Love: The Butterfly Effect [C...

De storiesbyyola

848K 90.4K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... Mai multe

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 37: Trust and honesty

12.5K 1.3K 52
De storiesbyyola

LUNA

Butuh waktu yang tidak sebentar bagiku untuk menenangkan diri setelah mendengar kalimat itu meluncur halus dari bibir Aksa. Aku masih bisa merasakan basahnya jejak air mata ketika Aksa menyuruhku duduk di sofa, berhadapan dengannya. Dia tidak lagi memelukku, justru menciptakan jarak yang cukup luas di antara kami. Dari posisinya yang berada di ujung sofa, dia menatapku lurus. Aku menggigit bibir bawahku dan menundukkan kepala pasrah begitu mata kami bertemu. Aku tahu dari pandangan itu, dia menyimpan kekecewaan. Mungkin tidak besar, tapi nyata adanya.

"Kamu mau jelasin sendiri? Atau perlu aku tanya?"

Aku mendongak ketika Aksa membuka suara setelah hening yang cukup lama. Aku tahu ini tidak akan mudah—pembicaraan ini.

"Karena kamu masih diam, aku aja yang tanya," putus Aksa. Ada jeda yang cukup panjang hingga akhirnya dia kembali berbicara. "Aku nggak akan nanya apa isi obrolan kamu sama dia. Itu privasi kamu. Aku masih mau hargai itu—kecuali kamu sendiri yang mau cerita. Yang mau aku tanya, kenapa kamu bohong? Takut aku marah dan cemburu? Atau ada alasan lain?"

Usahaku untuk meredakan tangis terasa sia-sia begitu mendengar nada suara Aksa yang lembut, jauh dari nada menghakimi meski aku tahu dia tidak setuju dengan perlakuanku. Namun, aku tahu tangisan tidak akan membuat pembicaraan ini selesai sehingga aku berusaha menahan sekuat tenaga dengan cara menggigit bibir dan menghela napas berulang kali.

"Karena aku nggak mau kamu lihat aku ada di kondisi kayak gini," tuturku. Aku memainkan gulungan tisu yang ada di tanganku. "Aku nggak bisa menutupi di depan kamu kalau bertemu sama Damar ternyata masih mempengaruhiku sehebat itu. Don't get me wrong. Aku udah nggak ada perasaan apa-apa lagi ke dia. Tapi, setiap ketemu dia, aku jadi ingat semua sikapnya ke aku. Omongan terakhirnya sebelum kami resmi putus, dan setelah semua yang dia lakuin—" Aku tertawa miris saat sekelebat pembicaraanku dengan Damar melintas di pikiran. "He wants me back. Masuk akal nggak sih, Sa? Setelah dia nyakitin aku begitu, sekarang dia mau aku kembali dengan alasan hidupnya udah settle."

Aksa yang masih mempertahankan tatapannya, bertanya. "How do you feel?"

"Not good, obviously." Aku mengakui. "Walaupun aku nggak punya rencana buat balikan sama dia, tetap aja omongan itu bukan hal yang mau aku dengar."

"Kenapa kamu nggak mau ngomongin tentang dia ke aku?"

Aku menghela napas lalu memalingkan pandangan. "Karena ngomongin tentang Damar buat aku teringat kalau lagi-lagi aku pernah gagal mempertahankan hubunganku setelah aku taruh kepercayaan yang besar ke dia. Dan entah kenapa ngomongin tentang hubunganku dulu sama kamu terasa lebih berat, Sa."

Aksa mengernyit. "Aku pikir kita udah saling terbuka satu sama lain."

"Emang udah." Aku membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba terasa kering. "Tapi, aku takut berharap terlalu tinggi dan berujung kecewa. Aku takut banyak menaruh harapan ke kamu setiap aku membuka diri ke kamu."

Kerutan di dahi Aksa semakin dalam. "Boleh tolong dijelasin maksudnya gimana?"

"I'm afraid," lirihku. "Aku takut akan ada masanya kamu punya pikiran yang sama dengan Damar. Awalnya, Damar nggak pernah mikir gitu, Sa. Dia juga persis kayak kamu. Bilang akan dukung semua keputusanku, tapi ujung-ujungnya lihat, kan? Dia merasa nggak percaya diri buat bersanding sama aku—karena aku terlalu egois dan serakah, nggak mikirin gimana perasaan orang lain setiap ambil keputusan. Aku takut di saat aku berharap kamu orang yang berbeda dari mantanku, ternyata ujungnya kamu sama aja kayak mereka."

Aksa terdiam cukup lama. Kemudian, dia menarik tanganku agar aku bisa duduk lebih dekat dengannya. Kedua tangannya menggenggam tanganku lalu menepuknya pelan.

"Aku boleh kasih pendapat?" tanyanya. Karena dia masih tidak berbicara, aku mengangguk untuk memberikannya jawaban atas pertanyaan sebelumnya. "I know it's not easy for you, tapi mau sampai kapan kamu terus meragukan dan menyesali semua yang pernah terjadi di hidup kamu, Lun? Kamu tahu alasannya kenapa kamu masih sakit hati setelah dengar omongan Damar?" Aku refleks menggeleng. "Karena, disadari atau nggak, kamu masih membenarkan semua omongan dia tentang kamu dulu. Kamu masih percaya alasan kenapa kamu putus sama dia itu karena kesalahanmu. You blame your decisions to study abroad and seek for new opportunities in your career. You blame yourself because you still believe what he said is true. And now, you still have those doubts in your heart—whether you made a right choice or not about your life. Dan aku mau menekankan sekali lagi, itu semua bukan sepenuhnya kesalahan kamu."

"Aku percaya kalau kamu bilang kamu nggak mau balikan lagi sama dia," ungkap Aksa. Dia masih berbicara sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri karena tahu segala yang dia ucapkan—semuanya—adalah kenyataan yang berusaha kutepis mati-matian. "And I want to ask you, do you think I'm gonna have the same perceptions with him about you? Pernah kamu takut aku akan berpikiran sama dengan Damar tentang kamu yang dulu maupun sekarang? What do you think about me?"

"I don't know."

Aku tidak memiliki cukup keberanian untuk melihatnya sehingga aku mengalihkan pandangan ke tangan kami yang bersatu. Aku membuka telapak tangannya dan memainkan jari-jariku di sana, sambil berpikir jawaban apa yang tepat untuk kuberikan kepadanya.

"This is not you. Look at me." Aksa menyentuh daguku, membawa arah pandangku sejajar dengannya. Rahangnya sedikit mengetat. "Ke mana perginya Luna yang berani dan percaya diri? This is not you. Kamu nggak boleh mikir kayak gitu, Lun. Dengan pemikiranmu itu, kamu bikin dirimu nggak beranjak ke mana-mana. Stuck di tempat yang sama dan nggak akan berkembang ke mana-mana. You will keep doubting yourself in any situation and it will affect your life—how you see things in life. Please, don't be like this, Luna. Aku nggak suka lihat kamu yang kayak gini. People come and go in our life. Apapun alasannya orang itu pergi, jangan buat diri kamu semakin menderita karena pola pikir kamu itu."

"This is me, Sa. This is the real me. Kamu pikir kenapa aku bisa mikir kayak gitu? Bukan cuma sekali atau dua kali aku dengar hal yang sama." Aku membuang wajah. "Kamu pikir, kenapa aku bisa diselingkuhi dua kali? Alasannya sama. Dari dulu sampai sekarang. Mereka minder setelah tahu prestasiku dan mimpiku di masa depan. Mereka cari pengganti yang menurut mereka lebih setara. Awalnya mereka nggak pernah ngomong banyak hal, selalu setuju dan dukung aku, tapi akhirannya selalu sama. Semua kesalahan dilempar ke aku. Mereka emang ngaku nggak ada yang salah dengan hal itu, tapi mereka juga bilang ada saatnya aku harus mengimbangi dan menyesuaikan mereka. Sayangnya aku nggak bisa begitu, Sa. Aku nggak bisa melepaskan apa yang aku capai mati-matian buat mereka."

Raut wajah Aksa yang terkejut tidak dapat disembunyikan ketika aku melihatnya. Sontak, aku tersenyum kecut. Tentu saja dia tidak tahu. Tidak ada yang tahu tentang hal ini—bahkan, Lisa tidak tahu. Aku menyembunyikannya dari semua orang karena takut untuk menyuarakannya. Takut jika aku mengatakan hal itu, mereka akan memiliki pemikiran yang sama dan aku tidak ingin mengakui bahwa ucapan tante-tanteku selama ini benar.

Aksa akan menjadi satu-satunya orang yang mengetahui hal-hal yang selama ini kusimpan sendirian. Tidak ada lagi hal yang kusembunyikan darinya. Dengan ini, dia sudah mengetahui semua tentangku.

"Setelah pacaran sama Damar, aku nggak pernah mikirin hal itu karena dia janji buat dukung aku apapun kondisinya. Aku pun awalnya mikir kalau apa yang diomongin mantan-mantanku sebelum Damar itu omong kosong karena mereka belum dewasa dan nggak percaya diri dengan masa depan yang belum pasti," aduku sambil membuang napas berat. "Tapi, di saat lagi-lagi aku dihadapkan sama situasi yang sama, aku nggak bisa buat tutup mata lagi."

"Aku sama Damar beda, Lun," timpal Aksa. "Kita bisa jalani hubungan yang berbeda."

"Apa jaminannya, Sa? Semua juga ngomong begitu di awal."

Aksa termenung di tempat.

"Sekarang kasih tahu aku, Sa. Kasih tahu aku gimana caranya supaya aku nggak mikir kamu nggak akan punya pendapat yang sama dengan Damar di masa depan? Kasih tahu aku supaya aku percaya hubungan kita nggak berakhir kayak hubunganku yang dulu," pintaku.

Aksa bergeming untuk beberapa waktu sebelum menggelengkan kepala dan melemparkan senyuman tipis kepadaku. "Aku nggak bisa. Nggak bisa bikin kamu mengubah pemikiran kamu ataupun bikin kamu percaya kalau hubungan ini berhasil. Kamu tahu kenapa?"

Aku terdiam, menunggunya.

"Karena itu semua bisa tercapai kalau keinginan itu datang dari diri kamu sendiri, kalau bukan, semuanya pasti sia-sia. Sekarang kamu masih terjebak di kotak yang sama. Kamu nggak mau keluar dari sana. Aku udah pernah bilang, kan? Aku beda dari Damar—atau mantan-mantan kamu yang lain. Aku pernah bilang kalau aku bakal jadi orang yang dukung kamu apapun alasannya. Aku udah tekanin hal itu ke kamu, tapi lihat sekarang. Kamu masih stuck di pemikiran yang sama," sahut Aksa. Tampaknya dia tidak menyadari kalau ucapannya berhasil membuat hatiku patah. Lebih sakit daripada saat mendengar Damar mengatakan retaknya hubungan kami semuanya karena kesalahanku. Tapi, aku tidak memiliki kemampuan untuk menyanggah ucapannya. Entah kenapa. "Percuma, Lun. Percuma aku berusaha kalau kamu aja masih nggak mau jalan ke mana-mana. Percuma kalau kamu masih terus takut dan simpan keraguan itu di benak kamu."

"Aku tahu," ucapku lemah, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Kamu mungkin mikir kalau apa yang aku omongin ini jahat. Kamu mungkin mikir aku nggak ngertiin kamu. Aku paham. It's your defense mechanism after many men broke your heart. Tapi, aku nggak bisa membenarkan sikapmu di saat aku tahu itu salah. Aku mau kamu berubah. Demi siapa? Demi kamu. Demi masa depan hubungan kita," timpal Aksa. Dia mengusap sisi kepalaku, persis seperti apa yang dia lakukan ketika kami bermesraan. "Kita nggak akan bisa ke mana-mana kalau kamu terus begini, Lun. Walaupun aku berusaha buat meyakinkan kamu, kita nggak akan punya masa depan apa-apa kalau kamu nggak berani buat melangkah keluar dari rasa takut kamu."

Aku meremas jari-jari tanganku lalu berucap, "Maaf."

"Maaf untuk apa?"

"Semuanya."

"Semuanya yang mana? Tentang kamu bohong sama aku? Atau tentang kamu yang nggak percaya sama aku? Tell me, which one you apologizing for?"

Keberanianku seketika menciut. Semua pembelaan yang berada di ujung lidah tertelan kembali. Aku hanya bisa merutuk dalam hati, menyalahkan diriku sendiri karena telah berbohong kepadanya. Mengomeli diriku karena meragukannya—tidak ada bedanya dengan Damar yang meragukan ketulusan Aksa kepadaku.

"Bukan kamu doang yang pernah disakiti di masa lalu. Aku juga. Aku tahu perasaan itu," celetuk Aksa. "Aku pernah bilang sebelumnya ke kamu kalau aku nggak bisa terima kebohongan apapun itu alasannya. Aku nggak suka dibohongi, Lun. And you just lied to me. To make it worst, you also have some doubt on me. In a relationship, honesty and trust must exist. I need your trust and honesty so this relationship could work. If there is none, we have no reason to continue."

Jantungku berhenti berdetak. Aku kehilangan kemampuan untuk bernapas setelah mendengar perkataannya. Aksa menyerah? Dia akan meninggalkanku lagi? Dadaku semakin sesak ketika air mata kembali mengalir deras dari kelopak mataku. Aku berusaha untuk menahan isakan, tetapi semuanya sia-sia ketika Aksa menghelaku ke dalam dekapan hangatnya—yang kali ini, entah kenapa terasa asing. Terasa dingin, jauh, dan tidak mampu menenangkan.

"Kenapa nangis lagi?" Suara Aksa kembali melembut. Dia menaruh dagunya di atas kepalaku. "Aku cuma kasih pengandaian, Luna. I said 'if'. And if you still have some faith on me, we can make this relationship works. We can make it works."

Namun, bukannya reda, tangisku justru semakin kencang ketika mendengar Aksa masih mengerahkan usaha terbaiknya untuk mempertahankan hubungan ini. Untuk memahamiku dan pikiran rumitku walaupun dia juga kesulitan di dalam hubungan ini. Meskipun banyak yang dia pertaruhkan, terutama hatinya. Dan kenyataan itu membuatku semakin tertohok dalam.

"Maaf."

Dan tidak ada kata lain yang mampu menggambarkan hatiku selain permintaan maaf atas segala hal yang terjadi hari ini. Tidak ada penjelasan. Tidak ada sanggahan. Semua itu tidak ada artinya saat aku menyadari tidak ada satu patah kata pun yang salah dari ucapan Aksa. This time, it's all on me. I hurt him. I hurt myself. I hurt both of us.

*

Sejak hari itu, ada yang berubah dalam hubungan kami. Entah ini hanya perasaanku saja atau memang begitu adanya, hubungan kami jadi sedikit berjarak. Aku ingin menyalahkan kesibukan kami, tapi aku tahu pembicaraan kami yang terakhir, memberikan dampak yang cukup besar untuk hubungan ini. Aku kerap mereka ulang pembicaraan itu dan berujung pada penyesalan yang sangat dalam.

Aku tahu kami harus berbicara lagi untuk meluruskan semua hal. Setelah masa pendinginan yang cukup lama—seminggu lebih—seharusnya kami sudah dapat berbicara lebih tenang. Lebih tepatnya, aku yang kemungkinan akan banyak berbicara mengingat aku terus-terusan diam waktu itu karena pikiranku sedang tidak berada pada tempatnya.

Namun, kesibukan kami sangat tidak membantu. Aksa beberapa hari terakhir lembur di kantor setelah jam kerjaku kembali normal. Walaupun dia masih rajin mengirimkan pesan padaku di jam makan dan jam pulang kantor, kami tidak pernah berbicara banyak. We're not a text person. Aku dan Aksa lebih suka berbincang langsung daripada harus dibatasi oleh layar ponsel. Kecuali, di waktu-waktu tertentu ketika kami tidak bisa bertemu untuk waktu yang cukup lama dan memiliki waktu luang untuk melakukan panggilan telepon atau video.

Aku menatap layar ponselku sambil berbaring pada perutku. Menatap chatting room dengan Aksa dengan pesan terakhir yang kukirimkan padanya sekitar tiga jam yang lalu—di jam pulang kantor. Ketika aku mengabarinya saat perjalanan pulang ke apartemen. Dia masih belum membaca pesanku, pun membalasnya. Beberapa hari yang lalu, dia memang bilang pekerjaannya akan menumpuk minggu ini karena deadline semakin dekat. Hari ini, seperti hari-hari biasanya, sepertinya dia sedang lembur di kantor.

Aku mengalihkan tatapan pada jam yang ada di dinding. Sudah jam sembilan lewat. Mengingat Aksa tidak sempat untuk mengecek pesanku—atau mungkin ponselnya—sepertinya malam ini dia akan bekerja sampai tengah malam. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, aku mengetikkan pesan kepadanya.


Luna: Udah makan malam, Sa? Mau aku pesenin makanan ke kantor?


Setelah menit demi menit berlalu, tidak ada balasan darinya. Aku melepas ponsel dari tangan dan menjatuhkan kepalaku di atas kasur. Kemudian, aku menjerit sekencang-kencanganya. Apa yang harus kulakukan? Kalau aku memiliki kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengannya, apa yang harus kukatakan? Aku tidak ingin hanya mengucap kata maaf seperti pertemuan terakhir.

Bel apartemenku berbunyi selagi pikiranku penuh dengan Aksa. Aku mengangkat kepala. Apa tetangga unitku mendengar jeritanku barusan? Dengan pemikiran itu, aku melangkah menuju pintu. Siap untuk meminta maaf karena telah menganggu. Namun, permintaan maaf itu tertelan kembali saat aku melihat sosok yang kurindukan berdiri di hadapanku. Dengan kemeja yang sedikit kusut dan lengan digulung sampai siku, dasi yang sudah longgar, dan tangan yang menenteng tas kantor serta plastik yang kuduga isinya makanan.

"Hai," sapanya hangat. Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku untuk mengecup pipiku singkat sebelum melangkah masuk. "Aku tadi minta tolong resepsionis buat kasih akses. HP-ku mati jadi nggak bisa chat kamu buat jemput aku di bawah. Mungkin karena aku udah sering ke sini dan resepsionisnya hapal mukaku, jadinya aku langsung dibantu naik."

Aku masih terpaku. Begitu mendengar bunyi plastik yang dibuka, aku segera menutup pintu apartemenku dan mendekati Aksa yang sibuk menata makanan yang dia bawa. Menu malam ini sepertinya tongseng.

"Aku kira kamu lembur sampai malam lagi," cicitku saat berdiri di hadapannya.

"Tadinya aku pikir juga begitu, tapi ternyata pekerjaan bisa selesai lebih cepat," timpal Aksa. Dia mendongak. Seketika, netranya menemukanku. Dia melemparkan senyum lebar lalu berjalan memutari meja untuk memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Lun. Rasanya capekku hilang setelah lihat kamu."

Aku membalas pelukannya tidak kalah eratnya. Kehadirannya meluruhkan kecemasanku perihal hubungan kami yang tidak bisa diselamatkan. Menimbulkan secercah harapan baru untuk memperbaiki segala hal yang perlu diperbaiki dalam hubungan ini.

"Aku juga kangen banget."

Aksa menjauhkan tubuh kami, menyisakan sedikit jarak agar kami bisa bertatapan. Seringai jahil muncul di wajahnya. Aku merindukannya—seringai itu. Detik kemudian, dia mencuri ciuman dari bibirku. "Pasti lebih besar kangennya aku daripada kamu."

"Lebih besar aku! Aku kangen seribu kali lipat lebih banyak!"

"Oh, ya?" Dia menaikkan alis, tampak tidak percaya. "Mana buktinya?"

"Kalau aku kasih tahu buktinya, makan malam kamu pasti ketunda," godaku sambil tersenyum penuh arti. Dan tidak membutuhkan waktu yang lama sampai Aksa mengerti ucapanku karena selanjutnya, dia langsung membuang wajahnya dan tertawa pelan. "Yakin itu perut kamu masih sanggup buat nunggu selagi aku buktiin sekangen apa aku ke kamu?"

"Fine." Aksa mengangkat kedua tangannya, menyerah. Aku terbahak ketika Aksa memilih untuk kembali ke meja makan. "Kangen-kangenannya ditunda dulu karena aku takut ngerusak mood. Nggak lucu kalau di tengah-tengah tiba-tiba perutku bunyi karena kelaperan."

"Good choice," simpulku.

Aku mengambil minuman kaleng kesukaan Aksa di kulkas dan menaruhnya di meja makan bersamaan dengan segelas air putih. Aku menopang daguku, menatap Aksa dengan lekat selagi dia mulai memasukkan suapan pertamanya.

"Kamu makan sekalian," tegurnya. "Aku sekalian beli buat kamu."

Tanpa menunggu lama, aku mengikuti perintahnya. Kami memang pernah tidak bertemu berhari-hari atau seminggu saat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tapi, aku tidak pernah serindu ini dengan momen makan malam yang biasa kami habiskan bersama. I miss everything about him even though it's only a little over a week since I met him.

Karena merasa momen ini sangat berharga setelah pertemuan terakhir kami, aku tidak ingin membahas perihal masalah itu. Aku ingin menyingkirkan sementara apa yang ingin aku bicarakan dengannya. Takut hal itu dapat merusak momen ini. Momen ketika Aksa menatapku hangat dengan lesung pipi menghiasi wajahnya. Momen berbincang santai dengan Aksa perihal hari-hari yang dilalui tanpa kehadiran satu sama lain.

Pembicaraan itu dapat menunggu. Masih ada lain waktu.

"Tahun baru mau ke mana?" tanya Aksa. "Kamu dapat cuti berapa hari?"

"Ikut peraturan kantor. Aku belum bisa ajuin cuti," keluhku.

"Aku mau ajak kamu liburan rencananya. Biasanya cuti natal dan tahun baru kalau digabungin kan, lumayan panjang."

"Mau kemana?" tanyaku antusias.

"Bali," balas Aksa dengan senyuman. "Kamu kan suka pantai."

"Serius?" Aku melebarkan mata. Tidak percaya sekaligus tidak sabar menunggu waktu liburan itu. "Nanti kita nginep di penginapan yang biasa aku tempatin aja kali, ya? Di sana enak banget, Sa, tempatnya. Dekat dari pantai. Ada private pool-nya juga."

Aksa mengangguk setuju. "Boleh. Kamu atur aja."

Di tengah santapan makan malam, aku melihat ponsel Aksa yang berada di atas meja berdenting pelan. Tidak sulit untuk melihat siapa yang mengiriminya pesan karena ponsel itu berada lebih dekat denganku. Tubuhku menegang saat membaca nama dari orang yang mengirim pesan tersebut.

"Sebentar, Lun," ujar Aksa, menunda obrolan kami tentang rencana liburan tahun baru.

Aksa mengambil ponselnya dengan kening yang berkerut. Lalu, detik kemudian, dia mulai sibuk dengan ponselnya. Mengetik sesuatu di sana sementara tubuhku sudah mendingin. Pikiranku mulai penuh dengan tanya. Untuk apa Amanda mengirim pesan kepada Aksa semalam ini? Dan sejak kapan Aksa dapat berinteraksi dengan mantannya setenang ini? Bukankah dia juga yang dulu pernah bilang kalau dia tidak ingin berurusan lagi dengan mantannya itu?

"Sori, Lun. Urusan pekerjaan," sahut Aksa seraya menggeletakkan ponselnya kembali.

"Sama Amanda?" tanyaku dengan suara yang pelan.

Aksa terkejut, seperti tidak menyangka aku sempat melihat siapa yang menghubunginya barusan. "Iya. Perusahaannya pakai jasa perusahaanku buat urus proses akuisisi," jelasnya.

Aku mengangguk pelan. Tidak ingin memperpanjang topik tersebut serta berusaha menyingkirkan berbagai pemikiran yang sempat hinggap di kepalaku. Aku memakluminya. It's work. Terlepas dari hubungan apa yang ada di antara mereka dulu, hal itu tentu saja tidak boleh mengganggu pekerjaan mereka.

"Soal liburan ke Bali, nanti aku kabarin lagi setelah aku pastiin jadwalku," celetuk Aksa, membuatku terkesiap lalu kembali memusatkan perhatianku padanya. "Kamu juga kabarin ke aku ya, dapat cuti berapa lama biar aku bisa cocokin jadwal kamu."

"Oke."

"Atau mendingan kita ke Labuan Bajo aja, Lun? Atau Lombok? Menurut kamu mendingan yang mana? Kamu kan, suka main di pantai atau laut jadinya aku sengaja cari destinasi yang memenuhi kriteria kamu."

Perkataan Aksa selanjutnya seperti lewat begitu saja di telingaku. Meskipun aku berusaha memahami tuntutan pekerjaan Aksa yang membuatnya harus berkomunikasi dengan Amanda dengan intens, benakku masih dipenuhi dengan tanya. Salah satunya adalah; kenapa Aksa tidak pernah bercerita kepadaku perihal kerja sama antara perusahaannya dengan perusahaan Amanda?

Tapi, lagi-lagi didasari oleh keinginan untuk menikmati waktu kebersamaan kami dengan tidak bertengkar dengannya, aku berusaha melupakan hal itu dan mengembalikan fokus terhadap apa yang Aksa ucapkan. Sayangnya, hal itu tidak semudah yang kubayangkan.

*

Notes:

Luna akhirnya tahu kalau Amanda chat Aksa :)) 

Btw, karena cerita ini udah lebih dari setengah jalan, aku mau tanya pendapat kalian tentang cerita ini dong, hehe. Komentar di sini ya.

Mau tanya juga, gimana pendapat kalian tentang:

1. Aksa

2. Luna

3. Damar atau Amanda (maybe? haha)

Jangan lupa vote dan komentar yang buanyaakkk!!! Kasih tahu temen, keluarga, atau yang lainnya juga tentang cerita ini biar kalian bisa gemes-gemesan bareng setiap baca chapter terbaru L:TBE ;)

Continuă lectura

O să-ți placă și

T R A P P E D De r a n a

Ficțiune adolescenți

925K 69.3K 46
[COMPLETED] One fraction of a moment you can fall in love, a love that takes a lifetime to get over | #26 in Teen Fiction, November 17th 2016. (p.s...
556K 35.1K 33
Karena terlalu sering ditanyai tentang pasangan, Gauri nekat membuat keputusan gila, yaitu menyetujui tawaran dari istri sepupunya untuk melakukan ke...
Pretend De fee

Ficțiune generală

1.6M 166K 37
Andina Prameswari bersandiwara menjadi kekasih Gilang Galia Gamadi, jodoh yang disiapkan oleh calon adik iparnya. Setidaknya Andin harus berpura-pura...
573K 86.9K 49
Tentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa...