Sinar rembulan yang tertutupi awan, membuat dunia gelap gulita.
Seorang pria berambut hitam sehitam malam, berjalan dengan tatapan dingin di sebuah lorong.
Terlihat pula beberapa tubuh tak bernyawa di lorong tersebut, dengan beberapa lobang di kepala, maupun anggota tubuh lainnya.
"Uh..." Salah seorang di antara mereka, terlihat masih hidup. Ia memiliki luka yang cukup parah di bagian kaki, membuat pria berambut hitam itu berjalan ke arahnya.
"Katakan dimana mereka menyekap para sandera."ucap Reyhan dingin.
Ia sebelumnya mendapatkan info bahwa Rio telah membawa lebih dari lusinan pasukan pembunuh bayaran dari beberapa percakapan acak yang tak sengaja didengarnya ketika mencoba menyusup kemari.
Para pembunuh bayaran itu di perintahkan untuk menyekap para sandera seperti dokter dan para perawat, untuk mengelabui polisi ketika Reyhan tetap berani untuk melakukannya.
Menatap mata dingin Reyhan, sang pembunuh bergidik ngeri. Entah apa yang terjadi tapi ia merasa tatapan dingin itu menusuk hingga ke dalam jiwanya.
Menjadi seorang pembunuh profesional, ia sudah begitu banyak melalui situasi hidup dan mati, jadi sebelumnya hal-hal yang seperti ini tidak akan terlalu mempengaruhinya.
Namun, entah mengapa kali ini berbeda. Seolah-olah pria berambut hitam dihadapannya ini dapat memberinya sesuatu yang lebih buruk dari kematian hanya dengan menatap mata dinginnya itu.
Dengan terbata-bata, ia segera menunjuk ke arah sebuah gedung yang tak jauh dari tempatnya berdiri, membuat pria berambut hitam itu mengangguk sebelum berdiri dan bergegas menuju gedung tersebut.
"Kena kau!"
Melihat kesempatan, ia dengan cepat meraih pistol di dekatnya sebelum mengarahkannya pada Reyhan.
Dor!
Namun sebelum ia sempat menarik pelatuknya, sebuah timah panas melesat ke arah kepalanya, membuat lobang yang segera menghabisi nyawanya.
"Aku sebelumnya telah memberimu kesempatan tapi, kau sendiri yang memilih kematian mu."ucap Reyhan sambil menghela nafas.
Pamannya yang selalu mengingatkannya untuk tidak memberikan belas kasihan kepada musuhnya dalam pertempuran hidup dan mati selalu terbayang ketika ia berada dalam situasi seperti ini.
Namun Ia sebenarnya tak memiliki niat untuk membunuh, ia terkadang akan memberikan musuhnya kesempatan dan tetap waspada untuk melakukan serangan balik jika saja ia menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Hah...." Menghela nafas, Reyhan hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia kemudian berlari menuju gedung yang di tunjuk oleh pembunuh sebelumnya.
Ia sebenarnya tak ingin mempercayai kata-kata dari sang pembunuh, bisa jadi itu adalah jebakan tapi ia sama sekali tak memiliki petunjuk lain dan hanya bisa berharap ia dapat menemukan mereka semua.
***
Ia terus bergerak dengan sembunyi-sembunyi, membunuh musuhnya secepat yang ia bisa tanpa meninggalkan jejak apapun.
Ia sudah hampir memeriksa seluruh ruangan yang ada di tempat itu, dan berhasil membebaskan beberapa perawat maupun dokter yang menjadi Sandera di tempat tersebut.
Ia kemudian memberikan peta yang menunjukkan rute aman bagi mereka untuk pergi dari sana, sebelum melanjutkan pencariannya mencari dan membebaskan lebih banyak sandera.
Ia sebenarnya ingin menghubungi polisi, namun entah mengapa ia merasa cukup ragu ketika mendengar bahwa Rio memiliki seorang kenalan polisi berpangkat tinggi dari Martha.
Ia juga sebenarnya dapat menghubungi pak Sudirman, polisi yang selalu membantunya namun, ia mengurungkan niatnya. Ia sudah tidak ingin orang lain lagi-lagi terlibat masalah hanya karena dirinya.
Omong-omong ia telah memeriksa ruangan tempat dimana ia meninggalkan Irena sebelumnya.
Namun ia hanya menemukan ruangan itu berada dalam keadaan acak-acakan dengan beberapa perabotan dan kaca pecah yang memenuhi lantai.
Ia kini sedang menggenggam sebuah drone mini yang ditemukannya tergeletak begitu saja di lantai ruangan, membuat pandangannya lagi-lagi menjadi sedingin es.
"Madya, tunggu aku."
***
Ia terus berlari menuju lantai atas dari gedung tersebut, kini ia sedang berada di tangga lantai terakhir dan sudah beberapa kali bertemu dengan para pembunuh.
Harus ia akui, mereka semua memiliki kemampuan dan pengalaman bertarung yang cukup hebat. Mulai dari pengguna senapan, pedang, hingga racun telah ia temui dan dengan hati-hati membunuh mereka.
Jika saja ia tidak pernah dilatih sejak kecil dan mengikuti beberapa pertarungan di di Alteia Land, mungkin ia sudah terbunuh daritadi.
Ia terus berjalan dengan kewaspadaan penuh, dengan bantuan teropong night vision, ia dapat melihat didalam gelap dan terus mengendap-endap.
Ia kemudian bertemu sebuah pintu, yang merupakan pintu menuju atap gedung, dimana Gazel A.K.A Rio menunggunya.
Menarik nafas dalam-dalam, ia kemudian membuka pintu itu, menampakkan seseorang yang kini berdiri di tengah-tengah atap gedung, menatap ke arah perkotaan di bawahnya.
"Akhirnya kau datang juga, Fang."ucapnya sambil berbalik, menampakkan kondisi tubuhnya yang bisa dibilang cukup buruk.
Kedua telinganya dan wajahnya terlihat seperti telah terkena luka bakar, salah satu matanya kini memutih tanpa ada cahaya yang dapat ia tangkap.
Ia sendiri juga tak pernah menyangka, efek dari menyiksa roh seseorang di dunia game dapat berakibat sefatal itu di dunia nyata.
Jika bukan karena beberapa obat penghilang rasa sakit, Rio mungkin saat ini masih terbaring di ranjang, tak dapat melakukan apapun.
Ia mendapatkan obat-obatan itu dari Goro A.K.A Rama yang saat ini masih terbaring tak sadarkan diri dengan luka bakar di mulutnya.
Serangan stun-gun Martha sebelumnya memang sangatlah kuat, bahkan membuatnya kini berada dalam kondisi kritis, dan sedang dirawat oleh beberapa dokter tawanan yang masih mereka sandera.
"Lihatlah apa yang telah kau lakukan padaku, Lihat!" Ia kini berteriak ke arah Reyhan yang hanya tersenyum dingin menanggapi hal itu.
"Dimana Madya." ucapnya sambil menodongkan pistolnya ke arah pria itu.
"Madya? Oh maksudmu putri?" Rio disisi lain hanya tersenyum seperti orang brensek.
"Buang senjata mu dulu." ucapnya lagi dengan nada main-main.
"Jangan bercanda, cepat katakan dimana dia!"
"Aku sudah mengatakannya bukan? Letakkan senjata mu." Reyhan yang mendengar hal itu hanya bisa mendecih pelan.
Merasa tidak ada pilihan lain, ia kemudian membuang senjata nya dan menatap pria itu sekali lagi.
"Puas? Sekarang katakan dimana dia."Reyhan lagi-lagi menatap pria itu dengan dingin yang lagi-lagi hanya menyeringai ke arahnya
"Hm? Apakah aku sebelumnya mengatakan akan memberitahukannya padamu?" ucapnya dengan nada brensek sebelum menjentikkan jarinya, membuat beberapa orang tiba di dekatnya.
"Apa yang kau rencanakan sialan!" Reyhan kini berlari ke arah pria itu, berniat untuk melayangkan sebuah pukulan.
Bam!
Namun, salah satu orang di dekatnya segera kedepan dan menahan pukulannya, membuat Reyhan hanya mendecakkan lidah dan kini menyerang kepala pria itu menggunakan kakinya.
Bam!
Serangannya lagi-lagi ditahan oleh pria itu, membuatnya segera mengambil jarak.
Clik
Boom!
Sebuah ledakan terjadi tepat setelah kaki Reyhan menyentuh tanah. Untungnya ia dengan cepat melompat kembali ke depan, mengurangi dampak ledakan tersebut pada tubuhnya.
Namun meskipun begitu, ledakan itu tetaplah sangat dekat dari tubuh dan tetap membakar kulitnya.
Ia berguling di tanah sambil meringis kesakitan, namun segera bangkit ketika melihat orang tadi kini maju ke arahnya sambil melayangkan sebuah pukulan tepat di perutnya.
"Argh!"
Ia tak sempat untuk menghindari serangan itu, selain karena pergerakan dari pria tersebut sangat cepat, tubuhnya juga kini sedang berada dalam kondisi kurang prima akibat luka bakar sebelumnya.
Pandangannya tiba-tiba kabur, membuatnya segera terjatuh berlutut sambil memuntahkan darah segar.
"Bagus... sekarang kita mungkin impas." Rio yang melihat hal itu disisi lain hanya mengangguk puas.
Ia kemudian menjentikkan jarinya, membuat sorotan lampu raksasa kini mengarah pada Reyhan yang saat ini sedang terkapar tak berdaya.
Tubuh Reyhan seketika bergetar hebat menahan amarah yang tiba-tiba meledak dan menghancurkan dirinya dari dalam, membuatnya hanya bisa menatap kejadian dihadapannya dengan ekspresi kosong.
"Mad-ya?"
Sorotan lampu itu kini mengarah pada Gadis berambut putih yang telah di carinya sejak tadi. Ia kini berada dalam kondisi terikat dan tergantung tak sadarkan diri di atas sebuah derek crane, dengan tanpa ada satupun helai kain yang menutupi tubuhnya.
"Hahaha! Aku sudah mengatakannya padamu bukan? Dan yah! Ah... Tubuhnya terasa begitu nikmat, dan erangannya itu! erangan yang penuh keputusasaan, Ia terus berteriak memanggil seseorang tapi sayangnya orang itu tak pernah datang..." ucap Rio sambil tersenyum penuh kemenangan.
Ia kini sangat menikmati tatapan mata Fang, tatapan kosong yang hanya dimiliki oleh orang yang telah kehilangan akal sehatnya.
"Kau mungkin bisa mengalahkan ku di dunia Game, tapi disini di dunia nyata akulah yang akan menjadi pemenang!"ucapnya sambil tertawa seperti orang gila.
Ia kini begitu puas, puas melihat bagaimana kedua orang yang ia benci menderita. Ia kemudian menatap ke arah pembunuh didekat nya, memberinya tanda untuk menghabisi Reyhan.
Mengangguk, pembunuh itu kemudian bergerak ke arah Reyhan yang masih menatap gadis berambut putih itu dengan tatapan kosong.
"Madya..." Ia tiba-tiba mengepalkan tangannya keras, membuat suasana di sekitar mereka tiba-tiba saja berubah.
Angin dingin yang sebelumnya menusuk hingga ke tulang entah mengapa tiba-tiba terasa panas, bahkan membuat semua orang di tempat itu berkeringat.
Aura berwarna merah secara tiba-tiba merembes keluar dari tubuh Reyhan. Ia segera menatap pembunuh dihadapannya dengan matanya yang tiba-tiba berubah menjadi merah darah, membuat tubuh pembunuh itu seketika bergetar hebat.