pyxis | hyunjin softie collec...

By chrispyjin

105K 8.4K 1.5K

ㅡ ❝ pyxis; means a mariner's compass; no matter how far I go, you'll always guide me back home. ❞ oneshot col... More

1: nerd stalker
2: brother?
3: tattoo
4: lips
5: 청사진 (blueprint)
6: trouble maker
7: promise
8: pepero game
9: sky2209
10: bad brother
11: kidnapped
12: who r you?
13: lovefool
14: home
15: dumb (part I)
16: dumb (part II)
17: rewrite
18: happy sad-lentine
19: i just really miss you
hayoo..
20: red lights
21: peach (part I)

22: peach (part II)

1.6K 167 14
By chrispyjin

dua minggu telah terlewati semenjak kejadian 'tidak terduga' yang melibatkan jeongin dengan hyunjin. tidak ada yang berubah, jeongin masih tetap menjalani rutinitasnya seperti biasa; sekolah, pulang, istirahat, dan mengulang kegiatan membosankan tersebut di hari berikutnya.

sementara hyunjin tidak lagi tertangkap dalam radius pandang jeongin baik di kantin maupun lapangan outdoor seperti waktu pertama kali jeongin melihat hyunjin bersama san.

entah dirinya yang kurang teliti atau memang hyunjin belum menampakkan diri, namun jeongin hanya mencoba bersimpati mengingat perpisahan mereka kala itu tidak meninggalkan kesan baik, bisa dibilang berakhir dengan kecanggungan.

dirinya sempat iseng bertanya pada jongho dan han, bahkan kedua temannya tersebut mengatakan bahwa peach/hyunjin sama sekali tidak terlihat aktif di sosial media. jika boleh jujur jeongin sedikit khawatir. apakah ini berhubungan dengan kejadian dua minggu yang lalu?

pemikiran-pemikiran tak mengenakkan mulai bersarang di dalam kepala kecilnya, membuat jeongin tidak tenang dan emosinya berubah menjadi sedikit tidak terkontrol.

mengatakan 'tidak ada apa-apa' ketika han melontarkan pertanyaan bernada khawatir sungguh bukan gaya jeongin. meskipun dia anak yang pembangkang namun mengeluarkan beberapa patah kebohongan terkadang membuatnya tak nyaman dan itu memberikan efek samping tidak tenang yang begitu mengganggu.

getar ponsel di atas meja berhasil menghancurkan kaca lamunan si surai biru. kegiatan menatap pemandangan selepas hujan melalui meja kantin akhirnya teralihkan menuju layar benda pintar yang berkedip menampilkan nama 'lee juyeon (sepupu)' disana. jeongin menyeringitkan dahi dan berpikir sejenak kenapa pria lee itu menelponnya, di jam-jam seperti ini pula.

"hal-"

"yang jeongin!"

"sopan santun bang, salam dulu kek,"

"lo dimana?" alih-alih menanggapi ucapan yang lebih muda, juyeon justru kembali melemparkan pertanyaan.

kerutan di dahi jeongin semakin menjadi ketika mendengarkan suara sarat akan nada cemas dari balik sambungan telepon.

"bang? lo oke?"

"gue tanya sekarang lo dimana?!"

"sekolah. why? " tanyanya bingung. jeongin sempat melirik han yang ikut memasang wajah penasaran disebelahnya.

"urgent! jangan banyak tanya, nanti gue jelasin ke lo. tolong lo ke rumah hyunjin dan jemput dia karena sekarang dia lagi butuh bantuan. gue gak bisa pergi karena gue lagi di luar kota sama papa. jangan lupa ajak san, gue gak bisa hubungin dia. kayaknya dia lagi ada kelas."

"butㅡ"

"no buts! gue bilang ini urgent!"

"oke, tapi kenapa gue harus ajak bang san juga?"

"ajak aja, dan lo bakalan bilang makasih ke dia nanti."

"bang, tapiㅡ"

sambungan dimatikan. jeongin berdecak kesal karena ucapannya tak sempat tersampaikan. bunyi denting pesan dari juyeon lagi-lagi mengalihkan atensi jeongin. sang kakak sepupu ternyata mengirimkan lokasi rumah hyunjin.

"tsk, gue udah tau." gumamnya. toh jeongin sempat mengantarkan hyunjin pulang kala itu.

sekarang yang harus jeongin lakukan adalah mengajak san keluar walau sebenarnya jeongin sedikit malas harus berurusan dengan sang kakak kelas yang notabene tidak dia kenal dengan baik.

namun perkataan juyeon melalui sambungan telepon cukup membuat jeongin bertanya-tanya sebenarnya ada apa gerangan yang tengah terjadi pada hyunjin hingga juyeon terdengar sepanik itu.

"guys, gue cabut."

han mendongak menatap jeongin yang tiba-tiba beranjak dari duduknya, "mau kemana?"

"ada urusan penting. tolong nanti bilangin ke guru gue ada di uks,"

tak banyak protes karena melihat jeongin yang memasang wajah serius, han berakhir hanya memberikan anggukan sembari melambai kecil ketika pundak lebar sang sahabat sudah terlihat semakin menjauh.

sementara itu jeongin semakin memperlebar langkahnya menuju kelas dimana san berada. dia ingat jika jongho pernah menyebutkan kelas si pria choi.

"permisi miss," jeongin memberikan ketuk tiga kali pada permukaan pintu sampai membuat atensi guru dan para murid di dalam ruangan hening itu seratus persen tertuju padanya. jeongin tersenyum meringis, dia benci menjadi pusat perhatian.

"ya?" sang guru wanita menatap jeongin bingung, namun masih memaksakan untuk mengulas senyum tipis.

"kak san-nya ada?"

yang merasa namanya disebutkan menatap jeongin dengan pandangan bingung.

"ada. kamu cari san?"

jeongin mengangguk.

"ada urusan ya?"

"saya disuruh kepala sekolah buat panggil kak san."

"san?" wanita cantik berkacamata itu memberikan kode melalui dagunya agar san, pria yang dicari segera beranjak.

sementara san yang sedikit bingung memutuskan untuk mengkuti alur permainan yang bahkan tidak dia ketahui dimulai oleh siapa.

kedua pria berbeda perawakan itu berakhir di pojok koridor setelah san mengikuti arah langkah kaki yang lebih muda. jeongin berbalik, sementara san yang memiliki refleks baik lantas menghentikan langkah sebelum berujung menabrak remaja di depannya.

"so, gue dipanggil kepala sekolah, eh?" san tertawa kecil.

"yeah, cuma itu alasan yang lewat dipikiran gue tadi. oh ya, kenalin, gue yang jeongin, murid pindahan. lo pasti kenal sama bang juyeon. singkatnya dia nelpon gue dan bilang ada kejadian urgent. lo tau hwang hyunjin kan bang?"

pupil mata san sedikit membesar ketika bait nama itu keluar dari bibir jeongin. san lantas mengangguk, "dia kenapa?"

"gue juga gak tau, i bet he's in danger kalau di denger dari gimana paniknya suara bang juyeon lewat sambungan telepon tadi. katanya dia nelpon lo juga tapi gak bisa. coba lo cek hp lo deh bang,"

"oh, hp-nya gue matiin." gumam san. pria itu langsung mengambil ponsel hitam dari dalam saku sergam abunya. dia hidupkan benda pipih tersebut sebelum bergerak menuju salah satu aplikasi pesan online.

"fuck," san mendesis. alisnya menukik tajam ketika rentetan pesan dari sang sahabat berhasil dia baca.

"jadi?" jeongin memancing, matanya menyiratkan rasa penasaran akan pesan yang baru saja san baca. itu pasti pesan dari juyeon.

"lo ikut?"

jeongin mengedikkan bahu, "basically bang juyeon nyuruh gue buat pergi ke rumah hyunjin dan katanya harus ngajakin lo juga walaupun sejujurnya gue gak tau alasannya, jadi, yeah.."

"kita cabut sekarang." san memasukkan ponselnya kedalam saku dan langsung mengambil langkah lebar menuju parkiran sekolah.

"pakai mobil lo apa mobil gue bang?"

"punya gue aja, deket sama gerbang." ujar san.

"masalah satpam?"

"gampang." lanjut pria yang lebih tua.

jeongin menatap san dengan smirk kecil tergantung di ujung bibir. dasar, nampaknya jeongin memang akan selalu dikelilingi oleh orang-orang 'nakal' semacam san.

40 menit sebelumnya.






hyunjin menatap pemandangan lenggang jalanan dari balik kaca jendela. sudah lebih dari seminggu dirinya tidak diperbolehkan keluar oleh sang ibu, alhasil hyunjin tidak bisa pergi ke sekolah atau bahkan sekedar melangkahkan kaki keluar dari rumah sederhananya.

itu bermula dari hyunjin yang mengatakan bahwa dia akan menemui pelanggan di sebuah hotel, yang mana itu adalah yang jeongin, si adik kelas. namun karena sebuah kejadian tak terduga membuat hyunjin harus pulang dengan mata sembab dan berujung dengan sang ibu yang mencercanya dengan banyak pertanyaan.

alih-alih pertanyaan khawatir sebagaimana ibu kebanyakan ketika melihat anaknya nampak baru saja menangis, nyonya hwang justru langsung menangih hasil perkerjaan hyunjin.

hyunjin harus mengakui bahwa dia tidak mendapatkan seperserpun karena sang customer tiba-tiba saja mencancel pesanan. hal tersebut jelas membuat nyonya hwang langsung nik pitam hingga pada akhirnya hyunjin harus rela terkurung di kamar sebagai bentuk hukuman karena kesalahannya.

nyatanya hyunjin berbohong. dia bahkan mendapatkan notifikasi nominal transfer dalam jumlah besar dari jeongin tepat setelah remaja tampan itu berhasil mengantarkannya dengan selamat sampai ke rumah kala itu.

hyunjin sengaja berbohong pada sang ibu mengenai jeongin. dirinya hanya merasa tak enak pada yang lebih muda, bahkan hyunjin sama sekali belum menyentuh uang dari jeongin tersebut barang sepeserpun. dia berencana untuk mengembalikan uang itu jika memiliki kesempatan bertemu dengan jeongin nanti.

"hyunjin, buka pintunya!"

teriakan berbarengan dengan ketukan brutal dari arah pintu masuk lantas membuat hyunjin menghentikan kegiatannya menatapi jalanan.

tak mau membuat ibunya menunggu dan berpotensi semakin meledak-ledak, hyunjin buru-buru meraih kenop pintu untuk membukanya segera.

sosok wanita cantik berpakaian casual berdiri di depannya sambil bersidekap dada. sebuah paperbag coklat terlihat menggantung di ujung jarinya yang terpoles pewarna kuku berwarna merah marun.

"pakai." perintah sang ibu, tanpa aba-aba mendorong benda coklat yang tadi dibawanya ke dada hyunjin dengan keras hingga hyunjin terdorong sedikit ke belakang.

"i-ini apa ma?"

"nggak usah banyak tanya. pakai cepat!"

merasa takut, hyunjin langsung bergegas menuju ke kamar mandi guna mengikuti instruksi ibunya. kecamuk pikir semakin menjadi melihat benda yang berada didalam tas kertas itu ternyata merupakan sebuah lingrie hitam berbahan satin.

mendadak hyunjin merasakan keraguan mulai menggerogoti hati, namun disisi lain rasa takut akan ibunya yang kembali terpancing emosi membuat hyunjin mau tidak mau bergerak melucuti pakaian tidur yang saat ini sedang dia kenakan untuk diganti dengan pemberian dari sang ibu.

pantulan yang saat ini terlihat di kaca membuat hyunjin lantas menggigit bibir. tubuh eloknya terbungkus sempurna dalam balutan lingrie cantik tersebut, sukses mengekspos kaki jenjang dan pundak seputih pualam.

dengan detak jantung bertalu hyunjin memutuskan keluar menemui sang ibu yang masih setia menunggu di depan pintu, nampaknya sengaja memastikan agar hyunjin menuruti perintah dengan baik.

"bagus. jangan berani kemana-mana selagi para client sampai kesini."

"client? client apa ma?" hyunjin bertanya dengan nada binggung.

"ya client buat kamu lah, yang mau pakai badanmu. apa lagi?"

kedua manik bulat hyunjin menatap ibunya dengan sorot tidak percaya, "ma, b-bukannya kita udah pernah ngomongin ini? hyunjin mau cari client hyunjin sendiri, hyunjin nggak mau client dari mama." ucapnya sedikit menuntut.

"lantas apa? liat hasilnya? nol besar hyunjin. kalau gini terus kita gak bakalan bisa makan!!"

"t-tolong batalin, hyunjin janji dalam waktu dekat ini hyunjin bakal dapet client." mohon remaja itu seraya mencengkram pelan lengan ibunya. namun nyonya hwang lebih dulu menepis tangan ranting sang anak sebelum mendengus malas melihat hyunjin yang terlihat hendak menangis.

"simpan janji nggak bergunamu itu. mendingan kamu dandan sebelum mereka sampai kesini."

"m-mereka? berapa banyak client yang mau datang kesini?" hyunjin bertanya dengan nada ragu.

"nggak usah banyak tanya, hyunjin. yang pasti uang mereka bisa bikin kita kenyang buat beberapa bulan kedepan. be a good boy dan jangan cari masalah kalau gak mau ngerasain hukuman dari mama lagi." ujar nyonya hwang final.

tubuh kurus hyunjin langsung merosot menyentuh lantai ketika sang ibu sudah menghilang dari pandangannya. air mata yang tak lagi bisa ditahan kini jatuh mengotori lantai beriring dengan isak tangis berbumbukan rasa kecewa.

kenapa harus dia, pikirnya. kenapa harus hyunjin yang mengalami hal pahit semacam ini, dijual oleh seorang wanita yang pada kodratnya harus melindungi darah dagingnya sendiri alih-alih membawanya menuju jurang gelap tidak berdasar. hyunjin pikir dia tidak lagi bisa lebih hancur dari ini, namun nyatanya dia salah.

berada pada kondisi pikiran yang berkecamuk, hyunjin memutuskan untuk mengunci pintu kamarnya dan berharap bahwa orang-orang pilihan ibunya itu tidak akan pernah bisa melewati batas aman yang selama ini selalu melindungi hyunjin.

berbicara mengenai client dari sang ibu, hyunjin tidak pernah menyukai orang-orang itu. masih lekat teringat kala untuk pertama kali hyunjin dikenalkan oleh beberapa pria berumur yang katanya akan membantu ibu dan dirinya mencukupi kebutuhan harian dengan imbalan hyunjin harus mau diajak 'bermain' dengan mereka.

si remaja hwang yang notabene masih begitu polos kala itu hanya mengangguk setuju tanpa tau akan ada hal buruk apa yang siap menanti di ujung jalan.

setelah waktu panjang yang menyiksa, hyunjin baru sadar bahwa apa yang ibunya lakukan tidaklah sepatutnya dilakukan oleh seorang ibu. hyunjin dijual, dan untuk pertama kali itulah hyunjin menyadari bahwa inilah takdirnya, yakni harus mau berakhir menjadi boneka demi menyambung hidup di dunia yang begitu kejam.

"k-kak juyeon.." setelah beberapa menit berlalu barulah hyunjin mulai bisa berpikir sedikit jernih. dengan tangan bergetar dirinya mencari kontak seseorang yang selama ini selalu menjadi tempat berlabuh ketika hyunjin berada di titik terendahnya.

beberapa detik bertemankan dering monoton, akhirnya sambungan telepon itu diangkat oleh sang pemilik di ujung sana. sayup-sayup hyunjin bisa mendengarkan bunyi percakapan para orang dewasa.

"hyunjin, kenapa nelpon?"

"k-kak.."

"hey, you okay?" tanya juyeon khawatir.

hyunjin yang ditanyai seperti itu lantas kembali menangis tanpa bisa ditahan. rasa takutnya semakin menjadi hingga membuat napas remaja hwang tersebut memberat dan perlahan menjadi putus-putus, "t-tolong k-kak..."

"hyunjin, kamu kenapa?" juyeon bertanya lagi. kali ini nadanya menjadi semakin serius.

"m-mama, client.... kesini.. takut.." gumamnya kacau. dia bahkan tidak bisa merangkai kata dengan benar. yang bisa hyunjin lakukan hanya menarik lututnya hingga ke dada untuk didekap dengan erat.

"peach, hey, tarik napas.... hembuskan dengan pelan.."

hyunjin lantas mengikuti perintah juyeon dan mengulangnya beberapa kali hingga napasnya perlahan kembali normal.

"m-makasih kak.." bisik hyunjin lega. pundaknya langsung jatuh menghantam dinding dingin dibelakang tubuh karena merasakan bahwa separuh energinya seakan menghilang begitu saja.

"good boy, sekarang ceritain ada apa, pelan-pelan, hm?"

"m-mama.." hyunjin memulai ragu,

"kenapa sama mama lo hyun?"

"dia.. dia pesan client b-buat aku dan aku gak tau a-ada berapa orang yang bakalan kesini," hyunjin menarik napasnya sejenak, "ㅡaku... a-aku takut kak. aku gak mau kejadian dulu terulang lagi.. it's.... it's hurt.. hurt so bad.." ucapnya semakin memelan di akhir kalimat.

memori lama yang sempat memudar itu kini kembali menghantam ingatan hyunjin seperti bongkahan batu besar nan menyakikan hingga mampu membuat sekujur tubuhnya bergetar diluar kendali. tanpa sadar hyunjin mencengkram lengannya sendiri hingga permukaan halus itu mengeluarkan sedikit darah akibat tekanan keras oleh kuku-kuku miliknya.

"hey, it'll be fine. but hyunjin, please listen, gue lagi diluar kota jadi gue gak bisa bantu lo sekarang, i'm so sorry. tapi jangan panik, gue bakal cari jalan keluarnya."

"jadi g-gimana? t-tolong kak, aku gak mau sama mereka..."

"ssstt, okay, i understand. gue bakal telepon san dan suruh dia jemput lo. sekarang lo harus nunggu dia, 'kay?"

hyunjin otomatis mengangguk meski dia tau juyeon tidak akan bisa melihatnya.

"maaf karena gue gak bisa stay on call karena sebentar lagi acara disini bakalan dimulai, but trust me you'll be fine."

"m-makasih kak.."

"no need, gue janji gue bakal nemuin lo kalau gue udah balik nanti."

hyunjin membalas ucapan juyeon dengan gumaman lemah. sambungan terputus beberapa menit kemudian dan itu membuat rasa takut hyunjin kembali membumbung tinggi. dirinya memtuskan untuk melepon san namun bersambut dengan suara operator wanita yang menyatakan bahwa nomor san sedang tidak dapat dihubungi saat ini.

hyunjin hendak kembali menghubungi juyeon untuk mengatakan bahwa san tidak bisa dihubungi, sayangnya kali ini justru suara seorang operator wanitalah yang menyambut hyunjin. mungkinkah juyeon tengah sibuk mengurusi acara disana? lalu bagaimana dengan hyunjin?

remaja manis itu menggigit bibirnya kuat, bingung karena tak memiliki orang lain yang bisa dia mintai bantuan.

chris? tak mungkin, keduanya memiliki hubungan yang kurang apik semenjak mereka menjadi mantan. selain ketiga pria tersebut hyunjin tidak benar-benar memiliki teman dekat yang lain.

yang jeongin? bukankah rasanya tidak tahu malu jika menghubungi jeongin hanya untuk direpoti setelah apa yang terjadi diantara mereka dua minggu yang lalu?

sekarang hyunjin pasrah, hanya bisa menyembunyikan kepala dalam lipatan lengan kecilnya sembari menanti detik demi detik jarum jam berputar dan mengantarkannya pada kenyataan buruk itu sekali lagi.

"hwang hyunjin!! kenapa pintunya dikunci?!"

gedoran pintu yang memekakkan telinga justru terdangar bak melodi menyeramkan bagi hyunjin. kepala bersurai sehalus beludru itu menggeleng kuat menatap pintu putih yang saat ini bergetar keras karena dipukul terus-terusan.

"buka pintunya hyunjin!! sebentar lagi mereka sampai!!!!"

"j-jangan... tolong.. jangan..." ujar hyunjin berulang bak mantra sarat nada putus asa. maniknya yang sudah basah sempurna hanya mampu menyorot penuh harap bahwa akan ada pangeran berkuda yang menyelamatkannya di detik-detik krusial semacam ini meski hyunjin tau bahwa itu mungkin hanya akan menjadi angan yang terlalu tingggi untuk menjadi kenyataan.

nyatanya dia memang ditakdirkan hidup hanya untuk mencecap penderitaan kan?

ini adalah kali kedua jeongin mendatangi rumah sederhana bercat putih milik hyunjin. tak ada yang berubah, hanya saja kali ini sebuah mobil hitam metalik terparkir rapi di halaman rumah keluarga hwang, dan jeongin jelas penasaran sekiranya mobil milik siapakah itu. apakah hyunjin sedang kedatangan tamu?

yang lebih muda lantas mengekori san bak anak ayam ketika pria choi tersebut selesai mematikan mesin mobil dan membiarkan pajero putihnya terparkir dipinggir jalan, tepat dihadapan rumah hyunjin.

"bang, lo mau apa?"jeongin menahan pergelangan tangan san ketika pria itu hendak memutar kenop pintu.

"masuk lah, apa lagi?"

"lo gila? kita bukan maling yang sembarangan masuk rumah orang tanpa permisi."

san terlihat memutar bola matanya malas, "bocah, dengerin gue. ituㅡ" san menunjuk mobil sedan hitam yang terparkir di halaman, "ㅡmobil orang-orang yang mau nyewa hyunjin, mamanya yang ngundang mereka kesini. dan apa lo pikir kalau kita salam dan bersikap kayak anak baik terus minta izin ngebawa hyunjin pergi dari sini mamanya bakal ngizinin?"

jeongin menyeringit tak senang ketika san memanggilnya dengan panggilan bocah. namun yang kini menjadi titik fokus justru penjelasan san di kalimat berikutnya. jadi inikah situasi urgent yang juyeon maksud?

setelahnya jeongin tidak lagi mengeluarkan protes dan membiarkan san bertindak semaunya. si pria choi masuk tanpa aba-aba ke dalam ruangan yang terlihat sepi.

"dia pasti di atas." gumam san.

keduanya hendak naik sebelum suara seorang wanita mengintrupsi dari ujung ruangan.

"kalian siapa?"

"oh, selamat siang tante, saya temannya hyunjin. saya mau bawa dia pergi dari sini karena katanya ada seorang wanita yang berstatus sebagai ibu tapi malah jual anaknya sendiri ke om-om hidung belang diluaran sana."

"nggak punya sopan santun!" nyonya hwang terlihat mulai naik pitam. langkahnya cepat mendatangi san dan jeongin yang masih setia berdiri mematung di ujung tangga.

telapak wanita itu melayang hendak memberikan sebuah tamparan ke arah pipi milik san, begitu cepat hingga jeongin hanya sempat membulatkan kedua mata. namun untungnya san, yang entah mendapatkan sebuah keberuntungan atau memang memiliki refleks yang bagus langsung bisa menahan pergelangan tangan nyonya hwang tanpa kesulitan.

"saya mungkin nggak punya sopan santun," san mendesis, ''ㅡtapi seenggaknya saya jauh lebih baik daripada seorang ibu bejat yang bahkan nggak pantas dipanggil ibu kayak anda."

setelahnya san menghempaskan tangan nyonya hwang dan langsung menuju ke atas, mengabaikan sang wanita yang terlihat shock ditempatnya.

jeongin yang sempat mematung karena adegan menegangkan barusan lantas langsung menyusul san untuk naik ke lantai dua.

bunyi tangisan ran raung putus asa sayup-sayup tertangkap oleh rungu jeongin ketika langkah kakinya bergerak semakin dekat menuju ke sebuah kamar berpintu putih.

"kita bagi tugas," san berhenti tepat di depan kamar hyunjin, pria itu mengambil ancang-ancang dengan menggulung lengan jaketnya. "ㅡgue urus para bajingan brengsek itu dan lo urus hyunjin."

"lo yakin bang?" jeongin menatap san sedikit ragu.

"kita nggak punya banyak waktu, jadi mending lo ikutin apa kata-kata gue."

setelahnya san langsung mendobrak pintu di depannya hingga menimbulkan bunyi bising yang kentara. rasanya jantung jeongin berdetak dua kali lipat lebih cepat, entah karena melihat san yang kalap menghajar seorang pria atau justru karena melihat hyunjin yang kacau luar biasa di bawah kukungan dua pria lain di atas ranjang.

jeongin kaku, tubuhnya seakan tidak bisa digerakkan bak tengah membeku menjadi bongkahan es disana. yang bisa dia lakukan hanya melihat sang kakak kelas yang tengah bergulat dengan seorang pria asing di lantai. semua yang tertangkap dalam pandangannya seolah berubah menjadi slowmotion.

"woy! jeongin!!"

untungnya teriakan san kembali menarik kesadaran jeongin kembali ke bumi. si pemuda yang langsung menggelengkan kepalanya keras berharap bahwa respon lambat dari otaknya bisa segera menghilang. sekarang pandangannya beralih pada satu titik fokus.

"fuck," jeongin mendesis, ekspresinya langsung menggelap sebelum berjalan cepat ke arah ranjang tempat dimana tersisa satu pria karena san berhasil menumbangkan pria kedua. jeongin menarik tengkuk pria tua itu untuk digeret menjauh dari atas tubuh hyunjin.

bak kesetanan jeongin memberikan tinjuan berulang ke arah pipi pria di bawahnya, bahkan tidak memberikan jeda sama sekali dan mengabaikan koloid serupa warna mawar mulai menghiasi punggung tangan.

"rot in hell," jeongin berbisik seraya mengulas senyum miring yang menyeramkan. tanpa empati sama sekali jeongin meninggalkan pria yang sudah tak sadarkan diri itu terkapar di lantai dingin bersama dengan dua pria yang bernasib tidak jauh berbeda akibat ulah san.

jeongin kembali tersadar dan buru-buru berbalik menghampiri ranjang tempat dimana hyunjin terlihat meringkuk bak bayi. satu kata yang bisa jeongin pikirkan saat melihat penampilan hyunjin saat ini hanyalah 'kacau'.

hyunjin tak ubahnya boneka rusak yang memiliki nyawa. surai sehalus beludrunya terlihat berantakan dan lembab, sebagian menutupi wajah dan sebagian lagi mencuat tak tentu arah.

satu lubang hidungnya mengeluarkan darah sementara pipi kirinya tercetak sebuah ruam kemerahan yang terlihat menyakitkan. jeongin jadi bertanya-tanya sebenarnya sekuat apa pria brengsek itu menampar hyunjin?

yang paling menarik perhatian jeongin adalah lebam keunguan yang melingkar di leher jenjang milik hyunjin, terlihat seperti colar namun berbentuk jemari yang melingkar disana. hyunjin benar-benar diperlakukan seperti budak.

"hey, hyunjin.." jeongin mencoba mendekat namun tangisan dan seguk dari pria yang lebih tua terdengar semakin menjadi. tubuh kurus di depannya kian meringkuk ke sudut ranjang seakan meminta dunia menelannya saat ini juga.

"hyunjin, ini gue, jeongin."

nampaknya kalimat itu berhasil menarik perhatian hyunjin. tubuh yang awalnya terlihat dipenuhi tremor perlahan-lahan mulai mereda. lengan kurus yang sempat dijadikan tameng guna menutupi kepala akhirnya terbuka menampilkan wajah rupawan namun terhiasi sembab sisa air mata.

"j-jeongin.."

"iya, ini gue.." jeongin bergerak mendekati hyunjin berharap yang lebih tua tidak memberikan penolakan. dan benar saja, alih alih penolakan jeongin justru mendapatkan sebuah pelukan erat dari hyunjin. dan jeongin sendiri tentu saja sedikit terkejut akan perlakuan tiba-tiba tersebut, tetapi cepat menguasai situasi kemudian memilih untuk membalas pelukan hyunjin mencoba menenangkan.

"j-jeongin.." hyunjin berbisik, tangisnya kembali tumpah setelah menyadari bahwa benar-benar ada seseorang yang datang untuk menyelamatkannya.

"kita pergi sekarang," san mengintrupsi. pria itu melepaskan jaket yang melekat ditubuhnya untuk diserahkan pada jeongin. seolah mengerti, jeongin langsung memasangkan pakaian hangat tersebut untuk membungkus tubuh hyunjin yang nyaris telanjang.

"lo ngapain bang?" tanya jeongin binggung saat san berjalan mendekati lemari di pojok ruangan. pria bersurai raven itu berjongkok untuk mengambil sesuatu di belakang sana.

bunyi gonggongan setelahnya seolah memberikan jawaban bagi jeongin bahwa san baru saja mengambil seekor anjing.

"kkami.." bisikan pelan itu menarik atensi jeongin kearah pria yang saat ini berada dalam gendongan bridalnya. meski tak dapat melihat wajah sang lawan bicara karena hyunjin masih menyembunyikan wajah ke ceruk lehernya, jeongin tetap mengangguk sebagai jawaban.

"iya, kita bawa anjing lo juga."

san memimpin seraya menggendong kkami yang terlihat tenang dalam dekapan, dan jeongin menyusul di belakang sembari membawa hyunjin yang terasa sangat ringan dalam gendongannya.

ketika sampai dibawah keduanya disambut dengan kehadiran nyonya hwang yang nampaknya belum beranjak dari tempatnya sejak mereka berdua masuk kesana. wanita cantik itu bangkit berdiri seraya menatap nyalang kearah hyunjin yang saat ini berada dalam gendongan seorang remaja asing.

"kalian apain mereka?! dan hyunjin! kalian mau bawa hyunjin kemana?!"

"daripada mikirin hal itu, mungkin ada baiknya anda siap-siap nyiapin pembelaan buat diri anda di pengadilan nanti. saya permisi." ujar san dengan nada dingin.

jeongin hanya memberikan tatapan tak terbaca kepada nyonya hwang yang saat ini memasang ekspresi terkejut setelah san menyelesaikan ucapannya.

"gue punya apart, ada baiknya kita bawa dia kesana. tapi sebelum itu kita harus ke rumah sakit dulu." ujar jeongin menyarankan setelah ketiganya sampai di depan mobil pajero milih san. sang empunya mobil hanya memberikan anggukan seraya meletakkan kkami, anjing milik hyunjin di kursi belakang.

jarum jam sudah menunjuk pukul sembilan malam. kini san dan jeongin berakhir duduk bersampingan di sebuah sofa sembari menikmati siaran tv setelah menghabiskan makan malam instan mereka.

hening mencekam yang untungnya terisi oleh bunyi siaran komedi membosankan jelas sama sekali tidak mencairkan suasana.

jeongin di satu sisi memiliki banyak sekali pertanyaan yang saat ini bergemul dalam kepala bak gulungan besar benang kusut.

"kayaknya lo lumayan deket ya sama hyunjin," jeongin memulai. satu detik setelahnya jeongin sedikit menyesal karena topik dialog yang dia pilih terdengar terlalu aneh untuk ukuran dua orang yang baru saling mengenal.

"bisa dibilang gitu," san menjawab, tampak tidak terganggu sama sekali akan pertanyaan tiba-tiba yang keluar dari mulut jeongin.

"boleh gue tanya-tanya hal lain tentang lo dan hyunjin, bang?"

"kenapa? lo naksir hyunjin?" tanya san dengan nada riang. alisnya dinaikkan bermaksud untuk menggoda pria yang lebih muda.

"gak lah," dengus jeongin cepat, "just curious."

"yeah, whatever. so, mau nanya apa?"

"kalian... pacaran?"

"kenapa lo bisa nanya gitu?"

jeongin mengedikkan bahu, "ya karena kalian keliatan deket." ujarnya tak yakin.

"kalau kami pacaran, gue udah dari lama bakalan nyuruh dia berhenti dari pekerjaan kotor itu." san menghela napas pelan. pikirannya mendadak kembali pada masa-masa ketika dirinya pertama kali bertemu dengan hyunjin.

"oke, gue simpulin kalian gak pacaran, tapi lo keliatan perhatian sama hyunjin?"

"lo pasti bakalan ngelakuin hal yang sama ketika lo tau gimana cerita hidup dia lebih dalam."

"is it that bad?"

"untuk masalah itu, gue pikir gue gak punya hak buat nyeritain ke orang lain. kalau hyunjin udah bisa terbuka sama lo, dia pasti bakalan cerita."

"tapi lo tetep pernah nyewa dia kan? buat apa gue tanya?"

san nampak ragu dalam menjawab, jujur dia sendiripun bingung harus menjawab apa. untuk bersenang-senang? namun bukankah dirinya sendiri bilang bahwa dia menaruh perhatian pada hyunjin?

"ya. gue juga gak ngerti sama diri gue sendiri. dulu gue sering jajan di luar, main sama banyak cewek yang beda-beda setiap minggu. tapi sejak gue kenal hyunjin, entah kenapa gue ngerasa gue gak butuh jalang-jalang itu lagi. mungkin karena tiap gue sama dia gue ngerasain rasa tenang dan nyaman, makanya gue lebih milih ngabisin malam bareng hyunjin dibandingkan orang lain. but kalau dibilang gue naruh rasa yang menjurus ke romansa ke anak itu, not at all, in case lo cemburu." terang san dengan nada menggoda di akhir.

jeongin memutar bola matanya malas. ada jeda sejenak sebelum jeongin tiba-tiba teringat akan perkataan jongho kala itu, "waktu itu jongho cerita kalau kalian pernah nyewa hyunjin bareng-bareng, dan gue pikir itu gak sesuai sama perkataan lo yang bilang kalau lo perhatian sama hyunjin."

yang lebih tua meliriki jeongin bingung, "kalian?"

"iya, bang chris, bang minho.. termasuk lo,"

ada tawa kecil yang keluar dari celah bibir san. dirinya memutuskan untuk menyesap sisa cola dingin yang sempat terabaikan di atas meja, "oh, si brengsek bahng. pertama, terserah lo mau percaya sama siapa, tapi kabar burung picisan semacam itu udah banyak beredar dan gue sama sekali gak terlibat. they do, but i don't. balik lagi ke point 1, itu hak lo mau percaya sama omongan gue atau enggak."

"gimana sama bang juyeon?"

"tunggu, sebenernya lo siapanya juyeon?"

"adik sepupu,"

san mengangguk paham, "i see. gue cuma bisa jawab kalau juyeon itu udah nganggep hyunjin kayak adiknya sendiri. gue gak tau gimana latar belakang hubungan mereka sampai bisa sedeket itu tapi yang gue tau sebagai temen juyeon, hyunjin berharga banget buat dia."

"bullshit," jeongin berdecak, "tapi temen-temen gue bilang bang juyeon sering nyewa hyunjin. 'kayak adek' apanya kalau ujung-ujungnya tetep dinikmatin juga?"

'anak ini...' san membatin malas dalam hati, "kan udah gue bilang, rumor basi semacam itu udah terlalu banyak beredar dikangan siswa. kalau lo mau tau kejadian yang sebenernya mending lo langsung tanya sama orang yang bersangkutan. tapi gue harap lo gak maksa hyunjin buat muasin keingintahuan lo selagi dia belum siap."

san menjeda sejenak, "ㅡcukup segitu aja. kayaknya gue harus pulang," gumamnya sembari melirik arloji yang tersemat di pergelangan tangan kirinya.

"ㅡgue mau pamitan sama hyunjin."

san beranjak dengan jeongin yang mengekori hingga keduanya tiba di sebuah kamar yang ditempati oleh hyunjin. ketika pintu dibuka terlihat sosok manis tengah terduduk seraya bersandar pada headboard ranjang.

awalnya hyunjin begitu fokus menatapi kekosongan melalui jendela yang tertutup sebelum atensinya teralih ke arah pintu masuk.

san mengulas senyum dan memilih untuk duduk ditepian ranjang, "udah enakan?"

dua anggukan pelan hyunjin berikan sebagai jawaban. kepalanya menunduk tak berani menatap sang lawan bicara di depannya.

"gue minta maaf karena kami gak bisa dateng lebih cepat,"

"it's okay san, i'm fine." balas hyunjin pelan. dirinya memaksakan sebuah senyum hadir menghiasi kurva pucatnya meski itu terasa sangat berat untuk dilakukan.

hela napas keluar dari bibir pria yang lebih tua. rasa bersalah yang masih mengganjal di dalam hati benar-benar membuat dirinya tak tenang.

"kapan-kapan kita bicara lagi, ya? sekarang gue harus pulang. lo bakalan aman sama jeongin. good night hyunjin," satu ulasan senyum lembut san berikan sebelum mengusak pelan surai legam milik hyunjin.

san berbalik kemudian memberikan tepukan di bahu jeongin sebagai kode agar dirinya bisa menjaga hyunjin untuk beberapa waktu ke depan.

"gue pulang dulu."

"hati-hati bang, dan makasih atas bantuannya tadi siang."

"no need," balas san seraya tersenyum sebelum beranjak meninggalkan jeongin dan hyunjin di dalam sana.

jeongin yang merasa tidak nyaman dengan keheningan diantara mereka berniat untuk kembali ke ruang tamu. setidaknya menonton siaran membosankan akan jauh lebih baik daripada tenggelam dalam kecanggungan bersama hyunjin.

namun seruan pelan dari arah ranjang sukses menghentikan gerakannya yang hendak menutar kenop pintu.

"je.. bisa temani aku? aku t-takut sendirian."

dan setelahnya disinilah jeongin, berakhir tidur di ranjang miliknya seraya berbagi selimut dengan hyunjin, si pria manis yang saat ini memeluknya erat seolah takut jeongin bisa pergi kapanpun juga.

tubuh mereka yang tidak berjarak membuat jeongin mampu mencium aroma shampo miliknya di surai kelam si pemuda hwang.

"hyunjin,"

"hm?"

"boleh gue tanya sesuatu?"

hening menyambut karena hyunjin tak lekas menjawab pertanyaan dari pria yang lebih muda, "ㅡya?"

"apa... hubungan lo yang sebenernya sama bang juyeon?"

"jeㅡ"

"jongho dan han bilang kalau bang juyeon sering nyewa lo. tapi bang san bilang bang juyeon cuma nganggep lo kayak adik. bilang ke gue, kasih tau yang sejujurnya."

"kenapa... kenapa kamu mau tau?"

"dan kenapa lo gak langsung jawab? lo pacaran sama bang juyeon?" tanya jeongin dengan nada yang sedikit meninggi. emosinya menguasi pikiran, membuat jeongin lupa bahwa beberapa waktu lalu san menasehatinya agar dia tak memaksa hyunjin untuk terbuka jika pria manis itu belum siap.

"enggak je..." balas hyunjin akhirnya. matanya langsung terpejam ketika merasakan tubuhnya kembali bergetar pelan.

"jelasin."

"kak juyeon..." si pemuda hwang menarik napas sejenak, kemudian menghembuskannya pelan melalui mulut untuk memberikan ketenangan pada hatinya.

"ㅡdia udah aku anggap sebagai kakakku sendiri. apa yang orang-orang lihat diluar jelas bukan kayak apa yang mereka pikirkan. kak juyeon nggak pernah nyewa aku untuk dipakai. terkait orang-orang yang bilang kalau kak juyeon nyewa aku, mungkin saat itu mereka nggak sengaja lihat aku keluar sama kak juyeon dan lantas menyimpulkan begitu."

"ㅡhe's my savior je, dia selalu jadi tempat pelarianku ketika aku capek. dia yang bantu aku ketika aku butuh. dia sering belikan aku pakaian-pakaian yang nggak pernah bisa aku beli karena takut bakalan diketahui sama mama. disela rasa takutku, kak juyeon selalu bilang kalau semua bakalan baik-baik aja."

jadi selama ini anggapan jeongin akan sikap buruk kakak sepupunya adalah salah?

sekarang emosi jeongin mulai mereda. pikiran yang sempat berkabut akhirnya kembali memperoleh kejelasan. lalu mendadak rasa menyesal datang melingkupi hati karena perlakuannya yang baru saja menekan hyunjin untuk berbicara.

"gue.. minta maaf karena barusan maksa lo buat cerita. sekarang, boleh gue tau alasan kenapa mama lo bersikap kayak gitu sama lo? i mean, kalau lo keberatan untuk cerita gak masalah."

hyunjin mengulas senyum kecil, "it's okay.. selama ini aku selalu berusaha cari tempat yang bisa aku percaya buat dengerin ceritaku, karena beban yang terus-terusan disimpan di dalam hati bakalan bikin sakit kan?" tanyanya seraya tertawa pelan, "ㅡsampai akhirnya aku punya kak juyeon dan kak san yang bisa aku percaya untuk jadi tempat singgahku dan berbagi."

"ㅡdulu kami adalah keluarga bahagia, sama kayak keluarga lain kebanyakan. papa dan mama sayang sama aku dan kak yeji."

"yeji?"

"dia kakak perempuanku, dia wanita tercantik kedua setelah mama yang pernah aku temui di dunia." hyunjin tak bisa menahan senyumnya ketika bayang-bayang wajah sang kakak kembali muncul dalam ingatan, "ㅡtapi sekarang dia sama papa udah tenang dipangkuan tuhan."

jeongin membolakan mata, jadi hyunjin hanya tinggal berdua dengan ibunya?

"ㅡdan semua itu terjadi karena kebodohanku. andai saat itu aku yang mati, pasti mama gak bakalan kayak gini, pasti mama masih bisa senyum bahagia nikmatin hidupnya bareng papa dan kak yeji."

"hey, kenapa lo ngomong gitu?" jeongin mengintrupsi dengan nada sarat akan rasa tak senang. mendengar hyunjin yang membicarakan seolah nyawanya tidak berharga sama sekali benar-benar mengganggunya.

"itu bener je. andai saat itu aku gak maksa-maksa papa untuk pergi ke taman bermain setelah pulang sekolah sama kak yeji, andai saat itu aku dengerin ucapan kak yeji yang ngeluh capek dan mau langsung pulang, andai saat kecelakaan waktu itu a-aku yang mati. tapi... kenapa? kenapa justru aku sendiri yang masih hidup? apa tuhan mau aku kasih hukuman buatku ya dengan ngebiarin aku hidup lebih lama di dunia yang kejam ini?"

"hyunjin..." jeongin bisa merasakan kain dibagian dadanya perlahan-lahan menjadi basah.

tubuh bergetar yang ada di dalam dekapannya cukup menjadi tanda bahwa sang lawan bicara tengah menangis tanpa suara. yang bisa jeongin lakukan hanya memberikan usapan pelan di bahu milik hyunjin.

"sejak saat itu mama berubah. dia lebih sering marah-marah dan pulang larut seolah sengaja ngehindarin anak yang udah bunuh papa dan kakaknya sendiri." hyunjin tersenyum miris, "ㅡmama yang cuma seorang ibu rumah tangga kelimpungan harus cari uang kemana setelah kepergian papa. kami berdua ngalamin masa-masa sulit setelah itu, belum lagi ditambah dengan temperamen mama yang semakin buruk dari hari ke hari."

"ㅡsampai suatu saat dia mulai panggil aku dengan nama yeji. kupikir itu wajar, mungkin efek mama yang rindu sama satu-satunya anak wanita yang paling dia sayangi, jadi aku nyoba maklumin. tapi ternyata makin hari mama makin kelewatan. mama selalu marah tiap aku berpakaian sebagaimana aku yang biasanya. kemudian mama mulai paksa aku pakai baju-baju milik kak yeji. awalnya aku nggak terima, tapi disudut hati kecilku aku nggak tega lihat mama yang tiap malam selalu panggil nama papa dan kak yeji berharap mereka bisa pulang lagi ke rumah. akhirnya perlahan-lahan aku mulai ikutin apa kemauan mama."

"ㅡdua tahun belakan mama mulai panggil aku dengan nama hyunjin lagi. entah dia udah mulai sadar atau gimana, tapi dia masih gak biarin aku berpakaian normal selayaknya pria. aku masih disuruh pakai pakaian feminim dan aku dilarang untuk potong rambutku sendiri. pun ketika dia jual aku ke orang-orang ber-uang untuk menuhin kebutuhan kami berdua, aku nggak bisa ngelakuin apapun. pada akhirnya aku sadar itu satu-satunya cara buat aku balas semua kesalahanku yang udah bikin papa dan kak yeji pergi dari dunia."

"tapi itu salah, hyunjin. mau gimanapun apa yang mama lo lakukin ke lo sama sekali gak bisa dibenarkan."

"kamu bicara kayak gitu tapi ujung-ujungnya pun kamu berakhir beli badanku?" hyunjin tertawa miris. air matanya masih enggan berhenti ketika pemikiran akan betapa kotor dirinya datang kedalam pikirannya tanpa bisa dicegah.

"itu.. maaf hyun... ㅡjujur, awalnya gue cuma mau deket sama lo, gue penasaran sama lo, tapi gue bingung mau mulai dari mana. dan ketika han bilang kalau lo bisa disewa, gue berujung ngelakuin itu dengan harapan gue bisa deket sama lo."

"ㅡdemi apapun saat itu gue cuma mau ajak lo cerita dan kenalan, tapi gak tau kenapa, entah setan apa yang ngerasukin gue," jeongin bergerak mengangkat pipi hyunjin hingga sepasang manik mereka saling beradu tatap. pelan sekali yang lebih muda mengusap permukaan lembab pipi hyunjin guna menghapus sisa lelehan air mata dari sana, "ㅡgue jatuh kedalam pesona lo."

"ㅡdan makin kesini setelah gue tau lo lebih jauh, gue sadar kalau gue bukan cuma sekedar jatuh buat fisik lo semata hwang hyunjin, tapi juga sifat lo, hati lo. anggaplah gue orang yang pintar mainin kata-kata atau apapun, tapi kali ini gue bicara serius. gue mau tau tentang lo lebih banyak."

"t-tapi aku kotor... kamu gak pantas naruh rasa ke orang semacam aku."

"di mata gue lo gak kotor hyun, lo tetap hyunjin yang cantik, hyunjin yang polos, hyunjn yang terpaksa harus ngikutin permainan kejam dari tadir kehidupan. ini bukan salah lo,"

hati hyunjin merasa menghangat setelah mendengar ucapan jeongin. rasanya seperti mimpi ketika ada seseorang yang mau menerima segala keburukannya. setelah juyeon dan san, ada jeongin yang mau berbaik hati membuka diri untuk hyunjin, dan hyunjin merasa begitu bahagia saat memikirkan bahwa dirinya ternyata tidak sendirian di dunia yang kejam ini.

"hyunjin.. lo mau gak jadi pacar gue? berhenti dari pekerjaan itu dan mulai lembaran baru sama gue?"

pertanyaan tiba-tiba dari jeongin lantas membuat hyunjin membola. maniknya mencari setitik kebohongan atau sekedar rencana main-main dari sepasang manik caramel jeongin, namun hyunjin tidak bisa menemukannya barang sedikitpun.

"t-tapi jeㅡ"

"pelan-pelan aja, hm?"

hyunjin nampak menimbang beberapa saat guna memikirkan apa yang selanjutnya akan dia lakukan untuk kedepannya jika dirinya menerima tawaran jeongin.

masa depan tak ada yang tahu kan? jadi mungkin tidak ada salahnya jika hyunjin mencoba.

"i-iya."

"iya apa?"

"aku mau..."

"mau apa?"

"jeje!"

jeongin terkekeh. ternyata menggoda hyunjin benar-benar semenyenangkan ini. sejak dulu jeongin tidak pernah menjalani hubungan serius dengan siapapun, dan menemukan hyunjin rasanya seperti menemukan sebuah dunia baru yang sangat menyenangkan untuk jeongin jelajahi.

"makasih hyun, makasih karena lo udah bertahan sampai saat ini." gumam jeongin sebelum menarik hyunjin kedalam sebuah pelukan hangat.

tak lupa jeongin membubuhkan satu kecupan dalam di pucuk kepala si pemuda hwang sebagai penutup malam nan tenang sebelum keduanya tenggelam bersama menuju ke alam mimpi.

Haloww, maaf buat keterlambatan part dua-nya, 1 minggu belakangan aku gabisa login aplikasi wp karena sempat logout dan pas mau login notifnya malah bilang salah pw terus padahal udah bener. Setelah dicoba berkali² baru bisa, emang sungguh app oren ini hobi sekali menguji kesabaran..

[20-01-2022]

Continue Reading

You'll Also Like

46.4K 3.3K 49
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
453K 4.8K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
77.2K 7.6K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
310K 23.7K 108
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...