketika Arka hampir saja membuka pintu kamarnya.

                Arka menoleh ke belakang, menatap Adel yang berdiri menyandar di pintu kamarnya. Kamar mereka memang saling berhadapan, sejak kecil bahkan ketika mereka sudah beranjak dewasa pun, orangtua mereka tetap menyiapkan kamar yang saling berdekatan. Alasannya hanya satu. Agar jika terjadi sesuatu yang mengerikan pada Adel, Arka bisa lebih dulu mengetahuinya dan memeriksa keadaan Adel.

                Sebagai saudara kembar, mereka memiliki ikatan batin yang cukup kuat meski keduanya kerap kali cekcok.

                "Iya. Aku tahu." Jawab Arka, namun wajahnya mengernyit tidak mengerti.

                Adel berdecih. "Kamu nggak tertarik?"

                "Maksudnya?"

                "Dia cantik dan kayanya suka sama kamu."

                Kedua mata Arka membulat tak percaya. "Elena? Suka sama aku?" lalu dia tertawa terbahak-bahak, membuat Adel menatapnya dengan tatapan datar cenderung malas. "Adel... Adel... aku tahu kok, aku ini ganteng dan memesona. Tapi, Elena?" dia menggelengkan kepalanya sembari terkekeh pelan. "levelnya berada jauh di atas aku, Del. Mana mungkin dia suka sama aku."

                Satu alis Adel terangkat tak percaya. Dia yakin, andai saja Opa Adrian mendengarnya, Arka pasti sudah diomeli habis-habisan. Bagaimana bisa dia memandang rendah dirinya? Padahal, Opa mereka sudah sering kali mengatakan kalau tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang bisa merendahkan seluruh keturunan Barata. Dan Arka baru saja melakukannya.

                "Kalau dia beneran suka?" tanya Adel.

                Arka mengernyitkan dahinya, tampak berpikir keras, dan Adel menunggu tak sabar. "Kalau dia suka aku..." lalu Arka menggedikkan bahunya, seolah tak menemukan jawaban apa pun.

                Adel menggelengkan kepalanya malas. Sepertinya Arka memang tidak memahami apa itu jatuh cinta. Tapi, ya sudah lah, bukan urusan Adel juga perihal hati saudaranya itu. "Terserah lah," Adel mengangkat satu tangannya. "good night." Ucapnya.

                Arka turut melambaikan tangannya. Begitu Adel masuk ke kamar, dia pun masuk ke dalam kamarnya sendiri. Arka bergegas mandi, setelah selesai, masih hanya memakai handuk di pinggang, dia mengambil ponselnya, melakukan video call bersama Alma. Begitu wajah Alma muncul, Arka meletakkan ponselnya di atas meja, sedang dia membuka lemari pakaian untuk mengeluarkan kaus dan celana pendek.

                [Baru selesai mandi ya, lo?]

                "Hm. Steaknya udah lo abisin?"

                [Udah. Eh, Ka, Steaknya enak loh. Besok-besok gue mau dong, makan di sana. Tapi lo yang bayarin, ya]

                Sambil memakai kausnya, Arka melirik ke arah ponselnya dengan tatapan malas. "Makanya kalau gue ajakin tuh nggak usah belagu." Saat Arka melepaskan handuknya, Alma bergegas menutup wajahnya, dan hal itu membuat Arka terkekeh pelan, apa lagi saat ini Alma mulai memakinya karena hal itu.

                [Lo kalau mau buka handuk jangan di depan gue dong! Dasar nggak waras!]

                Selesai berpakaian, Arka menyambar ponselnya, lalu dia berbaring di atas ranjang dengan satu tangan terlipat di bawah kepala sedang satunya lagi memegang ponsel. "Udah. Gue udah pakai baju."

                Mendengar itu, baru lah Alma membuka telapak tangannya dan memelototi Arka.

                "Lo lagi ngapain?" tanya Arka saat menyadari jika Alma sedang berkutat di depan laptopnya.

                [Kerja.]

                "Nggak bisa besok memangnya?"

                [Bisa. Tapi abis itu gue dipecat.]

                Arka mendengus malas. "Lama nggak?"

                [Apa?]

                "Kerjanya"

                [Lumayan.]

                "Ya udah, gue tungguin sampai selesai kalau gitu."

                Alma melirik Arka melalui ponselnya, bibirnya tersenyum tipis, namun dia tidak mengatakan apa pun. Alma kembali mengetik di keyboard laptopnya, wajahnya terlihat mulai serius meski sesekali Arka mengajaknya mengobrol dan Alma hanya menanggapi seadanya.

                Hal ini sudah menjadi kebiasaan tersendiri bagi mereka. Saling menelefon hingga salah satu dari mereka tertidur, atau pun melakukan video call hingga dini hari. Akhir-akhir ini Arka memang lebih sering menemani Alma bekerja sambil melakukan video call. Dan dia menyukai kegiatan ini. Karena Arka bisa berlama-lama memandang wajah serius Alma kala dia bekerja.

                Raut wajah Alma yang sering berubah-ubah itu membuat Arka sering tersenyum-senyum sendiri selagi mengamatinya. Bahkan jika Alma mengumpat karena mengantuk sekali pun, Arka juga merasa kalau hal itu lucu.                Entahlah. Arka pun tak tahu mengapa segala tingkah ajaib Alma yang bar-bar sekalipun terasa menggemaskan dimatanya. "Al." panggil Arka tiba-tiba. Alma hanya menggumam tanpa melirik. "lo cantik."

                Bunyi ketikan keyboard yang sejak tadi terdengar berisik berhenti seketika. Alma tampak mengerjap, lalu perlahan melirik Arka. Dahinya mengernyit kala menemukan kedua mata Arka terpejam. Arka sedang berbaring miring, sepertinya dia menyandarkan ponselnya di samping guling.

                [Ngigo kayanya.] gumam Alma sembari tersenyum geli. Namun kini dia tampak mengamati wajah Arka yang tertidur pulas dengan lekat.

                Menurut Alma, Arka itu tampan, hanya saja, dia juga cengeng dan senang merengek. Membuat Alma sering kali melupakan ketampanannya karena terlalu sibuk mengajari lelaki ini untuk menjadi pemberani.

                Orang-orang yang mengenal Arka pasti selalu mengira jika lelaki ini adalah lelaki periang yang baik hati. Padahal, Alma tahu betapa kusutnya pikiran lelaki ini jika sudah memikirkan banyak sekali hal mengenai keluarganya dan tanggung jawabnya sebagai anak serta penerus perusahaan. Arka tak pernah berkeluh kesah pada siapa pun selain pada Alma, tak pernah mencurahkan isi hatinya pada siapa pun kecuali pada Alma. Dan bahkan, orang pertama yang tahu bagaimana mimpi basah pertamanya pun juga Alma.

                Alma sangat menyayanginya. Sungguh. Bahkan, saking sayangnya, Alma sampai tak ingin memikirkan jika suatu hari nanti mereka akan berpisah karena memiliki kehidupan masing-masing. Sejak kecil, mereka berdua sudah terbiasa bersama. Bermain bersama, belajar bersama, tertawa bersama, dihukum pun bersama. Rasa-rasanya, tak ada satu momen pun di dalam hidup mereka yang tidak mereka lalui bersama-sama.

                Karena itu, Alma berjanji akan selamanya menjaga Arka, menjauhkannya dari segala hal yang nantinya akan menyakiti Arka, dan menjauhkan diri mereka dari segala hal yang berpotensi membuat mereka berdua berpisah.

                Alma ingin selamanya hidup berdampingan bersama Arka. Semoga saja, Tuhan, dan semesta ini juga mengamininya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

SCH2 By xwayyyy

General Fiction

134K 18.5K 48
hanya fiksi! baca aja kalo mau
629K 59.2K 46
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...
88.6K 475 5
cerita-cerita pendek tentang kehamilan dan melahirkan. wattpad by bensollo (2024).
Balance Shee(i)t By Raa

General Fiction

69K 5.8K 43
Padahal kan ingin Mosha itu agar mereka dijauhkan bukan malah didekatkan. -·-·-· Mosha, mahasiswi jurusan akuntansi ingin kehidupan kuliahnya seperti...