Jangan lupa komen ya, aku suka loh bacain komen kamu hihi
•••••••••••••
TESTIMONI TIME!
Kak Mirah sudah membuktikan, kamu kapan? Langsung aja wa 0896032104731 konsultasi GRATIS.
Shopee & Ig : @mowteaslim
___________
Happy reading!
____________
Kontak mata yang mempertemukan keduanya berhasil membuat Naqiya terdiam dan langsung menunduk. Bara dengan mata kepalanya sendiri telah memergoki wanita itu menangis.
Menangis sendiri di suasana bahagia bukankah terlihat kalau ada luka yang dipendam di sana?
"Mas..." Naqiya berusaha menghapus air matanya dan tak berani menatap Bara. "Aku nggak—"
Kalimat Naqiya terputus sesaat setelah Bara duduk di sampingnya. Pria itu menepuk-nepuk pundaknya sendiri. "Lanjutin nangis di pundak Mas sini, ndak papa, jangan ditahan."
Mendengar penuturan Bara justru semakin membuat tangis Naqiya kembali hadir. Tanpa membuat waktu, ia menjadikan lengan Bara sebagai bantalan wajahnya.
Hingga Bara bisa merasakan hangatnya air mata istrinya itu pada lengan berototnya. Benar sekarang, istrinya sedang tidak baik-baik saja.
Bara tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ia hanya ingin memberikan ruang untuk istrinya mengeksplorasi perasaannya sendiri. Memberi ruang untuk rasa sedih yang dirasakan oleh Naqiya. Meskipun ia sama sekali tidak tahu apa penyebabnya.
"Ati Nay apah?" Tanya Addar dengan wajah polosnya. "Om Ala?"
(*Ati Nay kenapa, Om Bara?)
Bara menggeleng, "Ati Nay kelilipan, Abang." Jawabnya. "Abang duduk samping Om mau? Adek Gaza bangun."
Dengan senang hati Addar mengangguk. Ia kemudian merangkak ke samping Bara dengan senang hati karena mengetahui Gaza alias adik sepupunya itu terbangun.
Tangan Bara perlahan mengambil bayinya dari gendongan Naqiya yang sedang menangis, "Gaza sama Mas dulu ya," Izinnya, meskipun Naqiya tak berkata sepatah katapun.
Kini Gaza sudah berada di tangan kiri Bara, sementara tangan kanannya melingkar di pundak Naqiya untuk memberikan ketenangan. Perlakuan kecil itu nyatanya membawa pengaruh besar untuk hati Naqiya.
"Dek Aja angun." Celoteh Addar dengan girang sembari menoel kecil pipi sepupunya itu. "Da angca. Om Ala ma Bang asih mam ucing."
(*Dek Gaza bangun. Ada angsa, Om Bara sama Abang ngasih mam kucing.)
Bara mengangguk, "Iya tadi Papa sama Bang Addar ngasih mam kucing. Gaza belum bangun sih."
"De Aja jaga Ati Nay. Angis..." Tutur Addar sembari mencuri-curi pandang ke arah Naqiya yang masih tersedu.
(*Dek Gaza jagain Ati Nay yang nangis.)
Lagi, Bara mengiyakan. Memang benar, Gaza menjaga Mamanya. Meskipun Naqiya menangis saat ini. Bayi itu menatap ayah kandungnya tanpa mengerti apapun, sehingga membuat Bara gemas sendiri.
"Mama nangis kenapa, Bayi?" Tanya Bara pada bayinya itu. Addar di sampingnya mengangguk, seakan menginterogasi bayi Gaza.
Mulut mungilnya bergerak, mata bulatnya mengerjap, seakan dirinya menjawab pertanyaan sang ayah barusan. Kaki Addar melangkah turun agar jaraknya dengan Gaza berkurang.
"Oh begitu... Kelilipan tadi anginnya bawa debu ya?" Ucap Bara seakan mengobrol bersama kedua anak kecil itu.
Addar mengangguk, "Dek Aja da isa usil debu."
(*Dek Gaza nggak bisa usir debu.)
Bara mengangguk, "Iya nggak bisa diusir debunya," Ucapnya. "Coba Om usir debunya dari mata Ati Nay ya."
Benar saja setelah mengucapkan itu, Bara menoleh pada istrinya, berpura-pura meniup agar debu yang entah dimana itu menghilang. "Dah ilang debunya."
Addar menolak ucapan tersebut. Naqiya jelas masih menangis, walaupun suaranya hampir tidak terdengar, "Om Ala, Ati Nay masih ngis teyus." Protes Addar pada Bara.
(*Om Bara, Ati Nay masih nangis terus.)
"Dirayu coba, Ati, Mama, kok nangis kenapa?" Ucap Bara lagi.
Tangan mungil Addar menyentuh lengan tantenya itu, "Ati angis teyus nyau enen?" Tanya Addar lagi. Biasanya dirinya kalau nangis berarti haus atau lapar.
(*Ati nangis terus mau enen?)
Namun pertanyaan itu justru membuat Naqiya yang sedang menangis kini tertawa mendengar kepolosan ponakannya itu. Manalah mungkin orang dewasa sepertinya ketika menangis dapat diberhentikan dengan pemberian asi?
Astaga Naqiya bukan Gaza.
"Ishh Addar!" Kini Naqiya dengan wajah merahnya protes pada pertanyaan ponakannya tadi. "Masa Ammaty enen sih."
Namun, Addar yang masih tidak paham itu menengok ke arah Bara, "Om Ala enen?"
Mendengar pertanyaan itu justru membuat Naqiya langsung menoleh ke arah Bara di sampingnya dalam waktu sepersekian detik saja. Tatapannya berubah, khawatir Bara akan mengucapkan yang macam-macam.
Bara mengangguk antusias, "Iya Om Bara enen."
Ah, benar 'kan!
Tentu saja jawaban di luar nalar yang dilontarkan Bara membuat pria itu mendapat cubitan kecil di perutnya dari Naqiya. Bisa-bisanya pria itu mesum di depan anak kecil?!
Astaga, Bara benar-benar memalukan!
Addar bertepuk tangan girang, "Om Ala ma Addal."
(*Om Bara sama kaya Addar.)
Bara meringis menerima cubitan istrinya itu tetapi bibirnya terkekeh, "Om Bara waktu kecil enennya, waktu seumur Bang Addar gini."
"Oh," Jawab Addar yang kemudian berpikir, "Cekalang enen?"
Bara kini menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bagaimana ya jawabnya?
"Mas..." Naqiya berbisik memberikan peringatan bagi pria itu untuk tidak jawab yang macam-macam ke ponakannya itu.
Bara melihat ke langit, seakan dirjnya sedang berpikir, "Mmm... Om udah gede, gantian Dek Gaza yang enen sekarang. Nanti kalo Abang udah gede juga udah nggak enen lagi."
Huft, Naqiya menghela napas leganya.
Addar menganggukkan kepalanya, "Ati ndak nen?"
Buru-buru Naqiya kini yang menggeleng, sebelum Bara kembali menjawab dengan jawaban ngaconya. "Nggak dong Ammaty 'kan udah gede. Tadi Om Bara bilang 'kan Ati sama Om udah gede jadi gantian Dek Gaza yang enen sekarang."
Bara melirik mata Naqiya sembari bibirnya berujar kata 'bohong' tanpa suara.
"Mmm itu." Lagi, Addar mengangguk mempercayai Om dan Tantenya itu.
"Kamu udah lega?" Tanya Bara yang memastikan kalau Naqiya sudah merasa lebih baik dari sebelumnya.
Naqiya mengangguk, "Udah kok, Mas. Sini Gaza aku aja yang gendong. Mas gendong Addar."
"Mas gendong dua-duanya juga kuat, Sayang."
Naqiya baru saja ingin protes sebelum Bara terkikik dan memberikan darah dagingnya pada kenyamanan gendongan istrinya itu.
"Yuk, Bang, balik ke villa." Ajak Bara sembari dirinya menggendong tubuh Addar.
Saat perjalanan menuju dimana mobil Bara terparkir, Bara berjalan di samping tubuh Naqiya. Lagi-lagi hanya memastikan bahwa istrinya merasa lebih baik.
Percayalah, dia khawatir.
Ia melekatkan Addar di bangku belakang, sementara bayinya di carseat samping Addar duduk. Kemudian ia memutar untuk duduk di bangku kemudi.
Baru saja Bara berniat memasangkan seat belt, Naqiya sudah menahan pergerakannya.
"Ada Addar, Mas," Ucapnya. Bara menoleh ke arah Addar yang memang melihat ke arah keduanya.
"Abi suka masangin seatbelt Umma ndak?" Tanya Bara sembari dirinya menyetir mobil itu.
Addar menggeleng, "Endak."
Dari jawaban itu Bara paham, mungkin saja Aufar dan Zahra menahan kemesraan di depan anaknya. Dan Bara menghargai hal tersebut dengan membiarkan Naqiya memasang seatbelt nya sendiri.
Padahal menurutnya memasangkan seatbelt pasangan bukan kemesraan, tetapi keharusan. Bara harus memastikan Naqiya aman sebelum Jero nya melaju.
"Om Ala," Panggil Addar pada Bara yang tengah fokus menyetir. "Dek Aja angun."
Benar saja, beberapa saat kemudian bayi mungilnya itu menangis. Suara tangisan itu membuat Naqiya responsif menggendong pelan tubuh bayi itu ke pangkuannya.
"Haus mungkin, Sayang," Ujar Bara pada Naqiya.
Istrinya itu segera membuka kancing bagian depan pakaiannya dan juga resleting bra khusus menyusui yang ia gunakan.
"Sssttt..." Bisik Naqiya menenangkan Gaza yang tadi menangis. "Haus ya Sayangnya Mama?" Tanya Naqiya bermonolog sembari mengelus kepala bayinya itu.
"Bang Addar haus nggak?" Tanya Bara pada ponakannya itu. "Nih minum Om." Tambahnya sembari memberikan botol minum miliknya.
Namun Addar menggeleng, "Addal nyau nen, Om Ala."
(*Addar mau nen, Om Bara.)
"Ooh yaudah nanti di villa aja ya," Tutur Bara sembari meletakkan kembali botol minum miliknya.
"Addal au nen ama Dek Aja," Celotehnya. "Nda au ndiyi."
Naqiya menoleh dan menggeleng, "Nggak bisa, Abang, Dek Gaza 'kan udah kenyang. Nanti Abang, Ati Nay buatin susu ya, apa mau nen Umma?" Tanyanya
Kepala Addar menggeleng. Penolakan itu membuatnya merasa sedih dan ingin menangis. Dirinya ingin sekarang bersama Gaza karena merasa ada temannya.
"Mau nen kaya Dek Aja."
Naqiya kebingungan, kalau begitu ceritanya ia bisa saja menjadi ibu sepersusuan keponakannya itu 'kan ya?
"Hmm..." Ibu satu anak itu berpikir sejenak, "Punya Ati Nay udah keluar banyak, Abang, nanti kalo abis gimana?" Tanya Naqiya.
"He em," Ujar Bara, "Om aja nggak kebagian loh." Timpalnya pelan yang langsung mendapat pelototan istrinya.
[ B A Y I D O S E N K U 2 ]
PLIS DEH PAK DEPAN ANAK KECIL LOH😭 Bukan Pak Bara kalo ga pinter ngeles kaya Kana di cerita sebelah🙏 (cek di profileku)
Komen kalo typo ya, aku revisi cuma 3x