A Home Without Walls

By pratiwikim

6.4K 788 1.3K

[ON GOING] Menurut pemikiran dangkal Jinan, ia dapat menyimpulkan bahwasannya Kim Taehyung itu serupa dengan... More

prologue : swallowed in the sea
a. through the dusk
b. fall for anything
c. no sound without silent
d. for the first time
e. broken arrow
f. equlibrium, exit wounds
g. warning sign
h. up in flame

i. splintered

277 25 8
By pratiwikim

Sejumlah torehan langkah yang berayun lamban itu dihasilkan oleh betis Yoongi yang kini terarah menuju bilik kamar mandi. Satu dari sekian kemungkinan yang tertimbun di dalam benak mulai mencari celah untuk memenangkan diri, dan kiranya ini adalah kali kedelapan ia menatap hampa pada jemari tangannya yang berlumuran darah segar. Sekumpulan awan di balik atap plafon barangkali tengah menahan tawa akibat kecerobohannya yang secara sengaja menghantam buku-buku jari ke arah dinding, secara bertubi, tanpa ada kata ampunan. Namun, bukankah hal tersebut tepat untuk melampiaskan atas pertentangan yang dilayangkan Elijah tadi pagi?

Penghujung musim panas tidak pernah mendapat predikat buruk, tetapi untuk kali ini, di tahun kesekian ia menelan sulur pahit kehidupan, Yoongi merasa bahwa musim panas yang bertandang bagaikan toksin yang mengendap di dalam tubuh seorang pecandu, tidak hanya menyerang melalui permukaan kulit, tetapi juga merusak hingga ke ujung belulang.

Menjatuhkan satu lembar terakhir serat kain yang terpasang di tubuh, pemuda tersebut mematri obsidian hazelnya pada permukaan cermin, menatap lekat lekuk tubuh kurusnya yang dibalur memar kebiruan. Ia masih mengingat jelas bagaimana pecut cambuk Elijah mencumbu punggung, membelai dari tengkuk hingga menuju tulang ekor. Satu hal yang terlintas—perih, tetapi Yoongi jelas paham bahwa rasa tersebut tak sepadan dengan apa yang neneknya itu pendam.

Seraut api murka terbias di bawah cahaya lampu yang temaram. Elijah menggeram di sela pecutannya terhadap punggung sang cucu. "Mau ditaruh dimana wajahku, Yoong? Keputusannmu benar-benar gila! Nenek tidak pernah mengajarimu untuk menjadi pembangkang yang kurang ajar, 'kan?"

Kendati sekujur tubuhnya mati rasa, Yoongi hanya bergeming. Ia menyaksikan fajar yang sebentar lagi terbit dari arah timur yang menelusup masuk dari bulatan jendela dapur. Pendengarannya telah terkunci rapat, bahkan tatkala Elijah menyuruhnya bangkit dan balik memecut telapak tangannya yang terbuka, ia tak lagi bisa menerima suara manapun selain denging yang bising. "Ini peringatan terakhir, jika kau masih bersikeras dengan keputusannmu, maka Nenek tidak akan bersusah payah menutup omongan para tetangga. Silahkan tanggung sendiri akibat dari perbuatanmu itu."

Hempasan gayung terakhir berdebum di permukaan lantai, kucuran air jernih yang bercampur aroma jeruk tersebut membasuh tubuh Yoongi yang penuh luka, luruh menuju saluran pembuangan yang terkadang mampet akibat sumbatan helai rambut.

Sepucuk pesan yang diterimanya di dalam ponsel kemarin malam, membuat Yoongi lekas menggapai handuk, melilitkannya di pinggang sembari kedua tungkainya yang beranjak pergi. Sepasang pakaian kasual ia tarik dari dalam lemari, memakainya dengan tergesa sebelum berakhir menilik jam kayu yang tergantung di dinding.

Jam sepuluh kurang lima, batinnya. Hal tersebut memungkinkan Yoongi untuk sejenak mengambil napas, segulung masalah suram bertandang tak tahu malu di dalam tempurung kepala, mungkin mereka berniat untuk mengacau hari-hari yang Yoongi miliki, entahlah, pemuda itu pun juga tidak mengerti.

Setelah memastikan semuanya dalam keadaan aman, Yoongi menarik tuas pintu dan mengeluarkan sepeda usang yang telah ia cat ulang dari dalam garasi, warna orange, mencolok seperti benderang matahari yang berdiri setinggi tombak. Ia menggiring sepeda tersebut, merasakan stangnya agak sulit dikendalikan dengan rantai yang terkadang macet karena jarang diberi minyak. Eksistensi dari Elijah yang berdiri beberapa langkah di belakang tak begitu memiliki arti walau wanita tersebut tengah memuntahkan sebuah kalimat, kendati demikian, langkah Yoongi tetap tertahan di satu titik.

"Pulanglah sebelum petang, dan ingat, jangan sampai terlambat. Nenek akan mengundang salah seorang kerabat jauh untuk diajak makan malam bersama."

Yoongi masih bungkam, diam seribu bahasa, ia tidak berniat untuk sekadar menoleh ataupun menyahut. Melihat hal tersebut, Elijah berusaha untuk memaklumi, ia paham bahwa sang cucu telah tumbuh besar, keputusan semacam itu seharusnya bisa ia timbang dan takar dengan baik, sebab dalam hal ini, bukan hanya reputasi keluarga yang menjadi taruhan, melainkan diri Yoongi sendiri. Namun sial, sekeras apa pun Elijah menyuarakan haknya, tampaknya Yoongi masih kokoh dengan pendiriannya. Oleh sebab itu, ia hanya bisa menyemburkan napas gusar, beralih mengambil dompet dan mengambil dua lembar uang.

"Jika kau tidak keberatan, tolong pulang nanti singgah sebentar ke toserba milik Paman Ryu. Belikan Nenek setoples kue kacang dan sekantung permen berperisa apel agar bisa dihidangkan nanti malam."

Yoongi mengambil uang yang diberikan, memasukkannya asal ke dalam saku celana, dan bergegas mengayuh sepeda—nyaris kehilangan keseimbangan dan berakhir menghantam kotoran sapi akibat rantai yang macet, lagi dan lagi.

Angin berembus dari arah depan, membawa aroma asin laut yang sekonyong-konyong turut membuat kaos putih yang dikenakan berkibar kencang. Bahu kanan jalan sedikit lengang, sedang di bagian kiri tampak beberapa truk pengangkut sesekali melintas. Mereka membawa hasil panen berupa buah dan sayuran yang lebih lanjut disalurkan ke pusat kota. Salah seorang pengemudi menyambangi Yoongi. Dia Sue, wanita paruh baya yang berpenampilan tomboi dan tinggal di perkampungan sebelah. Mereka menjalin interlokusi yang amikal, saling bertukar kabar sebelum diakhiri oleh sekantung jeruk yang Sue tawarkan cuma-cuma.

Bersama kayuhan pedal yang terasa semakin memberat, Yoongi sayup-sayup mendengar debur ombak pantai di bagian selatan. Ia berani bertaruh bahwa anak-anak yang tinggal di pesisir akan mulai menggulung benang, mengetuk satu pintu ke pintu lain sembari meneriaki nama kawannya. Mereka akan bermain layang-layang hingga petang menjelang, tak akan pulang sebelum telinga mereka ditarik hingga berwarna kemerahan. Terdengar konyol memang, tetapi seperti itulah kebiasaan yang telah menurun dari generasi ke generasi.

Setibanya di persimpangan jalan, Yoongi memelankan laju sepeda, membelokkan stang ke arah kiri, dan kemudian memilih untuk keluar dari jalur seharusnya. Bersama dengan bulir keringat yang jatuh menuruni wajah, Yoongi masuk ke dalam hutan yang diisi oleh ratusan pepohonan setinggi apartemen berlantai tiga.

Kicau burung camar menyambangi rungu, beberapa jangkrik dan ngengat bersahut-sahutan, seolah mengisyaratkan sebuah sambutan hangat untuk Yoongi yang kini turun dan menuntun sepedanya. Jalur yang dilalui sangat tak memungkinkan untuk ditempa dengan dua buah ban sepeda yang telah gundul, alih-alih tiba tepat waktu, Yoongi barangkali bisa bernasib naas dengan jatuh menghantam kerikil hutan.

Setibanya di batang pohon akasia yang tumbang dari peradaban—Yoongi kerap menyebutnya sebagai markas depan, pemuda tersebut merebahkan sepeda di sisi kiri dan duduk di dekat akar yang tercerabut. Sepasang manik yang menyipit kesilauan itu ia edarkan ke segala penjuru, mencari sosok sang kawan yang kerap datang seraya membawa beragam kecerobohan, entah karena kakinya yang tersandung bebatuan, termakan serangga saat hendak mencoba buah liar, atau bahkan menghilangkan satu dua benda di saku pakaian. Namun setelah sepuluh menit menunggu sembari memakan jeruk yang diberikan Sue, presensi Namjoon tak kunjung tertangkap dalam lingkup matanya.

Mendecakkan lidah, mengusap peluh yang mengucur, Yoongi memilih bangkit untuk menunggu sang kawan di sekitaran lapangan basket terbengkalai yang menjadi markas utamanya.

"Eh, Yoong? Kenapa baru saja tiba?"

Di saat yang bersamaan, Namjoon muncul dari balik pepohonan, membawa layangan merah jambu dan lekas menjatuhkan diri di samping Yoongi yang tak jadi melepas bokong dari kecupan kayu. Ada plester luka bermotif polkadot yang tertempel di keningnya dengan sedikit noda hitam kecoklatan yang mirip akan cipratan lumpur.

"Kau tahu, aku hampir mati kebosanan karena menunggumu selayaknya orang bodoh selama tiga puluh menit. Beruntung aku melihat layangan ini tersangkut di dahan pohon, dan ya, aku—"

"Mencoba mengambilnya dan terjatuh?" potong Yoongi. Sepasang alis lebatnya terangkat bak mengisyaratkan bahwa ia begitu muak mendengar hal yang sama dan berulang selama hampir sepekan penuh. "Astaga, Namjoonie. Apa kau tidak memiliki kegiatan lain selain mencuri layangan milik anak di sekitaran pantai?"

"Hei! Aku tidak mencuri!" Desibelnya naik dua kali lipat, sementara bibirnya mencebik sebal. "Aku menemukannya dalam keadaan tersangkut di dahan pohon. Sangat malang jika tidak segera diselamatkan."

Yoongi mendengus, pikirnya sang kawan benar-benar telah terobsesi untuk mengumpulkan pundi-pundi uang, bahkan sebulan yang lalu dirinya sempat membantu Namjoon untuk memungut cangkang kerang di bibir pantai. Pemuda itu bilang bahwa hasil uangnya akan digunakan untuk kepentingan mendesak, tetapi jauh dari itu, Yoongi paham bahwa Namjoon tengah berjuang untuk menghidupi sang adik. Lantas dirinya tidak memiliki pilihan selain ikut membantu kendati harus merelakan kulitnya berubah kemerahan di bawah kukungan sang rawi.

Mengendikkan bahu, Yoongi bangkit dari sana, berjalan ringan menuju hamparan rumput hijau yang tumbuh di pinggiran lapangan basket. Ia melipat satu tangan di belakang, mencari posisi yang nyaman untuk merebahkan kepalanya yang mendadak berdenyut. Sinar matahari menembus celah dedaunan rimbun yang menaungi, terbias anggun pada ujung kaki yang sesekali ia goyangkan. Hidung mungilnya bergerak kembang-kempis sebab terlalu rakus menyalur kadar oksigen menuju paru-paru, sementara kelopak matanya perlahan mengatup.

Beberapa detik selang Yoongi berdamai dengan musim panas yang tengik, Namjoon datang dengan tergopoh. Seperti dugaan, ia terseruduk oleh akar pohon pinus yang menyembul keluar dari tanah. Keningnya mengernyit tatkala mendapati pemuda berkulit putih tersebut nyaris hanyut dalam tidur. Oleh sebab itu ia membuat suara bising dengan entakan kaki yang menghantam daun kering.

Namjoon ingin meniru apa yang Yoongi lakukan, tetapi sebelum itu, ia merogoh tas miliknya yang berada tak jauh dari kepala Yoongi. Katup bibirnya bergerak menghitung berapa banyak semangka yang tertinggal sebelum dibagi rata kepada sang kawan. Memastikan masing-masing dari mereka mendapatkan jatah sebanyak dua potong, ia membangunkan Yoongi dengan cara menyentil keningnya.

"Hei, siput jelek, cepat bangun!" Ia menitah, sempat mendapati kilatan cahaya dari sepasang iris sabit tersebut, tapi buru-buru mengimbuh, "Paman Lee yang tinggal di samping rumah memberikannya kepada Nami kemarin sore. Sebenarnya ia juga menitipkan pangsit daging, tetapi karena tadi malam kami tidak memiliki menu apa pun selain air keran, aku pun terpaksa menghabiskannya bersama dengan Nami."

Mulanya Yoongi ingin mencubit lengan kurus Namjoon dengan jurus andalan, tetapi usai mendengar sebuah nama yang telah lama tidak menyambangi telinga, pemuda tersebut beralih mengurungkan niatnya. "Tunggu, apa kau bilang? Nami? Maksudmu, Kim Nami adikmu?" Sementara yang ditanya mengangguk membenarkan, Yoongi kembali mencecar, "Dia sudah pulang dari rumah sakit? Kau yakin? Kau yakin itu bukan gadis lain yang ternyata juga dirawat di sana?"

Namjoon memutar bola matanya sebal. Ia tahu bahwa dirinya memang ceroboh, tetapi ia jelas tidak sebodoh itu untuk membedakan wajah adiknya dengan wajah orang lain.

Selagi serumpun gigi seri yang menggigit ujung semangka, Namoon membalas, "Kali ini aku serius, Yoong. Nami memang telah kembali ke rumah sejak sepekan yang lalu, barangkali aku lupa memberitahukan perihal ini kepadamu. Aku meminta maaf, tetapi kalau boleh aku jujur, ada banyak beban pikiran yang bergumul di dalam kepalaku."

Sebuah rencana picik untuk merebut jatah semangka milik Namjoon perlahan menguap bersama hawa panas yang mulai berani menggelitik epidermis, Yoongi bangkit dengan punggung yang lantas bertumpu pada batang akasia lain yang masih tumbuh subur. Sejemang ia menarik napas, menahannya untuk sekon yang berlalu tipis lalu menyemburkannya bersama helai daun kering yang luruh dan bersua dengan permukaan tanah.

Ingatan terakhir tentang gadis itu semerta-merta melesak di dalam laci memori; di dalam kamar mandi dengan kubangan darah pekat, Namjoon yang berteriak histeris dan nyaris kehilangan kesadaran, serta sirine ambulan yang menusuk liang pendengaran.

Yoongi membasahi bibirnya sejenak, mencuri sekilas tatap pada Namjoon yang serempak menyeka sari pati buah di sudut bibir. Sepasang netra kelam itu sedikit meredup, terfokus pada ilalang putih yang condong ke arah kanan mengikuti pergerakan semilir angin. "Bagaimana kondisinya sekarang, Joon? Kuharap dia telah membaik daripada sebelumnya."

Kotak bekal yang berada di pangkuan, Namjoon sisihkan dari pangkuan. Ia melipat kedua kaki tepat di depan dada dengan dagu yang kemudian menempel erat di atas lutut. "Untuk saat ini, Nami masih dalam keadaan yang baik. Ia juga sudah bisa mencerna makanan padat dan bergerak leluasa di dalam rumah, tetapi kau tentu tahu bahwa keadaan tersebut sewaktu-waktu bisa memburuk." Lantas embus napas berat meluncur dari ceruk bibirnya, terlihat begitu pasrah. "Entahlah, Yoong. Kupikir aku telah menyiapkan diri jika sewaktu-waktu aku kehilangan dirinya."

Merutuki kalimat yang telah terucap tentu adalah hal yang paling dungu. Namun demikian, Yoongi tetap melakukannya. Ia menepuk bahu lawan bicara, bermaksud menguatkan pemuda itu. "Maaf, Joon," sesalnya kemudian.

"Dia harus segera dioperasi, tiga atau empat tahun lagi, paling lambat," Namjoon menjeda, memberi waktu singkat guna mengait satu kepingan pahit untuk kembali berenang ke permukaan. Sebenarnya ia tidak ingin berlarut-larut, bagi Namjoon hal tersebut telah menjadi puzzle kehidupan yang harus segera ia kumpulkan. Segaris senyum getir terlukis simpul, tidak menyentuh mata tetapi cukup menampilkan lubang di belah pipi tirusnya. Pemuda Kim itu melanjutnya dengan frasa yang sedikit bergetar, "Jangan terlalu dicemaskan, aku akan berusaha semampu mungkin untuk mempertahankannya, Bung."

"Jangan sungkan untuk memberitahuku jika kau memerlukan uang tambahan, Joon. Nami harus memenuhi gizinya di setiap hari, pastikan ia memakan daging dan sayuran yang cukup."

Namjoon mengangguk sebanyak dua kali sebagai jawaban. Ia menyodorkan kotak bekalnya kepada Yoongi, membiarkan pemuda itu untuk merasai betapa segarnya buah semangka yang dipetik langsung dari lahan perkebunan. Begitu pula dengan Yoongi, ia memberikan sisa jeruk yang ada di kantung plastik setelah serat putih yang membingkai dicerabut pelan. Mereka berbagi makanan sembari bertukar lelucon payah yang direspon dengan gelak tawa riang.

Dua perempat dari porsi mentari telah tergelincir ke horizon barat, dan kini Namjoon disibukkan dengan benang nilon layangan yang ia pintal pada sebuah ranting kayu. Di sisinya masih ada Yoongi yang setia menatap dua ekor tupai yang berebut kacang kenari di dahan tertinggi. Namjoon mendesis tak percaya, pikirnya sang kawan telah tertular virus ketidakwarasan dari orang gila yang kerap bertelanjang hingga burungnya terbang kesana-kemari.

Namjoon mengulum tulunjuknya, membalur air liur hingga seruas jari sebelum berakhir mengangkatnya ke udara, bermaksud mengukur kecepatan angin yang berembus petang ini.

"Momentum yang tepat." Namjoon tersenyum semringah, mendesis bangga. "Geng bocah badung cap kerang itu pasti sedang bermain layangan. Ada baiknya aku menjual benda ini kepada mereka, bukan begitu, Yoong?"

Sepermilisekon setelahnya, kelopak mata Yoongi berkedip, ia menoleh ke arah jam sembilan. "Kau yakin?"

"Tentu! Seorang Kim Namjoon tidak pernah ragu dalam membuat keputusan."

"Bagaimana jika layangan ini justru milik mereka?"

Sekonyong-konyong senyum yang terpatri melunturkan eksistensi, Namjoon terdiam dengan wajah yang tertekuk masam. Apa yang dikatakan Yoongi ada benarnya, sebab alih-alih mendapatkan lembaran uang, ia justru mendapatkan setumpuk tahi kambing yang dilempar tepat ke wajah, diteriaki pencuri hingga berakhir jatuh membentur kerasnya aspal. Namjoon menggeleng, meruntuhkan bayangan yang pada dasarnya pernah ia alami tak kurang dari sepekan silam. Memilih pasrah dengan bahu yang tergolek kuyu, Namjoon membalas, "Kalau begitu, aku titip padamu saja. Tolong jualkan ini di warung dekat rumahmu. Uangnya bisa kau bagi dua dan aku akan mengambilnya besok sore jika tidak ada kesibukan."

"Eiy, aku tidak mata duitan." Yoongi terkekeh, melecut tawa renyah. "Aku akan mengantarnya nanti malam, hitung-hitung sekaligus menjenguk Nami."

Namjoon mengirim anggukan pelan sebanyak dua kali. Hal tersebut justru terdengar bagus, ia jadi tidak perlu merepotkan diri untuk berjalan sejauh lima kilometer hanya demi mengambil uang yang nilainya tak lebih dari sebungkus ramen murah. Jalinan obrolan yang terpintal membuat Namjoon secara tak sadar bertanya perihal masalah yang cukup sensitif pun krusial—terlebih bagi Yoongi.

"Omong-omong, apa kau yakin telah mengambil keputusan yang benar?"

Seraut ekspresi berseri seketika berganti menjadi kecut bak jeruk nipis setengah matang. Namjoon agaknya merasa sangsi, buru-buru menambahkan agar tidak terjadi kesalahpahaman. "Dengar, aku tidak bermaksud untuk menentangmu. Sebagai sahabat, aku hanya ingin memastikan sekaligus memberitahu bahwa setiap keputusan membawa risiko yang riskan." Rasanya seperti terhimpit diantara bebatuan karang yang runcing, bergerak entah ke kanan atau ke kiri, jelas akan merobek kulitnya hingga berdarah. Namun peduli setan, Namjoon sudah kepalang basah, sebisa mungkin menjaga air wajah tatkala mendengar gemeletuk gigi dari mulut yang terkatup rapat.

"Masih ada waktu untuk menolak, Yoong."

Membuang wajah ke sembarang arah, Yoongi memilih bungkam untuk sekejap. Obrolan mereka terpaksa berhenti di satu titik, tidak ada satu rentet klausa yang terucap dari labium, hanya selimut hening yang berkepanjangan, sebelum akhirnya Yoongi mengalah dengan tegukan saliva yang dipaksa masuk menuju cekalan di pangkal kerongkongan.

"Cukup sampai di sini saja."

"Maksudmu?" Namjoon mencicit, keningnya berkerut heran.

"Lebih dari apa pun, keputusanku sudah matang. Usahamu untuk mempersuasiku tidak akan pernah berhasil. Semuanya sia-sia, Joon. Bahkan Nenek tidak bisa menghalangiku jalanku." Jikalau mereka adalah tanaman, barangkali pantat mereka sudah ditumbuhi cikal akar yang rambat. Setelah merekatkan diri di atas hamparan rumput dan semak liar setinggi mata kaki, Yoongi bangkit berdiri. Ia menepuk celana training bagian belakang guna meluruhkan sobekan daun dan butiran pasir yang tersangkut di sela serat kain.

"Tunggu, kau salah paham," sergah Namjoon usai mendapati Yoongi yang hendak berlalu dari hadapan.

Sekelebat bayangan samar-samar tertangkap dari pelupuk matanya yang mengarah langsung ke salah satu pohon di penghujung jalan setapak tak beraspal. Yoongi menurunkan padangan, menatap lekat seraut wajah yang tampilkan kegundahan. Seulas senyum getir tercipta dari sudut bibirnya yang terangkat beberapa senti. Rotasi bumi yang menghujam terasa berbalik arah dengan gravitasi yang mengulur daya tarik—nyaris seperti menapak di permukaan udara hampa.

"Sampai jumpa esok hari, Joon. Semoga sisa harimu menyenangkan."

Yoongi berlalu dari sana, tetapi tidak lupa dengan pesan sang kawan untuk bantu menjual layangan curian di toko kelontong terdekat. Ia mengapit benda yang nyaris berbentuk seperti ketupat itu di ketiak, berusaha cuai pada lengkingan Namjoon yang jauh tertinggal di belakang dan berakhir hilang ditelan nelangsa sepat. Sumpah serapah jatuh dari belah bibirnya yang terbuka, entah merutuki keputusannya atau malah sesosok insan yang mulai menampakkan diri dengan seringai penuh kemenangan.

Well, Yoongi kalah telak, dan itu sesuatu yang mutlak.

"Bagus sekali, Yoongi." Baritonnya menggema, mengisi penuh kedua rungu yang telah kehilangan daya untuk menangkap sensorik suara lain. Hanya ada dirinya, seorang manusia picik yang entah mengapa Yoongi pilih untuk menuntaskan setumpuk buncahan di rongga dada. "Keberanianmu membuatku sangat bangga. Kau sudah melakukan yang terbaik, dan ini adalah keputusan yang benar."

Raganya disentuh lembut, dimulai dari pucuk rambut legam yang mengilap, kemudian turun pada hidung mungil dengan deru napas pelan, hingga berakhir di tulang pipi yang dibubuhi kroma merah jambu. Bukan dikarenakan tambahan serbuk peralatan kecantikan yang kerap digunakan para wanita dewasa, melainkan karena aliran darah yang terpompa cepat dan tersalur ke bagian wajah.

"Beritahu aku, apa kata kuncinya, Min."

Sang pemilik nama menahan napas, sejurus kemudian merasakan material hangat menyentuh kening, sedikit meninggalkan jejak berupa benang saliva yang tergantung manis. Mendongakkan kepala, membidik retina pada sepasang oniks yang pancarkan congkak, Yoongi mematri senyum kecut tidak berdefinisi, "Aku milikmu sepenuhnya, Kim Taehyung." []

•••

catatan kaki:

hai semuanyaaa, apa kabar kalian?
maaf baru bisa update, semoga tidak mengecewakan ya. jadi, gimana? kuharap kalian udah mulai paham dengan watak dan sumber permasalahan masing-masing tokoh ya.

ohiya, sebenernya part ini masih ada sambungannya, tapi pas aku gabung, jumlah katanya hampir lima ribu ke atas. takut kepanjangan dan bikin kalian bosan, jadi aku bagi dua. kalian masih nunggu cerita ini, 'kan? hehe, buat yang masih bertahan, terima kasih banyak! aku sayang kalian 🌸

Continue Reading

You'll Also Like

208K 22.4K 43
Menyesal! Haechan menyesal memaksakan kehendaknya untuk bersama dengan Mark Lee, harga yang harus ia bayar untuk memperjuangkan pria itu begitu mahal...
361K 21.9K 27
"I'll do everything for you." -Lian ⚠️ mengandung kata kata kasar. Entah kesialan apa yang membuat Lilian Celista terlempar ke dalam novel yang baru...
413K 30.6K 40
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
YES, DADDY! By

Fanfiction

310K 1.9K 10
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar