RECAKA

بواسطة Aniwilla

9.2K 2.1K 2.7K

Tentang kematian beruntun dari jajaran murid berprestasi SMA Swasta Anindita. Pembunuhnya ada di antara merek... المزيد

Prolog
1 || Pemuda Tanpa Teman
2 || Dia Pintar
3 || Perpustakaan
4 || Hujan dan Kisahnya
5 || Rumah Tanpa Hangat
6 || Kata
7 || Seorang Teman
8 || Nada
9 || Mimpi Dalam Cerita
10 || Kematian
11 || Retak Bersama Waktu
12 || Tersangka dan Hipotesa
13 || Dingin
14 || Hidup
15 || Tenggelam Suram
16 || Letih yang Menyambar
17 || Ruang dan Seni
18 || Frasa Menyakitkan
19 || Sajak Luka
21 || Perihal Rasa
22 || Kontradiksi
23 || Lebur Dalam Dingin
24 || Di Antara Sesal
25 || Dia
26 || Alam Bawah Sadar
27 || Benang Kusut
28 || Sakit Jiwa
29 || Harsa
30 || Cerita yang Patah
31 || Titik Untuk Berhenti
32 || Tentang Maaf
33 || Rela Untuk Menerima
34 || Buku Harian
35 || Selamat Tinggal
Epilog
Hujan Terakhir

20 || Karsa

183 41 67
بواسطة Aniwilla

㋛︎

Jangan minta orang lain memahamimu.

Terkadang mereka bukan tidak paham, hanya saja tidak peduli--karena mereka pun memiliki luka sendiri.

-R E C A K A-
.
.
.

㋛︎

"Pengen gue cekek lehernya sampe bunyi krek-krek, kancut!"

Gata mendaratkan bokongnya pada bangku sekolah, kasar. Tak memedulikan tatapan-tatapan teman sekelas yang melirik ke arahnya sinis. Bisik-bisik terdengar, mereka bertanya satu sama lain lebih tepatnya bergosip ria perihal mengapa Gata masih masuk sekolah setelah kejadian mengerikan tempo hari lalu.

Gata muak. Kesal. Wajahnya mendadak berat bak ditimpuk ribuan bata kala mereka menatap Gata seolah sampah. Tentu saja hatinya juga tengah dilanda rasa khawatir tentang anamnesis yang polisi itu bicarakan.

Laki-laki itu mengeluarkan kertas HVS putih yang sudah lumayan lecek itu dari ranselnya. Menatapnya nanar.

Apa yang harus ia lakukan dengan kertas itu?

Selain nilai 95 Matematika, perihal surat persetujuan anamnesis Gata demi membantu penyelidikan kasus kematian Cio pasti akan memicu kemarahan orangtuanya. Dan Gata yang masih takut, meski harusnya ia sudah terbiasa.

Menghela napas. Mengeluarkan buku paket tebal bertuliskan Kinematika Vektor Fisika dan meletakkannya di meja. Menurut Gata, bahkan Fisika lebih mudah dipelajari daripada pikiran manusia.

"Woy! Kutil Anoa!" Alfa memasuki kelas dan langsung mendudukkan dirinya di sebelah Gata. "Mikirin apa lo serius banget? Pacar? Lah, emangnya ada yang mau sama lo?"

Gata melirik sinis, bibirnya terbuka hendak menjawab pertanyaan Alfa. Tapi lagi-lagi netranya menjadi fokus pada tiga siswi dan dua siswa yang berada di barisan paling depan di sudut kanan kelas yang meliriknya dengan tatapan meremehkan. Ia menghela napas untuk kesekian kalinya. "Jangan duduk sini!" serunya tanpa melirik Alfa, dan lebih memilih membuka buku paket Fisikanya.

Sedangkan Alfa memasang wajah bingung. "Lah? Udah duduk." Kepala Alfa menoleh, menatap beberapa teman kelasnya yang memang seperti sedang membicarakan Gata. Ia ikut menghela napas, lantas melirik Gata. "Biarin aja mereka mau ngomong kayak gimana juga. Kita gak bisa maksa mereka untuk percaya benar atau salahnya hidup kita."

Gata pura-pura tidak dengar. Netranya masih fokus memahami rumus fisika di hadapannya.

"Gue tau lo punya telinga buat denger gue, atau denger perkataan mereka. Tapi Gat, jangan usir gue dari hidup lo. Gue bukan babu lo, lo gak gaji gue karena udah hadir di hidup lo jadi lo gak bisa nyuruh gue pergi," lanjut Alfa. Dengan nada sendu, yang sepertinya dibuat-buat.

"Anjay!" Sontak Gata tertawa dan bertepuk tangan heboh. Sesekali melirik Alfa dan memegang perutnya karena sakit akibat terlalu hanyut dalam tawa. "Najis, drama! Gak pantes lo ngomong kek gitu."

Alfa berdecak sebal. Tapi tetap tersenyum tipis setelahnya. "Udah cocok belum gue jadi pemain utama sinetron Indosiar?" Alfa menaik-turunkan dua alisnya.

"Cocok!" Gata mengangguk seolah setuju dengan perkataan Alfa. "Muka lo udah mirip om-om di Indosiar yang tukang selingkuh."

"Ye, bangsat!" Alfa menarik buku fisika Gata dan menggunakannya untuk memukul lengan Gata cukup keras.

Gata meringis, tentu saja.

"Lemah! Baru dipukul gitu udah desah, belum gue apa-apain padahal."

"Sakit serius ini, anjir!" sungut Gata sembari mengelus lengannya beberapa kali.

"Coba liat!" Alfa menarik tangan Gata paksa dan mengangkat seragam Gata yang berlengan panjang, membukanya hingga siku. Baru sampai siku, sebuah bekas berbentuk garis panjang berwarna ungu kebiruan menghiasi lengan Gata.

Alfa melebarkan matanya. "Ananda Gata Sugiono? Ini kenapa?"

Gata berdecak mendengar nama panjangnya disebut. Lantas ia menarik tangannya dan kembali membenarkan seragamnya. "Sugira, kampret! Ganti nama orang mulu lo."

"Gue nanya. Dijawab kek."

"Gak papa," jawab Gata singkat.

Sementara Alfa memutar bola mata malas. "Gak papa mulu. Basi!"

"Ya emang gak papa. Lo maunya gue jawab apa?"

"Jawab apa kek. Gak papa terus, kosa kata bahasa Indonesia kan banyak. Gak kreatif lo!"

Gata berdecak.

"Kenapa, sih?" tanya Alfa lagi. "Jawab gak papa lagi gue tabok muka lo pake pot gantung di depan koridor."

Gata menatap Alfa lelah. "Harus banget gue jawab?"

Alfa mengangguk. "Kita temenan udah lama. Kalo ada masalah cerita dong, gue berasa dijadiin pajangan selamat datang doang sama lo."

Gata berpikir. Ia memang tidak pernah memberi tahu Alfa tentang hidupnya, tentang keluarganya, atau sedih yang ia pikul sendiri. Haruskah ia berbagi? Tidakkah sia-sia karena pada akhirnya bebannya akan tetap menjadi beban Gata, sang pemilik awal. "Dipukul Mamah," jawab Gata kemudian.

"Hah?" Respon Alfa.

"Ganteng-ganteng kuping lo congek! Korek sono sebelum bel masuk!"

"Kok bisa? Lo durhaka kali sama Mamah lo," ujar Alfa lagi.

Apa benar Gata durhaka? Mungkin jika seorang anak tidak bisa memenuhi ekspektasi orangtuanya bisa disebut durhaka, pikir Gata. "Iya, kali. Nilai gue kecil mulu."

"Kecil apanya? Nilai lo di atas delapan lima semua kok, itu pun gue jarang liat lo dapet nilai delapan."

Gata tersenyum miris. "Jangankan nilai delapan lima. Sembilan lima aja gue kena pukul."

Kini Alfa terdiam. Sebenarnya Alfa sudah tahu perihal Ibu Gata yang memukul Gata dengan alasan yang bisa dibilang tidak masuk akal. Ia pernah dengar, sekali. Saat ia melakukan video call dengan Gata malam itu. Sambungannya belum terputus, hanya hitam yang menghiasi layar. Tapi jelas Alfa bisa mendengar semuanya. Tentang nilai, juga, pukulan dan makian.

Alfa hanya memancing Gata, agar laki-laki itu bisa memberitahunya secara langsung. Lukanya. Yang entah masih berdarah atau mungkin membusuk saking lamanya tak diobati.

"Maaf, Gata."

Gata mengerutkan kening. "Apaan?"

"Maaf," kata Alfa lagi. "Karena pernah nuduh lo dan bawa-bawa nilai. Gue gak tau yang lo alamin selama ini."

Gata tersenyum kecil. "Gak perlu minta maaf. Gue gak papa, lagian gue gak cerita sama lo, jadi wajar lo gak tau."

Alfa mulai berpikir tentang hidup. Tentang hidupnya dan kejadian di masa lalu yang masih membekas di hatinya bahkan sampai saat ini.

Lantas menatap Gata. Tentang Gata dan segala luka di tubuhnya. Tentang Dafi yang mencoba mengakhiri hidupnya sendiri.

Bahkan, tentang Janu, yang masih jelas Alfa ingat saat ia datang ke rumah besar itu yang hanya disambut sepi, lantas menemukan Janu di dasar kolam renang seperti sengaja menenggelamkan dirinya sendiri.

Mengapa hidup terlihat kejam untuk teman-temannya?

Dan Alfa cukup kesal, karena tidak bisa memberi sedikit kata pelipur untuk salah satunya.

-𖧷-

Musim hujan benar-benar datang lebih lama dari tahun-tahun sebelumnya kali ini. Sejuk mulai menyapa kala musim hujan datang. Berbeda untuk Anindita, musim hujan disambut dengan kematian Maureen, lalu disusul kematian tiga orang lainnya.

Anindita tinggal di daerah yang tropis, tidak begitu dingin jika dibandingkan dengan negara lain yang memiliki 4 musim, malah sebaliknya. Tapi sepertinya tahun ini memiliki dingin yang lain.

"Gue cerita setelah mesen batagor, tunggu!" kata Gata sembari melenggang pada keramaian kantin.

Sementara Janu menoleh, seperti biasa, dengan senyuman hangatnya. Menatap Dafi senang karena ikut duduk di meja yang sama dengannya dan yang lain. Ia menjadi memiliki pemandangan baru selain Gata dan Alfa.

"Nu, lo mau apa? Gue mau nyusul Gata, nih?" tanya Alfa berdiri dari duduknya.

"Gue somay kayak biasa," jawab Janu singkat.

Alfa mengangguk paham, ia alihkan atensinya pada Dafi. "Lo apa?"

"Gue diet," jawab Dafi tak kalah singkat.

Alfa menghela napas kasar, dalam hati sudah menyiapkan ancang-ancang bagaimana jika ia melempar Dafi dari lantai atas ke bawah. Sepertinya seru. "Gue pesenin batagor, ya?"

"Somay aja," kata Dafi lagi.

Rasanya ingin menimpuk kepala Dafi dengan meja di hadapannya. Tapi Alfa tahan dan lebih memilih tersenyum manis.

"Lo gak mau nawarin gue, Bang?" Yuna tiba-tiba bertanya.

Alfa memutar bola mata. Sebenarnya sedikit kasihan dengan Yuna karena semenjak kepergian Kara, ia lebih sering mengikutinya. "Lo gak bisa makan kacang. Pesen yang lain aja sana!"

"Lo mau pesenin?"

"Enggak." Alfa pergi meninggalkan mejanya dan berjalan menyusul Gata.

Sedangkan Yuna sudah mendecih kesal. Ia menggerutu. "Punya Abang gak jelas banget!" Lantas bangkit, pergi ke arah yang berlawanan, ke gerombolan gerobak bakso aci langganannya.

Janu hanya tertawa kecil sembari menggeleng pelan. Sedikit bersyukur memiliki mereka.

Kini, hanya Dafi dan Janu yang tersisa. Hening di antara mereka, perbedaan yang sangat kentara jika dibanding suara kantin yang sebenarnya. Kita memiliki dua sosok misterius yang berusaha mengakhiri hidupnya. Yang satu, karena tidak memiliki apa pun untuk dipertahankan. Yang satunya, karena lelah mempertahankan hidupnya, mungkin.

Suara gemericik hujan yang berjatuhan pada atap kantin membuat keduanya terkejut. Sontak Dafi cepat-cepat menunduk, dua telapak tangannya terkepal. Menahan gejolak itu. Memorinya. Mencoba bernapas senormal mungkin.

4 tahun. Tidak cukup membuat Dafi sembuh sepenuhnya.

Sementara Janu yang menatap gelagat aneh Dafi memiringkan kepalanya. Ia tersenyum sekali lagi. Kali ini senyuman kapitalisme. "Lo punya panic attack?" tebaknya.

Dafi mendongak. Menatap Janu terkejut kala dua pasang mata itu bertemu. Ternyata Janu bukan hanya pandai dalam pelajaran, tapi ia juga pandai membaca situasi. Dafi diam, tak memberi jawaban.

Janu masih mempertahankan senyumannya. Kemudian merogoh saku celana mengambil sebungkus permen karet dan menyodorkannya pada Dafi. "Permen karet ngebantu lo sedikit tenang."

Dafi menatap permen karet pemberian Janu. Lantas menatap Janu. Netra itu kembali bertemu, hitam pekat milik Janu yang terlihat tulus dan dalam. Dafi tidak tahu, sedalam apa tatapan itu. Ia mengambil permen karet, membuka bungkusnya dan memasukkanya ke dalam mulut. Mengunyahnya pelan sembari mengatur napas.

"Makasih."

"Sayang banget lo takut hujan. Padahal banyak orang yang nunggu musim hujan, katanya romantis," ujar Janu, sembari menatap Dafi dengan tatapan yang sulit diartikan. "Banyak memberi kesan."

Dafi mengangguk dalam diam membenarkan perkataan Janu. Karena jujur, dia masih menyukai hujan. Permen karet benar-benar membantu serangan paniknya netral.

"Lo harus berdamai sama musim hujan. Keliatannya lo gak benci sama hujan," lanjut Janu. "Gue gak tau kenangan buruk apa lo sama musim hujan. Sesuatu yang bisa ngingetin lo ke masa kelam lo. Tapi hidup lo berharga, Daf. Lo harus bisa sembuh sama ketakutan lo, dan masa lalu lo. Karena lo punya masa depan."

Dafi masih diam. Sedikit tersentuh dengan perkataan Janu. "Jadi?"

Senyuman Janu mengembang semakin lebar hingga deretan giginya terlihat. "Semangat!" seru Janu dengan binar di matanya.

"Kadang." Dafi menjeda perkataannya. Netranya lagi-lagi ia fokuskan pada sosok hampir sempurna di hadapannya. January Candramawa. Sosok laki-laki hangat penuh kharisma. Senyumnya dianggap sebagai obat penenang. Laki-laki seribu bisa dan hal-hal baik yang melekat pada Janu. Tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia sesempurna itu. "Kita gak perlu disemangatin, kita butuh diselamatin."

Janu terpaku. Tak sadar senyuman yang sedari tadi terpatri di wajah tampannya mendadak hilang. Kata diselamatkan begitu menusuk hingga ulu hatinya terasa sedikit ngilu. Aroma petrikor dan embusan angin yang melewatinya menyadarkan Janu, menyadarkannya bahwa ia tidak sempurna.

Janu reflek menoleh ke arah lapangan yang jauh di depan matanya. Hujan membasahi bumi di sana. Rasa takut itu semakin besar menyelimuti Janu.

"Sekarang giliran gue yang tanya," ujar Dafi lagi. Memecah hening, membuat Janu kembali menoleh ke arahnya. "Ada apa lo sama hujan?"

Dapat Janu rasakan desiran di darahnya mengalir begitu cepat. Ia benar-benar tidak sadar bahwa wajahnya sudah memucat pasi.

Butuh beberapa detik hingga membuat senyuman itu kembali. Janu mendengkus kecil. "Gue cuma takut."

Dafi masih menatap Janu, menunggu penjelasan yang akan laki-laki itu lontarkan.

"Lo sadar gak sih orang yang kita cari, gue gak tau mau nyebutnya apa, pembunuh?" Janu tersenyum kecil. "Terlalu kasar."

Dafi mengerutkan Dahi.

"Dia bener-bener gak ninggalin jejak satu pun. Mustahil!" Janu kembali melirik rintik di luar sana yang semakin deras sebentar sebelum melanjutkan kembali kalimatnya. "Kematian Maureen, Rizky, Kara. Lo inget? Saat itu hujan. Kecuali kematian Cio."

Dafi memutar otaknya mencoba mengingat semua kejadian itu. Saat Maureen jatuh dari atap sekolah, ia tidak begitu ingat kejadiannya karena saat itu ia masih di kelas, tertidur. Dan bangun karena bel istirahat. Lantas laki-laki itu duduk di tangga dan disambut dengan kedatangan Cio yang tiba-tiba memakinya, bahkan memukulnya membuat Dafi sadar sekolahnya sedang berduka. Dan memang, saat itu hujan.

Lalu, Rizky. Laki-laki itu ditemukan tewas di perpustakaan sekolah karena kandungan lem yang tercampur di minumannya. Ditemukan pagi, ia tidak tahu kapan kematian Rizky, tapi Dafi ingat, malamnya hujan.

Yang terakhir Kara. Saat itu lagi-lagi hujan. Bahkan saat Kara ditemukan hujan masih menghiasi semesta.

Sedang Cio?

"Kemungkinan Cio dibunuh karena cari tau pelakunya."

Perkataan Janu membuat Dafi tersadar. Mengingatkannya tentang perkataan Yuna, tentang Cio yang mencurigai Janu.

Tapi apa mungkin pelaku membeberkan rahasianya sendiri? Apalagi ini seorang Janu? Yang jika dilihat dari segi pandang manusia akan terbilang jauh tidak masuk akal.

"Maksud lo? Hujan salah satu tanda dari rentetan pembunuhan? Dan ada hubungannya sama si pelaku?" tanya Dafi. "Jadi lo takut karena itu?"

Janu terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk pasif. "Gue takut hujan, kembali ngerenggut nyawa temen gue."

-𖧷-

㋛︎

-R E C A K A-
.
.
.












Tebak siapa lagi yang mati?

Pendapat kalian tentang RECAKA dan para tokohnya?

-Bumi, 08 JanuAri 22.
Terimakasyi sudah baca sampe part ini. Lobyu mwah😗

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

15.3K 6.6K 47
{Untuk info pemesanan bisa cek ig mayrapustaka atau DM ke ig _khfh_ dan wattpad ini ya} Tidak semua orang yang lahir dari keluarga berada memiliki k...
{-7 with Gumiho-} بواسطة HLmars

الخيال (فانتازيا)

848 121 11
Bagaimana jika mereka tau siapa diriku sebenarnya? Apa aku akan di buang atau pun di bunuh? -Eunsi
34.4K 4.1K 30
Cerita Pendek - Februari memiliki 28 hari, berbeda dengan bulan yang lain. Karena itu, aku mencoba keberuntunganku pada bulan ini. Harapan dan cara t...
Blue Sky بواسطة kleponice

قصص المراهقين

48.4K 4.2K 56
"Cita-cita gue pengen jadi atlet voli nasional, kalau perlu sampai ke tahap internasional juga. Tapi yang utama sih, tetep pengen jadi orang kaya ray...