IMAMA AL-HAFIDZH

By triilyynaa

9M 955K 167K

[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki... More

⚠️ S P O I L E R ⚠️
01. IAH - Pacaran
02. IAH - Bertemu Seorang Pemuda
03. IAH - Kembali pulang ke Rumah
04. IAH - Imama Al-Hafidzh
05. IAH - Dijodohkan oleh sang Abi
06. IAH - Menikah
07. IAH - Malam Pernikahan
08. IAH - Rumah di dalam Hutan
09. IAH - Cerita dari Imama
11. IAH - Tentang Hisab Kelak
12. IAH - Cerita dari Alisha
13. IAH - Bertemu dengan Masa Lalu
14. IAH - Berhenti untuk Berharap
15. IAH - Dua Lelaki itu saling Kenal dekat
16. IAH - Sempurna itu cinta mereka
17. IAH - Kehilangan
18. IAH - Menyimpan Kecurigaan
19. IAH - Kewajiban Seorang Istri?
20. IAH - Tahajud Bersamamu
21. IAH - Romantis Ala Imama
22. IAH - Tiga Gadis SMA
23. IAH - Cinta atau Nafsu?
24. IAH - Kecewa dalam ketidakjujuran
25. IAH - Pengakuan sebenarnya
26. IAH - Dia adalah Raden
27. IAH - GUS DAN NING
28. IAH - Tentang Irama, Saudaranya.
29. IAH - Iqbal menjadi lebih baik
30. IAH - Pesantren Al-Hafizma
31. IAH - Uji Keimanan dari Hafizma untuk Imama
32. IAH - Cinta Mereka di Ndalem
33. IAH - Tentang Wanita Tarim
34. IAH - Iqbal putus
35. IAH - Perjanjian Hafizma dan Syarat Irama
36. IAH - Menikah Lagi
37. IAH - Rahasia yang berakibat salahpaham
38. IAH - Kerja Sama
39. IAH - Cinta sang Gadis
40. IAH - Kabar Palsu
41. IAH - Hanya Satu Wanita
42. IAH - Ngidam aneh
43. IAH - Kejadian di Pasar
44. IAH - Berita Bahagia
45. IAH - Mati sama-sama
46. IAH - Hijrahnya Ikara
47. IAH - Hidayah yang datang tiba-tiba
48. IAH - Perkelahian
49. IAH - Ima dan Ama
50. IAH - Mengingat Kembali
51. IAH - Berhati-hati untuk ke depannya
52. IAH - Ziarah ke Makam Bunda
53. IAH - Datangnya sosok Pria Asing
54. IAH - Fitnah diantara dua pihak
55. IAH - Salah paham yang kian Menjadi
56. IAH - Menyelesaikan Masalah dengan tenang
57. IAH - Sakit Demam
58. IAH - Terperangkap di Gudang
59. IAH - Kepergian Sang Nahkoda?
60. IAH - Kepulangan yang Abadi.
EXTRA PART + Pesan dan Kesan
ATHALLAH DAN HAFIZMA, PUBLISH.
IMAMA SEGERA TERBIT!
PRE-ORDER IMAMA AL-HAFIDZH

10. IAH - Romantis Ala Rasulullah

235K 21.8K 4.4K
By triilyynaa

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

۞اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
[Allahuma sholi ala Muhammad, wa ala ali Muhammad.]

Nana dan Afizh kembali!

Kalian, mau sebut apa untuk pasutri yang satu ini?

Nafizh? Setuju?

Ini, bakal romantis banget sih.. tapi masih romantisan Rasulullah sama bunda Aisyah..

•••

Usai Imam menyelesaikan salat subuh di masjid, ia kini kembali ke rumahnya dan mulai mencari keberadaan istrinya yang sangat berani di tinggal sendiri di hutan.

Tak menyangkanya lelaki itu, bahwa istrinya itu sangatlah pemberani. Persis dengan dirinya, takdir sekali jika mereka juga berjodoh pada akhirnya.

Imam pun mengecek ke kamar. Ketika ia telah mengetuk pintu rumah dan mengucap salam, tapi tidak ada yang menyahut dan membukanya.

"Na?"

Imam menolehkan pandangannya ke sekeliling kamar. Namun tak ia dapatkan istrinya berada di sana.

"Nannaaaaa?"

Masih tetap tidak ada sahutan.

"Di mana istri saya yang sangat unyu, cantik jelita. Yang indahnya seperti bulan, dan kemuliaannya seperti matahari?"

Baru beberapa detik ia bergumam. Tak lama pun ada yang menyahut panggilannya dari arah dapur.

"Afizh, Nana di dapur!"

Imam. Lelaki itu menolehkan pandangannya ke arah dapur.

"Itu suara istri saya." Seru Imam antusias. Tanpa menunggu lama pun, ia mulai melangkah menuju ke arah dapur.

Langkahnya kian ia perlambat, dengan mulai tersenyum tipis ketika ia dapati, istrinya itu sedang memasak.

Imam berdeham. "Ceritanya, perempuan saya sedang belajar memasak menggunakan kayu?"

Alisha menoleh. Di mana ia langsung mengangguk semangat dengan terkekeh. "Iya, dong. Hebat, kan?"

Imam menganggukkan kepalanya. Di mana ia telah memeluk istrinya dar belakang, lalu berbisik. "Iya. Ibu dari anak-anak saya, memang sangat hebat."

Blush.

Wajah perempuan itu seketika langsung memerah menahan senyuman. Suaminya benar-benar membuatnya salah tingkah saat ini juga. Malu, itulah yang ia rasakan.

"Afizh, nih." Alisha melepas pelukan Imam itu, dan memilih menyembunyikan wajah merah meronanya dengan menunduk.

"Kenapa dengan saya?"

Alisha terdiam sejenak. Tak lama pun ia menggeleng dengan mengintip ke arah suaminya. "Laper, ya?"

"Tidak."

Alisha manggut-manggut. Yang tak lama, ia mulai mengambil tangan kanan Imam untuk menciumnya. Lelaki itu pun sama, ia juga terikut mengecup kening istrinya.

"Boleh saya meminta sesuatu?"

Alisha mendongak. "Apa?"

"Bagaimana jika besok, saya saja yang akan memasak?" pinta Imam.

Alisha terdiam sejenak ketika mendengar pertanyaan dari suaminya itu. Tak lama pun, ia menggelengkan kepala. "Nana, Aja. Kan Nana istri Afizh?"

"Tapi saya juga mau bantu."

"Ini tugas istri." Kata Alisha menolak.

Imam tersenyum. "Tidak, Na. Ini bukan tugasmu, atau pun kewajibanmu...."

"Ih. Terus tugas Nana, apa?"

"Melayani suami."

Deg!

Sungguh, betapa gampangnya suaminya mengatakan? Apakah suaminya itu sedang mengkodenya?

'Dikasih isyarat, tidak mau mengerti.' Pikir Alisha dengan bernada, yang di mana ia merasa, itulah batin suaminya.

Alisha berdeham. "Tap-tapi, Nana senang kok, kalau Nana saja yang masak," kata Alisha ketika sedari tadi terdiam beberapa detik. "Kan masakin suami, sama aja melayani, iyakan?"

Imam tersenyum dengan mengangguk membenarkan. Di mana ia kini mulai menyentuh kedua pundak istrinya. "Dengarkan saya."

Alisha menatap suaminya lekat. Menunggu suaminya itu melanjutkan jeda ucapannya.

"Saya, sebagai suami kamu, ingin memberitahu kepada kamu, bahwa.... Tugas rumah tangga, seperti menyapu, mencuci, memasak dan yang lain-lain. Itu adalah tugas kita bersama, itu bukan kewajiban kamu."

Alisha tersenyum. Di mana ia langsung mengeluarkan kekehan kecil. Hal itu pun membuat Imam bingung. "Ada apa denganmu?" tanya Imam.

Alisha menggeleng. "Nggak apa-apa. Es batunya ternyata udah cair." Kata Alisha tersadar. Ya, dari semenjak akad, suaminya itu tiba-tiba saja menjadi begitu banyak bicara.

"Semenjak tidur sama kamu."

"Kok bisa?"

"Kamu hangat. Saya melebur."

•••

Matahari menjulang tinggi. Kini selesai sholat dzuhur di masjid, Imam kembali pulang ke rumahnya. Sembari menunggu istrinya itu yang belum usai sholat, Imam pun menghabiskan waktunya untuk membaca kitab dan menyandarkan dirinya di dinding.

Beberapa menit kemudian...

Alisha. Ia datang dengan membawa dua kurma yang ia ambil dari toples milik suaminya. Suaminya sangat suka kurma, apalagi dengan dirinya. Bersama suaminya, sudah sangat pasti ia tidak absen mengemil kurma.

Dengan satu gelas air putih yang ia bawa, ia kini pun mendudukkan dirinya di samping Imam. Ikut menyender.

"Afizh, mau makan?" tanya Alisha sembari ingin memberikan satu kurma kepada Imam.

Imam yang masih fokus membaca kitab itu, ia menoleh ketika melihat kurma itu diberikan padanya. "Tidak, untukmu," tolak Imam lalu kembali menatap kitabnya.

"Enak loh..." goda Alisha ketika melihat suaminya itu tak mau makan kurmA bersama.

Imam tertawa pelan, "yang enak kalau makan kamu."

Alisha yang sedang mengunyah kurma itu, langsung menelannya dengan kasar. Ia melirik Imam yang masih fokus membaca kitab.

Apa kata lelaki itu? Ingin memakan dirinya?

"Afizh serem. Masak mau makan manusia sih?" Alisha mengeluarkan unek-uneknya.

"Menerkam."

"Hewan?"

"Kamu."

Alisha. Ia masih mengernyit. Sungguh, apa yang diucapkan oleh suaminya itu? Mau makan? Menerkam? Dikira Alisha ini apa!? Itulah gumaman Alisha di dalam hati.

Tapi, yasudah lah. Ia tak ingin mengubris ucapan suaminya itu. Melanjutkan memakan kurma lebih menyenangkan.

"Afizh itu lagi baca kitab apa?"

"Ya itu tadi, menerkam."

"Pft.." Alisha. Ia terkekeh ketika mendengar jawaban simple dari suaminya.

"Afizh ini mau jadi pemburu?" tanya Alisha diakhiri dengan kekehan kecil.

Imam yang melihat ekspresi istrinya itu yang begitu gemas serta polos. Ia tersenyum tipis. "Kamu sangat positif, Na."

"Iya dong, Alisha Kinanan..."

"Surga," lanjut Imam kepada nama kepanjangan istrinya itu.

"Jannah, Afizh." Alisha mengoreksi.

"Surga."

"Jannah."

"Baiklah. Izinkan saya menjadi Imam-mu sampai ke Jannah."

Perkataan Imam, membuat Alisha langsung tersenyum manis. "Ih, gombal."

"Islamic."

Alisha kembali terkekeh. Sebelum ia kini pun mengambil gelas yang ia bawa dan meminumnya.

Imam. Lelaki itu pun tanpa aba menutup kitabnya dan tak sengaja terfokus pada Alisha yang sedang meminum.

Dengan penuh kesungguhan, Imam menatap lekat istrinya itu.

Ketika Alisha telah usai meminum, ia kembali meletakkan gelasnya ke tempat. Dan tak sadar jika suaminya itu sedari tadi menatapnya.

Imam sedikit menegakkan tubuhnya agar tak bersandar lagi, masih tetap berada di posisi duduk bersila, ia kini meletakkan kitabnya yang sudah tertutup itu di pangkuannya.

Dengan penuh tenang, lelaki itu mulai mengambil gelas milik istrinya. Terlihat, hanya tersisa sedikit air di gelas itu.

Ia pun kini memutar gelas itu dengan perlahan, seperti mencari akan sesuatu.

Ketika Imam mulai mendapatkan sesuatu dalam gelas itu, ia tersenyum manis. Lalu ia meminum air putih itu seperti fokus pada satu tujuan tempat yang ia teguk pada gelas itu.

Alisha yang ingin kembali meminum, ia meraba gelasnya yang tidak ada di tempatnya. Dengan cepat, ia menatap Imam yang mengambilnya gelas miliknya. Bukan hanya itu, ada yang lebih mengejutkan lagi...

Alisha terkejut, ketika melihat Imam meminum air putih itu tepat di gelas bekas bibir yang ia minum tadi! Yah, Alisha masih ingat di mana ia letakkan bibirnya di gelas itu. Ia kini membulatkan kedua matanya lebar-lebar.

Mulai meneguk ludahnya kasar. Yang tak lama, ia mulai menyentuh bibirnya menggunakan tangan kanannya itu. Di mana, ia sangat teringat jelas dengan perkataan sahabatnya. Katanya, jika kita meminum gelas yang sama pada bibir kita, itu artinya..

"Afizh..."

Imam menghentikan meneguk minuman itu ketika mendengar lirihan pelan dari istrinya.

Imam menoleh ke samping, yang tak lama, ia kembali meletakkan gelasnya dengan menunduk.

Ketika mendongak, lelaki itu tersenyum manis memandang istrinya. Di mana sang empu yang ditatap seperti itu pun terhipnotis akan tatapan matanya.

"Saya tahu, saya tampan. Tidak perlu terus ditatap."

Alisha. Ia spontan mengejapkan matanya sekali ketika mendengar perkataan Imam. Dengan cepat, ia kini membuang wajahnya ke arah lain akibat tak tahan menatap suaminya.

Tunggu, ia juga baru sadar dengan kalimat Imam. Yah, bukankah itu kata-kata miliknya? Dasar, suami plagiat.

Imam yang melihat Alisha membuang wajahnya seperti itu, ia pun menggeleng dengan tersenyum tipis. Di mana, ia membuka kitabnya dan bersandar kembali.

Alisha yang sudah merasa ia tidak lagi di tatap oleh sang suami. Ia pun menolehkan wajahnya kepada gelas di sampingnya.

Tangannya pun mulai mengambil gelas itu, dan mengangkatnya setara dengan wajahnya. Memutar-mutar gelasnya dengan lekat. Yang tak lama, senyumannya ia ukir.

"Ternyata seperti ini, rasanya jadi Aisyah ketika di romantisin sama Rasulullah.."

•••


"Yah!" Alisha, ia menurunkan kedua bahunya ke bawah. "Bahannya habis.." keluhnya lagi.

Ia kini pun menatap ponselnya, jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Ia kembali menatap sekitar dapurnya yang kosong, di mana tidak ada bahan untuk ia masak sama sekali.

"Tidak ada sayur, nasi juga pas banget untuk makan tadi malam," gumamnya pelan.

"Pagi-pagi gini, apa sempet ke pasar? Afizh pasti udah laper. Mana dari jam 4 sebelum subuh, Afizh pergi ke masjid, dan baru aja pulang.."

Alisha bergumam mengeluh. Di mana ia pun kembali membuang napas pasrah dan memilih terdiam merenung di dapurnya.

Sehingga yang tak lama, ada suara sosok lelaki yang memanggilnya dari arah kamar.

"Nana," panggil Imam. Di mana langsung membuat Alisha terkejut. Ada apa dengan suaminya memanggilnya? Apakah suaminya itu lapar?

"Na, kamu di dapur?" suara panggilan muncul lagi.

Alisha pun kini mulai mengatur napasnya untuk menguatkan diri. Mencoba untuk menjawab panggilan dari suaminya.

"I-iya, Afizh!"

Hening..

"Kamu di dapur ternyata?"

Deg

Langkah Imam mendekat ke Alisha. "Saya ingin mencari kayu di luar, kamu di sini saja, atau ingin ikut?"

Sebelum berangkat, Afizh pasti mau makan.. Alisha begumam dalam hati.

"Na?" Imam sedikit menunduk ke bawah menatap istrinya itu hanya diam.

"Eh.. I-iya, Afizh.. Tapi..."

Imam mengerutkan dahinya. "Tapi apa?" tanya Imam heran.

Alisha. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tak sanggup menatap wajah suaminya itu. "Maaf," katanya pelan.

Imam semakin dibuat keheranan mendengar itu. Ada apa dengan istrinya?

"Maaf? Apa kesalahanmu?"

"Maaf, Afizh.." ulangnya.

"Iya, Na. Maaf untuk apa?"

"Afizh lapar, ya?" tanya Alisha memberanikan diri dengan menunduk itu.

Imam yang mendengar itu, ia pun tak ingin terburu-buru menjawab, apalagi mengangguk. Jika boleh jujur, ia memang sangat sedang lapar sekarang. Tapi melihat keanehan ini, ia tak membiarkannya untuk menjawab.

Lagi pun, jika ia lapar, ia akan memasak sendiri. Namun Alisha, istrinya itu memaksa, agar Alisha saja yang memasak untuknya. Imam pun menuruti.

"Katakan pada saya, ada apa?"

"Maafin, Nana," kata Alisha pelan. "Maaf kalau Nana belum memasak, karena bahan untuk memasak habis.."

Imam mendengar penjelasan istrinya itu dengan penuh tenang. Di mana ia pun langsung mengeluarkan kekehan.

"Lalu?" Imam masih terkekeh.

Di mana hal itu pun membuat Alisha sedikit mendongak untuk mengintip ketika melihat suaminya itu terkekeh. Apakah ada yang salah dengan ucapannya?

"Jadi, Nana nggak masak," lanjut Alisha dengan wajah polosnya.

"Na, ini adalah dapur saya. Bahan masakan habis, itu berarti kesalahan saya, bukan kesalahan kamu. Saya suami kamu, jika ada yang membuatmu merasa kurang di sini, kamu bilang sama suami kamu ini. Karena saya yang akan membelinya ke pasar. Jadi, ini adalah kewajiban saya untuk memberi nafkah kepadamu."

"Tap-tapi, kan. Afizh pasti lapar, kan?" tanya Alisha yang masih mengeluh itu, di mana ia semakin tak lega ketika mendengar penuturan dari suaminya.

Imam kini belum memudarkan senyumannya. Di mana, ia menyentuh kedua pundak Alisha. "Na, saya ada kabar gembira buat kamu."

"Apa?" tanya Alisha yang masih menunduk itu.

"Tapi, kamu harus janji. Bahwa setelah mendengar ini, kamu harus tersenyum."

Alisha mendongakkan kepalanya. Seperti memasang raut tanda tanya.

"Janji, ya?"

Alisha pun mengangguk lemah.

"Apakah kamu tahu?" Imam menjeda beberapa detik. "Bahwa hari ini..."

"Afizh sedang berpuasa."

Deg!

Alisha membuka matanya lebar-lebar menatap mata Imam penuh tak kepercayaan. Apa katanya tadi? Suaminya itu berpuasa?

"Afizh, p-puasa?" tanya Alisha masih tak menyangka.

Imam yang melihat Alisha sedikit memasang raut wajah girang, ia pun tersenyum dengan menganggukkan kepalanya.

Senyuman milik suaminya itu, langsung membuat kegirangan dirinya pudar seketika.

Pasti, suaminya itu berpuasa karena dirinya tak mempunyai bahan masakan.

Imam yang melihat itu ekspresi istrinya telah berubah. Ia mulai menangkup wajah istrinya. "Hey, kenapa istri saya manyun lagi?"

"Maafin Nana, ya? Karena Nana, Afizh jadi puasa.." Alisha kembali menunduk. Ia semakin tak berani menatap wajah Imam.

Imam menggeleng pelan. "Bukan karena kamu, Na," tuturnya lembut, namun semakin membuat Alisha hanya kembali menunduk.

"Karena, Nana..." Alisha menghentakkan kakinya. Di mana suaranya sedikit sendu seperti ingin menangis.

Apakah ada yang salah dari ucapannya?

"Tapi bukan karena kamu, Na."

Alisha mendongak. "Afizh puasa apa, coba?" tanyanya dengan kesal. Di mana ia mengingat, bahwa ini adalah hari selasa.

Imam yang mendengar pertanyaan istrinya itu, ia sedikit terdiam sejenak. Sebelum pada akhirnya ia menjawab. "Daud."

Alisha terdiam. Ia kembali menunduk.

Imam yang melihat itu, ia menghela napas. Ia pun kembali mengangkat dagu istrinya itu dengan kedua jarinya agar Alisha kembali menatapnya.

Imam kini sedikit menurunkan tubuhnya untuk sejajar dengan wajah istrinya. "Na, jalan-jalan, yuk?"

"Ke mana?"

"Sungai," jawab Imam. "Sembari saya juga ingin mencari kayu.."

"Mau?" tanya Imam lagi.

Alisha terdiam sejenak. Sebelum pada akhirnya, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. Ia pun mengangkat kedua tangannya ke atas bersemangat.

"MAUU!"

"..."

•••

Imam. Lelaki itu kini menaruh kayu yang ia bawa itu ke tanah dekat samping Alisha duduk. Usai ia mencari kayu, ia pun mulai memeriksa pancing ikan yang ia tinggal di sungai.

Karena malam ini, mereka akan memakan ikan goreng saja sebagai lauknya.

Alisha. Ia kini mulai mencari sinyal di sana akibat di rumah suaminya itu tidak memiliki sinyal sama sekali. Ketika ia telah dapat, ia pun terduduk sedikit jauh dari suaminya. Dan mulai menelepon sahabatnya itu, Nayyara.

Sudah berapa hari ini ia tidak berkabar dengan sahabatnya itu.

"Aalisshhhh! Gimana honeymoonya? Seru gak?"

Alisha terkekeh kecil. "Honeymoon apa? Alish saja ada di hutan sekarang."

"HAHH, hutan!?" teriaknya.

"Iya. Kan rumah suami Alish di hutan, Nay. Kalau kamu lupa.

Terlihat, Nayyara tekekeh dari balik telepon. "Oh iya, aku lupa. Terus-terus, selama tiga hari ini. Ngapain aja, Al?"

"Gak ngapa-ngapain, emang suruh ngapain?"

"Ih, Alish. Kan aku udah kasih kamu baju kemarin itu, gimana? Bagus gak?"

"Bagus apa? Kurang bahan kayak gitu. Kalau mau beliin baju, ya diliat dulu dong, itu baju apa. Masak gak ada syar'i syar'inya, malah kayak pakaian dalem gitu."

"Ck.. Yaiya lah, gak ada syar'i-syar'inya. Namanya juga baju dinas istri."

Alisha mengerutkan alisnya. "Hah? Baju dinas istri, apa itu?"

Imam yang berada jauh dari istrinya itu, ia menggeleng ketika masih mendengar percakapan di telepon. Tak lama, senyum tipis ia tampakkan, ketika dirinya mendapat ikan di pancingannya.

"Nana, teman kamu sesat. Ayo kesini, Afizh dapat ikan!" ujar Imam sedikit berteriak.

Alisha menoleh ke arah suaminya disertai dengan kekehan. "Iya, Afizh. Nanti Nana ke sana!" balasnya teriak.

"Nana siapa Alish?" tanya Nayyara.

"Kamu kepo."

Terdengar kekehan pelan di balik telepon Alisha."Iya deh, iya, maaf. Jadi, kamu belum pakai pakaian yang aku kasih?"

Alisha menggeleng. "Belum. Niatnya sih mau aku buang, ya?"

"Eh? Jangan dong Al! Kenapa dibuang? Jangan bilang, kalau tiga hari ini kamu belum..."

"Apa?"

"..."

•••

Hari pun berlalu. Hari ini adalah hari kamis. Selepas Alisha sholat Dhuha. Ia kini pergi ke dapur untuk membuat sesuatu untuk suaminya. Mengingat, bahwa suaminya itu baru saja pulang dari masjid. Yah, suaminya itu berangkat ke masjid sebelum subuh, dan pulang diwaktu matahari terbit.

Alisha pun mempunyai ide, kini ia ingin membuat susu untuk Imam.

"Nah, Afizh pasti suka!" girang Alisha ketika ia berhasil membuat susu.

"Na!?"

Alisha menoleh ke arah kamar ketika mendengar suaminya memanggil dirinya.

"Iya!?"

"Saya ingin keluar sebentar. Ingin mengantar kayu. Apakah kamu menginginkan sesuatu?"

Alisha terdiam sejenak ketika mendengar penuturan suaminya itu dari dalam kamar.

Baru pulang dari masjid, langsung pergi lagi?

"Jika tidak ada, saya akan membeli kurma saja untuk berbuka."

Deg!

Sontak perempuan yang berada di dapur itu langsung menjatuhkan sendok yang ia genggam itu ke bawah tanah. Lanjutan ucapan suaminya itu, membuatnya langsung berpikir sejenak.

"Berbuka?" Alisha masih dalam lamunan pikirannya. "Afizh.... Puasa?" lanjutnya masih tak menyangka.

Spontan saja pandangannya menunduk ke bawah, menatap gelas yang berisi susu itu di tangannya.

Ingin mengantarkan kepada suaminya. Tapi ia mendapat kabar bahwa suaminya itu sedang berpuasa.

Puasa? Bukankah tadi pagi suaminya tidak sahur? Atau suaminya itu sahur di masjid ketika ia pergi sebelum subuh?

Puasa sunnah... Kamis.

"Na?"

Panggil Imam lagi yang mulai membuka kain pintu kamar itu. Mencoba melangkah ke dapur ketika ia mendapati tak ada sahutan dari istrinya.

Langkah kaki Imam pun langsung membubarkan lamunan Alisha.

"Na, kamu sedang apa?"

Mendengar langkah Imam yang semakin mendekat ke dapur, dengan cepat Alisha langsung menyembunyikan susu itu di belakangnya.

"Na?" Imam menampakkan senyum manisnya ketika ia telah melihat istrinya itu berdiri di dapur.

Alisha membalas senyuman. "Eh, Afizh? Iya, kenapa?" Alisha semakin bergerak mundur ketika Imam semakin melangkah mendekat ke dirinya.

Imam menggeleng. Di mana kini ia mulai menggerakkan tangan kanannya untuk merapikan poni istrinya itu ke belakang telinga.

"Tidak apa. Apa yang kamu lakukan di sini? Tidak mendengar saya bilang apa, tadi?"

"D-dengar, kok."

"Lalu, apa yang kamu lakukan di sini?"

Alisha menggelengkan kepala. "Tidak ada kok, Afizh."

Kerutan dahi lelaki itu tampak. Tak mungkin jika istrinya tidak melakukan apapun di dapur. Jawaban istrinya itu pun tampak ia curigai.

Imam pun sedikit membuang napas pelan seraya menatap ke bawahnya. Di mana, terlihat, satu sendok jatuh di bawah tanah dengan warna putih susu yang lengket di sendok itu.

Melihat itu. Imam sedikit terdiam sejenak. Sebelum pada akhirnya ia mengintip wajah istrinya itu yang seperti menyembunyikan sesuatu dengan raut penyesalan.

Lelaki itu pun langsung menegakkan tubuhnya kembali dengan terkekeh kecil. Di mana kini ia mulai menyentuh kedua pundak istrinya.

"Saya ingin memberitahu sesuatu sama kamu, Na."

"Apa?"

"Kamu tahu, tidak?" Imam menjeda ucapannya sejenak. "Bahwa hari ini, saya tidak sedang berpuasa...."

Hening...

"Huh..." Alisha membuang napasnya lega. Ia sedikit tersentak dengan penerangan dari suaminya.

Di mana tatapannya kini telah terkunci menatap mata Imam yang kian mendekat di wajahnya.

Sampai dirinya lupa, bahwa suaminya mengaku, ia tak berpuasa. Tapi, bukankah suaminya tadi berteriak bahwa ia ingin berbuka nanti malam?

"T-tapi, kata Afizh tadi.... Afizh ingin berbuka? B-berarti, Afizh puasa, dong?"

Imam terdiam. Yang tak lama, ia menggelengkan kepala. "Tidak, saya tidak puasa...."

"Tap-"

"Sebelum pergi ke pasar, saya ingin meminum susu buatan istri saya. Apakah kamu ingin membuatnya?"

Alisha menegakkan tubuhnya. "Afizh, mau susu?"

"Iya."

Senyuman Alisha kini melebar. Sontak kini ia langsung mengangkat tangan kanan yang ia sembunyikan di belakangnya itu ke atas.

Memperlihatkan satu gelas berisi susu putih yang diminta sang suaminya.

"NANA SUDAH BUAT!" seru Alisha yang kini memasang raut wajah begitu gembira.

Imam pun tak melepas senyuman yang ia ukir sedari tadi. Di mana kini ia mulai mengambil gelas dari tangan istrinya.

Ia begitu senang ketika melihat wajah istrinya tampak ceria. Di mana Alisha benar-benar tak memikirkan mengapa ia bisa spontan itu memberikan gelasnya.

Imam pun tak bertanya kapan istrinya itu membuat. Karena jika ia bertanya, itu akan membuat Alisha kembali murung akibat takut menjawabnya.

Imam pun terduduk di bangku yang terbuat dari kayu. Dan langsung meminum susu itu.

Alisha pun tak berhenti senyum ketika Imam begitu tenang meminumnya. Ketika Imam berhenti meminum sejenak, Alisha bertanya. "Manis, tidak?"

Mendengar pertanyaan itu, Imam bukannya menjawab, ia malah kembali meneguk lagi dengan fokus menatap istrinya.

Lelaki itu berhenti meminum. "Iya. Yang buat, manis." Kata Imam menjawab.

Alisha pun terkekeh mendengarnya. "Nana itu tanya rasa susunya, bukan yang membuat susunya."

Imam terangguk. Di mana ia kembali meminum susu itu. Membuat Alisha yang sedari tadi menunggu Imam memberikan sisanya itu pun mendengus kesal.

Kapan?

Alisha menggigit bibir bawahnya ketika semakin melihat suaminya ingin menghabisi susu itu. Apakah suaminya tidak berniat memberikan sisanya?

"Afizh." Imam menolehkan pandangannya ke Alisha lagi.

"Jangan dihabisin. Nana, kan, mau juga."

"Mau apa?" Alis lelaki itu terangkat. Wajahnya tampak tenang tanpa memberi ekspresi apapun.

"Susunya."

Imam bangkit dari duduknya. "Saya belum selesai," balas lelaki itu di mana ia melangkah keluar dari dapur.

Membuat Alisha pun mengikuti Imam pergi.

Lama-kelamaan, Alisha menghentikkan langkahnya tepat di pintu rumah, ketika ia melihat suaminya itu keluar rumah dan membawa susu itu di bawah pohon.

Duduk di kayu yang tumbang.

Ia pun menghela napas dengan mendekati lelaki itu."Afizh. Mauuuuuu!!"

"Mengapa Afizh habiskan sendiri?" Alisha kini semakin mengerucutkan bibirnya, biasanya ketika minum, Imam selalu menyisakan untuknya. Mengapa ini tidak?

Imam mendongak menatap istrinya yang sudah berdiri di hadapannya. Sedangkan ia masih duduk tenang dengan memegang gelas yang sudah menyisahkan air susu sedikit.

"Mau?" tawar Imam, tentu saja lawan bicaranya itu mengangguk.

Imam pun tersenyum tipis seraya ia kembali meminum susu itu sehingga menyisahkan setetes atau dua tetes saja di gelas tersebut.

Hal itu pun membuat Alisha terbelalak. Bukankah tadi menawarkan? Mengapa sekarang malah dihabiskan dan hanya menyisahkan satu tetes seperti itu?

Melihat ekspresi Alisha yang begitu kaget karena ulahnya. Imam pun segera mengangkat gelas itu kepada perempuan di hadapannya.

"Minumlah," kata Imam.

Alisha pun melebarkan senyumannya, lalu mengambil gelas tersebut dari tangan lelaki itu.

Dengan segera, ia duduk di samping Imam dan meminumnya. Mungkin tidak akan terasa karena sangking sikitnya setetes itu.

Seteguk.

Namun membuat perempuan yang sedang terduduk itu sontak bangkit dengan membeku beberapa detik. Hanya setetes, namun membuat Alisha terbelalak bukan main.

Imam yang melihat perubahan ekspresi dari Alisha, ia pun mencoba bertanya.

"Kenapa?"

Alisha membalikkan tubuhnya ke arah Imam yang masih setia duduk. Di mana ia kini telah memperlihatkan senyuman malunya dan akhirnya menunduk dalam.

"Asin."

"HUFT.. HHH!" Imam. Lelaki itu sontak langsung tertawa keras ketika mendengar penuturan istrinya yang begitu menunjukkan raut wajah bersalah.

Alisha yang mendengar tawa keras dari lelaki itu, ia semakin menunduk dalam sedalam-dalamnya. Sangat malu.

"Maafin..." kata Alisha pelan. Namun sangat jelas di pendengaran Imam. Lelaki itu pun menghentikan tawanya. "Nana salah masukan gula jadi garam..."

Imam bangkit dari duduknya. Lalu mendekat ke Alisha dengan mengelus-elus puncak hijabnya.

"Tidak apa," katanya lembut.

Alisha pun ikut tersenyum lega. "Yaudah. Terus, Afizh tadi katanya mau ke mana?"

"Antar kayu."

"Mau ikut...."

Imam tersenyum. "Di sini saja, ya? Di sana sangat ramai laki-laki. Saya tidak mau, jika mereka akan menatapmu."

"Kenapa mereka gak boleh natap?"

"Karena kamu istri saya." Kata Imam yang sangat antusias. Di mana jawabannya itu membuat Alisha mengulum senyum. Hanya kalimat biasa bagi orang lain, namun baginya, itu memiliki makna luar biasa. Dan Alisha, paham akan itu.

"Paham, bukan?"

Alisha manggut-manggut. "Iya. Janji. Nana janji, akan selalu jaga diri Nana, untuk Afizh."

"Walau bayangan sekalipun?" Imam mengangkat jari kelingkingnya. "Kamu hanya boleh ditatap oleh saya, tidak ada yang boleh memandang kecantikan kamu kecuali saya. Kamu istri saya, apapun yang ada di dirimu adalah hak saya. Dan saya, tidak ridha, jika ada yang berani menatapmu kecuali saya."

Alisha terkekeh mendengar perkataan suaminya itu.

Imam mengerutkan alisnya. "Kenapa dengan dirimu?" heran lelaki itu.

"Saya mulu," kekeh Alisha.

"Ya. Karena saya suami kamu."

"Dan saya istri kamu!" balas Alisha antusias.

•••

Ketika suaminya itu telah izin berpamit ke luar sebentar, Alisha pun memutuskan untuk membersihkan rumah milik Imam dan membereskan aktivitasnya sebagai seorang istri.

Ketika ia telah selesai, ia pun memutuskan untuk pergi ke kamar beristirahat. Mencari novel-novel islami yang menyenangkan untuk dibaca.

Sungguh, tidak adakah novel romantis untuk ia baca? Mengapa semua novelnya berjudul bahasa arab seperti menggambarkan perperangan zaman para sahabat Nabi?

Perempuan itu pun menghela napas dengan mencoba meraih ponsel miliknya, dan mencoba mengangkatnya ke atas mencari jaringan. Namun tak ia temukan.

Dirinya pun menghembuskan napas. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Tok tok...

Alisha membatu. Suara ketukan pintu dari luar membuat jantungnya berdetak kencang. Apakah itu suaminya?

"Assalamu'alaikum..."

Deg!

Bukan. Itu bukan suara sang suaminya.

"Itu siapa? Itu bukan suara Afizh," ungkap Alisha yakin dengan apa yang ia dengar.

Dan ia juga meyakinkan, bahwa suara itu seperti seorang laki-laki tua.

Tok..tokk...

"Assalamualaikum," panggilan itu muncul lagi. Membuat Alisha hanya menjawab salam dengan pelan tanpa membuka pintu melihat tamunya.

"Alish buka gak, ya?" pikiran Alisha terasa melayang memikirkan hal ini. Apa yang harus ia lakukan? Ia benar-benar tak berani membuka pintu. Selain ia tak berani, ia juga masih teringat pesan suaminya itu, agar jangan membukakan pintu untuk siapapun. Apalagi, ini adalah hutan. Bagaimana jika seorang Kakek itu orang jahat?

"Maaf, ya, Kek. Alisha belum dapat izin untuk membuka pintu," Alisha membatin penuh sesal. Dengan cepat, ia pun merebahkan dirinya kembali. Dan membiarkan agar suara itu hilang dari rumahnya.

Daripada dia akan merasa bersalah dan berdosa nantinya, ia pun memutuskan untuk tidur siang itu.

Beberapa menit kemudian...

Alisha membuka kedua matanya pelan ketika pendengarannya mendengar suara ketukan pintu lagi.

"Assalamualaikum...." ketukan pintu itu datang diiringi dengan suara lelaki yang begitu lembut.

Senyum simpul Alisha tampakkan ketika ia sadar, siapa pemilik suara itu.

Dengan cepat, Alisha bangkit dan keluar dari kamarnya untuk membuka pintu.

Cklek.

"AFIZHH!!!" Alisha. Perempuan itu langsung memeluk lelaki yang telah berdiri tegak di depan pintu. Membuat sang empu hanya diam dan menerima pelukan itu dengan lembut.

Sekali-kali, ia mencari kesempatan untuk mengecup puncak kepala Alisha yang tak terbalut hijab.

"Lama, ya? Ayo, masuk. Kamu tidak sedang memakai hijab." Tegur Imam lembut, Alisha pun melepas pelukannya.

"Lama banget," cicit Alisha mendongak dengan bibir yang mengerucut itu.

Imam mengeluarkan kekehan pelan. "Ya, saya minta maaf. Saya telat kembali. Baiklah, ayo kita buka ini." Imam mengangkat sebuah kantong plastik besar berwarna hitam itu ke hadapan Alisha.

"Itu apa?"

"Masuk dulu."

"Tapi, kan. Gak ada orang di sekitar di sini, Afizh."

Imam menggeleng. Ia kini merangkul pundak Alisha untuk masuk ke dalam.

"Afizh habis ini mau sholat zuhur di masjid, ya? Kan.... Ditinggal lagi..."

Imam terkekeh ketika mendengar ucapan istrinya itu. "Tidak. Hari ini, saya akan mengimami istri saya."

Alisha yang mendengar itu, sontak ia membalikkan tubuhnya membelakangi Imam dengan menutupi wajahnya itu.

"Mengapa?"

"Salting."

Imam terkekeh. "Ada-ada saja kamu, Na."

Alisha ikut terkekeh. Yang tak lama, ia kini terkejur ketika melihat ke samping, ada sorang Kakek tua yang dengan tenang masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu.

Tuk..

Lelaki tua itu sedikit masuk dengan menggunakan tongkat. Membuat Alisha yang melihat itu pun semakin terbelalak.

Alisha memandang dirinya sendiri. Tersadar, bahwa ia tak memakai hijab saat ini.

"Astaghfirullah," Alisha sentak berlari ke kamar.

Imam sekilas menatap istrinya yang tiba-tiba lari begitu saja. Lalu ia melihat ke arah pintu, di mana ada seorang Kakek tua memasuki rumahnya.

"Assalamualaikum, ada orang?"

Imam tersenyum, dengan lambat ia pun menghampiri lebih dengan Kakek itu. "Waalaikumussalam, Abu..."

"Ada kamu, Nak?" tanya Kakek itu dengan tersenyum. Di mana senyumannya sangat membuat Imam merasa tentram. Terlihat sekali jika mata Kakek itu tidak memandang ke arah dirinya.

"Iya, Abu. Ini Imama," terang Imam, membuat Kakek itu menghela napas lega.

"Alhamdulillah. Abu cari kamu sedari tadi. Tapi terus tidak ada."

"Alhamdulillah, sekarang Imama ada di sini, Abu duduk sebentar, ya? Saya izin ke kamar." Izin Imam kepada Kakek itu, sehingga dijawab dengan anggukan.

"Iya, silahkan."

Imam pun kembali tersenyum, di mana ia mulai melangkah menuju kamarnya. Menghampiri istrinya itu yang tiba-tiba bersembunyi di kamar ketika melihat seorang Kakek yang bertamu di kediamannya.

"Na?" Alisha membuka kain pintu kamar.

Alisha yang sedang mengenakan hijab di kaca handphonenya kini menoleh ke arah Imam.

"Kenapa lari?" tanya Imam lagi, yang kini ia mendekat ke istrinya.

Imam bangkit dari duduknya. "Nana kaget, Afizh. Tadi ada Kakek-Kakek main masuk aja ke rumah kita, padahal Nana lagi gak pakai hijab, jadi Nana lari deh, ke kamar."

Imam tersenyum ketika mendengar penjelasan dari istrinya. "Kamu tahu, tidak? Siapa Kakek itu?"

Alisha menggelengkan kepala. "Nggak tahu. Emang siapa?"

Imam membuang napasnya pelan. "Beliau, seorang tunanetra, Na. Jadi, beliau tidak bisa melihatmu...."

Alisha terdiam sejenak. Lalu mendongak menatap suaminya kembali. "Kakek itu... buta?"

Imam terangguk. "Iya, Na."

"Yaudah. Nana tetap nggak mau dilihat walau beliau nggak bisa lihat Nana."

Pernyataan itu pun membuat Imam mengerutkan dahi. "Mengapa begitu?"

"Karena nggak mau."

"Tapi dia tidak bisa melihatmu," tutur Imam lagi.

Alisha tersenyum. "Iya, suamiku. Kakek itu memang nggak bisa melihat istrimu ini, tapi istrimu ini masih bisa melihatnya. Maka dari itu, izinkan istrimu ini, untuk tetap tidak menemuinya.."

SPESIAL PART 10!

[Sedikit tentang kisah keromantisan Rasulullah dan Aisyah.]

Alhamdulillah..

Mau tanya, NGEFEEL TIDAK??

SPAM NEXT DI SINI >

SPAM 'SUBHANALLAH.'

SPAM 'ALHAMDULILLAH.'

SPAM 'ALLAHUAKBAR.'

Semoga pahala. Terima kasih.


06 maret 2022
-28 mei 2022

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.7M 313K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
30 JUZ By rome

Teen Fiction

3.2M 381K 59
[USAHAKAN FOLLOW SEBELUM BACA] Ngajak anggotanya hijrah? Hanya kisah tentang pemuda yang terpaksa memasuki pesantren untuk menghafal 30 JUZ sebagai s...
ZAIDAN By @Qingkenz

Teen Fiction

3.6K 155 11
"aku kangen kamu" ucap laki laki itu yang masih setia berdiri di kamar seseorang ketika ia ingin pergi keluar dia teringat di atas karpret biru muda...
298K 22.9K 13
High rank: #24 in SPIRITUAL (03/04/2017) #37 in SPIRITUAL (16/03/2017) #40 in SPIRITUAL (15/03/2017) #45 in SPIRITUAL (03/03/2017) #51 in SPIRITUAL...