AMOUR

By hwepiy

4.1K 1.4K 5.8K

Terlahir sebagai anak kembar identik, bagaimana perasaanmu? Pasti bahagia karena bisa saling tukaran pakaian... More

1. Yang bertopeng
2. Shaka dan Dunianya
3. Hitam Putih
4. Peringatan Pertama
5. Sisi Yang Berbeda
6. Milik Azka
7. Bukan Sembarang Kejutan
8. Baper? Ya kali!
9. Mascrush
10. Closer
11. Oh shit!
12. Icha vs Keysha
13. Pertandingan Sengit
14. Selimut Bernyawa
15. Prioritas
16. Belajar Bareng
17. Gara-gara Foto
18. He's annoying!
19. Jealousy
20. Esedensies
21. (Not) Strong Enough
22. Sibling Rivalry
23. One Fine Day
24. (Bukan) Shaka
26. Terjebak Dalam Labirin
27. Favourite Man
HAI EVERYONE!

25. Bak Kaset Rusak

59 19 207
By hwepiy

Hai! Kalau kamu baca ini,
jangan lupa vote-nya yaa 🌟

Kalau lupa alur, baca chapter
sebelumnya dulu 😻

ָ࣪ ۰ Amour ‹!

Menjabat sebagai pengurus OSIS sudah pasti harus menerima risiko pulang sore atau bahkan saat langit sudah gelap. Apalagi kalau mau ada acara, rapat semakin dirutinkan. Tapi rasa lelah akan terbayar jika acara itu sukses. Begitulah yang dirasakan Azka sekarang. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, bergegas ia ke ruang OSIS agar rapat bisa segera dilaksanakan apabila anggotanya disiplin waktu.

Moderator rapat yang merupakan sekretaris acara kali ini membuka rapat. Kemudian rapat diserahkan kepada ketua pelaksana.  Sepatah dua patah kata pembuka disampaikan oleh ketua pelaksana. Setelah itu diserahkan lagi kepada seksi acara.

Koordinator seksi acara membaca satu persatu susunan acara lomba antarsekolah yang bulan depan akan dilaksanakan. Dilanjut dengan penyebutan penanggungjawab tiap mata lomba.

"Buat penanggungjawab pertandingan basket itu Azka sama Nayla, ya," kata seorang gadis berjilbab putih itu.

Azka yang sedang menyimak pun terkejut saat namanya disebut. "Gue? Gak bisa diganti?" tawar pria itu.

"Gak bisa. Semuanya udah dapet jobdesc masing-masing. Jangan lupa saling berkoodinasi sama partnernya, ya," jawab wanita berjilbab yang merupakan koordinator seksi acara itu.

Azka ingin mengeluh, tapi tidak bisa. Jujur saja ia sudah menduga pasti kembarannya itu akan ikut pertandingan basket. Menjadi panitia acara lomba antarsekolah sebesar ini saja sudah pusing, ditambah lagi ia harus menjadi penanggungjawab dimana lomba itu akan diikuti oleh kembarannya.

"Oh iya, nanti kalian jadi MC-nya juga, ya. Dipersiapkan dari sekarang, biar pas acara nanti gak bingung," jelas koordinator seksi acara tadi.

Azka hanya mengangguk. Sekarang ia hanya bisa menerimanya, masalah Shaka bisa ia bicarakan nanti. Itu juga kalau Shaka sudah mau berdiskusi lagi dengannya.

Tiga jam waktu yang dihabiskan untuk rapat acara lomba antar sekolah. Azka langsung pulang, tapi bukan ke rumahnya melainkan ke rumah Diva, pacarnya.

"Pasti abis rapat OSIS ya?" tebak Diva sambil mendaratkan bokongnya ke atas sofa empuk. "Lesu banget, ada masalah ya ?" tanya gadis itu.

Terlihat sekali dari raut wajah pria itu yang tidak biasanya. Meskipun ia pandai sekali menyembunyikan lelahnya, tapi kali ini tidak. Artinya ia benar-benar butuh tempat untuk menumpahkan segala kepenatannya.

"Aku kayaknya mau mundur aja jadi panitia lomba," keluhnya dengan menyandarkan tubuh di sandaran sofa. Memijat keningnya.

"Kenapa? Bukannya kamu pengurus OSIS?" tanya Diva heran.

"Sekolah Shaka ikut lomba di Laksmana. Aku jadi penanggungjawab pertandingan basket dan aku yakin Shaka pasti ikut basket," jelasnya dengan memberikan jeda, kemudian melanjutkan lagi, "Kalau ketauan aku punya kembaran gimana?"

Hening sejenak. Diva memberikan segelas air putih kepada pria itu. Dan ditenggak habis oleh Azka. "Kamu bisa pakai masker, Zka," usul Diva.

Azka geleng. "Aneh, di tengah-tengah orang yang gak pakai masker, aku bakal keliatan aneh. Kecuali kalau aku pakai masker pas lagi di jalan. Apalagi selama ini di sekolah aku gak pernah pakai masker."

Diva mengangguk mengerti. Gadis itu juga tau apa yang sebenarnya terjadi antara Azka dan Shaka. "Kamu bisa alasan kalau lagi flu. Azka yang aku kenal itu selalu bertanggungjawab sama tugasnya. Kamu juga selalu punya solusi buat masalah aku, masa buat nyelesain masalah kamu sendiri, kamu gak bisa?"  tutur Diva sambil mengusap pundak kekar pria itu.

Azka tersenyum tipis, mengembuskan napas berat. Yang sebenarnya ia juga capek bersembunyi dari orang-orang yang mengenal Shaka. Capek menyembunyikan identitasnya yang punya saudara kembar.

Ia hanya bisa berharap semoga saja hati kecil Shaka terketuk untuk tidak lagi menyembunyikan kembarannya itu dari semua orang.

ָ࣪ ۰ Amour ‹

Tepuk tangan riuh dari beberapa orang memberi semangat kepada tim cheerleader SMA Agra. Kedua kaki Naya yang berperan sebagai flyerorang yang diangkat atau dilempar ke udara—berpijak pada tangan dua base—yang menopang berat badan flyer— di kanan kirinya untuk bisa berdiri setinggi dagu dua base itu. Gadis itu mengangkat kedua tangannya ke atas. Lima detik berada di atas, setelahnya dilempar dan terjun dengan posisi tubuh telentang ditopang oleh beberapa base.

Latihan cheerleader sore ini telah usai. Biasanya sebelum bubar, mereka melakukan evaluasi latihan agar kesalahan yang terjadi pada latihan kali itu tidak terulang lagi di latihan selanjutnya. Naya menghampiri Sekar yang sedang duduk di lantai lapangan indoor, kemudian ikut duduk selonjoran dan menenggak minumnya.

Icha kemudian bergabung bersama dua gadis itu setelah selesai dari pertemuan ekskul basket putri. "Liat anak cowok latihan basket, kuy," ajak gadis berambut pendek itu.

"Emang belum selesai?" tanya Naya sambil menyeka keringatnya dengan handuk kecil.

"Mana gue tau, makanya ayo kita cabut sekarang," desis Icha, menarik lengan kedua sahabatnya itu untuk berdiri.

Mereka tiba di lapangan basket outdoor saat latihan telah usai. Yang tersisa hanya Shaka dan tiga orang teman setianya itu. Naya mengeluh karena tidak bisa menyaksikan anak ekskul basket putra berlatih. Icha melambaikan tangan kepada Aufa dan langsung menghampiri lelaki itu.

"Icha nyebelin banget, sih, dia yang ngajak ke sini, kitanya malah ditinggal pacaran," cicit Naya dengan kedua tangan bersedekap di dada.

Kemudian lelaki  berjersey warna hitam dengan nomor punggung 18 menghampiri dua gadis itu. Menyerahkan sebotol air mineral dingin kepada Naya.

"Buat lo, tadi gue kelebihan belinya," ujar Bumi—menyodorkan botol air mineral itu.

"Buat lo aja, lo 'kan habis latihan," balas Naya.

Bumi berdecak. "Lo juga habis latihan 'kan? Gue udah punya minum."

"Ya udah, buat temen lo," pungkas Naya cepat.

Bumi menolak. "Gue maunya ini buat lo, Naya."

"Gue udah minum, kok,"

"Simpan aja. Minumnya besok." Bumi masih berusaha membuat Naya menerima pemberiannya itu.

Sekar yang menyaksikan keributan kecil itu pun menghentakkan kakinya sebal. Merampas botol minum itu dari tangan Bumi. Membuka tutup botolnya dan meminumnya.

Sekar menyeka sisa air dari pinggir bibir atasnya. "Ribet banget lo pada, mending buat gue, hehe," tutur Sekar diakhiri dengan cengiran yang membuat dua manusia itu melongo.

"Shaka! Cewek lo kok nyebelin?" teriak Bumi yang sudah kembali bergabung bersama teman-temannya.

Shaka yang sedang fokus dengan ponselnya pun terpaksa harus meladeni perkataan Bumi barusan. Ia menunjuk dirinya sendiri. Hingga tatapannya jatuh pada dua orang gadis yang sedang ribut kecil-kecilan.

"Lo jadian sama Shaka, hah?" tanya Naya mendesak jawaban dari Sekar, sebab Bumi menyebut Sekar sebagai ceweknya Shaka.

"Apaan, sih, nggak!" Sekar menyanggah.

Icha yang sudah duduk di samping Aufa pun memanggil kedua wanita itu dengan lambaian tangannya. Mengisyaratkan mereka untuk bergabung. Naya sangat  bersemangat dengan panggilan itu. Tapi Sekar menolak, ia masih teringat kejadian semalam saat menstalking akun instagram Shaka.

Tanpa menunggu persetujuan Sekar untuk kedua kalinya, Naya langsung menarik tangan gadis itu. Bergabung bersama empat pria yang sedang beristirahat setelah latihan basket.

Naya langsung duduk di bangku tribun di sebelah Bumi. Pria itu sendiri yang menyuruh Naya duduk di sebelahnya. Sekar masih berdiri. Dalam hatinya merasa sebal karena dua sahabatnya itu malah asyik sendiri. Kalau ia pergi, yang ada nanti mereka malah ngira dia ngambek atau marah. Tapi kalau berdiri terus, pegel juga. Satu-satunya bangku yang kosong itu ya ada di dekat Shaka.

Sebenarnya banyak sekali bangku tribun yang kosong, tapi itu adanya di atas. Ya masa Sekar mau duduk sendirian di atas? 'Kan gak mungkin, sedangkan teman-temannya ada di bawah. Shaka juga malah asyik sendiri dengan ponselnya.

Saat semua sibuk dengan aktivitas masing-masing, tiba-tiba tangan Sekar ditarik seseorang. Membuat kakinya terpaksa mengikuti langkah orang itu. Sekar kira itu tangan Shaka, tapi sepertinya ... bukan.

"Sekar!" panggil Icha setelah dirinya sudah sedikit lebih jauh dari tribun bersama seseorang tadi yang berjenis kelamin laki-laki.

Laki-laki itu membalik tubuhnya, membuat tubuh Sekar terpaku. Tangannya yang masih dalam cengkraman laki-laki itu tiba-tiba lemas.

"Gue minta waktu lo sebentar. Jangan lari lagi, please," pinta pria dengan jersey basket berwarna hitam—sama dengan yang dipakai Bumi. Dia Gavin.

Sekar tidak bisa berkutik, kakinya juga seketika kaku tidak bisa membawanya pergi dari pria yang tidak sama sekali ingin ia temui.

"Harusnya gue gak ngomong di sini, tapi gimana mau ngomong di luar sekolah, kalau di sekolah aja lo ngehindar terus," ungkap Gavin setelah menghela napas kasar.

Suara berat itu membawanya kepada kenangan masa SMP nya. Masa-masa yang menurut banyak orang itu masa yang paling seru dan paling berkesan. Sekar juga punya sesuatu yang berkesan di zaman putih birunya. Berkesan dalam artian negatif.

Suara berat itu menariknya ke dalam memori empat tahun silam. Saat dirinya ditarik oleh Gavin dari suara-suara yang membuat relung hatinya sakit. Berada ditengah-tengah orang yang meneriaki dirinya rendah bukanlah hal mudah. Ia sudah mencoba untuk membiarkannya, tapi hasilnya telinganya selalu saja menyerap ucapan-ucapan itu.

"Lo itu punya apa, sih? Sampe bisa sekolah di tempat elite begini," tanya seorang kakak kelas perempuan bernama Melati.

"Tolong beliin gue batagor, dong, di kantin," pinta laki-laki yang sekelas dengannya sambil menyerahkan selembar uang berwarna biru.

Suruhan-suruhan lain berdatangan. Sekar yang takut kena semprotan satu sekolah pun menerima suruhan itu. Membelikan jajanan, mengerjakan tugas, menggantikan orang lain yang kena hukuman. Ia rela jadi bahan suruhan agar tak ada lagi yang mengolok-olok, tapi nyatanya, keadaan tidak sama sekali berubah.

"Gavin, kok lo masih temenan sama dia? Lo itu harusnya temenan sama kita, yang selevel sama lo. Temenan tuh sama yang ngehits juga, dong, lo kan hits banget di sini," jelas Melati. Lagi-lagi Melati, ia provokator di balik pembullyan yang terjadi.

Gavin menatap Sekar yang terisak karena menangis. Tatapan yang semula hangat, berubah dingin. Awalnya ia ingin membantu Sekar pergi dari kerumunan itu, namun penuturan Melati membuatnya berubah pikiran.

"Gue udah gak temenan lagi, kok, sama dia. Lagian dia nyusahin, suka minjam uang tapi gak dibalikin," ungkap Gavin membuat Sekar terkejut bukan main. Sekar menatap Gavin dengan nanar. Ia tidak percaya akan kalimat yang dilontarkan pria itu.

Memori itu hilang saat gadis itu mengepalkan tangannya kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya terpejam karena memanas. Dadanya mulai sesak saat tenggorokannya tercekat. Gavin hanya menatapnya dengan kebingungan.

Icha dan Naya segera berlari menuju mereka berdua. Icha menggoyang-goyangkan tubuh Sekar, mencoba membuat perempuan itu sadar. Berkali-kali Sekar menepis tangan siapapun yang mencoba menyentuh dirinya.

"Lo kenapa, sih, ganggu Sekar terus? Kehadiran lo itu bikin dia tersiksa!" teriak Naya yang sudah emosi. Keningnya mengerut. Naya mendorong tubuh Gavin.

Gavin menyanggah dengan suara keras, "Siapa yang ganggu? Gue cuma ada perlu sama dia!"

Napas Sekar semakin memburu, air matanya sudah deras berjatuhan di pipinya. Icha takut-takut hendak memeluk gadis itu.

"Sakit," rintih Sekar di tengah tangisnya itu.

Keadaan semakin tidak kondusif ketika beberapa pasang mata mulai menyaksikan itu. Mereka menatap Sekar heran, baru kali ini menyaksikan seorang Puteri Sekolah meraung-raung dengan penyebab yang tidak mereka ketahui.

Mereka mendekat, hingga membuat bulatan mengerubungi Sekar, Gavin, Icha dan Naya. Saling sahut menyahut bertanya keadaan Sekar. Gadis yang menangis itu membuka matanya yang perih dan merah. Lagi dan lagi dirinya tertarik kepada memori saat dirinya dihujani celaan. Namun suara seorang pria menyadarkan dirinya kalau saat ini ia tidak berada dalam situasi menakutkan itu.

"Bubar sekarang! Gak ada hal menarik yang bisa kalian liat," titah seorang Shaka sambil membelah kerumunan itu.

"Jangan halangi gue! Gue mau nenangin Sekar." Gavin berteriak, menyingkirkan Naya dari hadapannya.

"Gimana mau nenangin kalau lo itu lukanya Sekar?" Pertanyaan itu datang dari Shaka yang sekarang sudah berada tepat di hadapan Gavin.

"Heh! gak usah sok tau, lo gak tau apa-apa tentang gue sama Sekar," balas Gavin.

Shaka menarik senyumnya tipis. "Lo yang gak usah sok tau! Sana pergi atau mau gue kasih soal fisika?" Shaka berkata demikian dengan pembawaannya yang tenang. "Oh iya, lo 'kan anak bahasa, soal fisika gitu mana ngerti, nilai matematika lo aja lebih jelek dari nilai bahasa Inggris Bumi," lanjutnya meremehkan.

Hal itu membuat harga diri Gavin tersentil, apalagi yang diucap Shaka itu kenyataan. Ia memutuskan untuk pergi sebelum Shaka membuat harga dirinya lebih jatuh. Mengabaikan keinginannya menenangkan Sekar.

Sadam dan Bumi menyuruh para murid bandel yang gak mau bubar. Shaka sendiri menghampiri Sekar yang sudah berjongkok di dalam pelukan Icha. Tangisan itu terdengar menyakitkan. Tangan kekar Shaka terulur untuk mengusap lengan gadis itu. Namun Sekar malah menepis tangan kekar itu.

"Anter pulang pake mobil gue," usul Aufa sambil mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam tas.

"Gak mau!" tolak Sekar disela tangisnya yang belum juga mereda.

"Terus lo mau kemana?" tanya Icha dengan hati-hati.

Sekar memukul-mukul dadanya. "Sakit banget, Cha."

"Ya ayo kita pulang, Shaka yang anterin," ucap Icha sambil mengusap-usap surai  Sekar yang sudah awut-awutan.

Sekar takut-takut membuka matanya yang terpejam sejak di dekapan Icha. Menatap pria di sampingnya yang melemparkan senyum tipis kepadanya. Tangan Sekar terangkat, menunjuk Shaka sebelum ia mengeluarkan suaranya.

"Dia ... sama aja kayak Gavin," cicit Sekar. Hal itu membuat senyum di bibir Shaka lenyap seketika.

"Dia Shaka, bukan Gavin. Dia gak sama kayak apa yang lo bilang barusan," ungkap Sadam dengan emosi yang menguasai dirinya. Kepalanya geleng, tidak mengerti kenapa gadis itu bisa berkata seperti itu.

Sekarang Sekar yang menatap Sadam tidak mengerti. Mengumpulkan tenaganya untuk bisa berdiri. Menghampiri Sadam dengan langkah perlahan. "Gavin juga dulu belain gue. Tapi nyatanya dia sendiri yang bikin gue gak bisa lepas dari masa lalu itu. Shaka juga bisa aja dia kayak Gavin."

Sadam baru saja ingin membalas perkataan perempuan itu, tapi Aufa menahannya untuk tidak mengeluarkan satu katapun dari bibirnya. Shaka menyerahkan kunci mobil kepada Aufa.

"Anter Sekar pulang ya, Fa. Gue cabut duluan, ada pertemuan ekskul fisika juga," jelas Shaka dan setelah itu langsung pergi. Mereka kecuali Sekar, menatap iba kepergian Shaka. Aufa langsung menyuruh Icha membawa Sekar ke mobilnya, melaksanakan amanat yang disampaikan Shaka.

ָ࣪ ۰ Amour ‹!

Shaka bohong soal ada pertemuan ekskul fisika. Sebenarnya laki-laki itu langsung pulang ke rumahnya. Merupakan keputusan yang baik jika dia tidak memaksakan diri mengantar Sekar pulang. Ia tahu kalau gadis itu butuh ketenangan, pikiran kalutnya lah yang membuat Sekar bisa berbicara seperti tadi.

Shaka memasukkan motornya ke dalam garasi, melepas helm dan menaruhnya di atas lemari sepatu. Di pekarangan rumah, ada Azka yang sedang mencuci motornya. Ia berniat untuk menghampiri saudara kembarnya itu.

"Menurut lo, gue gimana?" tanya Shaka tiba-tiba. Azka yang sedang membersihkan ban motornya itu seketika berdiri dengan tangan berbusa.

"Tumben," desis Azka menatap wajah Shaka datar.

"Jawab!"

"Ya ... lo kembaran gue," jawab Azka polos.

Shaka berdecak sebal. "Kalau itu gue juga tau. Gue orang jahat, ya?"

Azka mengangguk. "Jahat. Lo diemin gue beberapa hari, ngomong pun cuma sebentar. Kenapa, sih? Abis ngerjain fisika ya makanya aneh?" ungkap pria itu.

Mereka berdiri berhadapan, membuat siapapun yang melihatnya berpikiran kalau mereka sedang bercermin satu sama lain.

Shaka menatap malas kembarannya itu. Sebelum masuk ke dalam rumah, ia menendang ban motor yang basah. "Alah! Gak jelas lo," ujar pria itu. Azka terkekeh geli.

"Habis gue cuci motor, kita cerita-cerita, Shak. Mandi dulu sana! Badan lo asem," teriak Azka yang paham sekali kalau adiknya itu sedang ada masalah.

‼️To be continued ‼️

Oke, karena aku slow update,
kali ini aku mau double update ni🖤

Ramein dulu dong chapter ini

Gambarin chapter ini pakai emot dong

Aku: 😻😑😢🥺😆😶

🦋Thank you for reading, beib🦋

Continue Reading

You'll Also Like

362K 44.6K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...
2.9M 168K 41
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...
6.1M 263K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
667K 48.3K 31
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...