Menunggu

By Ami_Shin

32.2K 4.7K 411

Alma dan Arka saling bersahabat. Sejak kecil, mereka selalu bermain bersama, melakukan berbagai hal nakal ber... More

Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Epilog

Part 1

6.8K 687 68
By Ami_Shin


Alma mendorong keluar pintu minimarket dengan punggungnya. Kedua tangannya tampak sibuk memegangi sebuah cup mie instan dan beberapa bungkus sosis siap makan. Ada sebotol air mineral yang dia selipkan di lengannya, sedang tas tangannya dia gantung di pergelangan tangan.

Setibanya di sebuah meja di depan minimarket, Alma meletakan seluruh barang bawaannya ke sana, menarik kursi untuk dia duduki. Bibirnya tersenyum senang ketika matanya menemukan asap mengepul dari cup mie instan, seolah sengaja memanggilnya.

Alma meraih garpu plastik, membuka bungkusnya, lalu mulai menyantap mie itu dengan wajah penuh bahagia. Matanya melirik ke arah tiga bungkus sosis. Tidak boleh dibiarkan, pikirnya. Maka setelah itu dia mengambil satu sosis dari atas meja, membuka bungkusnya lalu menyantapnya dengan wajah penuh kepuasan.

Gadis berusia dua puluh empat tahun itu tampak asyik dengan semua makanan yang sama sekali tidak sehat di hadapannya itu. Bibirnya bahkan tersenyum senang mana kala menyuapkan mie ke dalam mulutnya. Rambutnya yang tergerai sesekali jatuh ke sisi depan tubuhnya, membuatnya berdecak lalu mengibaskan rambutnya ke belakang. Makan mie instan dimalam hari di pinggir jalan, dimana banyak sekali kendaraan berlalu lalang, adalah hal yang paling menyenangkan bagi Alma setiap kali dia pulang bekerja.

Tidak peduli di rumahnya sudah tersaji masakan lezat yang sudah pasti bukan masakan Mamanya, Alma tetap memilih makan di luar, di tempat seperti ini.

Seharian sibuk mengurusi kasus, dimulai perceraian, perebutan warisan, bahkan hingga kasus-kasus besar lainnya, terkadang membuat Alma merasa mual. Tapi mau bagaimana lagi, itu adalah pekerjaannya. Lagi pula, berkat pekerjaannya itu lah Alma mendapatkan pundi-pundi uang yang bisa dia banggakan di hadapan lelaki si pencetak uang menyebalkan itu.

Abizar Ilyas. Papanya.

Alma mencintai Papanya, dia bahkan sangat kagum pada keahlian yang Papanya miliki. Hanya saja, Papanya itu senang sekali menganggap remeh segala hal di sekelilingnya, dan tabiat buruknya itu adalah membanggakan dirinya serta semua yang dia miliki.

Keluarga, uang, pekerjaannya. Seolah-olah Papanya itu adalah manusia paling hebat sedunia.

Hal itu lah yang dulu sering kali membebani Alma, membuatnya takut jika setiap hal yang dia lalukan akan selalu ada bayang-bayang kehebatan Papanya. Maka itu, dibandingkan mengurus perusahaan IT milik Papanya yang siapa pun tahu betapa hebatnya perusahaan itu, Alma lebih memilih menjadi seorang pengacara. Meskipun dia masih merupakan bawahan dari seorang pengacara besar yang ditugaskan membantu mengurusi kasus-kasus klien mereka.

Di awal karirnya, Alma sempat merasa rendah diri. Gajinya tidak seberapa, pekerjaannya belum bisa dia banggakan. Alma hampir saja putus asa, Tapi, Alma masih ingat ketika Papanya datang menghampirinya, duduk berdua dengannya. Papanya tidak menanyakan apa yang terjadi pada Alma, padahal wajah Alma sangat murung kala itu. Papanya hanya mengatakan sesuatu yang membuat Alma terpaku.

"Kamu tahu nggak, siapa musuh terbesar kita di dunia ini?"

Ketika itu Alma menggelengkan kepalanya.

"Bukan orang yang membenci kita, apa lagi orang terdekat kita. Tapi, musuh terbesar di dunia ini adalah diri kita sendiri. Kamu tahu kenapa? Karena rasa ragu. Ragu jika kita akan merasa lelah, ragu jika kita akan gagal, ragu jika kita akan membuat masalah. Padahal, dilakukan saja juga belum. Dulu Papa juga gitu sih, ragu nggak bisa hidup tanpa orangtua, karena hidup itu keras, jadi mustahil kalau Papa bisa hidup tanpa mereka. Tapi... coba lihat Papa sekarang?"

Alma hanya mengernyit ketika Papanya tersenyum bangga padanya. Sebuah kebanggan untuk dirinya sendiri. Sudah biasa.

"Papa pernah merasa malas?"

"Pernah."

"Pernah gagal?"

"Pernah."

"Pernah buat masalah?"

"Kalau itu sih sering."

"Kalau... suatu hari nanti aku juga begitu, Papa marah nggak sama aku?"

"Alma... Alma... memangnya selama ini Papa pernah marah sama Kamu? Nggak, kan? Yang suka marah-marah itu Mama, makanya muka Mama sekarang banyak keriputnya. Eh, tapi kamu jangan bilang sama Mama ya soal ini. Nanti Papa disuruh tidur diluar."

"Aku serius!"

"Iya, iya... pokoknya, apa pun yang kamu lalukan, apa pun yang kamu jalani, Papa selalu dukung kamu. Jangan takut melakukan kesalahan, karena tanpa kesalahan, kamu nggak akan pernah menjadi dewasa dan berkembang. Asalkan setelah itu kamu bisa memperbaiki kesalahan kamu, lakukan. Lakukan kesalahan lebih banyak lagi, jangan takut, ada Papa yang selalu ada di sisi kamu." Terdengar sedikit sesat, tapi entah kenapa Alma malah tersenyum ketika mendengarnya.

Dan rasa gelisahnya menghilang begitu saja, sejak Papanya pergi setelah mengacak rambutnya. Tidak ada pelukan, karena Abizar Ilyas tahu Alma tidak suka diperlakukan seperti itu olehnya. Ah, sebenarnya ada seseorang lagi yang membuat Alma pada akhirnya berjuang lebih keras lagi dalam pekerjaannya. Seorang lelaki yang saat ini baru saja keluar dari mobil mahalnya dengan wajah memberenggut, lelaki yang berjalan santai ke arahnya, yang tidak menyadari jika sekelilingnya mulai menjadikannya perhatian. Lelaki yang saat ini mencebik pelan sebelum duduk di depan Alma.

Alma masih menyuapi mulutnya dengan mie, namun satu tangannya mendorong sosisnya ke depan.

"Enak, walaupun harganya nggak sebanding sama sosis di rumah lo." Lelaki di depannya tidak menyahut, bahkan kini memalingkan muka dengan wajahnya yang masih memberenggut dan itu membuat Alma memutar bola matanya malas. "Uhuk!"

Seperti kecepatan cahaya, begitu mendengar Alma terbatuk, lelaki itu bergegas membuka tutup botol minuman di atas meja kemudian menyerahkannya pada Alma. "Makanya kalau makan pelan-pelan!" Rutuknya.

Alma mengerling padanya, mencebik pelan lalu memgambil botol minuman itu. "Becanda gue. Ngomel mulu lo, Ka, kaya Opa lo."

"Bodo." Balas Arka, sahabat Alma sekaligus salah satu kandidat calon penerus Barata's Group generasi selanjutnya, yang saat ini sedang merajuk karena Alma lebih memilih makan di tempat seperti ini dibandingkan menerima ajakan Arka untuk makan malam di sebuah restoran mahal milik rekan kerjanya.

"Apa sih, lo, kalau mau ngambek, minggat sana." Omel Alma.

Arka menatapnya dengan kedua mata menyipit. "Gue nggak ngambek."

"Senyum dong kalau gitu."

Dan Arka melakukannya, meski dengan wajah yang masih tampak kesal hingga Alma tertawa terbahak-bahak.

Mata Arka mengamati meja di depannya, lalu dia menghela napas. "Lo nggak takut, sering makan yang beginian?" Arka benar-benar tidak tahu mengapa sahabatnya ini senang sekali menikmati makanan tidak sehat itu.

Sejak kecil, sejak mengikuti Alma kemanapun, Arka sudah sering kali melihat Alma yang jajan sembarangan. Dulu, Alma jarang sekali jajan di sekolah mereka. Dia menyimpan uang sakunya untuk pulang sekolah nanti, membeli banyak sekali jajanan di depan sekolah lain yang tidak bisa dia temukan di sekolahnya.

Dan dia melakukannya bersama Mamanya. Arka pernah mencobanya, dan setelah itu dia bersumpah tidak akan melakukannya lagi karena setelahnya Arka jatuh sakit dan mengalami gangguan pencernaan. Arka pun tidak mengerti mengapa Alma baik-baik saja sedangkan dia malah sakit.

Alma menyeruput kuah mie melalui pinggiran cup. Mendesah panjang dengan senyum penuh kenikmatan. "Takut kenapa?"

"Sakit. Ya, nggak sekarang sih. Tapi nanti kalau lo udah tua, lo bakalan jadi sering sakit-sakitan karena dari kecil suka makan sembarangan."

"Terus?"

"Lo nggak mau jaga kesehatan lo memangnya? Biar bisa punya umur panjang?"

Alma berdecak berkali-kali, kepalanya menggeleng pelan, kemudian dia bersedekap. "Lo gimana sih, yang dulu rajin ngaji kan elo sama si Adel. Gue sering bolos. Tapi masa soal umur aja lo masih nggak tahu." Arka mengernyit bingung. Alma menjangkau sisa sosis yang masih ada di mejanya, membuka bungkusnya lalu menggigitnya. "Umur kan udah di tetapin sama Tuhan. Mau lo sehat kek, sakit kek, ya lo bakal mati di waktu yang udah ditetapin sama Tuhan, Ka. Jadi nggak ada hubungannya sama makanan gue. Bego lo emang!"

Lihat kan, Alma ini memang memiliki seribu jawaban atas semua pertanyaan yang ada di dunia ini.

"Iya kalau lo langsung mati, kalau nanti lo malah sakit-sakitan?!" Rutuk Arka.

"Ya gue tinggal ke rumah sakit lah! Gunanya ada rumah sakit kan memang buat orang-orang sakit, gimana sih lo."

"Bodo ah, lo menang mulu kalau debat sama gue."

"Lo aja yang bego."

Arka menggigit bibirnya kesal. Tangannya menyambar botol minum Alma, meneguk isinya hingga habis tak tersisa. Harusnya Arka tahu, berdebat dengan Alma hanya akan membuat tekanan darahnya tinggi.

Botol itu Arka hentakan ke atas meja, kali ini dia menatap Alma lebih lekat. "Sebenarnya gue juga mau banget nggak peduli sama lo, tapi masalahnya, gue nggak bisa. Lo bisa mikir nggak sih, huh? Kalau nanti lo sakit, terus kenapa-napa, gue gimana? Lo kan tahu, temen gue cuma elo, soalnya lo nggak pernah biarin gue temenan sama orang lain selain lo. Nanti kalau lo sakit, terus mati, gue gimana, Alma?!" Wajah Arka tampak putus asa ketika dia meluapkan kekesalannya. Bukan sebuah amarah, melainkan omelan bernada frustasi yang mengartikan jika Arka sudah kehilangan kesabaran.

"Gue orderin makanan buat lo setiap hari, lo nolak. Gue beliin vitamin, nggak pernah lo minum. Gue ajakin makan di tempat yang lebih bagus, lo malah milih makan di sini. Mana di pinggir jalan lagi, banyak debu, hih!"

Rutukan Arka itu membuat Alma mengerjap lambat, mulutnya berhenti mengunyah, matanya menatap Arka dengan sorot tak terbaca. Wajah Arka terlihat lucu sebenarnya. Tampak kesal, sedikit memerah namun malah terlihat menggemaskan. Persis seperti ketika dia masih kecil.

Tapi, meski begitu, Alma merasakan hatinya menghangat saat ini. Jujur saja, Alma bukan gadis yang peka terhadap sekitar. Dia ini galak, suka membuat masalah, pembangkang, dan mudah sekali kesal terhadap sekelilingnya. Karena itu lah Alma sama sekali tidak tahu jika apa yang Arka lalukan selama ini untuknya, yang menurut Alma sangat menggangu sekaligus berlebihan, nyatanya adalah sebuah bentuk perhatian dari lelaki ini.

"Ngapain lo lihatin gue kaya gitu?" Tanya Arka yang menyadari tatapan termangu Alma. Membuatnya merinding saja.

Alma mengerjap lagi, menggelengkan kepalanya, kemudian kembali mengunyah sembari memalingkan wajahnya. "Udah, tenang aja. Kalau nanti gue mati, gue tetap bakalan nemenin lo kok."

"Hah?" Gumam Arka tidak mengerti. Dia melihat Alma mengerling jail padanya, membuat kedua mata Arka membulat lucu. "Heh, jangan aneh-aneh ya lo! Kalau udah mati ya mati aja, ngapain lo nemenin gue. Nggak! Awas aja ya lo!" Arka mengusap-usap tengkuknya yang sempat merinding karena membayangkan Alma akan menggentayanginya setelah mati.

Benar-benar konyol, membuat Alma tertawa terbahak-bahak.

*

Sambil mengelus perutnya yang kekenyangan, Alma berjalan beriringan bersama Arka menuju mobil lelaki itu. Mulutnya menguap lebar, lalu dua tangannya dia rentangkan ke atas. Kalau saja Mamanya melihat Alma seperti ini, dia pasti sudah akan mendapatkan omelan panjang lebar dari Mamanya itu.

Tapi mau bagaimana lagi, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, kan? Jangan salahkan Alma kalau begitu. Toh, ketika Alma melihat-lihat foto masa kecil Mamanya, dia seperti melihat dirinya sendiri. Lagi pula, kalau Mamanya itu berharap memiliki anak semanis Adelia Putri Hamizan, harusnya dia jangan menikahi Papanya.

Gen buruk bertemu gen buruk, hasilnya sudaH tentu jauh lebih buruk dibandingkan mereka, kan? Sudah lah, pokoknya, semua ini bukan salah Alma. Titik.

Sedang enak-enaknya menguap sembari merentangkan tangan, tiba-tiba saja tas yang sejak tadi Alma pegang, direbut oleh seseorang. Alma menoleh ke samping, lalu memutar tubuhnya ke belAkang, melihat seorang lelaki berlari kencang sembari membawa tasnya. "Eh," gumam Alma terkejut. Kedua matanya melotot tak percaya. "copet!" teriaknya kuat hingga Arka yang baru saja membuka pintu mobil, menoleh cepat ke arahnya.

Bahkan kini, Alma sudah berlari kencang mengejar pencopet itu.

"Alma!" teriak Arka. Sayangnya, menoleh pun Alma tidak. Jadi, Arka bergegas mengejar Alma.

Dengan kedua tangan terkepal di depan dada, wajah kesal nan murka, Alma berlari kencang mengejar pencopet itu. Berani sekali dia mencopet tas mahal itu. Alma saja selalu hati-hati menjaganya, menyimpannya di lemari kaca, bersama miniatur tokoh anime kesayangannya.

Pencopet itu berbelok ke gang-gang kecil yang sepi, namun Alma tidak takut dan gentar. Bahkan tidak ada raut lelah di wajahnya. Dan kini, ketika dia semakin mendekat dengan copet itu, sambil berteriak kuat, Alma melompat ke depan dengan sembari melayangkan satu kakinya.

Alhasil, pencopet itu terdorong ke depan, terjerembab, setelah Alma menendang punggungnya.

Alma berhenti berlari, napasnya tersengal-sengal, namun bibirnya tersenyum puas. Kemudian dia mengambil tasnya dari pencopet itu, memeriksa setiap senti untuk memastikan tak ada satu goresanpun di tasnya ini.

Dan ketika dia tidak menemukan apa pun di sana, senyumannya tampak semakin lebar. "Syukur deh..." gumamnya.

Lalu dia mendengar rintihan pencopet tadi, membuat ekor matanya melirik tajam ke arahnya. Dan bertepatan dengan itu, Arka menghampirinya, dengan napas yang sama tersengalnya.

"Gila," rutuk Arka tersengal-sengal. "lo lari udah kaya dikejar setan."

"Bukan dikejar setan, tapi gue lagi ngejar setan," Alma kembali menyeringai kecil. "dan sekarang, setannya harus gue kasih pelajaran." Alma menyerahkan tasnya pada Arka, lalu kemudian dia menendangi si pencopet yang menjerit kesakitan. Tendangannya tidak main-main, sangat brutal dan membabi buta. "dasar copet kurang ajar! Rasain nih, rasain!"

Sambil memeluk tas Alma, Arka terperangah luar biasa ketika mengamati sahabatnya itu. Wajah Alma terlihat kesal, tapi matanya memancarkan kebahagiaan ketika kakinya bergerak pasti menandangi pencopet yang meringkuk di atas tanah itu. Tidak ada bedanya, gumam Arka di dalam hati. Alma kecil dan Alma dewasa benar-benar tak ada bedanya. Masih saja brutal, kejam dan senang sekali memukuli orang.

Benar-benar gadis ini...

Arka sampai menggelengkan kepalanya dengan gerakan lambat, sementara matanya masih mengamati wajah Alma, dan juga mulutnya yang tak berhenti mengomel serta memaki.

"Ah!" pekik Alma. Tubuhnya terdorong sedikit ke belakang karena kaki si pencopet itu menendang perut Alma.

Arka tersentak, lalu matanya melebar hebat. Lalu wajahnya berpaling cepat, memandang pencopet itu dengan tatapan murka. "Lo tendang dia?!" bentak Arka. Dan sedetik kemudian, Arka melemparkan tas itu pada Alma.

Lalu dia membungkuk, meninju wajah pencopet itu. Dan seakan tak puas, Arka mendudukinya, lalu memukuli wajahnya berkali-kali, dengan kemarahan yang luar biasa, hingga Alma yang tak percaya dengan apa yang dia lihat, kini mengangakan mulutnya.

Arkana Putra Hamizan ini... benar-benar tak terprediksi ternyata.

*

Seorang lelaki datang dengan langkah tergesa-gesa ke kantor Polisi. Begitu dia sudah berada di dalamnya, matanya menatap lekat pada Arka dan Alma, yang duduk berdampingan, di depan meja petugas. Alma hanya bersedekap, menatap lelaki itu dengan tatapan santainya meski wajahnya terlihat kesal. Sedangkan Arka tersenyum canggung sembari menggaruk pelipisnya dengan jemari. Lelaki yang sedang menatap mereka itu tampak begitu gagah, postur tubuhnya sangat memesona meski mulai ada sedikit kerutan di sekitar dahi dan bawah matanya. Lalu kini tatapan lelaki itu mengarah pada si pencopet, dimana wajahnya sudah babak belur, serta keadaannya terlihat sangat memperhatinkan.

Dan ketika dia menemukan hal itu, seringaian khasnya terlihat begitu saja.

Namanya Abi, Papanya Alma, yang kini melangkah santai menghampiri mereka. Kedua tangannya bergerak cepat mengacak puncak kepala Alma dan Arka. "Good job!" pujinya.

Dan pujian yang ternyata terdengar pada petugas di hadapan Arka dan Alma, membuat sang petugas menatap Abi tak percaya. "Maaf, bapak siapa?" tegur petugas itu.

Abi menatapnya, lalu tangannya terulur angkuh ke depan. "Abizar Ilyas, orangtua mereka berdua. Dan cepat lepaskan anak-anak saya, atau rahang pencopet sialan itu," ekor mata Abi melirik sinis pada sang pencopet. "akan berpindah tempat ke selangkangannya."

Petugas itu mengerjap terkejut, sang pencopet meneguk ludahnya susah payah, Arka mengerjap cepat dengan wajah terpercaya, sedangkan Alma... dia menatap Papanya lekat, dengan seringaian miring di bibirnya.

That's my Dad!

Abi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengeluarkan Arka dan Alma dari sana. Sebelum diperbolehkan pergi, petugas memberikan nasihat dan teguran pada Arka dan Alma karena telah menghakimi pencopet dengan cara yang salah. Dan selama petugas itu melakukannya, hanya Arka saja yang tampak kooperatif, sementara Alma hanya memalingkan wajahnya yang terlihat malas, bahkan sesekali dia menguap lebar, membuat Arka yang meliriknya sesekali mendesis pelan, menendang kakinya dari bawah, lalu ketika Alma meliriknya, Arka memelototinya. Namun Alma sama sekali tidak peduli, dia kembali memalingkan wajah, sama sekali tak ingin mendengarkan apa pun.

"Om udah telefon Papi kamu," ucap Abi begitu mereka keluar dari kantor Polisi. Abi terkekeh pelan saat wajah Arka tampak memucat. "tenang aja, Papi kamu cuma minta foto wajah pencopet tadi. Dan dia senang melihat hasil pukulan kamu." Abi mengacungkan dua Ibu jarinya.

Tadinya Arka sudah merasa was-was, takut kalau Papinya yang sedang menghabiskan banyak waktu bersama Maminya di berbagai belahan dunia saat ini akan marah ketika tahu kalau Arka baru saja dibawa ke kantor Polisi karena memukuli pencopet. Tapi ternyata dugaannya salah. Syukurlah.

Arka tidak mau Papinya kembali menemukan celah untuk meragukannya.

Diragukan oleh Leo Hamizan itu rasanya sangat menyebalkan. Arka bahkan masih ingat selama apa Papinya berpikir sebelum menyetujui ajakan Maminya mengenai keliling dunia, menghabiskan masa tua mereka di berbagai tempat, hanya berdua.

Dan itu artinya, Papinya harus meninggalkan ketiga anak-anak mereka, dimana itu adalah hal terberat baginya. Apa lagi meninggalkan Adel, putri kesayangannya. Tapi pada akhirnya, Leo menyetujui ajakan Rere, dengan memberikan tugas dan tanggung jawab pada Arka untuk mengurusi perusahaan, serta menjaga Adel dan Bara. Menjaga Adel tidak lah sulit, karena saudara kembarnya itu bukan jenis gadis yang senang menghabiskan waktu di luar rumah. Adel akan segera pulang ke rumah setelah selesai dengan pekerjaannya sebagai anggota DPR.

Ya, benar. Berbeda dari kebanyakan anggota keluarga Hamizan yang lain, dimana hampir seluruhnya bergelut di bidang bisnis, Adel malah tertarik terhadap Politik. Ketika Adel memberitahu keputusannya, semua orang melarang dengan tegas. Politik bukan sesuatu yang mudah, Adel hanya akan mendapatkan banyak masalah ketika masuk ke dalamnya.

Tapi sayangnya, ketika semua orang menentang, Leo malah mendukungnya, membuat jalan Adel begitu sampai detik ini. sudah lah, tak ada gunanya menentang Adel ketika Papinya memberikan dukungan. Semua orang juga tahu betapa keras kepalanya Leo.

Begitu pula mengenai Bara. Arka tidak menemukan kesulitan apa pun selama menggantikan tanggung jawab Papinya menjaga Bara. Selain adiknya itu memang bukan tipe anak yang merepotkan, keberadaan Bara di asrama AKPOL cukup membantu, setidaknya Arka hanya butuh mengunjungi adiknya itu satu bukan sekali jika dia tidak memutuskan pulang.

"Omong-omong," Abi menatap Arka dan Alma. "kalian berdua udah pada makan? Mau mampir makan sebentar nggak?"

"Aku udah makan, Pa." jawab Alma.

Lalu Abi memandang Arka.

"Nanti aja, Om, di rumah." Jawab Arka dengan senyuman tipis di bibirnya. Senyuman yang menyerupai Maminya, membuat Abi selalu saja merasa senang setiap melihat senyuman Arka ini.

Sayangnya, jawaban Arka malah membuat Alma menoleh cepat, menatapnya dengan kernyitan jelas di dahinya.

"Oke, kalau gitu Om sama Alma pulang dulu." Ucap Abi. "ayo, Alma."

"Papa duluan aja, aku mau ngobrol sebentar sama Arka." Jawab Alma. Abi hanya mengangguk kemudian kembali ke mobilnya. Dan sepeninggalan Abi, Alma memukul lengan Arka kuat, membuat Arka mengaduh lalu mengusap lengannya.

"Apa sih, lo!" cebik Arka.

"Kenapa lo belum makan?!" kedua mata Alma melotot tajam. "bukannya tadi lo bilang mau makan di restoran baru temen lo?"

"Nggak jadi."

"Kenapa?"

"Lo nggak mau ikut, gue jadi males."

Alma semakin mengernyit heran. Kalau begitu... tadi ketika Arka datang menemuinya di minimarket, lelaki itu datang dengan perut kosong? "Kok tadi lo nggak bilang sama gue, kalau lo belum makan?"

"Lo nggak ada nanya." Arka melengos malas.

Bibir Alma menipis kesal seketika. "Umur lo berapa sih, huh? Kalau lapar itu, ya makan! Bukannya malah nungguin ditanya dulu, baru lo makan. Ih, Ka, sumpah, ya, bego banget sih, lo!" omel Alma. "udah belum makan, ngikutin gue ngejar-ngejar copet, di tangkap Polisi. Dan sekarang," Alma melirik jam tangannya. "astaga... udah jam sepuluh, dan lo belum makan!"

Arka mendengus dengan wajah malasnya. "Salah siapa? Coba aja tadi lo mau nurut gue ajakin makan di restoannya temen gue, pasti gue udah kenyang sekarang. Mana tadi lo ribet banget ngejar-ngejar pencopet, padahal nggak ada barang berharga di dalam tas lo itu, harusnya biarin aja diambil sama pencopet tadi, kan kita nggak harus sampai jadi begini."

Tangan Alma bergerak cepat, menjitak kepala Arka. Hingga lelaki ini mengaduh kesakitan sembari mengusap kepalanya. "Aduh!"

"Sembarangan ya, lo!"

"Sakit, Alma!"

"Mampus!" umpat Alma. "makanya jangan bego! Gue nggak mau kehilangan tas ini, bukan karena isinya. Tapi, karena tas ini kan elo yang beliin, gimana sih lo."

Masih sembari mengusap bekas jitakan Alma, Arka mengernyit.

Lalu matanya melirik ke arah tas yang berada di tangan Alma, tas yang dia berikan pada Alma di pagi hari pertamanya bekerja. Dan sampai detik ini, Alma selalu memakai tas itu selama dia bekerja.

"Tas ini berarti buat gue. Sama kaya lo."

Arka tertegun. Alma memang bukan jenis orang yang senang memendam. Dia adalah perempuan paling blak-blakan yang pernah Arka kenal. Jika dia sayang, maka dia akan mengatakan sayang, tidak pernah gengsi apa lagi malu. Dan sekarang, dia baru saja mengakui kalau tas pemberian Arka itu berharga baginya. Satu informasi yang baru Arka ketahui, dan berhasil membuat hatinya menghangat.

Melihat wajah Arka yang tertegun, Alma tertawa pelan. "Sekarang lo ngerti kan, kenapa tadi gue lari-lari kaya dikejar setan? Sama kaya lo yang buru-buru ke rumah gue buat kasih tas ini, padahal lo baru balik dari luar kota waktu itu. Lo dan seluruh pemberian lo itu, pasti berarti buat gue. Jadi, Arkana Putra Hamizan, gue nggak mau kehilangan salah satu dari semua itu."

"Lo juga berarti kok, Al, buat gue." balas Arka dengan senyuman tipis.

"Udah tahu." Jawab Alma cepat dengan nada menyebalkan, dia terkekeh pelan saat melihat Arka memutar bola matanya malas. Kemudian Alma mendekat, memberikan pelukan persahabatannya pada Arka. "makasih ya, tadi lo udah bantuin gue mukulin pencopet itu." ucap Alma dengan suara pelannya.

Arka tersenyum, lalu membalas pelukan Alma, mengacak belakang kepala Alma pelan. "Gue nggak terima kalau tadi sampai kenapa-napa."

"Gue?"

"Tasnya. Itu mahal. Seharga rumah lo kalau aja lo mau tahu."

Masih dengan memeluk Arka, Alma mendengus, lalu jemarinya bergerak cepat, menjambak rambut belakang Arka sampai kepala lelaki itu mengadah ke atas. Arka mengaduh, namun bibirnya tertawa geli. Sudah terlalu bisa mengahdapi sikap bar-bar Alma.

"Ya udah deh, gue pulang dulu kalau gitu. Lo juga, langsung pulang, terus makan." Perintah Alma.

"Hm." Gumam Arka, namun bibirnya tersenyum manis mendengar perintah Alma yang terdengar galak itu. Entah mengapa, walaupun menyebalkan, namun Arka senang sekali kalau Alma sudah memerintahnya seperti itu. Apa lagi kalau Alma mengomelinya.

Alma melambaikan tangannya, kemudian berjalan ringan menuju mobil Papanya. Suara klakson terdengar sebelum mobil Abi beranjak pergi, meninggalkan Arka yang melambaikan tangan ke arah mobil Abi.

Setelah Abi dan Alma pergi, Arka pun kembali kemobilnya. Namun, ketika dia baru saja membuka pintu mobil, lelaki yang memiliki hidung bangir, alis hitam lebat serta wajah ramah nan menawan itu menghentikan gerakannya saat ucapan Alma seolah kembali dia dengar.

"Tas ini berarti buat gue. Sama kaya lo."

Arka mengerjap, sebuah desir aneh merajai hatinya, membuat bibirnya terangkat ke atas begitu saja, namun otaknya tak mengerti mengapa dia harus merasa sebahagia ini hanya karena Alma menganggapnya begitu berarti.

Lalu Arka menggelengkan kepalanya, terkekeh geli dan memutuskan masuk ke dalam mobil untuk kembali pulang. Tapi ketika dia hendak mengendarai mobilnya, matanya menangkap sebuket bunga di sampingnya. Bunga yang tadinya Arka beli untuk dia berikan pada temannya yang baru saja membuat sebuah restoran. Ya, harusnya Arka memberikan bunga ini pada temannya itu, sayangnya Alma tidak mau diajak ikut kesana, membuat Arka menggagalkan rencananya dan memilih menyusul Alma.

Arka melirik jam tangannya, sudah pukul sepuluh malam. "Keburu nggak, ya?" gumamnya. "tapi gue udah beli bunga, masa dibuang gitu aja, kan sayang." Setelah berpikir cukup lama, Arka memutuskan menghubungi saudaranya. "Del, temenin yuk."

[Kemana?]

"Makan."
[Kamu dimana memangnya?]

"Kantor Polisi."

[Hah?]

"Ceritanya panjang, nanti aku jelasin. Tapi aku belum makan nih, laper banget, temenin yuk."

[Ck! Nyusahin banget sih!]

"Mau, kan?"

[Hm.]

"Oke, aku jemput kamu di rumah nih, kamu siap-siap, ya. Eh, eh, satu lagi, ambilin kemeja di kamar aku."

[Aku bukan pembantu kamu ya, Arka!]

"Memang bukan, tapi kan kamu saudara aku yang paaaaaling baik sedu— eh, halo? Halo? Del?" Arka melirik layar ponselnya, sambungan telah terputus ternyata, dan itu membuatnya tertawa geli.

Lalu Arka bergegas pulang, menjemput Adel, kemudian pergi untuk menghadiri pembukaan restoran temannya. Elena Atmadja, seorang gadis yang Arka kenal beberapa tahun lalu, ketika dia dan keluarganya pergi liburan di Lombok.

Elena gadis yang menyenangkan, dan akhir-akhir ini mereka semakin dekat serta sering bertemu. Jadi, sungkan rasanya kalau Arka tidak menghadiri pembukaan Restoran baru temannya itu.

**


Update tiap hari minggu. Kalau bisa ^^

Continue Reading

You'll Also Like

Istri Kedua By safara

General Fiction

610K 19.2K 49
Jangan lupa vote banyak-banyak yah guys,semoga suka dengan cerita ini ☆☆☆ nadilla di paksa menikah oleh suami orang untuk merawat suaminya yang menga...
1.9M 46K 54
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
Bed Mate By Ainiileni

General Fiction

520K 17.9K 45
Andai yang mabuk-mabukan di barnya bukan Aruna, Mario tidak akan peduli. Namun karena yang berada di depannya adalah mantan tunangan dari sahabatnya...
DEWASA III [21+] By Didi

General Fiction

83.3K 200 41
[follow untuk bisa membaca part 21+] KUMPULAN NOVEL-NOVEL DENGAN TEMA DEWASA. BANYAK ADEGAN TAK LAYAK UNTUK USIA DI BAWAH 18 TAHUN. 🔞🔞🔞🔞🔞