Finale

De nadomeda

2.2K 336 43

The journey to get through things that once broke them down, to love and to be loved properly. Mai multe

meet the characters
01 - Bitter
02 - Hi Hello
03 - Struggling
04 - A Ride Home
05 - Addicted
06 - Your One Call Away Man
07 - Rejection
08 - Green-eyed
09 - A Glimpse of Her Past
10 - Rumour
11 - New Step
12 - Serendipity
13 - Bad Bad Dream
14 - Weird Tension
15 - Soto Pagi
16 - Sunrise
17 - Blooming
18 - Take It Easy
19 - Midnight Lullaby
20 - Unfortunate Fortune
21 - She Came Back
22 - The Things You Do
23 - Safe Haven

24 - Story Unlocked

90 9 4
De nadomeda

Trigger warning: this chapter contains stuff related to rape dan physical abuse, which may not comfortable for some people. Read at your own risk.

Bianca

Jam di sudut ponselku sudah menunjukkan pukul enam pagi. Tertanda setelah lewat lebih dari lima jam sehabis Kak Brian mengantarkanku pulang dengan selamat (dan hangat), aku belum juga tidur.

Jelas. Mana bisa aku tidur? Ada terlalu banyak kekacauan di kepalaku berkat perbuatan Kak Brian beberapa jam yang lalu. Sepinya kamarku pada dini hari terasa begitu bising, membuatku bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya aku rasakan atas hal itu.

Aku takut. Itu jelas. Keputusan Kak Brian untuk menggenggam tanganku sebagai upaya untuk menjagaku tetap hangat bukanlah hal yang sudah kuduga sebelumnya. Terlebih bagaimana hal itu membuat ingatan-ingatan tentang Niko berkelebat dahsyat dalam otakku. Ibaratnya komputer lawas yang membuka terlalu banyak aplikasi, perangkat itu berakhir ngadat dengan jendela 'computer has stopped working' muncul tanpa henti.

Boleh?

Pertanyaan itu meraung terus-terusan, nggak memberikanku barang sedetik pun untuk berhenti memikirkannya.

Boleh?

Let me tell you, izin dan persetujuan alias consent tidak ada dalam kamus Niko. He gets what he wants. Dia bakal menggandengku kalau dia mau, dia bakal memelukku kalau begitu kehendaknya, and all sort of things that we ever did, semua itu ada tanpa persetujuan.

Awalnya hal itu terasa seru, seperti wahana roller coaster. Menyeramkan, penuh kejutan, tapi lagi dan lagi aku ingin kembali ke sana. Tiba-tiba dipeluk dari belakang, digandeng dan dibawa lari ke kamarnya, atau mendapat kecupan singkat pada saat-saat tak terduga. Rasanya seru mendapatkan kejutan seperti itu hampir setiap harinya. Niko berhasil membuat tubuhku beralihfungsi menjadi sarang kupu-kupu. Dan tragisnya, terlalu banyak kupu-kupu yang bersarang di sana tanpa kusadari sudah mengaburkan akal sehatku. Seolah mereka itu memblokir sisi logisku yang berusaha memberi peringatan bahwa tingkah laku Niko menunjukkan kalau dia bukanlah seseorang yang seharusnya kuberi akses atas tubuhku.

Dan sebagaimana persetujuan tidak pernah hadir dalam kamusnya, penolakan ialah hukum yang tidak berlaku dalam dunia Niko. Barangkali sudah beribu penolakan kulontarkan padanya. Dari sekecil menolak pulang bersama sampai yang fatal seperti menolak Niko untuk melucuti seragamku pada suatu malam.

Niko berhasil mengubahku menjadi a whole new person. Menjadi sosok yang jago berbohong dan mencari alasan. Menjadi perempuan yang pandai menyembunyikan perasaannya. Menjadi seseorang yang pintar menutupi titik-titik kelamnya, physically and mentally. And that's totally not someone I aspire to be.

Jantungku berpacu cepat. Percampuran antar berbagai macam emosi that I can't even recognize. Tapi satu yang jelas, sebuah konklusi terhadap kejadian semalam tercipta di tengah keributan dalam kepalaku.

Kak Brian bukanlah Niko; dan Niko bukanlah Kak Brian.

Aku menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya bangkit berdiri dan menyabet jaket dari gantungan. Dengan satu langkah besar, aku membuka pintu lebar-lebar dan berjalan menyambut dunia luar.

<>

"Bi?"

Dari atas kasurnya yang dilapisi sprei baby blue, aku menemukan Juan melangkah masuk ke dalam kamarnya sendiri.

"Kenapa e? Mami bilang kamu nyari Koko?" ia lanjut bertanya seraya menanggalkan satu per satu atribut ngampusnya hari ini; tas ransel, hoodie, celana. Meninggalkan dirinya hanya berbalut kaus putih polos yang kebesaran dan celana pendek hijau kotak-kotak.

"Kamu nggak ke kampus tah?"

Tidak ada satu pun pertanyaannya yang kujawab. Just because.

Aku tau Juan menyadari kejanggalan itu. Ia turut mendudukkan dirinya di tepi kasur, tepat di sisiku. Dari balik lensa kacamata, kedua maniknya bergerak-gerak penuh tanda tanya.

"Bianca?"

And here it is. Now or never.

"Waktu kelas 3 SMA, aku pacaran," aku memulai. "Nggak cuma sebulan dua bulan, it lasted for a year."

Sekilas Juan tampak tak paham dengan ceritaku yang begitu tiba-tiba, tapi ia tak memberikan respon apapun selain tetap diam. Membiarkanku untuk melanjutkan. Maka rentetan kalimat berikutnya tumpah ruah begitu saja dari mulutku; rahasia yang kupendam selama ini.

Tentang cowok kuliahan yang kutemui di aplikasi pencari jodoh pada tahun ketigaku di SMA, ia yang bernama Niko. Tentang perkenalan kami yang berujung sebuah hubungan romansa. Tentang indah-indahnya fase awal hubungan kami. Tentang ia yang rupanya ialah monster manipulatif sekaligus abusif. Tentang ia yang tak paham penolakan. Tentang malam-malam ketika aku ditelanjangi di luar kehendakku. Tentang ancamannya jika aku lagi-lagi mencoba untuk menceritakan perbuatannya ke dunia. Tentang pertengkaran kami yang selalu berakhir dengan satu adegan sama: aku berlutut dengan isak tangis, memohon supaya Niko berhenti menambahkan lebam pada tubuhku.

Kisah terus berlanjut, ditemani kepalan tangan Juan yang kian mengeras. Bersamaan dengan itu, aku bisa merasakan beban di bahuku sedikit terangkat.

<>

Juan

Tidak selamanya gue bisa dengan mudah mengaplikasikan konsep memaafkan. Ada saatnya gue menyimpan kebencian terhadap seseorang. Gue pernah membenci beberapa adik kelas perempuan yang diam-diam mengejek Bianca di belakang. Gue pernah membenci beberapa teman sekolah yang membicarakan Bianca sebagai objek seksual mereka. Gue pun menyimpan benci pada Jun juga Fio ketika rumor tentang Brian menyebar, terlepas dari siapapun yang salah.

Tapi sebenci apapun gue terhadap seseorang atau suatu kelompok, rasanya baru kali ini gue benci sedemikian bencinya sampai mengharapkan orang itu mati.

Niko whoever it is, go fucking rot in hell.

FUCKING.

ROT.

IN.

HELL.

Andai saja akal sehat gue tidak hadir saat ini, mungkin gue bisa secara impulsif membawa pergi mobil Papi untuk ke Jakarta sekarang juga. Mencari that shitty bastard dan menonjoknya, kalau bisa sampai dia mati sekalian.

Tangan gue masih mengepal keras, bahkan setelah Bianca menyelesaikan ceritanya. Demi apapun, gue bingung. Gue mau marah, gue mau nangis, gue bingung.

"Are you okay?" menjadi satu-satunya hal yang pertama kali gue tanyakan.

"Kind of." Bianca tersenyum. "Toh aku udah mutusin dia. Walaupun harus bertahan dipanggil lonte, perek, and such di awal-awal, I get rid of him at last."

How? How is she okay with all of this? How was I not there with her?

"But please don't blame yourself, Ko," Bianca berujar. Seolah bisa membaca pikiran gue. "Karena aku yang dari awal memutuskan untuk gak cerita. Baru sekarang ini aku cukup berani untuk cerita, dan Koko cuma perlu duduk, dengerin. That's all I need."

"How ...," gue menarik napas dalam-dalam. Cerita tentang bajingan satu itu sukses menyedot seluruh jiwa dalam tubuh gue, membuat gue kesulitan untuk memproses hal-hal normal seperti bernapas. "How ... how about the scar on your hip?"

Bianca tersenyum, sebelum akhirnya melanjutkan dengan sebuah skenario yang tak kalah brengseknya. Tentang satu malam di mana Bianca memberanikan diri untuk menolak ajakan tidur lelaki itu secara lantang, dan bagaimana pemaksaan yang selama ini terjadi bukanlah hal wajar dalam suatu hubungan. Kemudian bagaimana si brengsek itu, bukannya introspeksi diri, malah datang menggengam gagang sapu yang sudah patah. Lalu tentang ujung kasarnya yang secara sempurna menorehkan luka pada pinggul Bianca, membekas tanpa ada tanda-tanda akan hilang sampai sekarang.

Brengsek. Brengsek. Brengsek.

Go fucking rot in hell.

Bianca menghela napas. "Tau gak, selama ini aku gak cerita karena takut." Lagi, gadis itu tersenyum. Gue gak paham seberapa kuat seorang Bianca, yang masih bisa tersenyum bahkan setelah membeberkan cerita setragis itu.

"Nggak gampang untuk ngilangin bayang-bayang Niko di otakku. Rasanya secara otomatis aku bakal menyamaratakan semua orang itu seperti Niko, dan aku ngerasa dia masih ada di sekelilingku." Jeda. "Or at least, because there was a certain someone who constantly reminds me of him."

"Tapi kemarin malam aku sadar satu hal, kalau orang itu bukan Niko, nor Niko was him. Mereka dua orang yang beda, dan nggak seharusnya aku menjebak diri sendiri dengan masa lalu kayak gini. Aku harus tegas ke diri sendiri, kalau Niko adalah masa lalu. Masa lalu yang udah aku buang jauh-jauh, dan gak seharusnya aku bawa-bawa lagi ke masa kini," ia melanjutkan.

Gue menatapnya lamat-lamat. Kepada kedua manik Bianca yang tampak tenang. Mungkin ia legaーsemoga ia legaーkarena akhirnya bisa melepas beban yang selama ini menggerogoti hatinya.

"Ko."

Panggilannya membuat gue mengerjap. "Ya?"

"I think you need to thank Brian for this one."

<>

A/N

Let's be honest: ini bab tersulit yang pernah aku tulis.

I was shaking, a lot, while writing this chapter. Feeling heavy on my chest that I had to take a deep breathe each time, constantly wanting to vomit, and keep thinking that I'm about to cry.

If you ever been on Bianca's shoes, I hope the best for you and trust me, you deserve all the good things in life.

For you who's lucky enough not to experience any of this, I hope you will never fall under this kind of situation and relationship. Please learn a lot about toxic behavior and avoid this kind of people.

Lastly, thank you for all the time you spend to read my writing, especially this journey of Brian and Bianca. xoxo

Continuă lectura

O să-ți placă și

368K 4K 82
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
95.8K 10.6K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
71.1K 14.6K 161
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
305K 25.6K 37
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...