EVERNA SAGA lintas.masa

By Everna

6.2K 501 36

Wahai penjelajah, mari bertualang melintas zaman dan masa Dari masa dunia dipulihkan dan sihir kembali lahir... More

PESAN DALAM BOTOL Andry Chang
PADANG AMRU Grande Samael
KEMBALI DI DESAKU Anjar Adityatsu
EVE Bayee Azaeeb
LEINA DAN MALIN Andry Chang
SEBUAH PENGEJARAN Kayzerotaku
SIHIR VS ROBOT Wiendi Lauwinder
MALAM 1001 MALAM Dini Afiandri
DUA GELANG YANG TAK BISA BERSAMA Shin Elqi
CEI: SUDAH BERLALU Mad-Writer
CEI: SUDAH TERKUBUR Mad-Writer
ARTI SEBUAH KEKUATAN Wiendi Lauwinder
LUKA LUNA Renee Keefe
LORONG KRISTAL Rexa Strudel (Bagian 1)
LORONG KRISTAL Rexa Strudel (Bagian 2)
LARCUS Cecilia Lika
LEGENDA LI JUNYANG Andry Chang
SEDEKAPAN ASAGAO Duniamimpigie
KISAH SANG SUMBER Andry Chang
DEWASA ATAU MATI Andry Chang

KUTUKAN SANG PENYIHIR Kayzerotaku

330 31 1
By Everna

KUTUKAN SANG PENYIHIR Kayzerotaku

Perlas, jajahan Bangsa Escudia di Jazirah Antapada

Barrio San Vincenzio, tahun 2481 A.V

Suasana di pasar sangat ramai. Terlebih, tak lama lagi fiesta, festival tahunan akan tiba. Segenap warga tengah mempersiapkan diri untuk sebuah perayaan bagi Santo San Vincenzio, pelindung barrio alias kota pedesaan mereka.

Para wanita tengah mempersiapkan berbagai macam masakan dan penganan bagi fiesta, sementara kaum pria sibuk memasang hiasan-hiasan di sekeliling rumah. Anak-anak juga turut membantu sebisa mereka, termasuk Pepe. Ia turut membantu orang tuanya dengan membawa sebuah keranjang bambu. Makoy membawa keranjang lain yang penuh belanjaan, sementara Esperanza membawa sebuah keranjang kecil berisi bumbu-bumbu dapur. Peluh membasahi baju barong mereka.

"Ayah, bantu aku dong!" omel Pepe. "Keranjangku berat sekali."

"Nanti aku bantu, Pepe" timpal ayahnya. "Keranjangku juga berat." Mendengar itu, Pepe hanya bisa menarik nafas. Walaupun demikian, ia tahu bahwa ibunya akan memasak makanan yang enak buat fiesta, terutama penganan seperti kue puto—kue apam.

==oOo==

Setelah beberapa jam berkeliling, akhirnya Esperanza berkata, "Aku kira belanjaan kita sudah cukup. Ayo kita pulang!" Perkataan itu membuat Makoy dan Pepe merasa lega. Mereka harus berjalan melewati kerumunan orang yang berbelanja. Merasa tidak sabar, Pepe langsung berlari , ketika tiba-tiba sebuah iring-iringan orang muncul di depannya.

"Awas, Pepe!" teriak Makoy. Terlambat! Keduanya saling bertabrakan dan anak itu terjatuh ke tanah dengan isi belanjaan yang berhamburan di tanah. Kedua orang tua Pepe segera datang dan sempat terkejut ketika melihat siapa yang ditabrak oleh Pepe.

Seraya mengaduh, Pepe melongok ke atas dan melihat seorang wanita tua yang menatapnya dengan tidak senang. Wajahnya nampak putih dengan bedak, sementara bibirnya merah dengan pewarna. Rambutnya disanggul .Meskipun dengan penghias, raut wajahnya nampak seperti tidak pernah tersenyum dalam waktu lama . Sepasang giwang mahal tergantung pada kedua telinganya, sementara jari-jemarinya mengenakan cincin mahal. Busana barong yang dikenakannya berbeda dengan kebanyakan orang, menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah kipas hitam yang terlipat dan menepukkannya pada tangannya.

Tiba-tiba seseorang berkata. "Hei, anak kecil! Berani sekali kau menabrak Doña Victorina! Apa kau tidak tahu siapa dia!" Yang berkata itu adalah seorang wanita bertubuh agak tambun dan berbusana mirip dengan rekannya yang lebih tinggi.

Buru-buru, Esperanza berkata. "Maafkan kami, Doña! Pepe tidak bermaksud apa-apa; ia ingin segera pulang." Iapun menundukkan badannya.

Makoy menambahkan. "Kami tidak bermaksud lancang kepada Anda, Doña Victorina. Terimalah permohonan maaf kami."

"Enak saja!" timpal wanita tambun itu. "Setelah menabrak orang, kalian hanya minta maaf begitu saja? Doña Victorina adalah wanita yang terkemuka di barrio ini! Kami tidak terima ini, akan kami laporkan hal ini pada Kapitan Joaquin!" Sebelum ia berceloteh lebih lanjut, Victorina menahannya dengan kipasnya dan bertanya pada Esperanza."

"Kau ibu anak ini?" tanyanya dingin. Yang ditanya mengangguk.

"Bisa dimengerti mengapa anaknya tampak tidak berbudaya. Ternyata ibunya juga." Ujar wanita tua itu. Perkataan itu membuat Makoy naik darah, namun istrinya segera menahannya.

Victorina melanjutkan. "Ini hal sepele. Aku tidak akan melaporkan hal ini pada kepala kampung kita." Ia membuka kipas hitamnya untuk menutup wajahnya, seraya berkata. "Kali lain berhati-hatilah. Kalian harus tahu derajat kalian ."

"Nyonya, Anda membiarkan mereka begitu saja?" protes temannya. Wanita tua itu tidak menjawab. Ia segera meninggalkan Pepe dan keluarganya tanpa banyak bicara. Selagi memunguti belanjaan yang bertebaran di tanah, Pepe melirik ke arah wanita tua yang ditabraknya. Merasa dirinya diperhatikan, Victorina berbalik sejenak ke arah anak itu. Pepe cepat-cepat berbalik dan buru-buru membereskan keranjangnya. Begitu ia selesai, kedua wanita tersebut telah menghilang di balik kerumunan orang.

==oOo==

Dalam perjalanan pulang ke rumah,

"Aray, bu!" Pepe mengaduh ketika telinganya dijewer oleh Esperanza. Sang ibu menimpali.

"Ini akan lebih sakit lagi, jika kali lain kamu tidak hati-hati!"

Lalu Makoy menumpahkan kekesalannya. "Sombong sekali wanita itu! Kita memang tidak seperti mereka, tetapi bukan berarti mereka dapat memperlakukan kita. Apalagi kau..."

"Sayang." kata Esperanza menenangkan. "Dulunya aku memang bagian dari mereka, tetapi aku memilih untuk meninggalkan itu semua demi kita berdua. Sudahlah tak usah kaupikirkan itu. Lebih baik kita memikirkan fiesta yang tak lama lagi berlangsung."

Sang ayah tersenyum mendengar istrinya. "Kau benar, Esperanza! Dengan adanya kau dan Pepe, aku sudah berbahagia." Ia memeluk istrinya dengan mesra, sementara Pepe tersenyum melihat polah kedua orang tuanya.

Setibanya di rumah, Makoy dan Esperanza masuk ke dalam seraya membawa belanjaan. Ketika Pepe hendak masuk ke dalam rumah, ia melihat sesosok tubuh berdiri jauh dari rumah mereka. Sosok itu mirip seperti Dona Victorina, namun lebih tinggi. Ia juga membawa kipas hitam yang dibentangkan menutupi wajahnya.

Dengan kesal, Pepe berteriak. "Hoy! Kenapa kau mengikuti kami? Apakah kau ingin kami minta maaf padamu, lola—nenek?" Sosok itu tidak menjawab; ia berjalan perlahan-lahan seraya mendekati rumah Pepe. Anak itu juga melihat bahwa wanita yang tak dikenal itu menurunkan kipas hitamnya sehingga ia dapat melihat senyum pada raut wajahnya. Melihat hal itu, Pepe bertambah kesal. Ia segera melangkah untuk mengusir wanita itu. Ketika jarak mereka mulai bertambah dekat, bulu kuduk Pepe meremang. Apa yang dilihatnya pada wajah wanita tua itu bukan senyum, melainkan seringai.

Seringai wanita itu begitu lebar sehingga gigi-giginya yang kusam nampak. Tidak hanya itu, Pepe juga melihat bahwa kedua mata wanita itu menyipit dan menatapnya dengan rasa kebencian yang dalam, sehingga membuat seringai pada wajahnya bertambah seram. Ia pun juga mendengar tawa terkekeh-kekeh dari wanita misterius tersebut. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ia ingin melarikan diri, tetapi kakinya seperti terpaku di tanah. Wanita tua itu mulai mengulurkan tangannya yang seperti tulang-belulang itu ke arahnya. Kedua mata Pepe membelalak ketika kumbang-kumbang hitam keluar dari sekujur tubuh wanita itu.

Tak tahan lagi, ia berteriak kencang sehingga Makoy dan Esperanza buru-buru keluar.

"Ada apa, Pepe?" tanya ayahnya khawatir. "Ada yang mengganggumu?"

"Doña...Doña Victorina!" ujar yang ditanya terbata-bata. "Dia mengikuti kita..." Begitu ia berpaling, sosok wanita tersebut telah menghilang.

Esperanza bertanya. "Apakah kau yakin bahwa yang kau lihat itu adalah Dona Victorina, Pepe? Aku tidak melihat siapapun."

Pepe mengangguk. "Ibu, aku benar-benar melihat dia! "

Sang ayah hanya menepuk kepalanya. "Mungkin kau terlalu capai. Aku tidak melihat siapapun." Ia segera mengangkat belanjaan yang tertinggal.

"Pepe, masuk!" kata ibunya dengan tegas. Dengan kepala tertunduk, Pepe menuruti ibunya. Sesekali ia melihat kearah jalan, berharap bahwa wanita menyeramkan itu benar-benar menghilang.

==oOo==

Malam harinya,

Di saat tengah malam ketika semua orang terlelap, seseorang masih terjaga. Nyala lilin menerangi ruangan dimana seorang wanita tengah menjahit sesuatu. Di depan meja, sebuah salib kayu tergantung dalam posisi terbalik. Ia menjahit dua buah boneka kain yang menyerupai seorang wanita dan seorang anak kecil. Dengan tertawa kecil, ia meletakkan kedua boneka kain tersebut di meja dan mengambil sebuah tabung bambu.

Kemudian ia menghamburkan tabung bambu tersebut yang ternyata berisi berbagai macam serangga seperti tawon, lalat, kecoa dan kumbang hitam. Bahkan kelabang berbisa melata di meja. Wanita tersebut tertawa terkekeh-kekeh dan segera menggenggam binatang-binatang tersebut tanpa menghiraukan gigitan mereka. Ia segera memasukkan mereka ke dalam kedua boneka kain. Kekeh tawa itu terus berlanjut.

==oOo==

Dua hari kemudian

Mang Kastor, sang albularyo—tabib tradisional, sedang menggodok obat-obatan ketika seseorang memanggilnya. Ia segera meninggalkan pekerjaannya dan keluar dari gubuknya. Di depan, ia melihat Makoy tengah mondar-mandir dengan gelisah.

"Makoy, ada apa?" tanya Kastor. "Kau terlihat gelisah..."

Tiba-tiba Makoy menggenggam kedua bahu tabib tersebut. "Mang Kastor! Tolong kami!" katanya gemetar. "Istri dan anakku..." Kastor segera mengangguk.

"Aku akan mengambil tasku dulu." Setelah Kastor mengambil tasnya, ia langsung mengikuti Makoy ke barrio.

==oOo==

Setibanya di rumah Makoy, mereka langsung menuju kamar tidur dimana Esperanza dan Pepe tengah terbaring sakit. Wajah mereka tampak pucat. Kastor mendekati mereka dan memeriksa dahi mereka. Nampaknya mereka tengah demam.

"Mang Kastor..." kata Pepe mengingau. Sang tabib melanjutkan pemeriksaannya; ia melihat benjolan-benjolan kecil pada kedua tangan dan kaki anak itu. Ia juga menemukan benjolan-benjolan yang serupa pada Esperanza. Mendadak, sang ibu terbatuk-batuk. Dengan terkejut, Kastor melihat bahwa yang keluar dari mulut Esperanza bukanlah lendir, melainkan serangga-serangga kecil.Lalu ia berpaling pada sang ayah.

"Sudah berapa lama mereka sakit?"

"Sudah dua hari, Manong!" jawab yang ditanya dengan menyertakan panggilan hormat pada orang tua. "Tadinya aku mengira mereka hanya sakit demam. Tetapi ketika binatang-binatang tersebut keluar dari bisul-bisul mereka, aku berpikir ini bukan sakit biasa!"

Kastor bertanya kembali. "Apakah dalam seminggu terakhir ini, kalian mempunyai masalah dengan seseorang?"

Makoy berpikir sejenak. "Sebenarnya dua hari yang lalu, kami berselisih dengan Doña Victorina di pasar. Penyebabnya karena Pepe tidak sengaja menabraknya ketika mereka berselisih jalan. Tetapi ia tidak melakukan sesuatu kepada kami, jadi aku menduga bahwa ia memaafkan kami atas masalah itu. Apakah Anda pikir itu ada hubungannya?"

Sang tabib tidak menjawab. Ia segera membongkar tasnya dan mengambil sebuah lilin. Diletakkannya lilin tersebut pada meja.

"Makoy, ambilkan batu api buatku." Pintanya. Makoy segera menuju dapur dan mengambil dua buah batu api. Kastor segera menerima kedua batu api tersebut dan menggosokkannnya sehingga timbul percikan api. Ia menyalakan lilin dengan percikan tersebut. Setelah lilin menyala beberapa saat, ia mengambil lilin lain dan sebuah sendok. Begitu lilin kedua menyala, diteteskannya lilin yang mencair tersebut pada sendok hingga penuh.

Kastor memegang sendok yang berisi lilin di atas lilin pertama yang menyala. Perlahan-lahan, ia menggoyangkan sendok tersebut dimana lilin di dalamnya mulai mencair. Begitu mencair semua, lilin yang berada di dalam sendok berwarna coklat teh gantinya jernih. Melihat hal itu, kening Kastor berkerut.

"Ada apa, Manong?" tanya Makoy khawatir.

"Istri dan anakmu bukan sakit biasa; mereka terkena sihir hitam." Kata tabib itu menjelaskan. "Bukan sekedar kulam—sihir, mereka terkena kutukan dari mambabarang-- penyihir ilmu hitam." Mendengar itu, sang ayah terkejut.

"Kutukan? Apa salah kami sehingga kami harus menerima kutukan?" tanyanya tidak mengerti. "Esperanza dan Pepe tidak berbuat apa-apa. Apakah itu karena kami tak sengaja menyinggung Doña Victorina?"

"Makoy, jangan menyalahkan orang dulu!" kata Kastor menenangkan. "Aku kira Doña Victorina tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini. Yang aku tahu bahwa beberapa orang senang menyakiti sesamanya tanpa alasan pasti dan itu menyenangkan mereka."

"Apakah kau dapat menolong kami, Manong Kastor?" tanyanya.

Kastor menjawab. "Aku tidak tahu seberapa tinggi ilmu penyihir itu, tetapi aku akan berusaha sebaiknya. Kita harus bertindak cepat, lebih lama lagi kita menunda, keadaan mereka akan lebih buruk. Selebihnya kita serahkan pada Vadis."

"Adakah yang bisa kubantu?"

"Tetap jaga mereka!" kata tabib itu. "Aku harus pergi ke tempat tertentu untuk mendapatkan bahan untuk penyembuhan mereka."

"Berapa lama?" tanya Makoy kembali.

"Hanya sampai matahari terbenam. Begitu aku kembali, kita akan memulai penyembuhan mereka." Tanpa membuang waktu, Kastor segera membereskan peralatannya dan keluar dari rumah. Makoy menatap kepergian orang tua itu dengan was-was, sebelum berpaling pada istri dan anaknya yang tengah sakit.

==oOo==

Ketika matahari hendak menuju peraduannya, Mang Kastor berjalan menuju hutan. Ia terus menyusuri jalur setapak hingga tiba di sudut hutan. Sinar matahari menembus pepohonan, namun masih terlihat gelap. Di depan Kastor, terdapat gundukan-gundukan tanah yang merupakan sarang semut. Ia dapat melihat gerombolan semut hitam mengitari gundukan-gundukan itu.

Seraya menelan ludah, sang tabib berjalan melewati gundukan-gundukan tanah tersebut seraya berkata.

"Permisi, Pak!" Setiap kali melewati gundukan, ia mengucapkan kata-kata tersebut hingga ia melewati mereka semua. Ia berpaling sejenak dan menunggu.

"Kastor, kau tak usah begitu!" tegur sebuah suara. "Kau berbuat seakan-akan kita tak saling mengenal." Sang tabib berpaling ke arah suara tersebut dan melihat seorang tua yang berjanggut panjang dan mengenakan salakot—topi bambu tradisional. Ia bertengger di atas pohon dan memegang sebuah pipa yang mengepulkan asap. Tubuhnya hanya setinggi betis orang dewasa. Tidak hanya itu, gundukan-gundukan yang tadinya sepi kini dipenuhi orang-orang kerdil yang penampilannya serupa dengan orang tua yang memanggil Kastor.

"Justru karena kita berteman, aku melakukan hal ini." kata Kastor. "Pak Nuno--goblin, aku butuh bantuanmu."

Goblin tua yang bertengger di atas pohon itu terkekeh. "Apa yang kami bisa bantu kali ini?"

Kastor berkata. "Aku membutuhkan bantuan kalian." Mendengar permintaan itu, semua kurcaci tersebut merasa heran.

"Apa kau yakin? Kami tidak memberikannya sembarangan, kecuali jika kami ingin mengutuk seseorang." tanya sang tetua goblin.

"Aku membutuhkannya untuk melawan sihir." jawab sang tabib yakin.

"Untuk melawan penyihir?" tanya goblin tua itu kembali. "Ketahuilah, Kastor. Apa yang kau lakukan itu seperti pedang bermata dua. Bagaimana jika kau tidak berhasil menyembuhkan mereka yang terkena kutukan itu, namun malah memberikan kutukan baru kepada mereka? Kami tidak mau disalahkan karena mengutuk orang yang tak bersalah."

"Semua pengobatan selalu mempunyai resiko!" jawab Kastor. "Tentunya aku tidak menemui kalian, jika aku ada pilihan lain. Waktuku hanya sampai tengah malam." Sang tetua goblin itu manggut-manggut, sementara teman-temannya bercakap-cakap. Seraya mengisap pipanya, sang goblin berkata.

"Baiklah, Kastor! Kami percaya kepadamu karena kau teman kami." Lalu ia memberi aba-aba agar goblin-goblin lain diam dan membentuk barisan.

"Terima kasih, Nuno!" kata Kastor bersyukur. Ia segera mengambil sebuah cawan dari tasnya dan menunduk ke bawah. Goblin yang terdepan, menggosok hidungnya sebelum meludah ke dalam cawan itu. Teman-temannya langsung mengikuti contohnya. Hal itu berlangsung hingga matahari tenggelam di barat.

==oOo==

Malam harinya,

Makoy menunggu Mang Kastor dengan gelisah. Tangan kanannya mengipasi istri dan anaknya yang masih terbaring sakit. Nyala lentera menerangi isi kamar yang nampak muram. Ia mengompres dahi kedua orang yang disayanginya. Esperanza sesekali mengigau.

Makoy...jangan tinggalkan aku!" Mendengar perkataan itu, hati sang suami bertambah galau. Tak lama kemudian, ia mendengar bunyi tangga dinaiki. Ternyata Mang Kastor yang datang.

"Mengapa lama sekali, Manong?" tanyanya dengan nada khawatir.

"Ceritanya panjang, Makoy!" sahut tabib itu. "Yang penting, aku mendapatkan bahan-bahan untuk mengobati Esperanza dan Pepe. Namun aku ingin kau melakukan sesuatu untukku."

Makoy mendengarkan instruksi Kastor dengan seksama. Ia segera mengambil sebuah sapu lantai dan meletakkannya dalam posisi terbalik pada sebelah kiri pintu masuk. Sementara itu Kastor tengah membuat ramuan khusus. Ditumbuknya tumbuh-tumbuhan obat hingga halus , seraya menuangkan 'bahan khusus' ke dalam tumbukan itu. Ia juga memasak ramuan miliknya.

Di lain pihak, Makoy mengambil sekumpulan paku dan membungkusnya dengan kain khusus yang diberikan oleh Kastor. Setelah itu ia menaruh bungkusan kain tersebut di bawah tempat tidur Esperanza dan Pepe. Ketika Kastor datang membawa ramuan, ia bertanya.

"Apa kau sudah melakukan apa yang kuminta?" Yang ditanya hanya mengangguk. Lalu sang tabib segera mengangkat Esperanza dan meminumkan ramuannya. Raut wajah wanita itu merasa jijik; ia ingin melawan tetapi keadaannya sangat lemah. Kemudian Kastor membalurkan ramuan lain pada bisul-bisul di tubuh Esperanza dan Pepe. Ia menyeka peluh pada dahinya.

Setelah selesai, Kastor berjalan menuju lambang suci Vadis milik keluarga itu. Ia mengambil jimatnya dan mengucapkan mantra.

"Vadis Ankh Benediktus Ankh Impactus Miserenobis Natos." Ia mengucapkan mantra tersebut sebanyak tiga kali, sebelum menutupnya dengan mantra berbahasa Encanta-Valanis.

"Dalam nama Vadis, Sang Jalan!" Baru saja Kastor selesai, tiba-tiba seluruh jendela di rumah tersebut terbuka lebar dengan bunyi keras. Nyala lentera mulai redup ditiup oleh angin keras. Melihat itu, Makoy menjadi ketakutan dan mendekat ke arah Kastor. Mendadak, Esperanza bangkit dari tidurnya dan menatap ke arah suaminya dengan pandangan nanar. Kedua matanya mendelik sehingga terlihat lebih menyeramkan. Pepe pun terbangun dengan keadaan serupa.

"Manong!" panggil Makoy panik.

"Penyihir itu mengendalikan mereka!" teriak sang tabib. "Tunjukkan ankh milikmu! Jangan jauh-jauh dariku!" Makoy segera mengambil kalung ankh miliknya dan menunjukkannya kepada istri dan anaknya yang kesurupan. Begitu melihat ankh, keduanya langsung menjerit kesakitan dan tidak berani mendekat. Kastor segera meneriakkan mantra lain seraya mengangkat jimatnya

"Ankh Sancti Paser Benedikti, Ankh Sancti Sit Mihi Lux Nun Draco Sit Mihi Duc Vade, Retro Satana Nun Cam Suadeas Mihi Van Sunt Malia Quas Libas Ipse Venena Bibas! Que Secop Vadis Meus Vadis Notir!"

Seraya memberanikan diri, Makoy mendesak Esperanza dan Pepe yang kesurupan dengan kalung salib hingga mereka terjatuh lemas di atas ranjang mereka. Di saat yang bersamaan, seluruh bisul di tubuh mereka merekah dan mengeluarkan kumbang-kumbang hitam dan tawon yang segera terbang menuju jendela. Perlahan-lahan tapi pasti, luka-luka di sekujur tubuh mereka menghilang dan rona kulit mereka kembali normal. Angin ribut yang bertiup di dalam rumah mereka perlahan-lahan mereda. Kedua pria tersebut jatuh terduduk dengan tubuh bersimbah peluh, tetapi raut wajah Kastor menunjukkan senyum penuh kemenangan.

"Vadis memang adil! Kejahatan tidak akan pernah menang melawan kebaikan!" ucapnya bersyukur.

Lalu Pepe terbangun dan menghampiri ayahnya. "Ayah!" Makoy segera memeluk anaknya, sementara istrinya juga menghampiri mereka.

"Sayang, dua hari terakhir ini seperti mimpi buruk." Katanya seraya memeluk mereka. "Seakan-akan aku tak mempunyai kendali pada tubuhku sendiri. Apa yang terjadi pada diriku dan Pepe sebenarnya?"

Sang suami berpaling pada Kastor, yang menjawab, "Siapapun yang ingin mencelakakan kalian, itu tidak penting. Kalian beruntung bisa selamat. Serahkan semuanya pada Vadis."

"Maraming salamat po—terima kasih banyak, Pak!" ucap Makoy dan Esperanza serentak.

"Satu lagi, jangan ceritakan hal ini pada para Romo." bisik tabib itu dengan senyum nakal. "Mereka takkan mengerti."

"Tentu saja, Manong." sahut Esperanza. "Sebagai rasa terima kasih kami, ijinkan kami mengundang Anda untuk makan bersama pada saat fiesta." Pepe langsung bersorak mendengarnya. Maka keluarga kecil tersebut berbahagia setelah melewati saat yang sulit.

==oOo==

Sementara itu, di sebuah rumah...

Dona Victorina mengebaskan kipasnya dan raut wajahnya terlihat gugup. Di depannya duduk seorang wanita dengan gaun berwarna hitam. Sebuah cadar hitam menutup wajahnya.

"Bagaimana?" tanya wanita itu dengan suara dingin.

"Mambabarang yang Anda utus gagal, Nyonya." kata Victorina menjelaskan. "Aku akan mencoba lagi..."

Kalimat Victorina terputus ketika wanita bercadar itu berkata, "Tidak usah. Bagaimana dengan keluarganya?" Ia terdiam sebelum melanjutkan. "Kudengar mereka mempunyai seorang anak."

"Benar, Nyonya Besar." Dona Victorina mengiyakan. "Seorang anak laki-laki."

Wanita bercadar itu berujar, "Sudah waktunya aku mengunjungi Esperanza, adikku."

San Vincenzio: Nama pengikut Vadis yang dianggap orang suci di Escudia. Ketika mereka menjajah Perlas, para penduduk setempat mengadopsi kepercayaan tersebut. Pelindung penduduk kota perkampungan yang dinamai menurut namanya sendiri.

Nuno sa Punso: Kerabat dekat goblin yang tinggal di gundukan sarang semut. Para penduduk Perlas percaya bahwa mereka akan mengutuk orang yang tidak sengaja menyepak gundukan tersebut. Untuk menghindari hal itu, orang yang akan melewati gundukan itu harus meminta izin untuk permisi.

Mambabarang: Penganut ilmu hitam di Perlas yang mirip Santet atau Leak di Antapada. Mereka dapat mengutuk orang dengan memasukkan serangga-serangga ke dalam boneka yang mewakili sasaran. Maka serangga-serangga tersebut akan keluar dari tubuh orang yang terkena.

Perlas: Kerajaan yang semula bernama Lupang Araw ini berubah nama menjadi Perlas setelah berada dalam penjajahan Escudia. Di Bumi, wilayah Perlas mirip dengan Filipina, Jazirah Antapada.

Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam event Lomba Cerpen Fantasi Bulanan (CerBul) grup Kastil Fantasi Bulan Februari 2015 di Goodreads.com

Aji Santoso, atau lebih dikenal sebagai Kayzerotaku, adalah seorang penulis pemula di dunia fiksi fantasi. Meskipun berprofesi dokter, ia memiliki aspirasi untuk menjadi penulis seperti Jules Verne. Memulai jejak penulisannya dari fanfiction, sebelum akhirnya berlabuh di dan menunggu saatnya tiba. Saat ini tengah berada di Filipina untuk meneruskan spesialisasi. Bisa dihubungi di kayzer76th@gmail.com.

Continue Reading

You'll Also Like

408K 18.5K 7
Jiro Story! Karena ambisinya menjadi seorang Superstar, James Drew Roberth atau yang biasa dikenal sebagai Jiro memilih menutup rapat-rapat semua ten...
118K 10.7K 14
"Guys, bisa kalian bantu aku mencari pacar?" -- Niall Horan.
49K 2.6K 8
Abercio Bagaskara menghabiskan bertahun-tahun mencari perempuan dari masa lalunya, menyesali kesalahannya sampai tidak punya keinginan untuk bergerak...
6.4K 169 28
"Skenario Pematah Hati" aku menamainya. Buku ini aku tulis berdasrkan kisah pengalaman pribadi maupun curhatan dari teman-teman tentang penolakan dan...