Beer and Martini

By MariaPerdana

2.4K 121 3

Konten 21+ Beer and Martini memuat deskripsi detail mengenai berbagai jenis minuman beralkohol, pembuatan coc... More

🍸 2. The Martini Girl
🍸 3. Plus One
🍸 Pengumuman "Beer and Martini"
🍸 Pengumuman "Beer and Martini" (2)

🍸 1. An Unexpected Surprise

704 45 1
By MariaPerdana

Kuku-kuku berpoles french manicure sudah ratusan kali mengetuk meja. Ujung hak sepatuku mengentak lantai di titik yang sama. Pandanganku berulang kali berpindah dari arloji ke pintu restoran. Namun, setiap kali menangkap wajah pengunjung yang memasuki restoran, aku harus menelan rasa kecewa karena mereka bukanlah orang yang kutunggu-tunggu.

Seorang pelayan berkemeja kerah tinggi warna hitam dengan lining tipis berwarna merah maroon di bagian lengan menghampiriku. Perempuan berkucir kuda itu mengulas senyum prihatin sambil menukar gelas kosongku dengan anggur merah. Perutku sudah lelah menerima dua gelas pomegranate lime punchmocktail favoritku di restoran ini. Aku butuh sedikit sentuhan alkohol untuk menenangkan sistem saraf di tubuhku. Sambil mencecap wine, aku mengucapkan mantra yang sedari tadi berhasil membuatku batal menekuk wajah.

It's gonna be the best day of your life. You're gonna be the happiest girl in the world tonight.

Baru rileks sejenak, ritme jantungku kembali dibuat kacau karena ponsel yang kuletakkan di atas meja bergetar. Cepat-cepat aku menaruh gelas dan mengambil ponsel. Rupanya sahabatku meninggalkan sebuah pesan singkat.


Thea

Gimana hon? Dia sudah datang?


Aku menghela napas panjang. Ibu jariku hendak mengetik balasan ketika seseorang berhenti di depan meja. Aku mendongak. Mataku langsung bertumbukan dengan netra pria yang sudah kunanti sejak satu setengah jam yang lalu. Seperti biasa, pria itu tampak menawan dengan kemeja model slim fit.

"Isla[1]."

Tak banyak orang yang dapat menyebut namaku dengan benar. Begitu pun dengan pria yang duduk di hadapanku saat ini.

Kami bertemu dua tahun yang lalu. Kala itu, kantorku sedang mengadakan acara peluncuran produk ponsel untuk klien kami di hotel tempatnya bekerja. Sebagai seorang marketing manager, Theodore Purnomo harus memastikan kliennya mendapatkan fasilitas terbaik selama menyewa hall di hotelnya.

Ramah dan bersahabat menjadi dua kata yang selalu mampir ke telingaku setiap mendengar orang lain mendeskripsikan Ted. Para perempuan biasanya turut menambahkan kata tampan, apalagi kalau laki-laki itu sudah tersenyum lebar. Lesung pipit akan kian mempermanis wajahnya yang khas Indonesia. Didukung dengan rambut hitam cepak yang senantiasa ditata rapi dan postur tinggi berbalut setelan rapi, Ted bisa dikatakan sebagai laki-laki idaman setiap perempuan. Idamanku.

"Tertahan pekerjaan?" tanyaku, mencoba terdengar pengertian pada tuntutan pekerjaannya yang kerap mengharuskannya masuk di akhir pekan.

Ted mengangguk lemah. "Maaf, ya. Tadi ada klien yang mendadak minta ganti hall. Kamu belum pesan makan?"

Sekuat tenaga aku menahan diri untuk memutar bola mata. Bukannya kami mau makan malam bersama? Bagaimana mungkin aku makan lebih dulu? Aku juga pasti akan terlihat menyedihkan karena makan seorang diri dengan busana dan riasan paripurna seperti ini.

Alih-alih menyuarakan isi pikiran, aku memilih untuk menggeleng dan segera memanggil pelayan. Baru setengah jalan mengangkat tangan, tiba-tiba Ted menghentikan gerakanku. Dia membawa tanganku kembali ke atas meja dan menggenggamnya. Detik itu, aku mengamati kegusarannya. Dia menghindari kontak mata denganku. Pemandangan ini sangat asing di mataku, sebab Ted selalu tampil percaya diri. Bahkan ketika dia tengah menghadapi komplain kliennya.

Saat itu, aku baru tiba di hotel tempatnya bekerja dan melihatnya tengah menghadapi komplain klien. Ted hanya memasang tampang tenang. Mendengarkan keluh kesah dan makian si klien dengan seksama. Aku mendengar Ted mengulang poin-poin komplain yang paling membuat sang klien kesal, seperti feedback dari alat pengeras suara yang menciptakan dengungan mengilukan di telinga dan lampu sorot yang mati. Padahal masalah tersebut bisa saja dilemparkannya ke bagian building management. Namun, Ted memilih langsung menghadapi kliennya.

Kegaduhan tersebut berakhir dengan Ted yang menawarkan opsi potongan biaya rental bila klien tersebut menyewa hall di hotel itu lagi. Ted lantas menemani sang klien hingga tamu itu mendapatkan taksi.

"Klien paling suka kalau ucapan dan keluh kesahnya didengarkan, apalagi kalau kamu sampai bisa mengulang setiap detail komplainnya dan kamu nggak melepas kontak mata dengan mereka. Mereka jadi merasa benar-benar diperhatikan. Ditambah lagi kalau kamu punya jabatan tinggi dan bersedia turun tangan langsung, going the extra mile to help them, lama-lama mereka pasti merasa sungkan," katanya saat aku membahas insiden itu.

Kami sama-sama bekerja di industri pelayanan, jadi kami pun mudah mengerti kesulitan pekerjaan masing-masing. Tak jarang aku belajar dari Ted. Dia lihai dalam mengatasi masalah. Tidak mengherankan bila akhirnya dia bisa menjabat sebagai manajer pemasaran di New Haven Hotel―salah satu jaringan hotel global besar―ketika usianya baru menginjak 28 tahun.

Jadi, percaya diri memang menjadi karakteristik menonjol dari seorang Ted Purnomo. Namun, tiba-tiba di hadapanku malam ini, laki-laki itu bersikap gelisah dan malu-malu.

Oh, mungkinkah firasatku benar? Mungkinkah apa yang kulihat di mal waktu itu benar?

Aku selalu tahu saat ini akan tiba. Selama satu tahun menjalin hubungan, kami selalu mengatakan kalau kami memang tepat untuk satu sama lain. Aku adalah kekasih pengertian yang tidak pernah bersungut bila dia harus kerja lembur. Sedangkan dia adalah man in suit idamanku. We're perfect for each other.

Terlepas dari jantungku yang terasa seperti sedang bermain trampolin, aku berusaha tetap memasang tampang netral. Pura-pura tidak tahu pada rencana kejutan yang telah disusunnya.

Aku menepuk-nepuk punggung tangannya, mencoba menenangkannya. "Kamu nggak mau pesan makan dulu?"

Ted menggeleng. "Aku lagi nggak nafsu makan. Ada yang harus aku sampaikan ke kamu sekarang juga."

Inikah saatnya Ted melamarku?

Jantungku berderap kian kencang. Aku mulai membayangkan cincin berlian bermodel solitaire dari koleksi Ballerine yang akan tampak manis di jari manisku. Untung aku sudah menyempatkan diri untuk melakukan manikur sebelum datang ke sini.

Aku berdeham, mencoba membuat suaraku senetral mungkin. "Mau ngomong apa, Ted?"

Lelaki itu memejamkan mata sejenak, lalu menatapku dalam. Dia kian mengeratkan genggaman. Aku pun semakin sulit menahan senyum girang.

"Isla, kita sudah pacaran selama setahun," mulainya. "Sebenarnya aku paling nggak suka membahas umur. Tapi, kamu sudah hampir kepala tiga―"

"Kamu juga, Ted," potongku. "Aku bukan satu-satunya yang tua di sini."

"Iya, maksudku juga begitu," balasnya cepat, tak terpengaruh oleh gurauanku. "Anyway, aku merasa nggak adil kalau harus membuatmu menunggu lebih lama lagi."

Ted kembali mengambil jeda, menggiring jantungku berdegup melewati batas kecepatan. "Sebelumnya, aku pengin kamu tahu kalau aku sayang sama kamu, Isla. I never took you for granted. Aku selalu senang menghabiskan waktu sama kamu. Kamu perempuan yang luar biasa. Nggak mudah menjalani hubungan dengan pria yang memiliki profesi sepertiku. Tapi, kamu selalu pengertian dengan jadwal kerjaku yang seringkali nggak kenal waktu. Kamu nggak pernah jadi perempuan penuntut dan aku adalah pria beruntung yang pernah merasakan gimana menyenangkannya pacaran sama kamu―"

"Pernah?" Aku kembali menyela. "Kita, kan, masih pacaran. Kamu ngomong 'pernah merasakan' kayak kita sudah nggak pacaran saja."

Ted mendesah berat sebelum bergumam, "Mungkin memang seharusnya begitu."

Aku mengernyit. "Maksudmu?"

Lagi, lelaki itu membuang napas. "Isla, dengarkan aku dulu. Keputusan ini sulit―"

"Bisa langsung ke intinya saja?" sergahku sambil menarik tangan.

Ted terdiam sesaat. "Aku tahu kamu pengin segera menikah―"

"Lalu? Itu salah? Apa aku salah kalau berharap pengin cepat menikah?"

"Nggak sama sekali. Itu wajar. Kamu berhak punya keinginan untuk menikah, apalagi dengan usiamu saat ini―"

"Nggak usah bawa-bawa umur, bisa?"

Pria berlesung pipit itu memejamkan mata sejenak. "Dengar. Kamu punya harapan untuk menikah. Harapan yang sangat aku hormati. Karena aku menghormati keinginanmu itulah aku merasa harus mengakhiri hubungan ini."

Ted mengulurkan tangan dengan telapak yang menghadap meja, menghentikan niatku yang ingin menginterupsinya. "Sebelum kamu berasumsi, biarkan aku bilang ini dulu. Nggak ada perempuan lain. Ini murni keinginanku. Aku nggak pengin kamu membuang waktu bersamaku karena aku nggak berniat untuk menikah dalam waktu dekat. Perjalanan karierku masih panjang dan aku masih ingin mewujudkan cita-citaku yang lain."

Suaraku mulai bergetar karena menahan tangis. "Apa selama ini aku nggak cukup ngebuktiin kalau aku mendukung kamu mengejar apa pun yang kamu inginkan? Aku nggak pernah protes tiap kamu lembur atau kita nggak bisa kencan atau bahkan waktu kamu mendadak batalin janji kencan."

"Apa yang kamu lakukan untukku sudah lebih dari cukup dan aku nggak bisa minta lebih lagi darimu. Aku nggak bisa memintamu menunggu."

Aku menunduk. Tanganku terjulur untuk mengambil serbet di meja. Aku menyeka air mata dengan serbet sambil berharap tidak ada orang lain yang menangkapku sedang menangis.

Selama ini, aku selalu dituntut menjaga citra, baik citra perusahaan tempatku bekerja dan klien-klienku maupun diriku. Reputasi personalku sama pentingnya dengan reputasi klien yang datang ke perusahaanku. Itulah mengapa aku memilih untuk diam. Menekan amarah daripada mengungkapkan gejolak perasaan dan membuat kegaduhan di tempat umum.

"Aku nggak ngerti." Aku mengangkat kepala. "Aku lihat kamu di Plaza Indonesia beberapa hari yang lalu dan masuk ke Cartier."

Ted ternganga sesaat. Detik berikutnya, pundaknya turun. Raut syok di wajahnya perlahan mengendur dan berubah menjadi maklum, seakan dia bisa membaca apa yang ada di kepalaku. Seakan dia mengerti kalau aku mengharapkan hasil lain dari kencan kami malam ini: menyandang status sebagai soon-to-be-Nyonya-Purnomo.

"Aku diminta mencari cincin penghargaan untuk general manager kami yang mau pensiun," jawabnya lemah.

"Di Cartier? Apa kamu nggak bisa beli di toko emas lain? Kenapa harus di Cartier?"

Aku tahu pertanyaan itu sangat konyol. Semua perusahaan berhak membelikan cincin penghargaan kepada karyawannya dari toko mana pun. Namun, Cartier adalah merek favoritku. Ted tahu itu dan dia tahu kalau aku ingin dilamar dengan cincin dari Cartier. Melihatnya memasuki toko perhiasan asal Perancis itu membuatku berasumsi kalau dia ingin mengabulkan harapanku. Aku sadar betul ini juga kesalahanku karena telah berasumsi dan berharap berlebihan. Belum lagi rasa malu yang harus kutanggung karena asumsiku itu.

"Sejak pertama kali melihatmu pakai gelang dan kalung dari Cartier, Bu Weda jadi ikut suka perhiasaan Cartier. Jadi, ketika berdiskusi dengan semua manajer dan franchisee New Haven cabang Jakarta, mereka sepakat membelikan Bu Weda cincin dari Cartier."

Aku menggigit bibir sambil mengangguk. "New Haven murah hati banget beliin karyawannya cincin Cartier."

"Well, Bu Weda juga mengabdi di New Haven cukup lama."

"Jadi, begini akhir hubungan kita?" tanyaku, menyetir pembicaraan kami kembali ke keputusannya.

"Ini pilihan terbaik untuk kita, Isla. Kamu nggak perlu menyia-nyiakan waktu sama aku. Kamu bisa mencari laki-laki lain yang lebih siap untuk menikahimu dan aku ... hmm, aku ... bisa fokus sama karierku."

Aku tercengang. Mataku mengerjap dengan cepat. Otakku berusaha memproses ucapannya.

"Oh my God. Kamu menganggapku sebagai distraksi?"

Ketika dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin membantah ucapanku, aku mengambil tas dan bergegas pergi. Aku berusaha mengangkat kepala saat melewati meja-meja yang dihuni pasangan-pasangan bahagia yang saling melempar tawa dan bertukar sentuhan mesra. Namun, baru mengambil beberapa langkah, aku mendengar Ted memanggilku. Usai menarik napas dalam-dalam, aku membalikkan badan. Ted sudah berdiri di hadapanku.

"Kalau kamu sudah nggak pengin sama aku, jangan kejar aku," pungkasku pelan agar tak terdengar orang-orang di sekeliling kami. Aku enggan makin mempermalukan diriku.

Pundak Ted jatuh. Aku dapat melihat penyesalan di matanya. Akan tetapi, semua itu tidak berarti apa-apa. Seperti harapanku yang begitu mudah diempaskannya dalam satu malam. Kisah kami tak berarti apa pun baginya. Bahkan, hubungan kami dianggap sebagai penghalang kariernya.

Aku tersenyum getir. Perlahan, aku memutar tubuh untuk meneruskan langkahku yang sempat tertunda. Aku mempercepat lari begitu hak sepatuku mengentak aspal jalan.

Malam sudah larut, tetapi aku belum ingin pulang. Sahabatku satu-satunya baru pulang ke Jakarta esok hari.

Lalu, sebuah bangunan kecil berwarna cokelat kayu di ujung jalan menarik perhatianku. Bangunan itu terlihat mencolok. Bukan karena pernak-pernik yang menghiasi eksterior bangunan atau antrean pengunjung. Justru sebaliknya. Tempat itu sangat sepi. Terjepit di antara restoran dan kedai kopi yang padat.

Braun's adalah tulisan yang tertera di dinding luar gedung. Tanpa pikir panjang, aku segera memasuki bangunan itu.

---

[1] Isla dibaca Ai-La

🍸🍸🍸


Hello! 💕

Rasanya udah lama banget nggak buka platform oranye ini, jadi agak kagok, hehe

So, first, buat yang udah pernah baca cerita-ceritaku, hai! It's nice to see you again 😍 yang baru kali ini kenalan sama karyaku, welcome! 🥰

Second, happy new year! Gimana kabar kalian? Gimana bulan Januari kalian so far?

Third, terima kasih, ya, sudah mampir dan kenalan sama Isla.

Menurut kalian, gimana bab pertama ini?

What's your first impression of Isla or Ted?

Semoga kalian suka dengan pembukaan "Plus One" ini, ya!

Can't wait to read your answers. Thanks for reading, voting and leaving comments. See you next Thursday!


Cheers,

MP💙

Continue Reading

You'll Also Like

200K 15.1K 42
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
2.2M 98.7K 46
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...
3.1M 211K 60
CERITA MURNI HASIL PEMIKIRAN SENDIRI GAES ‼️‼️⚠️ KALO ADA KESAMAAN YA MBOH Mungkin akan banyak typo, salah nulis nama atau semacamnya jadi kalo mau t...
296K 29.4K 44
"Ma, aku ngga mau ya punya assisten baru" "Plis lah Maa" "Aku tu CEO punya aissten dengan pakaian sexy itu biasa" "Lianda Sanjaya!!!" "Ikutin kata ma...