Breakwater

By Aresiaccino

3.3K 475 190

[BL/ R-15] [TW: homophobia.] Antara Raya dan Wirga, tidak ada benang merah yang menghubungkan dua pemuda itu... More

2. Gemuruh

1. Pasang Pertama di Bulan Ini

1.6K 251 95
By Aresiaccino

.

.

.

[Tahu fungsi dari pemecah gelombang? Ia memecah belah amukan lautan menjadi jutaan buih yang berlarian di balik permukaan air, mendekap mesra riak ombak yang berteriak lantang: aku pulang.]

.

.

.

Raya tahu betul kalau mencium sesama laki-laki di lingkungan heteronormatif akan membuat banyak orang memiringkan kepala. Apalagi, laki-laki yang ia cium adalah gurunya sendiri yang sudah beristri. Rasanya, untaian kabel listrik di jalanan ibukota jauh lebih simpel daripada urusan seksualitas Raya.

Pak Dimas mendorong tubuhnya dengan keras. Pinggang Raya bertemu dengan ujung meja yang lancip. Rasa sakit seketika menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Kamu gila, Raya?!" Pak Dimas berteriak, warna merah merambat hingga daun telinganya. "SAYA GURU KAMU!"

Raya meringis, namun matanya lebih betah menatap sepasang sepatu hitam sang guru dibandingkan sepasang bola mata yang menuntut penjelasan lebih jauh darinya.

Ini bukan masalah besar. Yang barusan hanyalah suatu reaksi dari sebuah situasi di antara mereka. Urgensi yang sialnya tak mampu Raya kontrol.

Sungguh, Raya memejamkan matanya rapat-rapat, ini bukan masalah besar.

Deru napas Pak Dimas adalah satu-satunya suara yang terdengar di dalam ruang musik. Ironis, batin Raya diam-diam, enam huruf itu menyela seluruh kata-kata yang nyaris menenggelamkan kewarasan sang pemuda. Ruangan yang seharusnya memantulkan bebunyian kini tak kalah senyapnya dengan pemakaman.

"Lihat saya, Raya."

Sang pemuda geming.

"Saya bilang, lihat saya."

"Pak Dim—"

"Raya."

Mendengar namanya bergulir dari bibir sang guru langsung meluruhkan seluruh upaya Raya untuk menghindar. Raya langsung memaki dalam hati. Dua tahun mengenal dan memendam rasa pada guru itu membuat si pemuda tidak bisa mengelak di hadapannya. Karenanya, setelah beberapa detik yang bergulir layaknya satu milenia—hanya lewat satu panggilan nama saja— pemuda itu menyerah.

Raya menengadah.

Tentu, ia langsung menyesali keputusannya. Itu adalah suatu kesalahan besar.

Raya dipaksa menelan situasi yang terasa amat sureal di hadapannya. Rambut Pak Dimas yang biasanya ditata rapi dan klimis kini acak-acakan—sebagian berjatuhan di dahinya, efek tarikan paksa yang dilakukan Raya saat mereka berciuman. Sepasang iris cokelat yang biasanya setenang permukaan danau kini porak poranda dihempas taifun.

Di dasar danau itu, Raya temukan angkara murka.

"Penjelasan apa yang bakal kamu berikan ke saya soal tindakan kamu barusan?"

Ini bukan masalah besar.

Mantra itu jadi kata-kata asing di telinga Raya.

Keduanya geming, namun pandangan Raya tak pernah beralih dari wajah sang guru. Sebesar apapun usahanya untuk kabur, Raya tidak mampu membuang muka. Ia terjebak—terperosok terlalu dalam layaknya pasak yang ditanam di tanah berlumpur.

Jauh di dalam hatinya, Raya akui kalau  Adimas Wirasena memang mempesona; paling menawan di seantero sekolah. Menginjak usia tiga puluh tahun, guru musik itu masih terlihat seperti anak kuliahan. Barangkali karena Pak Dimas murah senyum. Barangkali karena ia rajin mencukur rambut wajahnya dan selalu berpakaian rapi. Barangkali karena ia tidak pernah membedakan perlakuannya terhadap siapapun, bahkan pada murid seperti Raya.

Barangkali, karena itulah ia—

"... suka sama Bapak,"

Kedua bola mata sang guru tidak bisa lebih bulat dari saat ini.

Raya tidak punya waktu untuk menarik kata-katanya karena segala hal yang menyusul setelahnya terjadi secepat kedipan mata.

Bunyi pintu yang dibanting begitu keras seketika mengunci napas sang pemuda. Getarannya merambat sampai kaca-kaca jendela.

Pak Dimas pergi, notes A5 berisi aransemen pribadinya yang selalu ia bawa tertinggal di atas meja. Sefrustasi itu hingga ia melupakan harta paling berharganya.

Raya berusaha mengontrol ekspresinya, namun ia tidak bisa mencegah rasa panas di sudut-sudut matanya.

Ini bukan masalah.

Ini bukan masalah.

Sama sekali bukan masalah.

Raya tahu itu. Dan, ia juga tahu dirinya adalah pembohong paling buruk di muka bumi saat air matanya berjatuhan ke lantai.

.

.

.

Breakwater (c) Aresiaccino

.

.

.

[Di dalam benak masing-masing manusia, ada badai yang menanti untuk ditaklukkan. Pertanyaannya: apakah engkau seteguh pemecah gelombang—atau justru siap karam layaknya perahu nelayan?]

.

.

.

"Ya elu tolol, Ga. Tahu udah mantanan masih aja lu baik-baikin. Kan ngarepin lu lagi, tuh—"

"Ya, jadi orang baik, kan, udah kewajiban semua umat manusia, Bi,"

"Pinter banget ngomongnya, udah cocok jadi DPR lu. Jago pencitraan. Ngomong-ngomong lo nggak telat ikut rapat OSIS, apa?"

"Masih lima menit lagi. Ini gue lagi jalan ke sana,"

"Kirain mau telat biar mantan lu ilfeel,"

"Lo kapan masuk lagi, Bi? Lama banget usus buntu doang,"

"Brengsek! Setan sama iblis kawin jadinya elu kali, ya, Ga?! Bukannya doain gue cepet sembuh..."

Wirga terkekeh mendengar omelan Abi.

Masih berbincang-bincang dengan temannya, Wirga berjalan cepat di sepanjang koridor antar laboratorium dan ruang ekstrakulikuler. Jabatan Wirga di OSIS memang bukan komponen inti—menjadi ketua ekskul jurnalistik entah sejak kapan membuatnya harus jadi anggota (tidak resmi) dari lembaga yang kadang membuat dahinya berkerut itu—, tapi bukan berarti ia punya hak lebih untuk tidak hadir. Lagipula, semenarik apapun ide untuk membuat mantannya (alias ketua OSIS mereka) ilfeel, Wirga masih lebih mengutamakan reputasinya sebagai murid teladan di sekolah.

Dengan tenang, pemuda berambut gelombang itu mengecek jam tangan hitam yang memeluk pergelangan tangan kanannya. Empat menit lagi rapat dimulai. Ia lekas mempercepat lajunya. Jangan sampai ini jadi kali pertama ia terlambat menghadiri sesuatu.

Rencana kecil Wirga itu sedang dieksekusi dengan sempurna sebelum bunyi gebrakan dari ruang musik memecah konsentrasinya. 

Langkah pemuda itu terhenti tepat di persimpangan koridor.

Di seberang panggilan, Abi tidak kalah herannya."Kenapa, Ga?"

"Nggak tahu, tuh,"

"Kenceng banget itu suaranya, cok. Buruan lo cek, deh, Ga. Jangan-jangan ada pembunuhan,"

"Kebanyakan nonton CSI lo,"

"Gue nontonnya Brooklyn Nine-Nine, goblok. Huft, gue matiin dulu. Males ngomong sama setan,"

Panggilan diakhiri secara sepihak oleh Abi. Mendengus, Wirga memasukkan smartphone-nya ke saku celana. Pemuda itu menghela napas sembari menatap lurus koridor yang baru ia lewati.

Wirga menggigiti ujung bibirnya—sebuah kebiasaan setiap ia sedang memikirkan sesuatu. Antara mengabaikan suara itu dan menjaga reputasinya atau memenuhi rasa penasarannya dan menghancurkan citra yang sudah ia bangun sejak awal SMA—ini akan jadi keputusan berat untuk Wirga apabila dia bukan ketua ekskul jurnalistik dengan kadar ke-kepo-an melewati ambang batas normal.

Tetapi, karena Wirga adalah ketua ekskul jurnalistik dengan kadar ke-kepo-an melewati ambang batas normal, tentu satu alam semesta tahu opsi mana yang akan dipilih si remaja. 

Pelan-pelan, Wirga berjalan menuju sumber suara. Ia berusaha keras untuk tidak menciptakan bunyi bahkan sekecil apapun. Senyap yang datang usai suara nyaring tadi tidak kalah mencurigakannya.

Wirga merapatkan tubuh pada dinding luar ruang musik. Lantas, dengan amat hati-hati, pemuda itu mengintip pelan-pelan lewat luar jendela.

Jujur saja, pemandangan yang ia saksikan sama sekali di luar dugaannya.

Wirga melihat dengan jelas sosok dua laki-lakisatu menggunakan jaket hitam, sementara yang lain mengenakan kemeja batik berwarna cokelat dengan motif sederhana. Tidak butuh waktu lama bagi pemuda itu untuk mengenali keduanya, mengingat keduanya cukup populer di kalangan siswa dan guru.

Pak Dimas dan Raya jelas bukan kombinasi ideal yang Wirga sangka akan ia temui. Siapa yang tidak mengenal Pramudya Raya? Murid 12 IPS 2 itu sudah resmi mengalungi gelar berandalan yang paling disegani di sekolah. Wirga tidak mengenalnya, dan sama sekali tidak pernah berniat untuk mengenalnya karena tidak pernah ada hal baik yang datang membuntuti Raya. Wirga tahu, ia dan Raya adalah dua polar yang tidak pernah bisa dipertemukan. Datang terlambat, membolos, merokok, berkelahi—segala yang Raya adalah segala yang bukan Wirga.

Yang membuat Wirga nyaris kehilangan keseimbangan adalah—pasangan guru murid itu berada dalam jarak yang begitu dekat; terlalu dekat—

—dan Wirga tahu betul apa yang akan terjadi berikutnya.

Kedua tangan Raya membingkai wajah Pak Dimas. Bibir pemuda itu melumat bibir sang guru dengan tergesa-gesa. Guru musik itu tidak membalas ciuman Raya, pun tidak mengenyahkan si pemuda dari dirinya. Bahkan, hingga Raya akhirnya menarik wajah, seutas saliva menjuntai di antara bibir keduanyaPak Dimas tidak bergerak sedikit pun. 

Ketika Wirga baru mau mengatur detak jantungnya yang tidak beraturan, dia dikagetkan oleh suara Pak Dimas.

Tidak pernah, bahkan sekalipun juga, Wirga mendengar guru itu meneriaki muridnya. Namun, saat ini, ia menyaksikan langsung bagaimana guru itu berteriak pada Raya. Rapat OSIS yang tadi terpatri di benak Wirga menguap entah ke mana; fokusnya sepenuhnya diambil alih oleh situasi super absurd yang ia saksikan.

Seakan belum puas bermain-main dengan kewarasan si ketua ekskul jurnalistik, ucapan Raya yang datang berikutnya bagaikan petir menyambar di siang bolong.

"... suka sama Bapak."

Rahang bawah  Wirga hampir-hampir jatuh ke lantai.

Apa-apaan

"Fuck,"  ia mendesis.

Intim.

Percakapan itu terlalu intim—terlalu personal untuk ia dengarkan. 

Menyadari tidak ada ruang baginya untuk mendengarkan lebih jauh, ketua ekskul jurnalistik itu  buru-buru beranjak dari tempatnya berpijak. Langkahnya tidak pernah lebih cepat dari saat ini. Ia berjalan menuju persimpangan koridor; berusaha keras menenangkan jantungnya yang entah sejak kapan sudah berdetak tak keruan.

Tolol. Ia benar-benar tolol.

Begitu ia sampai di persimpangan, Wirga memejamkan mata kuat-kuat. Tidak seharusnya ia mendengarkan percakapan itu. Sejak detik pertama, tidak seharusnya ia menghampiri ruang musik

Baru saja ia hendak mengacak rambut gelombangnya, Pak Dimas muncul dari koridor yang baru saja Wirga lewati. Wajah guru muda itu semerah bunga soka. Sesaat, Wirga bisa melihat gemuruh pada sepasang mata cokelatnya. Guru musik itu terhenyak saat mendapati sosok pemuda itu di dekatnya, namun ia bergegas pergi bahkan sebelum Wirga sempat menyapanya.

Reaksi yang masuk akal bagi seorang guru yang baru saja dicium muridnya sendiri. Wirga memakluminya.

Pemuda itu melongok, mengintip koridor yang kini sehening rumah tak berpenghuni. Begitu tahu kalau tidak ada orang, kakinya langsung goyah. Si ketua ekskul jurnalistik duduk bersimpuh, berusaha mengumpulkan nyawanya yang entah berlarian ke mana.

Yang barusan terjadi di ruang musik terlalu sinting untuk dicerna otaknya.

Sialan Abi. Sialan rasa penasarannya. Wirga seratus persen jamin ia akan terus dihantui kejadian tadi sampai ia mati. Mengeja nama orang-orang yang tidak pernah ia pedulikan sebelumnya. Memimpikan angkara murka guru musik kesayangan seluruh umat sekolah. Mengingat wajah merah si berandalan sekolah mereka—

"Tolol lo, Ga... asli, tertolol..."

Pemuda itu terlalu asyik merutuki diri sendiri sampai-sampai tidak mendengar langkah kaki mendekatinya. Begitu ia selesai memaki-maki dalam hati, Wirga mendapati seseorang sudah berdiri di depannya.

Celana orang itu digulung jauh di atas mata kaki. Wirga bukan orang bodoh. Ia akan mengenali gaya itu di mana-mana.

Remaja itu tengadah—langsung disapa ekspresi tak terbaca dari seorang pemuda lain.

"Lo... lihat yang barusan... gue sama Pak Dimas..?"

Raya. Matanya sembab.

Wirga rasa dirinya bisa gila saat itu juga. 

.

.

.

Chapter 1: End.

***

A/N: warnai akhir tahunmu dengan anak teladan x berandalan cos ini combo favorit saya wuhuhuh.

Continue Reading

You'll Also Like

4.3M 97K 48
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
521K 31.2K 44
Anak pungut sepertiku berharap apa dengan takdir? Benar katanya, aku tak pantas diperlakukan layaknya manusia, karena takdirku sudah terlanjur tengge...
1.2M 88.3K 56
BOOK 1 > Remake. ๐˜๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ต ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฌโš ๏ธ โš ๏ธ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ด๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช๐˜ฏ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฉ๐˜ฐ๐˜ฎ๐˜ฐ๐˜ฑ๐˜ฉ๐˜ฐ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ค ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ค๐˜ข ๐˜ค๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ต...
494K 23.9K 42
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!!] Cerita sebagian diprivate๐Ÿšซ -Tak mungkin untuk bersama. Namun, terlalu indah jika bersama. *** Ravin Saga Samudera, ber...