Into The Light (Seungwoo X We...

De primasantono

3.7K 438 112

*COMPLETED* Wendi yang telah memasuki umur mendekati kepala 3, sejatinya tidak peduli ketika teman-temannya s... Mais

Into the Mirror
Prolog
1. Light
2. Blank
3. Begin Again
4. Remember Me
5. Your Smile and You
6. Stay With Me
7. I'm Here For You
8. Fever
9. When We Were Close
10. White Night
12. Timeline
13. Want Me
14. Slow Goodbye
15. Please
16. LL (Love + Love)
17. Sweet Travel
18. Petal
19. I'm Still Loving You
20. Child
21. So Bad
22. Here I Am
23. Time of Sorrow
24. Like Water
25. In Love
26. We Loved Each Other
27. You are Mine
28. Howling

11. While The Memory Fall A Sleep

81 13 5
De primasantono

"Halo Pak Seno," suara lembut gadis itu tidak jauh berbeda dengan saat ia masih remaja. Lembut, memanjakan telinganya. Ia bahkan rela dikasih waktu berjam-jam hanya untuk mendengar suara itu tanpa pernah merasa bosan.

Gadis itu datang dengan busana yang sangat kasual, atasan kemeja longgar dengan bawahan celana skinny jeans dan heels berhak rendah berwarna senada dengan kemejanya. Ia hanya membawa pouch dan hp di tangannya, mungkin karena niatnya hanya mampir sebentar juga.

Rambutnya kini lebih hitam legam dan lebih panjang jika dibandingkan dengan yang Seno ingat. Wajahnya hanya dipoles dengan make up yang super tipis, tapi sudah cukup membuat Seno sedikit kagum olehnya.

Wisnu yang tidak tahu menahu masih saja menjelaskan asal muasal mereka ingin memilih gadis itu. Kecantikan dan talentanya sudah diketahui banyak orang. Beberapa judul FTV dan sinetron yang ia mainkan juga laris dan menghasilkan banyak penonton. Instagram-nya penuh oleh endorsement dan diimbangi pula oleh dikenalnya ia sebagai salah satu artis yang dermawan dan suka menyedekahkan hasil keringatnya untuk orang tidak mampu.

Fotonya sudah berulang kali seliweran di banyak acara amal, membuat perusahaan mereka menjadi yakin memilih Shilla sebagai salah satu calon ikon produk mereka.

Mata Seno masih tertuju pada gadis itu, bahkan setelah beberapa tahun waktu diantara mereka telah terlewati. Parasnya lebih tegas namun tatapannya masih selembut saat dulu pertama kali mereka bertemu di masa ospek mahasiswa baru. Seno berulang kali harus sadar diri agar tidak ketahuan kalau sejak tadi ia benar-benar terpesona olehnya.

".... dan kebetulan dia juga baru buka coffee shop di bawah. Kopi yang tadi Bang Seno minum itu, saya beli disana-- Bang? Bang Seno? Kenapa Bang?"

Suara Wisnu tiba-tiba memaksa Seno untuk kembali ke dunia nyata. Ia berdeham sekali lagi sambil tersenyum gelagapan. Shila tertawa kecil ke arahnya sambil memberikan beberapa lembar kertas yang membuat Wisnu terperangah.

"Kupon diskon, Kak?"

"Iya, saya tahu kok kamu juga udah dua hari ini nggak ke kafe. Kata Bayu sakit ya? Nanti bawa ini aja ya kalau datang lagi--" ujar Shilla sambil beralih ke Seno lagi, "--sama Pak Seno juga. Saya tahu Pak Seno suka kopi,"

Seno mendadak batuk dan menatap Shila dengan canggung. Wisnu yang tidak paham hanya menatap keduanya linglung yang dibalas oleh tawa kecil Shila.

"Pak Seno ini teman kuliah saya. Kami dulu sekelas kok. Cuma dulu Pak Seno cuma fokus sama dirinya sendiri jadi nggak pernah lihat sekitar. Iya kan Pak?"

Mata Seno hanya membulat, dengan cepat ia menguasai situasi lagi dan berdeham. "Hah, apaan ..."

Bibir Wisnu membulat seketika, seakan baru mengerti situasinya. "Ah, saya nggak pernah liat Bang Seno gugup gini di depan cewek sih ... jadi hmmmm ..."

"Wisnu? Nggak--"

"Saya cuma 'hmmm'?" ujar Wisnu pura-pura bolot tapi juga langsung tahu kalau situasi ini memang lucu jika ia harus berada di posisi Seno.

"Jadi ... lo calon BA kita?"

Shila hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum tipis ke arah Seno, "Well bisa jadi fix aja nggak sih berhubung kita dulu sekelas?"

"Well, tergantung. Emang lo pakai produk kita? Nggak yakin gue, produk yang lo pakai pasti yang jutaan kan,"

Shila hanya menyeringai tipis sambil membuka pouch-nya yang ternyata berisi lip cream dan loose powder dari brand perusahaan itu. Seno mengangkat sebelah alisnya.

"Gimmick aja paling nih! Dulu masih mahasiswa aja lipstick lo Dior!"

Shila hanya tertawa kecil diikuti Seno yang juga tertawa sambil terus menggoda Shila yang mengelak dibilang gimmick. Wisnu yang berada ditengah mereka hanya ikut tertawa salah tingkah sambil memperhatikan keduanya.

Seketika Wisnu mengingat kakaknya. Ia menatap pasangan didepannya ini dalam diam. Memperhatikan mereka berdua yang kini bercengkrama dan saling bertanya kabar dengan senyum mengumbar dari masing-masing wajah mereka. Wisnu bisa lihat, kedua orang ini, dengan mata yang sama-sama saling berbinar, seperti benar-benar sudah saling kenal sejak lama dan sepertinya memang hubungan itu istimewa.

Wisnu mendadak tersadar sekarang, penyebab kakaknya yang mendadak menangis bermalam-malam setelah hari yang seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan untuk kakaknya itu. Malam setelah wisuda, adalah malam-malam ketika rumah mereka hanya diisi oleh tangisan tunggal dari gadis yang patah hati karena cintanya tidak terbalas. Wisnu tersadar dari pancaran mata Seno sekarang, mungkin gadis inilah orangnya.

Wisnu mendadak pamit dan mundur, mencari-cari alasan untuk pergi dulu dari situ dan mencari Bayu siapa tahu anak itu kewalahan dengan pekerjaannya. Menepi dulu, memberi ruang untuk kedua insan itu untuk berbicara.

Evan mendatangi Seno di kantornya, dalam rangka perjanjian kontrak mengenai Shila yang kini sudah fix menjadi BA skincare di perusahaan tempat Seno bekerja. Sehari setelah pertemuan kembali Seno dengan gadis itu, manajemen memutuskan untuk memilih Shila sebagai BA dan langsung membicarakan kontraknya lewat Evan.

Evan berulang kali meneriakkan kekagumannya, berkeliling melihat ruangan besar Divisi Marketing, tempat Seno bekerja, yang masih penuh manusia itu meski waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Di salah satu sisi bahkan ada pegawai yang sempat-sempatnya tidur di kursi pijat, sepertinya lagi mencari inspirasi untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Poster-poster publikasi beberapa produk memenuhi sebagian besar dindingnya, membuatnya memberi suasana colorful dan memanjakan mata.

Seno lalu mengajaknya duduk di kursi yang menghadap langsung ke pantry. Seno kemudian mengambil dua bungkus kopi instan didepannya dan bergegas menyeduhnya untuk tamunya itu. Pandangan Evan masih saja mengitari ruangan besar itu, berdecak kagum dengan beberapa orang yang masih sibuk di kubikal masing-masing.

"Gila, ini orang-orang pada nggak dicari istrinya apa ya? Masih pada disini aja semuanya," ujar Evan mengambil cangkir berisi kopi hangat yang disodorkan Seno. Ia melihat sekilas isi cangkir itu sambil mengangkat bahu, "Hmmmm kopi instan banget nih? Baiklah,"

"Kalau mau kopi enak ya kebawah. Tapi gue masih banyak kerjaan nggak bisa lama-lama,"

Seno mengambil kursi disamping pria itu dan ikut menyesap kopi punyanya sendiri sambil meringis sendiri karena rasa kopinya yang pas, "Lo juga udah punya istri malah ada disini, nggak dicari istri lo?"

"Santai .... Yena di tempat Shila kok dari tadi. Baru pulang juga dia makanya sekalian nunggu gue,"

Seno mengangguk sekali lagi. Ia menimbang-nimbang harus menanyakan sesuatu yang ia pikirkan atau tidak. Semua hal tentang Shila, perasaannya saat itu ketika Seno batal menemuinya, dan bagaimana ia ketika Seno menghilang. Semua hal itu berputar-putar di kepalanya, menuntut ingin terucap.

"Shila ... udah lama di agensi lo?"

"Tiga tahunan lah. Dia awalnya juga kerja dulu terus ga cocok," ujar Evan sambil menyesap tetes kopinya yang terakhir, "Males katanya, kerja di supermarket. Nggak cocok dia katanya,"

"Dia masih benci sama gue nggak ya?"

Evan hanya mengangkat bahu, "Banyak yang naksir dia tapi ya dia masih seneng sendiri terus. Dari yang kejadian sama lo itu, dia beneran belum sama siapa-siapa,"

"Ah bohong banget. Masa nggak sama siapa-siapa--"

"Serius. Makanya jangan sembarangan bikin baper anak orang ...."

Mulut Seno mendadak terkatup. Ia mengalihkan pandangannya sambil menyesap kopinya sampai habis lalu menghela napas.

Membicarakan Shila, otomatis membangkitkan memorinya di masa lalu. Ketika seharusnya ia mendatangi Shila selepas menemui Wendi. Berulang kali Seno berusaha menggerakkan kakinya untuk menemui Shila selepas Wendi meninggalkannya di tempat makan itu, tapi ia urung melakukannya.

Kakinya terpaku disana. Tidak ada lagi hasratnya untuk menemui Shila padahal semalam sebelumnya ia sudah berapi-api dan menyiapkan banyak kata untuk gadis itu.

Seno tiba-tiba tidak berani menemui Shila saat itu, karena ternyata ia lebih takut kehilangan Wendi.

"Sorry, maksud gue bukan mau nyalahin lo. Ini juga bukan salah lo. Salah gue juga yang bikin dia berharap tanpa nunggu langsung dari lo-nya,"

Mata Seno mengerjap-ngerjap karena sempat melamun barusan. Ia lalu hanya tersenyum samar sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja kaca itu. Evan sepertinya juga sudah menghabiskan kopinya itu, ia menaruhnya di meja lantas menghadapkan badannya ke arah Seno.

"Gue baru tahu juga kalau Shila ternyata saat itu masih pacaran sama seseorang di UI,"

Seno dengan cepat menatap Evan, matanya membulat, "Hah?"

"Ini juga tahu dari Yena sih. Makanya Yena ngomelin gue habis-habisan. Gue secara nggak langsung udah bikin lo ngerasa bersalah selama ini," sahut Evan sambil gantian menepuk-nepuk bahu Seno dengan prihatin.

"Lah? Jadi? Hah gimana?" ujar Seno sambil mendadak merasa tolol.

"Gitu deh, cinta emang deritanya tiada akhir,"

"Jangan dangdut. Coba sebenarnya dulu gimana deh?"

Evan menghela napas, menghembuskannya kuat-kuat sambil memainkan jari-jemarinya sendiri. Matanya menatap ke lemari pantry, berusaha tidak menatap Seno yang seperti menatapnya dengan semburan laser.

"Anak UI katanya, teknik mesin. Pacar dia dari SMA. Putus nyambung sih tapi cowoknya gigih banget udah bucin kata Yena,"

"Jadi mungkin ya lo mau dijadiin pelarian kali ya -- eiit jangan ngamuk dulu," seru Evan sambil menahan tangan Seno yang mau menjitaknya, "Gue kan juga baru tahu, Bro. Maaf deh,"

"Ya masa Yena nggak bilang sama lo dari awal kalau sepupunya kelakuannya kayak gitu?"

"Yena pikir juga lo nggak serius-serius amat pas bilang naksir Shila makanya dia juga nggak cerita. Lo kan track record-nya buaya,"

"Bangsat, gue beneran baper ya dulu!" sahut Seno sambil memites kepala Evan sampai anaknya mengaduh dengan keras.

Evan mengusap-usap kepalanya yang dipites, "Tapi bagus kan, sejak itu lo beneran nggak main-main lagi kayaknya sama cewek,"

"Eh, tapi itu lebih karena Wendi yang confess ding," ralat Evan juga dengan cepat yang dibalas oleh tatapan sinis Seno. "Yang lebih kaget lagi tahu gak?"

"Apa?"

"Cowoknya Wendi, kayaknya mantannya Shila,"

Mulut Seno melongo. Matanya membulat menatap Evan yang tertawa terbahak sambil membereskan cangkir-cangkir kopi mereka.

Dahi Seno berdenyut keras, rasanya tekanan darah dia yang biasa rendah mendadak meninggi. Kepalanya mendadak pusing.

"Gue bilang juga apa. Cinta tuh deritanya tiada akhir!"

Sakti yang sejak siang hari itu meeting di Head Office mendadak punya ide untuk menjemput Wisnu dan pulang bersama. Letak kantor Wisnu juga dekat dengan HO sehingga mungkin ia bisa sekalian mampir juga menemui Wendi.

Mereka tidak bertengkar tapi entah mengapa beberapa hari kebelakang ia merasa ada batas tipis diantara keduanya yang membuatnya sedikit merasa canggung dengan gadis itu. Sakti merasa Wendi pun begitu sehingga mungkin ia harus cari-cari alasan dengan membawa-bawa Wisnu seperti sekarang untuk menemuinya lagi.

"Bang, lo beneran masih di Mega Kuningan?" seru Wisnu di ujung telepon. Sakti sudah berada di mobilnya jadi ia menekan tombol loadspeaker dan suara riang Wisnu memenuhi mobilnya.

"Udah otw ke tempat lo. Udah beres?"

"Udah Bang. Nggak usah parkir biar gue aja nemuin lo,"

"Gue mau beli kopi dulu ah, ini bentar lagi gue udah mau sampai kok. Lo santai aja,"

Sakti membelokkan setirnya menuju gedung yang didalamnya kantor Wisnu. Terlihat beberapa spot parkir mulai kosong, mungkin karena sudah malam juga dan beberapa karyawan sudah pulang.

Setelah mobil terparkir sempurna, sambil bersiul ia berjalan menuju lobi gedung dan langsung melihat kedai kopi yang dulu ia biasa beli bersama Wisnu. Namun matanya menangkap sebuah kedai kopi baru, dengan aroma kopinya yang mengular lebih kuat ke arahnya tiba-tiba menarik perhatiannya. Sakti pun melangkahkan kakinya menuju kedai baru itu, jiwa kepo di hatinya pun ikut memuncak.

Seorang gadis dengan celemek hitam memunggungi meja kasir, sepertinya sedang menelepon. Mata Sakti kemudian terfokus pada sekitarnya, ada beberapa karyawan yang sedang bercengkrama dengan gelas kopi di tangan mereka, ada juga yang hanya duduk sendiri dengan ponselnya di ujung yang lain.

"Halo, mau pesan--"

Suara gadis itu seperti tertahan sejenak. Sakti pun sedikit terkesiap dengan suara yang ia dengar barusan, sehingga ia dengan cepat menatap gadis didepannya itu.

Suara itu. Suara itu, tidak salah lagi.

"Sakti?"

Mata Sakti membulat seakan tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Tiba-tiba tubuhnya seakan terpaku di tempatnya sekarang, membuatnya bahkan tidak bisa mendengar suara-suara lain yang gadis itu ucapkan. Bahkan ketika Wisnu yang berulang kali memanggil namanya dibelakangnya sekalipun.


Notes from Prima.

Jadi kemarin senang banget pas ada konten Victon yang menamakan member pakai nama Indonesia. And guess what ... Sakti, Juna, Chandra, dan Bayu beneran jadi nama Seungsik, Sejun, Chan, sama Byungchan! Hahahaha seneng banget 😭

Btw makasih yang masih mau bertahan baca yaaaa!! Jangan lupa mampir ke lagu baru Victon yaa mereka baru aja comeback dengan Chronograph😍

Continue lendo

Você também vai gostar

6.6M 340K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
3.6M 27.6K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
19.4K 2.5K 16
Sudah bekerja untuknya hampir dua tahun, tapi baru sekarang Nanda merasakan ketertarikan pada Salsa, karyawannya yang kalem dan cekatan. Namun siapa...
14.4K 1.3K 40
Kisah cinta Denis Anggraisa tidak berjalan lancar. Menjelang pernikahannya dengan Andra Yudhiantara, ia harus melewati berbagai masalah yang berdatan...