Testudines:Amongraga

Por SiskaWdr10

5.5K 479 230

[Series stories F.3 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Ketika rumah bukan lagi tempat berpulang. "Anak perempu... Más

01.Tukang ojeg telepati
02.Surat lamaran menikah
03.Pola pikir Mr.Amongraga
04.Pentingnya menghargai
05.Apa definisi rumah?
06.Nikotin dan ruang bebas
07.Penerus dari peradaban
08.Merima dua kemungkinan
09.Titik berhentinya di lo
10.Gadis pistanthrophobia
11.Sya, semesta minta maaf.
12.Perisai berlekung manis
13.Seisi dunia adalah Raga
14.Raga is not a monster
15.Pemenang kehidupan
16.Rumah tentang seseorang
17.Dewasanya figur ayah
18.Sekalipun egois terbesar
19.Tungkai yang kembali mati
20.Kini hujan yang bersaksi
21.Siapa, takdir? that bullshit.
22.Jalan main setiap karakter
23.Sekuat racun peptisida
24.Ada dalam dua kubu sama
26.Harapan bercita-cita ada?
27.Pelan-pelan agar sejalan
28.Muncul dari hal sepele
29.Ibu peri pemilik hati tulus
30.Adalah bagian yang patah
31.Arah kian menyepi kesian
32.Seruput coklat hari Rabu
33.Ruang tak pernah hilang
34.Yang bangkit yang sakit
35. Hiii

25.Beberapa keadaan pelik itu

96 13 6
Por SiskaWdr10

25.Beberapa keadaan pelik itu

"Selain membahas mengenai tunggakan SPP mu, Ibu juga ingin bicara mengenai kejadian kacau akhir-akhir ini di sekolah. Bukan sepenuhnya salah mu, tapi kamu tau harus ada salah satu yang dewasa agar semuanya tertata, setidaknya sedikit membaik Nesya." Bu Elsa berkata tegas penuh keyakinan seperti sanggulnya yang kuat terpasang.

"Saya tidak berharap baik karna itu akan menjadi bagian yang ujungnya hanya saya yang mendapatkan getah. Ini fair Bu, saya sakit mereka juga, iya ini persaingan di luar sehat tapi seenggaknya saya engga jadi pengecut yang cuma diem saat dirundung kan?" tekad Nesya mencuat jelas pada kobaran semangat bola matanya.

Usianya genap 17 tahun dan dia hanya tengah berusaha mendapatkan hak yang umumnya pada masa remaja hak ini dirakit bersama bimbingan Mama papa.

"Tidak ada yang bisa dibenerkan dalam keegoisan mu itu, Nesya. Dengar Ibu, mereka hanya butuh pengakuan kalah mu."

Di bawah meja kepalan tangan Nesya mengeras. "Dan kalaupun sampai di titik terakhir persetikaian ini saya engga akan biarin itu terjadi, cucu dari nenek tua yang tunarugu ini harus menang."

Ibu Elsa mengatur nafas mendapati remang tembok berani air muka Nesya ada ketakutan dari anak minor sepertinya, 17 tahun belum bisa dikatakan dewasa, tapi----sejak kapan kedewasaan terpatok karna usia.

"Jika melawan dengan berpikir naif bisa dikatakan menang maka artinya dia sudah kalah diawal peperangan. Mengalah untuk menang, karna kalah tidak selamanya menjadi sosok si payah. Halaman 125 yang di karang dan ditulis langsung oleh gadis di depan Ibu, jika pembaca saja bisa berubah pola pikirnya bagaimana dengan pencipta untaian kata itu sendiri?" Ibu Elsa tersenyum tipis melihat Nesya tergugu.

"Kamu anak yang berpotensi, berpikiran bijak, lugu, dan selalu butuh arahan. Itu sebabnya Raga mencintai mu. Mencintai bagaimana kamu bisa menolong dalam keadaan diri sendiri sulit, bisa bersinar dengan menuangkan segalanya lewat tulisan yang sederhana," lanjut Ibu berubah lembut, kesan Nesya guru BK ini menyebalkan apalagi ia selalu mendengarkannya mengomeli Raga. Simpulan tersebut salah.

"Ibu baca buku saya?" patah-patah keki bertanya.

"Atas rekomendasi dari Bunda Raga."

Mulut Nesya terkantup. "Bunda?"

"Beliau gadis tangguh, yang Ibu selalu kagum setiap melihatnya. Bunda Raga bukan datang untuk anak laki-lakinya itu, dia datang hanya untuk membanggakan mu pada pada saya Nesya, membuktikan sehebat apa gadis yang puteranya amat cinta, meski Ibu sendiri masih sedikit kesulitan mengerti... tapi itu lah kasih sayangnya, sayang sebagai Ibu."

Maka sepotong kalimat Bu Elsa membawa Nesya terduduk di masa lalu tepatnya perpustakaan saat membahas pentingnya menghargai usaha anak.

Raga-nya Bunda.

Bukan tidak sadar Nesya hanya mengira dulu ucapan itu hanya sekedar gumaman, meski jujur hatinya sedikit merasa janggal.

"Mungkin saya kurang sopan, tapi cukup jawab iya atau engga aja bu.... Raga dan bundanya beneran punya isu, bukannya dia anak penurut, bu?" tanya Nesya takut-takut.

Jari-jari tangan Ibu yang berada di meja bertaut, menatap takzim bongkahan penasaran yang berdesir di bola mata Nesya.

Ibu memulai awal cerita dengan tarikan nafas panjang.

"Satu tahun silam...."

Derap langkah seluruh anak menggema di koridor menuju aula, teriakan mereka berseling dengan suara dari speaker.

"HARAP KUMPUL DI AULA MENGIKUTI ARAHAN GURU, JANGAN ADA YANG KELUAR, TETAP DI DALAM SEBELUM KEADAAN BISA DIKATAKAN AMAN!"

Bengis sekumpulan bandit-bandit sialan melempar batu, kaca jendela kelas kena sasaran. Pagar membentang tinggi terus mereka dorong, satu sampai enam mencoba naik.

"CUNG KONTEK, RAGA!" perintah Castor mendesak, bergerak menuruni tangga.

Achung menahan bahu Castor. "Mereka ngincer Regan."

"Regan?"

"Raga engga mungkin cari masalah."

"Tapi Regan juga engga mungkin, dia calon ketos, Tor."

Namun justru teriakan buas mereka memangil si calon ketos. Membuat haluan langkah kedua kamerad itu mencari sosok Regan.

"KELUAR LO REGAN!"

"SELESAIN MASALAH LO SAMA KITA!"

"AH, SIALAN. PENGECUT!"

Telinga Regan mendengar jelas anak-anak Bianaka memaki dirinya. Dia hanya mampu terpekur di kursi ruang OSIS dengan perasaan yang pora-poranda. Tangan disengat getaran takut Regan meraih ponsel.

Regan:
Nanti satu-satunya orang yg tau gue mau mati cuma lo.

Terkirim pada dia, dia si 'Amongraga' yang tengah menegak vodka untuk botol ke tiga di kamarnya.

Sebagian fasilitas sekolah rusak setelah diduga oknum perusuh telah pergi. Sirine mobil polisi dan ambulas silih berganti memenuhi udara radar sekolah kintaro.

"CUNG! TOR!" Bani berlari mendekat, tatapannya separuh marah separuh khawatir. "Ael kena, bagian kepalanya sobek. Dibawa ambulas."

Para petugas kesehatan gesit membopong tubuh Aelius ke tandu, membawa menuju dalam mobil. Berdarah-darah kepalanya mengucur ke seragam.

Anak warbes ramai-ramai turun, protes ingit ikut menyusul Aelius ke rumah sakit. "DIAM SEMUA! IKUT SAYA KE PODIUM!"

Podium dipenuhi suara-suara mereka yang saling tanya ada apa sebenarnya. Karna meskipun selalu jadi buronan karena melanggar aturan sekolah kejadian tadi murni tidak ada campur tangan anak warbes sedikitpun.

Ketukan sepatu high heels teratur mengintruksikan mereka diam, sontak mengahadap ke depan. "Dimana, Raga?"

"Ini engga ada sangkut paut sama Raga, Bu." Castor membela lantang.

"Lagian Raga udah kehitung tiga hari engga ada kabar Bu, dia bisa aja ikut business trip ke luar negeri sama ayahnya kaya sebelum-sebelumnya," ucap Achung sudah hafal di luar kepala.

"Jika memang business trip Bundanya akan mengabari Ibu, ini tidak!" bentak Ibu marah, berapi-api matanya. "KEKACAUAN KALI INI DIAKIBATKAN OLEH RAGA YANG MENCARI MASALAH DENGAN SEKOLAH BIANAKA. DAN JELAS KALIAN PASTI IKUT AMBIL BAGIAN!"

"Bu tadi mereka manggilnya Regan!" Bani tidak habis pikir.

"REGAN ADALAH TUMBAL!" bentak Ibu.

Mecetus perdebatan dianatara keselurahan orang-orang di podium itu. Tumbal berarti Raga menyertai nama Regan atas tindakan yang digadang-gadang 'mencari masalah'. Tapi kenapa....

Tubuh Nesya berkeringat dingin mendengar setengah cerita.

"Karna tatapan lugunya Ibu serta rekan guru selalu kena perangkap Regan, dulu. Ditambah Raga membuktikan sendiri bahwa ucapan Regan benar dengan mengerahkan seluruh pasukannya."

"Satu diantara kita luka harus langsung bikin mereka juga menderita! pantang pulang sebelum memang atau bukan apa-apa sama sekali. MAJU!" komando Raga bertekad kuat memimpin anak warbes.

Penyerangan tersebut terjadi cepat sekali, pecah di sekolah lawan. Saling jual beli pukulan. Raga membabi buta semuanya, tidak peduli bahwa sebenarnya ini paradoks dalam kehidupannya selama enam belas tahun dikenal sebagai predikat anak penurut. Tindakan impulsif yang dikuasi seluruh emosional.

Luka sudut bibir Achung usap kasar, tetegun melihat perangai Raga yang ganas. Entah niat karna Aelius korban, menolong Regan atas dasar pengalihan isu atau kemungkinan lain, karna masalah dalam rumah? abu-abu, jelas pastinya Achung beserta seluruh anak tidak pernah melihat Raga senekat sekarang.

"Tepat di tempat kamu duduk Raga tertunduk disana, rentetan pertanyaan dari Ibu tertelan habis-habis dengan jawabannya singkatnya," kata Ibu tersenyum ketir.

Surai Raga saat itu setengkuk berwarna hitam pekat, terikat tali. Kantung mata turut hitam, pandangan kosong diantara kegelapan yang kelabu, jari-jari kaki bergerak gundah gulana.

"Ini bukan kamu. Ibu sekali lagi tegaskan ini bukan kamu," ujar Bu Elsa yakin dia kenal siswa terbaik di sekolah ini yaitu, seorang anak yang sekarang tengah tertunduk di depannya dengan sekujur wajah lebam, kalut.

"Saya bu.... Raga. Maharaja Amongraga."

Lugas dan dingin terucapkan.

Rentetan senjata tajam di meja terlihat apik. Raga dengan kesadaran penuh mengakui dari mana barang itu didapat.

"Mana mungkin?! Kamu tahu kemarin saat Regan bersaksi kamu lah yang menjadikannya kambing hitam, harapan Ibu itu palsu!"

"Tapi itu kenyataannya."

Bom harapan Nesya meledak, dia meremas rok sekolah.

"Kenyataan, Bu?"

"Ya, kenyataan bahwa sejak hilangnya Raga tiga hari dia datang dengan jati diri lain, Nesya."

"Apa temen-temennya gak tau dia kenapa, atau pas Raga ngilang kenapa engga dicari, Bu?" Nesya tidak menginginkan gelengan Ibu sebagai jawaban.

"Tidak, rumahnya bagai kastil. Penjagaan ketat, tidak sembarang orang bisa masuk. Ibu merasa cerita selanjutnya privasi tapi tetap harus Ibu sampaikan karna kamu sudah masuk kedalam kehidupan Raga."

Introgasi berjalanjut, 'kursi sidang' itu sekarang di duduki oleh Achung.

"Kita semua engga ngerencanain ini Bu, Raga yang mulai."

Masalah ini bukan tentang warbes dan diri Raga, mereka hanya remaja. Remaja yang prinsipnya masih bisa berubah-ubah seiring situasi dan konsisi.

"Setelah seminggu kemarin khasus penyerangan sekolah Bianaka clear pake asumsi alasan salah paham, Raga sama Regan engga bertindak apapun, selain ngerasa kalo mereka tambah jauh," pungkas Achung.

"Lalu?"

"Seminggu kemarin juga saya dan anak-anak rasa Raga gagal nyembunyin masalahnya. Saya tau walau dunia terus jalan saat itu hidupnya ancur." Achung meneruskan dengan vokal serak.

"Hancur?"

"Kita semua tau Raga murid terbaik, prestasinya banyak dari bidang akademik dan non akademik. Sifat bawaan cuek, senyum cuma ke orang deket aja, hubungan sosial sama siapapun lancar sampe gabung ke warbes aja dia bisa nyesuain mode anak kesayangan guru sama inceran guru-guru. Keren. Saya selalu muji dia keren." ukiran senyum hangat Achung melebar. "Dia juga sayang bundanya, sayang banget sampe tiap hari pasti masih makan kotak bekel dari bunda."

Warbes setaun silam tetap bersuasana sejuk, desau angin membuat semakin nyaman.

"Nyoba doang asli-asli, sehuap," pinta Aelius memohon.

"Gak," ketus Raga mutlak.

"Ah ngaku aja lo, ga. Bukan masakan emak ya, gebetan kan? oke gue diduain," misuh Aelius mencebikan bibir.

"Akur napa ga, elu juga Ael sama majikan jangan begitu," cetus Castor.

Achung terbahak. "Kerasa banget vibes sopir sama majikannya, El."

"Gimana ya... susah orang ganteng mah kalo marah," elak Aelius. Itu percobaan kesekian kali Ael minta icip tapi di galakin Raga.

Merengek berharap dikasih merasakan. "Berisik," dengus Raga menggeser diri dan bekal makan, memeluknya erat. "Beli aja sono, nanti gue bayar."

Seistimewa itu masakan Bunda, sampai enggan di bagi, tidak malu saat memakannya padahal umur Raga bukan lagi sepantar anak TK yang kalau sekolah botol minum disantelkan ke leher.

Achung lanjut berkata pelan di bangku sidang, bola matanya meredup sedih. "Sejak hari itu juga, Raga engga lagi makan bekel dari Bunda."

Garis besar alasan kesimpulan mereka kalau Raga hancur ada hubungannya dengan Bunda.

"Raga jadi banyak diem," berganti Castor yang mengungkapkan. "Kaya ada sesuatu besar yang ngerenggut 90% bahagianya."

"Sering tidur di warbes, Bi Uci bilang pas tidur Raga sempet ngigo minta maaf," tambah Aelius, meringis memegang perban kepala. Dia masih belum sepenuhnya sembuh.

"Dia juga dikeluarin dari tim bakset inti," ganti Bani.

Ganti Zydan. "Dia juga usaha banyak omong padahal kita tau dia anak yang cuek dan lebih sering ngedengerin aja dari pada ikut nyaut."

"Nilainya turun drastis," ganti Gema.

"Dia juga sempet bilang pindah ke apart," ganti teman lain.

"Kabar yang sempet tersimpang ke media juga adiknya, Calista Amora pindah ke luar negeri, tanpa alasan," ucap Monica menambahi info.

Bu Elsa coba menyambungkan keping puzzle yang sudah ia serap dari berbagai asumsi introgasi seluruh anak.

Nesya di tempatnya coba ikut mengolah, satu persatu ia susun. "Dan marah dia tempo setaun lalu itu sama mengerikannya dengan letupan emosi di hari kemarin saat membela mu," kata Ibu menyambung ke masa sekarang.

"Kalau amarah itu karena keluarganya, artinya artian penting saya juga sebagai...." Nesya menutup mulut, menggeleng.

"Iya. Kamu sepenting itu untuknya. Maka, mengalahlah Nesya, kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat kamu berteriak mengatakan dia sempurna kenyataannya itu hanya aksi hebatnya menutupi luka," ujar Ibu berhasil membuat hati Nesya tercubit.

"Saya.... harus apa, Bu?"

"Jadi obat untuknya."

Bibir bergetar Nesya menyekat. "Gimana bisa orang yang udah di vonis mati jadi obat penyembuh. Engga Bu, itu engga make sanse."

"Sejak kapan jatuh cinta masuk logika?"

Lagi, itu adalah hal 185 dari buku yang ditulis Nesya.

********

Alur di part ini maju mundur tapi semoga kalian gak pusing ya, ayo tebak-tebakan aja, ada apa sebenernya sama Raga?´∩。• ᵕ •。∩'

Seguir leyendo

También te gustarán

1.1M 45.6K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
7.1M 297K 60
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
MARSELANA Por kiaa

Novela Juvenil

1.9M 86.3K 39
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...