EVERNA SAGA lintas.masa

By Everna

6.2K 501 36

Wahai penjelajah, mari bertualang melintas zaman dan masa Dari masa dunia dipulihkan dan sihir kembali lahir... More

PADANG AMRU Grande Samael
KEMBALI DI DESAKU Anjar Adityatsu
KUTUKAN SANG PENYIHIR Kayzerotaku
EVE Bayee Azaeeb
LEINA DAN MALIN Andry Chang
SEBUAH PENGEJARAN Kayzerotaku
SIHIR VS ROBOT Wiendi Lauwinder
MALAM 1001 MALAM Dini Afiandri
DUA GELANG YANG TAK BISA BERSAMA Shin Elqi
CEI: SUDAH BERLALU Mad-Writer
CEI: SUDAH TERKUBUR Mad-Writer
ARTI SEBUAH KEKUATAN Wiendi Lauwinder
LUKA LUNA Renee Keefe
LORONG KRISTAL Rexa Strudel (Bagian 1)
LORONG KRISTAL Rexa Strudel (Bagian 2)
LARCUS Cecilia Lika
LEGENDA LI JUNYANG Andry Chang
SEDEKAPAN ASAGAO Duniamimpigie
KISAH SANG SUMBER Andry Chang
DEWASA ATAU MATI Andry Chang

PESAN DALAM BOTOL Andry Chang

1.8K 54 3
By Everna

PESAN DALAM BOTOL Andry Chang

Hanya keajaiban yang mampu menyelamatkan Lucas dari maut hari ini.

Pria muda itu terombang-ambing di tengah lautan luas, dihempas gelombang air asin yang menggunung. Kapal layar yang ia tumpangi tinggal serpihan-serpihan, dan sisanya telah menjadi sampah di dasar Samudera Petravia.

Jarak antara Lucas dan kematian hanya sebatas seonggok pintu kayu kapal, yang terapung dan ia jadikan rakit. Semula Lucas mengayuh rakit itu dengan tangan ke arah matahari terbit. Kayuhannya berubah lebih cepat dan mantap dengan sepotong kayu panjang yang ia gunakan sebagai dayung.

Lucas menoleh ke kiri-kanan, siapa tahu ada orang lain lagi yang selamat, atau yang bisa ia selamatkan. Namun tidak ada seorangpun yang terlihat sejauh mata memandang.

Astaga, mungkin hanya aku satu-satunya yang selamat, pikir Lucas. Tapi, bagaimana bisa aku bertahan hidup di tempat ini? Kalau aku bukan mati karena udara dingin dan kelaparan, hiu-hiu di dalam sana mungkin bakal menyisakan aku sebagai cemilan.

Maafkan aku, Irene. Nampaknya aku takkan bisa pulang ke Leddingsford, memenuhi janjiku padamu...

Ya, di tepi jurang nyawanya ini, yang ada dalam benak Lucas hanya para Irene, kekasihnya. Pantulan cahaya pada mata biru cerah gadis itu, lesung pipit di pipinya yang berona merah jambu, dan bibirnya yang semerah delima walau tak dibubuhi pemerah.

Paras itulah yang mendorong Lucas mengadu nasib di Benua Myriath, pulang membawa keuntungan dan modal untuk bisnis dan membina keluarga.

Dan musibah ini telah mengkandaskan segala harapannya.

Tidak, selama aku masih bernapas, aku harus tetap melaju, batin Lucas, matanya tertuju lurus ke lautan luas. Siapa tahu ada pulau atau kapal yang melintas di arah terbitnya matahari.

Sekuat tenaga, Lucas mengayuh “rakit pintu”-nya itu ke arah yang dimaksud. Ia lebih suka menghadap penciptanya sebagai pejuang, bukan dalam keadaan tergeletak pasrah.

Lucas masih dapat melihat sisa-sisa pecahan kapal di sana-sini. Kabut malah tampak menggantung di kejauhan, menghalangi matahari. Gawat, sudah bakal hujan lagi?

Namun sebuah benda yang terapung menarik perhatian Lucas. Itu sebuah botol. Bentuknya seperti botol rum, minuman keras khas pelaut. Namun, saat ditatap lebih seksama, ternyata isinya bukan rum sama sekali.

Melainkan sepucuk kertas.

Lucas mendelik heran. Apakah itu pesan terakhir yang sengaja dibuat oleh salah seorang awak kapal? Ucapan selamat tinggal pada kekasihnya, mungkin? Andai Lucas bisa sekreatif dia.

Saat berada dalam jangkauan, rasa ingin tahu membuat Lucas meraih botol itu dan membuka gabus penutupnya. Ia meraih kertas itu, mengeluarkannya lalu membaca isinya.

Astaga! Ini bukan surat wasiat, melainkan sebuah puisi cinta yang indah! Benak Lucas terlonjak. Tulisan tangannyapun indah dan rapi, jelas ini bukan karya yang diciptakan dengan terburu-buru. Kalaupun ini surat untuk seseorang, penulisnya pasti akan menaruhnya dalam amplop untuk dikirim ke alamat yang ia tuju setibanya di daratan. Jangan-jangan penulisnya... bukan penumpang kapal?

Terasuk gagasan baru, pria itu mencoba mengingat-ingat. Sejak tadi aku mendayung melawan arus, dan botol ini terdorong arus dan mengapung ke arahku. Kemungkinan besar asalnya pasti dari sebuah tempat tak jauh di timur!

Dengan semangat terpompa harapan baru, kayuhan Lucas makin bertenaga. Pergerakannyapun makin cepat, seolah-olah laut menginginkannya pergi ke tempat di timur itu.

Benarkah demikian?

Justru saat Lucas mulai memasuki kabut, sebentuk ombak besar menghempas. Pria itu terlontar dari “rakit”-nya dan tercebur dalam hamparan air asin yang menggelora. Untungnya ia cepat tanggap, berenang ke permukaan. Lalu, dengan mengerahkan segenap semangat dan tenaga, Lucas berenang melawan arus dan ombak, terus ke sepercik cahaya yang mengintip di balik kabut itu.

Namun apa daya, sekuat apapun usahanya, Lucas tetap manusia biasa. Tangan dan kakinya terasa makin berat, berat... hingga seakan menolak digerakkan.

Ayo, sedikit lagi! Jangan menyerah!

Benak Lucas masih bersemangat, namun tubuhnya telah kehilangan daya. Apa daya, terpaksa ia membiarkan raganya terombang-ambing, seiring kesadarannya yang berangsur sirna.

==oOo==

Saat panca inderanya kembali bekerja, Lucas menemukan dirinya dalam posisi yang amat tak nyaman. Tubuhnya tengkurap di ambang batas darat dan lautan. Wajah Lucas seakan mencium pasir, dan ia langsung bersin-bersin dan meludah-ludah.

Namun tubuhnya belum bisa digerakkan.

Terpaksa Lucas tetap dalam posisi semula hingga tenaganya berangsur pulih. Ia berusaha keras menegadah, mengamati suasana sekitarnya.

Astaga, ini pantai sebuah pulau! Batin Lucas bersorak. Terima kasih, Vadis atas kemurahanmu.

Lama sekali Lucas bersabar, menggali lagi kenangan-kenangan indahnya bersama Irene.  Pikirannya melayang pada sosok Irene yang berurai air mata, mencegah kekasihnya pergi. Bahkan sampai detik-detik terakhir hingga layar-layar kapal terkembang. Masih terngiang seruan merdu Irene yang memanggil-manggil nama Lucas berulang-ulang, masih berharap sang kekasih rela terjun saja dari kapal, berenang ke daratan dan kembali ke pelukannya.

Tapi tidak, tekad Lucas sudah bulat. Pemuda berparas biasa-biasa saja itu telah mempertaruhkan seluruh harta miliknya untuk perjalanan ini. Kini tinggal nyawanyalah yang tersisa. Masihkah ia punya muka untuk kembali ke Lore, berhadapan muka lagi dengan kekasihnya tanpa modal untuk menikahinya?

Mungkin terdorong emosi, jari-jemari Lucas mulai bergerak-gerak. Disusul kedua tangan dan kedua kakinya, menopang tubuhnya yang merangkak ke tempat yang lebih kering. Demam akibat basah, tubuh Lucas gemetaran. Baru saat mencapai pohon rindang terdekat, ia dapat bangkit sesaat dan menyandarkan tubuhnya. Rasa lapar menyusul, melilit perutnya. Yah, setidaknya ini masih lebih baik daripada di tengah lautan.

Sejauh ini cukup bagus, Lucas memutuskan istirahat sebentar sambil melamun lagi. Lamunan Lucas itu mendadak buyar oleh suara-suara yang merasuki pendengarannya. Ia menengok ke kanan-kiri, mencari sumber suara itu.

Tak lama, tatapan Lucas tertuju pada sosok-sosok amat kerdil di kejauhan. Yang mengherankan, rupanya rupa mereka mirip manusia. Lebih mengherankan lagi, mereka semua memiliki sayap seperti kupu-kupu dan bisa terbang!

Masih terlalu lemah untuk berdiri, Lucas hanya bisa memperhatikan para “manusia kupu-kupu” itu. Beberapa di antara mereka terbang sambil membawa botol-botol berisi kertas. Astaga, semua itu serupa dengan yang ditemukan Lucas di laut! Tak sengaja pula ia mendengar celotehan makhluk-makhluk itu.

“Ayo cepat! Kita harus apungkan ini semua sebelum arus laut berbalik!”

“Lho, bukankah ke manapun arusnya, pesan ini pasti bakal mencapai daratan?”

“Tapi daratan mana? Padang salju tak berpenghuni di Benua Frigia?”

“Entahlah, tapi kita harus usahakan pesan-pesan ini ditemukan dan dibaca.”

“Untunglah semua bangsa di dunia kita berbahasa sama. Kalau tidak, sudah dari dulu kita pindah ke Pulau Ymer di Laut Centromare!”

“Tinggal bertetangga dengan para morf? Maaf saja deh, pulau itu tak cukup menampung kaum peri seperti kita dan makhluk-makhluk aneh mirip benda-benda mati itu bersama-sama!”

Tiba-tiba salah satu peri itu menoleh ke arah Lucas dan berseru, “Eh, lihat! Ada manusia!”

“Mana? Mana!?”

“Kyaa! Dia duduk-duduk saja di sana sambil memata-matai kita!”

“Serbu! Keroyok dia!”

Lucas terperanjat. Ingin ia bangkit dan lari, tapi kalaupun ia bisa, tetap saja percuma. Para peri itu terbang terlalu cepat, nyaris sekejap sudah mengepungnya.

“Menyerahlah, manusia!”

“Katakan apa maksudmu ada di sini dan memata-matai kami!”

“Kalau tidak, kau akan kami buat menyesal telah datang di Pulau Beal ini!”

Bibir Lucas bergerak-gerak, namun tak ada suara keluar. Ternyata air asin telah membuat Lucas makin haus, tenggorokannya kering hingga ia sulit bicara.

“Mau bilang apa kau!? Bangkit! Kami giring kau ke desa, biar ratu kami yang menjatuhkan hukuman padamu!”

Namun Lucas tak kunjung bangkit. Beberapa kali ia mengerahkan tenaga dan sempat naik, tapi tubuhnya malah kembali meluruh lemas.

“Tampaknya dia benar-benar sedang lemah,” kata seorang peri wanita yang wajah cantiknya terkesan bijaksana. “Lihat, pakaiannya amat lusuh. Orang ini pasti korban kapal karam.”

“Oh ya, kau benar, Lizzie,” kata si pemimpin pasukan, tatapan galaknya tadi berubah.  “Kurasa dia butuh perawatan. Tinsel, Mistle, cepat kembali ke desa! Laporkan tentang manusia ini pada Sri Ratu, lalu bawa pertolongan dan obat-obatan kemari!”

“Siap, Cathy!” Tinsel dan Mistle terbang pergi seketika.

Cathy berseru lagi, “Ayo kita beri orang malang ini pertolongan pertama. Dan pembawa botol, tuntaskan tugas kalian!”

Sekali lagi, Lucas hanya mampu menatap para peri itu, yang bagaikan sekumpulan kupu-kupu yang beterbangan kesana-kemari. Dalam hati, Lucas berterima kasih atas kebijaksanaan Lizzie, ketegasan Cathy dan tentunya mukjizat dari Vadis ini. Pasti ada maksud dan tujuan yang tersirat dari kedatangannya ke Pulau Beal ini, dan cepat atau lambat Lucas akan mengetahuinya.

Namun kelelahan kembali menguasai pemuda ini. Pemandangan cerah di depannya makin buram. Setelah itu, ia tak ingat apa-apa lagi.

==oOo==

Lucas sekali lagi membuka mata. Ia menemukan dirinya masih terduduk di pohon yang sama. Bedanya, kali ini banyak mata menatap ke arahnya. Banyak peri beterbangan atau melayang, mengepungnya.

Di antara mereka tampaklah seorang peri wanita yang penampilannya jauh lebih cemerlang daripada yang lain. Baik gaun maupun sayap-sayapnya berwarna putih terang, rambut pirangnya yang berombak memanjang hingga ke betis.  Dan harus diakui, parasnya lebih centik daripada Irene.

Merasa cukup segar setelah diobati secara ajaib tadi, Lucas berniat untuk bangkit berdiri. Namun lagi-lagi tubuhnya tak bisa digerakkan. Kali ini seakan ada benang tak kasat mata yang menjerat setiap jengkal tubuhnya.

Lizzie si peri bijak berkata, “Tahan, bung raksasa. Tubuhmu terikat tambang-tambang yang telah diperkokoh dengan sihir. Takkan ada raksasa yang bisa lolos seperti i di Negeri Liliput. Jadi jangan coba-coba berontak, apalagi berusaha melarikan diri kalau masih sayang nyawa.”

Lucas tak bisa berkata apa-apa lagi. Ikatannya yang makin ketat sudah cukup jadi bukti ucapan Lizzie itu bukan gertak sambal.

Si peri cemerlang mendekat, dikawal dua peri yang tampak kuat, Tinsel dan Mistle. Lalu peri cantik itu bicara, suaranyapun paling merdu, bahkan puitis. “Katakanlah, wahai pelaut malang. Siapakah namamu, mengapa kau datang?”

Dengan nada sesopan mungkin Lucas menjawab, “Namaku Lucas. Kapalku karam tak jauh dari sini, dan aku terdampar di pulau ini.”

“Bagaimana bisa? Kabut tirainya, hampir mustahil temukan pulaunya.”

“Aku menemukan sebuah botol berisi puisi cinta terapung di laut, lalu aku mengikuti arah datangnya.”

“Ah, benarkah? Walau pesan kami tak menyentuh hati pecinta, itu telah selamatkan sepercik nyawa.”

Lucas menanggapi dengan wajah cerah, “Sebenarnya pesan itu telah membangkitkan rasa rinduku pada kekasihku di tanah airku. Semangat juangku tergugah, dan aku melawan ombak deras hingga tiba di Pulau Beal ini.

Wajah sang peri lebih cerah lagi. “Oh, senangnya tahu pesan kami sungguh berarti. Namaku Kyrena, ratu negeri ini. Kedatanganmu tentu kami sambut dengan senang hati.”

“Terima kasih, Yang Mulia.”

“Nah, apa rencanamu selanjutnya?” tanya Cathy si peri kuat.

Lucas terdiam sejenak. “Entahlah, kurasa aku akan tinggal di pulau ini hingga ada kesempatan kembali ke negeri asalku.” Sebenarnya ada satu hal lagi yang dipikirkannya, namun Lucas tak ingin mengungkapkannya langsung. Setidaknya untuk sekarang ini.

==oOo==

Lepas dari belenggu, Lucas memutuskan untuk mengikuti para peri ke desa mereka. Tentunya dengan kawalan para peri prajurit serta sang panglima, Cathy yang masih saja menatapnya penuh curiga.

Kedatangan “si raksasa” sempat membuat panik para penduduk Beal, Desa Peri. Namun titah berima Ratu Kyrena seketika berhasil menenangkan rakyatnya.

Maka, Lucas terus melangkah dan melayangkan pandangan ke sekitarnya. Pepohonan di Pulau Beal sama saja ukurannya dengan yang di hutan-hutan biasa. Bedanya, di sini tampak rumah-rumah mungil yang terbuat dari kayu dan tanah liat “bertengger” di pohon-pohon itu, seperti sangkar-sangkar burung.

Tak ada jembatan penghubung, tak ada jalanan apapun di pepohonan itu. Semua pergerakan para peri di luar ruangan harus dilakukan dengan sayap dan terbang, kecuali bila sedang berjalan di tanah atau cabang-cabang pohon. Bias cahaya matahari pada sayap-sayap transparan itu tampak seperti kilapan warna-warni, melengkapi pemandangan alam terindah yang pernah Lucas lihat sampai saat ini.

“Dilarang mendekati rumah-rumah pohon,” ujar Cathy ketus. “Dan yang terpenting, dilarang bicara padaku, kecuali kusuruh!”

Lucas mengangguk mantap. Walau agak bertanya-tanya mengapa Cathy bersikap sekeras itu, ia memilih untuk patuh saja. Pria itu agak tercekat saat para peri membawakannya buah-buahan untuk mengisi perut kelaparannya.

Mungkin keberadaan Lucas di sini adalah untuk tujuan selain membantu tugas sehari-hari para peri. Cepat atau lambat, hanya waktu yang bisa mengungkapnya.

Lucas terus mengamati sekitarnya. Para peri tampak tengah sibuk sendiri-sendiri. Ingin rasanya bertanya namun tak tahu harus mulai dari mana. Jadi, setelah perutnya dan pandangan matanya kenyang, Lucas mengucapkan terima kasih dan meninggalkan desa, menjelajah Pulau Beal ini sekaligus mencari tempat berteduh selama ia tinggal di sini.

Singkat cerita, Lucas menemukan sebuah kapal karam di pantai utara Pulau Beal. Tak ada seorangpun tampak masih hidup di sana. Kabar baiknya, beberapa bagian kapal ini masih terhitung utuh, dan bagian lantainya bisa ditambal. Jadi, Lucas memilih kapal ini sebagai “rumah sementara”-nya – tentunya setelah ia melakukan perbaikan di sana-sini.

Saat mencoba bersih-bersih, si pelaut menemukan berpeti-peti botol berisi minuman keras, hampir semuanya rum dalam lambung kapal. Beberapa peti telah tercecer keluar dari lambung kapal, dan botol-botol di dalamnya telah hilang. Jadi rupanya dari sinilah botol-botol penampung pesan itu berasal.

Yang membuat Lucas terhenyak adalah sebuah benda yang ia temukan di patahan tiang utama kapal. Itu adalah sebuah sobekan kain hitam bergambar tengkorak dan tulang putih bersilangan. Sepengetahuannya, itu adalah bendera bajak laut.

Jadi sepanjang malam Lucas merenung. Apa yang telah terjadi di pulau nan ajaib ini? Itukah yang menyebabkan Cathy bersikap amat ketus pada manusia seperti dirinya?

Lucas akan mulai mencari tahu jawabannya besok pagi.

==oOo==

Saat berkunjung ke desa, anehnya Lucas tak menemukan Cathy di mana-mana. Jadi, ia mengisi waktu dengan mengamati kegiatan para peri.

Banyak kegiatan di desa ini dilakukan dengan sihir, yang rupanya adalah kemampuan kaum peri sejak lahir. Yang paling menarik adalah sihir menggandakan benda yang digunakan para peri pada pelbagai macam benda termasuk botol kosong dan kertas.

Tampak pula beberapa peri sibuk menulis, baik yang mengarang maupun menjiplak karangan itu. Sebentar-sebentar mereka mencelupkan pena ke dalam botol tinta. Entah berapa banyak kata yang mereka torehkan setiap hari, dari keterangan salah satu peri, ajaibnya tinta di botol mereka tak pernah berkurang atau jadi kering.

Lucas membaca beberapa tulisan itu. Semuanya ditulis dalam rangkaian kata-kata berbunga, dengan tulisan bagai kaligrafi pula. Senada dengan puisi yang ia temukan di laut itu.

Benak Lucas membentuk satu kesimpulan. Jadi inikah salah satu pekerjaan para peri di Beal? Menyebarkan semangat romantisme ke seluruh Everna lewat pesan-pesan dalam botol yang diapungkan di samudera? Apa sebabnya? Apa tujuan semua ini hanya ini?

Lucas menyimpan pertanyaan itu dalam benaknya sambil terus berjalan. Perhatiannya seketika tersita oleh seorang peri pria yang sedang menulis sambil bersajak di depannya.

Sayap-sayap penebar cahaya

Menghiasi hijau dengan aneka warna

Tuturnya agung, merdu berima

Bintang terangpun tersipu dibuatnya

Namun apalah daya kunang-kunang

Berharap memetik sang bintang

Hanya diam-diam mendamba

Menanti bulan mengintip di cakrawala

Lucas mungkin dapat menebak arti syair sang peri. Namun kali ini ia merasa lebih baik berpura-pura tak tahu. “Halo, boleh tanya, apakah syair ini juga masuk dalam botol?” tanyanya.

Si peri pria tampan hanya mendelik. “Tidak. Ini untuk diriku sendiri.” Ia cepat-cepat menyembunyikan kertasnya yang bertulisan kecil-kecil itu dari Lucas. Walau nampaknya aksi itu percuma saja karena Lucas sudah hapal puisinya.

Puisi untuk diri sendiri? Ini baru menarik, pikir Lucas seraya berkata, “Kurasa aku tahu kau ingin menyampaikan puisi ini pada siapa. Biar aku bantu sampaikan, ya!”

“JANGAN!” seru sang peri. “Kalau beliau tahu, aku bakal dihukum berat, bahkan dikucilkan dari kaumku!”

Wah, polos sekali sifat peri ini. “Kalau begitu, ajarilah aku menulis puisi cinta, maka rahasiamu akan aman bersamaku.”

“B-baik, baik! Namaku Hayly. Kau pasti Lucas, raksasa yang ditangkap Rena... eh, Sri Ratu itu, ‘kan?”

“Ya. Tapi kalau aku masih ditawan, pasti aku bakal masih terbelenggu dan takkan bisa kemari, bukan?”

“Oh ya, benar juga,” kata Hayly sambil mengangguk. Lalu ia terkesiap. “T-tapi kau bisa menulis, ‘kan?”

“Tentu saja,” jawab Lucas sambil mengambil sebuah pena dan secarik kertas yang cocok dengan ukuran tubuhnya. “Silakan.”

Hayly menghela napas, tak yakin “muridnya” ini bakal memahami penjelasannya. “Langkah pertama membuat puisi cinta, tutup matamu. Bayangkan ciri-ciri orang yang kaucintai itu. Kenalilah bagian-bagian terindah dari dirinya, baik secara lahiriah maupun batiniah. Apalagi hal-hal dari dirinya yang membuatmu jatuh cinta padanya.”

Lucas menuruti petunjuk Hayly itu dan kembali membayangkan sosok Irene. Tanpa sadar ia senyum-senyum sendiri, sepolos peri.

“Sudah? Sekarang buka mata, amati suasana di sekitarmu. Segala yang ada dan bergerak di alam yang kaupandang itu. Hiruplah udara yang berhembus, dengarkan suara-suara hewan kecil yang hidup di Pulau Beal ini. Rasakan manisnya apel dengan lidahmu, sejuknya air dan hangatnya sinar matahari di kulitmu.”

Ya, Lucas dapat merasakan itu semua. Inilah rasa damai dan tenang yang begitu nyaman. Namun yang sesungguhnya ia dambakan adalah kehangatan bersama belahan jiwanya.

Penggalan kata-kata untuk puisi telah terbentuk dalam benaknya.

Hayly bicara lagi, “Terakhir, seperti halnya merangkai bunga, pilihlah beberapa hal dari ingatan pertama dan cocokkan dengan hal-hal yang kaulihat tadi. Coba rangkaikan semua itu menjadi sebentuk puisi, tentu tiap kalimatnya harus berima. Kau tahu ‘rima’, ‘kan?”

Lucas mengangguk. Sambil mencoba terus mengingat segala petunjuk dan segala hal yang pernah ia baca dan dengar, Lucas menulisi kertasnya. Tulisannya amat buruk dan hampir tak terbaca, belum lagi banyak coretan di sana-sini. Kata-kata yang rasanya kurang cocok dicoret, lalu disisipi kata-kata baru. Ada kalanya juga kata-kata baru itu dicoret pula, diganti kata-kata lain lagi atau kembali ke kata-kata sebelumnya. Inilah jadinya puisi Lucas.

Jika neraka adalah air

Dan surga adalah api

Ke sinilah aku menghampir

Di alam bermandi mentari

Jika bumi adalah angin

Dan langit adalah tanah

Kembali pulang sungguh kuingin

Membelai bibirmu nan merekah

“Wah, lumayan!” seru Hayly sambil mengamati tulisan acak-acakan yang memenuhi seluruh kertas itu.

Lucas melongo. Tanggapan sang “guru” ternyata melebihi perkiraannya semula.

“Yah, puisi-puisi buatanku juga sederhana, ‘kan? Entah bagaimana bila Ratu Kyrena yang menilainya.” Hayly kembali tertunduk lesu. “Aku sungguh mencintai Rena, namun puisi-puisiku tak pernah bisa membuatnya terkesan. Karya-karyaku bahkan tak pernah dimasukkan dalam botol-botol.”

Lucas terlonjak. Terbersit sepercik sesal dalam hatinya telah memilih guru yang dinilai kurang berbakat oleh kaumnya sendiri. Namun entah mengapa, dari bibirnya bergulirlah kata-kata penghiburan. “Kurasa, satu-satunya cara untuk membuktikan ketulusan cintamu pada Rena, Hayly adalah dengan terus berlatih dan berusaha keras. Siapa tahu, suatu hari sang ratu akan terkesan oleh semangat juangmu, bila bukan karyamu.”

“Nggg...” Untuk sesaat Hayly tak tahu harus gembira atau apa mendengar kata-kata Lucas itu. Ia ingin sang pujaan hati mengakui karyanya, padahal yang perlu peri pria itu tunjukkan hanya kegigihan dan semangat juangnya saja. “Baiklah... kurasa.”

Dalam hal kegigihan, terutama saat si pria berpenampilan biasa-biasa saja ini berhasil merebut hati Irene yang secantik bidadari, Lucas nampaknya bakal balik menjadi guru Hayly. Walau bagaimanapun, kedua insan besar-kecil ini telah menjalin pertautan batin yang niscaya saling memenuhi hidup masing-masing.

Setidaknya selama Lucas masih bermukim di Pulau Beal. Setidaknya sebelum gelombang takdir membawa manusia-manusia lain ke pulau kediaman kaum peri itu.

==oOo==

Bulan demi bulan berlalu sejak Lucas pertama kali menjejakkan kakinya di Beal, pulau para peri.

Berkat latihan yang gigih dan usaha tak kenal menyerah, ditambah teknik-teknik dari Hayly, kini karya-karya Hayly dan Lucas telah digandakan dan diedarkan ke seluruh dunia lewat pesan dalam botol.

Ratu Kyrena mulai memberi perhatian pada Hayly. Bahkan keduanya kini kerap bertemu untuk bertukar kata, meramu puisi. Peri bijak, Lizzie sering memberi wejangan sekaligus inspirasi pada Lucas dan Hayly. Hanya Cathy saja yang tetap terkesan ketus dan memandang Lucas penuh curiga.

Walaupun nampaknya kehidupan terasa damai dan indah di negeri peri ini, Lucas tetap merasakan ada sebuah lubang hampa dalam jiwanya. Apalagi setiap puisi cinta karangannya selalu tertuju pada Irene, membuat kerinduannya makin tak tertahankan.

Kerinduan itu pulalah yang mendorong Lucas bertindak amat ceroboh hari ini.

Lucas sedang memandangi pantai, cara amat sederhana memulai hari. Sebenarnya ia sedang beristirahat sejenak, mengurangi kejenuhan dan mengumpulkan inspirasi untuk puisi-puisi baru karangannya sendiri. Tiba-tiba, dari balik kabut di kejauhan matanya menangkap siluet samar-samar sebentuk benda.

Itu adalah tiang kapal layar!

Spontan, Lucas membuka jas luarnya – jas pelaut yang ia temukan dalam reruntuhan kapal – dan melambai-lambaikannya tinggi-tinggi. “Ahoy! Aku di sini!” serunya berulang-ulang.

Namun tiang kapal itu tak tampak mendekat. Berpedoman pada iang kedua yang tampak sesaat kemudian, kapal itu bergerak ke arah timur, melintasi kabut. Gawat! Mereka tak tahu ada pulau dan ada orang yang butuh pertolongan di sini. Lucas harus menarik perhatian mereka, tapi apa akal?

Tiba-tiba sebuah gagasan terbit. Lucas cepat-cepat mengambil beberapa botol rum dan sekotak korek api dari dalam kapal. Lalu ia menumpuk segala macam kayu yang bisa ia temukan seperti pecahan-pecahan kapal, ranting-ranting dan cabang-cabang pohon, dedaunan pohon kelapa dan lain sebagainya. Lalu ia mengguyur tumpukan itu dengan rum dan menyalakan korek api. Segera saja api unggun membubung tinggi di udara.

Untuk memastikan orang-orang di kapal itu melihatnya, Lucas bergegas mengambil “bahan-bahan bakar” lagi. Tiba-tiba satu sosok mungil melayang, menghalang tepat di hadapannya.

Ternyata itu Cathy, yang menghunuskan pedangnya yang seperti jarum ke arah tenggorokan Lucas. “Sudah kuduga sejak awal! Kau hendak berkhianat dengan memberitahukan keberadaan peri di Pulau Beal pada manusia lain!”

Lucas mengangkat kedua tangannya yang masih memegang botol rum dan sepotong kayu. “Tunggu dulu, apa maksudmu, Cathy?! Sejak awal kau tak pernah menjelaskan apapun padaku!”

“Huh, untuk apa penjelasan? Semua manusia itu jahat, penipu, serakah dan bebal! Sekarang kau malah mendatangkan para... pembunuh itu kemari! Akan kuhabisi kau dulu, biar yang lain gentar dan secepatnya enyah dari negeri peri – selamanya!”

“Tunggu, dengarkan dulu! Aku hanya ingin pulang ke negeri asalku, tak bermaksud...!”

Sayang, Cathy sudah gelap mata. Bagai lebah raksasa ia menusuk-nusukkan pedangnya sambil bergerak dengan gesitnya. Lucas mencoba menghindar, namun luka-luka tusukan bermunculan di paha, lutut dan lengannya. Ditambah serangan dua punggawa peri, Tinsel dan Mistle, Lucas yang tak menguasai ilmu beladiri jadi bagai terkepung sekawanan lebah nan buas.

Segera saja si manusia terdesak. Pilihannya hanya dua, melawan atau mati.

Mau tak mau Lucas memilih yang pertama. “Maaf, teman-teman!” Kedua tangannya mengayunkan botol dan papan seperti hendak menepuk lalat di udara. Gerakannya tampak cukup teratur, hasil gemblengan selama petualangannya di Myriath.

Satu tepukan papan sekuat tenaga menghantam Tinsel, hingga peri malang itu terpental jauh. “Tinsel!” teriak Mistle kalap. “Matilah kau, raksasa!”

Menepati kata-katanya, serangan-serangan Mistle jadi lebih cepat, gesit dan ganas. Lucas jadi amat kewalahan, luka-lukanya makin banyak dan gerakannya makin lamban.

Memanfaatkan gelagat Lucas itu, Mistle menghunjamkan pedangnya sekuat tenaga dan amat cepat ke arah jantung si “raksasa”. Tubuh Lucas berbalik menghindar, namun satu tusukan deras dari Cathy terlanjur mengancam tenggorokannya.

Nyawa Lucas kini di ujung jarum – dalam arti sebenarnya.

Namun, seperti halnya botol berisi pesan yang membawa keajaiban, satu suara dentingan telah memperpanjang nyawa Lucas. Lebih tepatnya, pedang maut Cathy ditangkis sebilah pedang peri lain, dan pemegangnya adalah...

Ratu Kyrena sendiri.

Cathy mundur seraya protes, “S-Sri Ratu! Mengapa? Manusia ini pengkhianat!”

“Aku yakin dia bukan,” kata Kyrena, pedangnya berpendar cerah seolah setuju dengan penyandangnya.

Hayly muncul di sebelah sang ratu seraya berkata, “Pengkhianat ataupun mata-mata takkan mau berbagi ilmu dan bergaul dengan peri seperti aku.”

Lizzie si bijak menambahkan, “Aku tahu kau punya alasan kuat untuk membenci manusia, Cathy. Namun kali ini, berilah satu kesempatan pada Lucas untuk membuktikan bahwa ia bukan musuh kita.”

“Caranya?” sergah Cathy.

“Biar ia temui para manusia itu, andai mereka sampai di sini.”

“Kalau Lucas membocorkan tentang keberadaan kita di sini?”

“Maka kita semua akan membocorkan dia dan semua manusia itu, seperti para bajak laut itu dulu!” sahut Lizzie sambil menunjuk ke kapal karam rumah Lucas itu dengan pedangnya.

Lucas tersentak. Segala potongan teka-teki penyebab sikap dan tindakan Cathy itu terpampang dalam benaknya lewat sihir Ratu Kyrena. Para bajak laut pasti telah menyerang Pulau Beal. Para peri melakukan perlawanan hebat dan berhasil menghabisi semua musuh, namun dengan harga yang amat mahal. Sepertiga populasi peri musnah hari itu, dan beberapa di antara mereka pasti adalah para peri yang dicintai dan disayangi Cathy secara istimewa. Masalahnya, Cathy kini menyamaratakan semua manusia sama jahat dan brutal dengan bajak laut. Dan inilah beban yang menimpa pundak Lucas kini.

“ Lihat, kapal itu berbelok ke arah pulau!” seru Hayly. “Lucas, demi persahabatan kita, bersumpahlah kau tak akan pernah membocorkan rahasia keberadaan kami!”

“Itu pasti, tapi tolong, jangan sampai seorangpun dari kalian terlihat oleh mereka.”

Lizzie berseru, “Baik! Ayo kita pergi!”

Sambil terbang pergi, Cathy mendelik, melotot nyalang ke arah Lucas. Lucas seolah tak menghiraukan si panglima peri itu. Ia kini mengambil daun pohon kelapa dan melambai-lambaikannya ke arah kapal.

“Ahoy! Aku di sini! Ya, aku di sini!” teriak Lucas dengan suara amat serak.

Kapal itu bergerak ke pantai, lalu berhenti dan membuang sauh di laut. Sekoci-sekoci lantas berdatangan ke arah pulau.

Saat beberapa pria turun dari sekoci, Lucas menghampiri mereka dengan seruan sukacita. “Ah, syukurlah! Akhirnya aku bisa pergi dari pulau terpencil ini, kembali ke peradaban...”

“Tak usah basa-basi, bung,” ujar seorang pelaut bertampang kasar. “Kami menemukan sebuah botol berisi surat, di laut, mengikuti arah datangnya dan tersesat dalam kabut. Api unggunmu membimbing kami sehingga kapal kami tidak karam dan sampai di pulau ini. Untuk itu kami berterima kasih. Pertanyaannya, kaukah yang mengirim pesan dalam botol itu?”

“Ya, aku yang menulisnya,” jawab Lucas.

“Lantas, mengapa kau tak memberitahukan letak pulau ini dalam pesanmu, supaya ada kapal yang bisa menemukanmu lebih mudah?”

Lucas mengerutkan dahi sejenak, lalu menjawab, “Aku terdampar di pulau ini sebagai penumpang kapal. Tak ada sekstan atau alat penentu lokasi macam apapun dalam reruntuhan kapal. Kalaupun ada, aku tak bisa menggunakannya.”

Si pelaut kasar terdiam sejenak, lalu bicara lagi, “Jadi selama ini kau hanya tinggal sendirian di pulau ini?”

“Ya.”

“Jadi kau takkan keberatan bila kami mengambil sedikit perbekalan dan kayu dari hutan pulau ini...”

Tiba-tiba Lucas menyela, “Jangan! Jangan pernah memasuki hutan itu bila kalian masih sayang nyawa!”

“Mengapa?!” Wajah si pelaut makin masam. “Jangan mengada-ada kau! Apa kau sengaja menghalang-halangi kami, hah?!”

“Sabar dulu, bung.” Lucas menunjukkan luka-luka tusukan di sekujur tubuhnya. “Ada koloni semacam lebah raksasa yang tinggal di seluruh bagian hutan. Hampir setiap kali aku mencari makanan di hutan, mereka menyengatiku. Lihat, ini luka-luka yang kudapat hari ini. Hampir saja nyawaku melayang oleh ketiga lebah itu tadi!”

“Huh, kami berjumlah banyak, takut apa? Kau ‘kan satu orang, pantas saja jadi bulan-bulanan.”

Seorang pelaut lain menyela, “Maaf, Kapten Pedro, tolong pikirkanlah baik-baik. Kita bakal menghadapi sekoloni hornet, bukan lebah biasa! Kalau tiga hornet saja bisa membuat satu manusia sepertinya jadi berdarah-darah seperti itu, bagaimana kalau sekoloni? Ayo, kita kembali saja ke kapal!”

“Huh, baiklah!” gerutu Pedro. Lalu ia bicara pada Lucas, “Pantas saja kau ingin secepatnya pergi dari pulau ini... ngg, siapa namamu?”

“Lucas Patterson.”

“Baik. Cepat ikut kami, biar luka-lukamu itu dirawat di kapal!”

“T-tapi, aku harus membawa barang-barangku dari dalam kapal karam itu...”

“Tenang saja,” ujar Pedro yang tersenyum untuk pertama kalinya, menampilkan kelembutan sisi manusiawinya. “Kami akan membawanya dari sana. Semua barang di kapal itu milikmu, ‘kan? Kami bukan bajak laut, jadi anggaplah kau beruntung, orang malang.”

“Tapi, tetap saja... ada satu barang amat penting... yang harus kubawa...”

Tertatih-tatih, Lucas berjalan ke rumah-kapalnya dan mengambil buku catatan perjalanan kapal yang halaman-halaman kosongnya ditulisi puisi-puisi karangannya sendiri dan yang bersama Hayly. Kehabisan tenaga, Lucas harus dipapah naik ke sekoci.

Di sekoci, Lucas menoleh ke kerimbunan pepohonan di baliknya. Tampak beberapa sosok bermunculan di sana. Lucas mengenali mereka sebagai Hayly, Cathy, Lizzie, Mistle, Tinsel dan yang paling cemerlang, Ratu Kyrena. Wajah-wajah mereka terkesan sedih bercampur lega dan kagum. Hayly melambai ke arah murid sekaligus sahabat terbaiknya di Pulau Beal ini, air matanya berderai.

Tiada kata perpisahan terucap.

Tiada pula kata “maaf” dan “terima kasih”.

Namun, lebih dari itu, Lucas telah mengguratkan banyak syair indah, banyak kenangan di Pulau Beal ini. Dan terutama, perubahan yang amat berarti bagi insan-insan di sana.

Menggugah Hayly untuk berjuang meraih cintanya.

Memberi Kyrena peluang mengubah khayalannya tentang cinta menjadi pengalaman nyata.

Dan terutama, mempertahankan rahasia Pulau Beal dengan taruhan nyawanya sendiri, mengembalikan sepercik simpati Cathy pada manusia.

Kini, giliran Lucas yang lagi-lagi berjuang keras, berharap mengubah syair-syair cintanya pada Irene jadi kenyataan pula.

==oOo==

Kapal berbendera Corazon yang ditumpangi Lucas memang bertorak ke Aurelia dan berlabuh di negeri asalnya, tepatnya di Kota Cadoban. Dari sana, Lucas menempuh jalan darat ke Kota Santa Therese di utara, lalu bertolak ke Leddingsford di Lore.

Untung sekali, Lucas mendapatkan sedikitnya tiga barang antik dan amat berharga dari kapal bajak laut itu. Ia menjualnya dengan harga cukup pantas, dan hasilnya lebih dari cukup untuk ongkos jalan dan kembali hidup sederhana seperti dirinya sebelum pergi ke Myriath dulu.

Sepanjang jalan, hanya satu hal yang ada dalam pikiran Lucas, yaitu Irene. Telah beberapa tahun kekasihnya itu ia tinggalkan. Pastilah amat wajar bila Irene pindah ke lain hati dan sudah menikah. Namun Lucas butuh tahu, butuh memastikannya sendiri langsung dari sumbernya.

Baru setelah itulah, Lucas dapat menentukan langkah hidup selanjutnya.

Langkah-langkah Lucas di Pelabuhan Leddingsford terasa amat berat, apalagi saat tiba di depan sebuah rumah yang terasnya dipenuhi bunga-bunga biru forget-me-not, kaki-kakinya terasa bagai terbenam dalam bebatuan. Ia hanya bisa menegadah, mencari-cari seseorang.

Karena diam saja malah akan memperunyam masalah, Lucas memutuskan untuk bersusah-payah menyeret kaki-kakinya. Ia lalu membunyikan bel berbentuk lonceng di depan pintu rumah kekasihnya itu. Kemungkinan besar, bila perkiraan nalar Lucas tepat, Irene tak lagi tinggal di rumah orangtuanya ini.

Seorang wanita asisten rumah tangga membuka pintu dan bicara, “Ya, ada perlu apa... A-astaga! K-kamu... Lucas Patterson?”

“Ya, sudah lama ya, Margie. Senangnya ibu masih mengenaliku,” tanggap Lucas. Ia lantas tercekat sesaat, lalu bicara dengan bibir bergetar, “A-apa Irene ada di rumah, bu?”

Wajah wanita setengah baya itu terperangah sesaat. Saat berikutnya, ia tersenyum sambil menjawab, “Ada. Masuklah nak, biar kupanggilkan.”

Rasanya canggung sekali memasuki ruangan yang sama dengan yang terakhir kali Lucas lihat beberapa tahun yang lalu. Namun betapa terkejutnya ia saat melihat lukisan-lukisan yang menghiasi ruang tamu itu. Ada yang menggambarkan Irene saja, ada pula lukisan dirinya bersama ayahnya, ibunya, serta kakak perempuan dan adik laki-lakinya. Tak satupun lukisan itu menggambarkan para anggota baru keluarga tuan rumah seperti menantu, cucu dan lain sebagainya.

Sebelum sempat berasumsi macam-macam, perhatian Lucas tertuju pada Irene yang menuruni tangga dengan agak terburu-buru. Ekspresi wanita itu tampak kelelahan akibat penantian panjang, namun senyum amat cerahnya seolah memancarkan kembali pesona kecantikannya. Pesona yang selama ini membuat Lucas jatuh cinta.

Apalagi saat tubuh Irene menghambur dalam pelukan Lucas, segala keraguan sirna sudah.

“Lucas, Lucas! Aku tahu... Aku tahu kau pasti kembali! Aku tahu... penantianku tak sia-sia!” Irene menangis sejadi-jadinya. Untunglah hanya ada dia dan Margie di rumah saat ini.

Lucas memeluk gadis itu lebih erat lagi, kata-katanya tenggelam dalam haru dan tangis bahagia. Lalu bibir keduanya bertemu, sempurna menghubungkan kembali aliran kasih nan hangat yang sempat terpisah jarak dua benua.

Yang hampir terputus selamanya oleh alam yang berbeda.

Setelah melepas segala rindu, kedua sejoli ini duduk berpelukan di sofa ruang tamu.

Justru Lucas yang pertama angkat bicara, “Ternyata... Ternyata kau menungguku selama ini. Padahal kupikir kau seharusnya sudah menikah. Aku sudah pergi terlalu lama, amat-sangat terlambat dari waktu yang kujanjikan. A-apa yang membuatmu rela menunggu pria yang telah ingkar janji ini?”

Mata biru Irene menatap Lucas, masih berkaca-kaca. “Terus terang... Setahun setelah keberangkatanmu, orangtuaku menjodohkanku dengan seorang saudagar kaya dan tampan. Namun aku menolaknya mentah-mentah, bahkan mengancam akan bunuh diri bila mereka memaksaku. Akhirnya mereka membiarkanku menunggu setahun lagi.”

Dua tahun... Itu waktu yang dijanjikan Lucas untuk kembali.

“Dua tahun berlalu sudah, dan lagi-lagi aku menampik lamaran beberapa pria lain yang tampaknya mapan. Saat kau tak kunjung pulang, aku memikirkan segala kemungkinan, termasuk yang terburuk.”

Ya, bisa saja Lucas sudah berpulang di Myriath atau di tengah lautan luas waktu itu.

“Rasa ragu mulai menyapa, namun firasat dalam diriku terus mendesakku agar terus menanti,” ujar Irene lambat-lambat, ucapannya terputus-putus di sela-sela isak tangisnya. “Hingga suatu hari aku membeli sebuah buku puisi dan membacanya untuk menghibur diri. Tanpa sengaja aku menemukan ‘Renee’, nama panggilanku dan ‘bunga forget-me-not’ tertulis dua-tiga kali dalam satu puisi. Lalu aku menemui penulis buku ini, Harry Paulson-Kirschner di Alceste.”

Tunggu. Apa hubungan si Harry ini dengan puisi karyaku itu? pikir Lucas.

Irene menjelaskan, “Setelah kujelaskan dan ‘sedikit’ kuancam, barulah si penulis tua itu menjelaskan duduk-perkaranya. Puisi yang memuat namaku itu ia salin dari sebuah pesan di atas kertas yang tersimpan rapi, kedap air dalam sebuah botol. Dan botol itu ia temukan di pantai saat ia sedang berjalan-jalan mencari inspirasi.”

Lucas terperangah. “Yah, aku sering menulis puisi dengan menggunakan nama panggilanmu dan bunga kesukaanmu. Namun aku tak menyangka salah satunya akan tiba di hadapanmu dengan cara seperti itu.”

“Ya, aku juga tak menyangka kau mahir merangkai kata, padahal dulu kau tak pernah menulis puisi untukku, walau tahu aku suka puisi. Tapi tak apa, lewat puisimu itu aku tahu kau masih hidup dan berusaha untuk kembali. Karena itulah aku tetap menunggu hingga saat ini.”

Lucas memancing, “Bagaimana kalau seandainya aku tak kunjung kembali?”

“Maka aku akan terus menunggu hingga jadi perawan tua dan kulitku berkeriput.”

Suara Lucas dibuat-buat seperti suara pria tua. “Jadi, bagaimana kalau Pak Tua Lucas kembali dan berkata, ‘Irene Lavencourt, maukah kau menikahi orang tua keriput yang tak berharta ini?’”

Suara Irenepun jadi seperti nenek tua. “Maka aku akan menjawab, ‘Ya, aku mau’.”

==oOo==

Maka, Lucas dan Irene menikah sesegera mungkin. Selama “bulan madu”, mereka berdua mengunjungi Harry Paulson-Kirschner di Alceste.

Lucas berterima kasih atas “jasa” Kirschner dan memperlihatkan buku kumpulan puisinya. Si penulis senior amat terkesan, ia malah memperkenalkan Lucas pada penerbitnya. Seiring waktu, Lucas Patterson membangun reputasi sebagai salah seorang sastrawan paling terkemuka di Lore.

Selain mengucap syukur pada Vadis, Lucas tahu pada siapa lagi ia harus berterima kasih. Sering ia dan keluarganya pergi ke pantai. Mereka mengapungkan botol-botol berisi kertas-kertas bertuliskan puisi-puisi baru serta nama Lucas di laut.

Lucas sungguh berharap salah satu botol itu tiba di Pulau Beal. Agar para peri di sana tahu, pesan-pesan dalam botol mereka sungguh amat berarti.

Yang dikirimkan dalam botol-botol itu termasuk kutipan salah satu puisi Lucas yang paling terkenal.

Sudah cukup aku berpetualang

Karena kini aku telah pulang

Pulau Ymer: Tempat tinggal makhluk-makhluk sangat ajaib yang disebut morf, yang raganya mirip benda-benda mati yang dipilihnya atau sesuai raga salah satu orangtuanya.

Negeri Liliput: Negeri orang-orang sebesar ibu jari dalam cerita “Perjalanan Gulliver”.

Leddingsford: Kota pelabuhan di semenanjung barat Kerajaan Lore.

Alceste: Ibukota Lore. Letaknya hampir mirip dengan London, Ibukota Inggris Raya di Bumi.

Corazon: Kerajaan mirip Portugal di Bumi, ibukotanya Cadoban.

Cerita ini adalah sebuah adaptasi ke Dunia Everna yang terinspirasi dan adalah persilangan secara kebetulan dari novel “Perjalanan Gulliver” dan setting dunia peri di Neverland dalam cerita “Peter Pan”.Versi flash fiction cerita ini adalah pemenang event giveaway yang diadakan di Grup Facebook House of Romance – https://www.facebook.com/groups/houseofromance/

 Andry Chang adalah seorang musafir pengembara di dunia kepenulisan sejak tahun 2005. Di samping kesehariannya sebagai wiraswastawan, seorang suami dan ayah satu anak, ia selalu menyempatkan waktu untuk menulis atau mendalami hobi menggambar dan mengembangkan game. Selain itu pula ia juga gemar membaca dan meresensi novel, komik, film, game dan lain sebagainya. Sampai saat ini ia terus mengasah diri tanpa kenal kata menyerah, menghasilkan karya demi karya.

Beberapa karyanya yang telah terbit adalah: FireHeart – Legenda Paladin (2008), serta menjadi kontributor dalam: Vandaria Saga – Kristalisasi (2012), Qi Xi – Bunga Rampai Asmara (2012), Love Around You (2013) dan Magical Stories (2013). Andry Chang dapat dihubungi lewat www.facebook.com/andrychang, juga twitter di @evernade. Kunjungi pula blog-blog berisi karya-karyanya di http://fireheart-vadis.blogspot.com, http://fantasindo.blogspot.com dan http://vadisworld.blogspot.com

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 75K 40
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...
1.9M 148K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...
3.1K 334 10
Ada banyak jenis kematian di dunia ini! Kecelakaan kendaraan, bencana alam, upaya buat menembak kepala atau lompat dari jembatan layang, dibunuh bega...
3.6M 356K 95
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...