๐‘๐€๐ˆ๐: ๐‡๐ฒ๐š๐œ๐ข๐ง๐ญ๐ก โœ“

By Chalynagie

250 37 7

[๐‘๐€๐ˆ๐ ๐’๐ž๐ซ๐ข๐ž๐ฌ | ๐๐จ๐จ๐ค 1 - ๐œ๐จ๐ฆ๐ฉ๐ฅ๐ž๐ญ๐ž๐ | ๐จ๐ฌ.๐ค๐ข๐ฆ ๐ญ๐š๐ž๐ก๐ฒ๐ฎ๐ง๐  | ๐›๐ญ๐ฌ.๐ฆ๐š๐ค๐ง๐š๐ž... More

-สœสแด€แด„ษชษดแด›สœ-

250 37 7
By Chalynagie

-𝑺𝒕𝒊𝒍𝒍 𝒘𝒊𝒕𝒉 𝒚𝒐𝒖-

__________________________________________

Jikalau tidak berada-ada, masakan tempua bersarang rendah.

Kau tahu, kekecewaan yang nyaris menyarang penuh dalam hati hampir membuat otak ini bebal, hingga rasanya tidak ada lagi yang mampu dipikirkan selain dirimu dan aku. Bagaimana kata ‘kita’ yang mutlak berubah menjadi dua penyebutan asing untuk satu perasaan tanpa keredaman akan cinta.

Rentan hati mengupas rindu. Tangis, tawa, dan ikhlas. Yang terakhir itulah, terlalu berat untuk dirasai. Jika saja hati mudah terlapang untuk kata maaf dan saling memaafkan, namun sayangnya hati ini terlalu kecil untuk sekadar menopang selontar maaf yang meski terdengar sangat tulus kala ituㅡlima tahun lalu dengan penyelesaian tanpa ada penjelasan pasti yang telak menjadi si biang kerok. Hancur, terombak, dan asing. Dan yang terakhir itulah, perasaan sekarang. Kendati satu hati masih berlabuh pada rasa yang sama, tetapi cinta bertepuk sebelah tanganlah yang mungkin pantas menjadi ungkapan kini. Agaknya tidak mungkin ‘kan, lelaki dengan paras yang serupawan dahulu ini masih bertahan untuk pusat hati yang mutlak menjadi kenangan buruk?

Suara rintik hujan menjadi nyanyian tenang, membawa hawa semakin dingin dan tangan mengepal kuat di atas pangkuan sendiri, di bawah meja, hingga tidak ada yang menyadari kegugupan hati yang sedang mati-matian dirinya tahan hampir tiga puluh menit lamanya dalam hening tanpa umbar kata yang masih bertahan dalam diri masing-masing. Gugup, dingin, dan hujan. Anehnya memang, seolah cuaca mendukung duduk bertatap ini untuk bisa terjebak lebih lama.

Caffè macchiato.” Serak, rendah, dan rindu. Lee Jina kepalang merindu pada aksen serak berat seperti ini memasuki pendengarannya.

Namun, segala bentuk pengobat kerinduan ini sudah selayak embun di ujung rumputㅡsesuatu yang lekas menghilang. Hanya meredamnya sebentar. Lee Jina ingin sekali memeluk raga sedikit menggigil di balik kemeja putih tanpa mantal penghangatnya, merengkuh saling menghangatkan layaknya dahulu. Tetapi kesadaran itu kembali menguasai diri, dan siratan kerinduan dari pancar netra teralihkan. Astaga, bagaimana jika Kim Taehyung masih menyadarinyaㅡperasaan yang seharusnya sudah dari lama Jina matikan kobarannya dalam diri.

“Apa kabarmu, Taehyung?” Seolah bersikap biasa saja, degub jantung di balik rongga dada hampir membuat tangan gemetaran hingga mungkin dapat memuntahkan isi cangkir dengan dalamnya yang disebut lelaki Kim tadi, Caffè Macchiato, masih menjadi hal favoritnya.

Kim Taehyung tersenyum tipis, hampir membuat Jina bereaksi di luar kendali. Asal kalian tahu, meski setipis itu sudah mampu menambah perpecahan di hati dan akal Jina. “Kurasa baik,” begitu jawabnya.

Lee Jina kelimpungan di dalam hati, akal, dan jantung yang bergerumuh semakin kencang berdetaknya. Mengumbang lirih sebelum menyesap sejenisan kopi favoritnya itu, sebagai usaha kecil untuk terlihat biasa saja; tanpa gugupnya, dan tanpa hal tidak lumrah dalam dirinya. Lee Jina harus sadar diri, sepenggal kalimat itu yang ia tanamkan pada serebrum untuk mempertahankan kewarasan. Lee Jina harus sadar diri, jika Kim Taehyung bukan lagi sosok yang sama. Perbedaannya telah kontras, semakin menggelapkan hati Jina dengan umbaran kalimatnya dahulu, “Aku akan menikah. Bukan, bukan denganmu. Tetapi dengan gadis setulus hujan yang menyirami tandusnya diriku. Dan kau, kau memang setulus mentari yang menghangatkan, akan sayangnya, sang mentari selalu berujung terombak oleh malam. Aku tidak bisa bertahan lagi denganmu.” Status, itulah perbedaan yang mutlak menjadi penghalang rasa tidak lumrahnya milik Jina.

“Hujan memenangkanmu dari kehangatan mentari. Lantas, untuk apa kau berteduh Taehyung?”

“Aku ... aku merindukan kehangatan mentariku danㅡgelapnya malam yang merenggut diri kita bersama-sama. Jina, aku harap kau tidak tersakiti lagi.”

Jahat, kejam, dan egois. Omong kosong. Jika sekiranya peduli, lantas kenapa memilih meninggalkan?

Meremat sakitnya hati hingga kerongkongan rasanya panas, Jina mempertahankan ketenangan diri meski menelan ludah saja rasanya susah. Lagi-lagi bersikap biasa saja tanpa luka untuk dipertontonkan. Lihatlah, bukankah Jina bagaikan budak cintanya Kim Taehyung? Lee Jina tidak ingin melihat seraut penyesalan terlukis di sana. Tetapi memangnya Taehyung menyesal? Keputusan meninggalkan memang pilihan yang tepat untuk menghindar dari segala kerumitan hidup Jina yang Taehyung sebut 'malam' atau ‘gelap’ itu.

“Kau tahu jika aku akan selalu merasakannya, Taehyung. Kau meninggalkanku seorang diri, tanpa kawan, dalam gelap yang melahap setiap waktu. Aku hancur, kau tahu ... sempat kupikir, gelap itu tidak lagi kutemui setelah lima tahun lalu Jeon Jungkook melepas napasnya, aku terbebas, dan aku bukan lagi mentarimu, Taehyung. Dan aku bersyukur sebab ... berkat hujan kali ini, mempertemukan kita, sehingga aku tahu, aku melihatmu, dalam kondisi yang lebih baik secara pandangan mata.”

Alihan pandang yang Jina tangkap dari sosok di hadapanya, bagaimana perubahan yang mendadak terlihat biasa saja kembali menatapnya. Jina semakin meremat rasa sakit di atas pangkuan lewat jari-jemari yang telah memerah ia kepalkan. Hujan masih mengguyur atap kedai yang diramai pengunjung ini, mungkin perkara hujan orang-orang memilih berteduh sambil menyesap secangkir minuman panas, menyaksikan air langit yang semakin deras turun lewat dinding kaca berembun. Seperti Jina yang memilih hal itu untuk menghindar dari sepasang netra yang masih terpaku betah memandanginya. Jina ingin segera pergi rasanya. Dari sepuluh kelompok meja yang ada, membuat kehadiran diri kecilnya dapat terlihat dengan mudah.

“Lihatlah, bahkan hujan sekarang memenangkanmu dari presensiku.” Ucap disertai kekehan lirih itu justru semakin membuat Jina enggan untuk kembali mengadukan pandang.

“Jangan terlena padanya Jina. Jika ia membawa badai untukmu, maka kau akan terluka tanpa dapat menghindar. Hujan memang mengobati ketandusan dalam diriku, tetapi aku melupakan hal besarnya. Ia yang mengobatiku dengan cara memasuki dan kelewat dalam hingga ke inti. Kau paham akibatnya.” Pada akhirnya Jina lengah dan benang pandang itu tercipta kembali diantara keduanya, hingga senyum menawan dari ranum si lelaki rupawan itu terumbar. Jantung Jina berdegup semakin parah. Lama waktu seolah terhenti. Dan Jina menyadari jika, Kim Taehyung memiliki luka yang sama sepertinya. Binar rindu, penyesalan, dan kehilangan. Jina sudah mengenal Kim Taehyung sampai pada inti terdalamnya.

“Taehyung ....”

“Aku kehilangannya dan kehilanganmu, Jina.”

Tidak ada yang sekuat Jina bertahan di sisi pria penuh luka ini, hanya mentari yang selamanya bertahan. Meski harus melewati malam yang gelap. Akan tetapi, mentari selalu kembali begitu waktunya pergantian telah tiba.

Jina tidak menyesali pilihan sang ibu yang menikahi seorang pria dengan putranya bernama Jeon Jungkook. Si kakak sambung perusak kehidupan Jina. Namun, jika saat itu Jina berhasil lepas, ia tidak akan pernah merasai luka lebih parah lagi yang ditimbulkan oleh Taehyung. Jina tidak merasa seperti dijual kepada pria-pria lain sebelumnya. Sebab Taehyung lebih memilih mendengar tangisan ketimbang menyentuhnya untuk lembaran berharga yang telah diberikan kepada Jungkook. Alasan yang cukup satu, Taehyung hanya ingin lukanya mendapatkan kawan. Kehilangan mutlak menjadi permasalahan inti, dan Kim Taehyung membenci kehancuran bersebab ditinggalkan.

Menjadi istilah si tanah tandus. Hatinya mengering selayak tanah kemarau. Retak.

Ada banyak hal yang ingin Jina tanyakan; bagaimana, mengapa, mengenai susunan kata yang mendadak membuat kerja jantung seperti dihentikan sesaat. Tanah tandus ini menyerapnya, Jina.

Siapa yang Taehyung lenyapkan?

Jeon Jungkook? Atau,...

Sang gadis ‘hujan’nyaㅡyang Jina tidak pernah tahu nama dan bahkan rupanya?

Begitu seruan panggilan ‘Appa terdengar dari pintu kaca depan dengan lonceng diatasnya turut berbunyi. Presensi Park Jimin yang Jina tahu adalah salah satu pegawai Taehyung, masuk bersama bocah perempuan berlarian menghampiri Taehyung yang masih pada duduknya.

Hingga kata pamit itu tidak lagi terdengarㅡJina berasa tuli sesaat dengan kesadaran mengambang. Terpaku seperti patung memandang. Dan kepala terangguk sekali tanpa sadar, membawa tiga tubuh tadi meninggalkannya seorang diri. Hingga bunyi lonceng berikutnya menelan total, Jina baru kembali tersadarkan. Tertinggal bersama banyak pertanyaan mendadak bersarang dalam otak.

➺✧ ʀ ᴀ ɪ ɴ

Putriku selalu memanggil Taehyung dengan sebutan Appa, sebab dia memanggilku dengan dadㅡdaddy. Katanya, dia ingin memiliki Appa juga, padahal dua kata panggilan itu memiliki satu makna yang sama, ‘kan?” Awalnya, Jina tidak mengerti tentang presensi Park Jimin yang mendadak kembaliㅡduduk menggantikan tempat Taehyung yang belum lama kosong. Berkalimat seolah Jina membutuhkan penjelasan mengenai sebutan seorang anak perempuan tadi untuk Taehyung. Tetapi kan memang Jina membutuhkannya, tidak, hatinya saja yang tidak bisa diajak berkompromi untuk bersikap biasa saja. Tidak ingin mempedulikan Kim Taehyung lagi, itu menjadi hal yang sulit.

Beruntungnya Jimin sebab Jina masih betah berdiam di tempat yang mulai menyepi karna hujan mulai reda di luar sana. Sehingga usahanya untuk kembali tidaklah menemui kekosongan. Itu menjadi momen pertama Jina berbicara dekat dengan Jimin.

Dan entah bagaimana sekarang Jina berakhir di tempat ini. “Im Jina?” Bergumam lirih seraya kaki terhentiㅡmenapak tegak di samping tubuh kokoh yang perlahan menoleh kepadanya. Jina hanya menatap lurus ke depan.

Satu alis si pria terangkat, heran untuk presensi Jina yang tidak meyakinkan berada disampingnya saat ini. Merasa terus hanya dipandangi, arah tatapnya lantas teralih. Saling memandang. Sebentar, sebelum Jina berdeham sekali seraya mengalihkan tatap kembali pada figura berisi sosok cantik di sana. Jina tersenyum, dan ada rasa getir, sakit, hatinya seperti diremas kuat. “Hujanmu cantik, Taehyung.”

“Namanya Im Jina,” ucapnya. Jina hanya mengangguk dengan jemarinya terjulur ke depan, meletakan satu tangkai bunga di depan figura yang baru saja Taehyung amati.

“Hyacinth?”

“Bunga hujan untuk gadis hujanmu, Taehyung. Dan sebagai permohonan maafku.”

“Jimin mengatakannya? Apa saja yang sudah kau ketahui Jina ....”

“Kau ... kau yang berbohong Taehyung. Segalanya, kau menipuku.” Jina tidak lagi bertahan pada sikap baik-baiknya yang mati-matian ia pertahankan sejak awal pertemuan ini kembali. Pada akhirnya air mata itu meluruh senang. Hanya atas ulah Kim Taehyung hatinya dipermainkan sedemikian rupa. Menangis dengan sengguk yang lantas teredam berkat rangkul kerinduan yang pada akhirnya tercapai.

Jari-jemari Jina meremat kuat kemeja putih yang dikenakan Taehyung. Menangis dalam kerinduan yang telah menemui tempatnya. Jina menyampaikannya tulus untuk Taehyung.

“Maaf, kupikir hanya itu pengakhiran untuk kegelapan yang menghanyutkan sinaran mentariku.”

Kepala Jina angkat menengadah, tangan masih melingkar memeluk. Memandangi roman rupawan sang pujaan, Jina tidak pedulikan tentang buruknya wajah sendiri dengan air mata bercucuran di pipi. “Dengan membunuh Jeon Jungkook dan berakhir di dalam kurungan sel empat tahun lamanya?”

“Itu bukan hal yang sia-sia untㅡ”

“Diam Taehyung! Kau melukaiku, apa kau tidak memikirkan betapa hati ini merindu setiap waktu? Langit selalu berhadapan dengan bumi, tetapi aku tidak menemukan lagi tanah tandusku. Dan Im Jina, dia memang hujanmu, cintamu, kekasihmu dan dialah yang menciptakan luka dalam dirimu kembali ... dialah hujan pembawa badai itu, Taehyung. Dan entah apakah kau menyadari ini, bukan lagi hanya Jeon Jungkook si keparat itu yang menjadi malam serta gelapku, tetapi kau juga ... aku tidak pernah terbebas.”

Jika Jina mengatainya bodoh, maka Taehyung akan menerima. Sebab Jina berkata hal yang sebenarnya. Seharusnya, Taehyung tahu jika Jina sama dengannya, membenci ditinggalkan. “Apa kau akan terus diam? Jika saja Jimin tidak mengatakan kebenaran itu padaku, mungkin aku tidak akan lagi menampakan diri dihadapanmu, dan bahkan kau tidak akan pernah lagi bisa memelukku seperti ini.”

Jina melerai pelukan tanpa persetujuan dari Taehyung yang lekas menahannya untuk tidak memberikan jarak lagi. “Kau mutlak menjadi gelapku, Taehyung. Jika kau masih menganggapku mentarimu, maka selamanya, kita tidak akan pernah menyatu. Kau dan aku, kita total berubah asing.”

➺✧ ʀ ᴀ ɪ ɴ

Taehyung ....

Jangan menyita waktuku, Jina. Katakan saja. Jina tidak tahu jika saat lalu hanya bagian dari permainan mulus Kim Taehyung. Menjebak untuknya kembali lemah. Berkata, Tae, aku ... aku, aku bisa menjadi hujan di musim kemarau untukmu. Menyirami juga menghangatkan secara bergantian. Kumohon, janganㅡjangan melakukan itu.” Kemunculan Park Jimin sekonyong-konyong membuat Jina tertegun hampir menjatuhkan penyiram bunga dari genggaman beberapa menit lalu. Berakhir Jina terjebak dalam trik yang telak membuatnya kembali pada Taehyung secara permanen. Gila saja Kim Taehyung, pria itu berniat meloncat dari atas gedung berlantai puluhan hanya perkara penolakannya satu hari yang lalu saat berada di rumah duka, tepat di hadapan abu kremasi wanita dengan nama yang sama dengannya ‘Jina’ si gadis hujan itu.

Tidak, aku menolak usulanmu, Ji. Cukup kuminta kau menjadi Jina, Jinaku, bukan mentari atau pun hujan. Sebab aku tak akan lagi mengizinkanmu tergantikan oleh malam, apalagi membiarkanmu terserap bumi. Tidak akan pernah sudi.

Kau milikku, Ji. Permanen.

Raga tegap sasa, Kim Taehyung selayak barang luks yang memancarkan ketertarikan untuk memikat hatinya kuat-kuat. Jina sendiri kebingungan, haruskah menangis atau memuntahkan amarah terlebih dahulu. Yang pasti ia akan melakukan keduanya. Tetapi hal pertama yang harus Jina lakukan adalah memeluk tubuh beraroma rindu milik Taehyung. Pria itu lekas membalas mendekapnya tanpa membiarkan ada celah barang setitik ukur. Mengukir senyum dengan dagu temumpang di atas rambut-rambut teratas Jina.

Dari sini Taehyung sadar bahwa, hatinya yang total mengering tidak lagi membutuhkan hujannya. Dan mentari tidak lagi pantas mengumpamakan Jinanya.

•❅──────✧❅ғ ɪ ɴ❅✧──────❅•

[A/N] Rain series 1 dengan versi Taehyung usai. Dan Rain versi member lain akan menyusul sewaktu-waktu.

Jikalau tidak berada-ada, masakan tempua bersarang rendah; Jika tidak ada sebab-sebabnya, tentu tidak akan terjadi yang luar biasa.
Hyacinth (purple)/eceng gondok/bunga hujan/; melambangkan permintaan maaf dan dukacita.

Continue Reading

You'll Also Like

455K 45.9K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
3K 292 14
bagaimana jika dua orang yang sering berantem dijodohkan ? Kisah dari seorang Rayen dan Cila yang dijodohkan karena perjanjian masa lalu orang tua ke...
225K 33.8K 61
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
904K 43.7K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...