Diamond Cut Diamond | NOMIN

By secretnct

23.2K 2.6K 100

Na Jaemin adalah putra dari keluarga Na yang kaya raya. Namun ia punya rahasia yang tidak ingin ia bagi kepad... More

Yang Tidak Ditemui di Sekolah
Di Balik Rahasia
The Gala
Tangled
Save Me
Suspicion
Go Public
Mission: Failed
Getting Over
Walking on Thin Ice
Rescue Mission
Making Reality

The Beast

1K 153 8
By secretnct

Setelah latihan sepak bola mereda, Jaemin juga kembali segar. Jeno selalu ada di sampingnya setiap malam, baik itu memutarkan lagu-lagu pengantar tidur atau memeluknya sampai pagi. Jaemin sangat berterima kasih untuk itu. Tetapi tugas-tugasnya tak bisa ditinggal. Ia perlu mengurus kantor orang tuanya setiap dua hari, membuat mereka terpisah selama beberapa jam.

Tapi tak apa. Setelah perpisahan itu, Jeno akan memeluknya erat dan mengatakan betapa ia merindukan Jaemin. Jaemin merasa Jeno menginginkannya dengan cara yang benar; tepat seperti yang ia kehendaki.

Apalagi kini mereka tak perlu lagi bersembunyi di loker atau kamar mandi. Mereka makan siang dengan teman-teman yang lain dan saling tatap mesra di mana saja. Di kelas, keduanya juga duduk berdampingan.

"The couple of the century," sambut Renjun begitu Jaemin dan Jeno duduk di depannya. Mereka sedang melewatkan istirahat sambil tiduran di bawah pohon akasia.

"Shut up," jawab Jaemin dengan wajah memerah.

"Ingat hari pertama mereka berjalan bersama setelah pertandingan sepak bola? Wah, aku kira sedang ada royal wedding atau sesuatu. Semua orang memberikan jalan dan menganga. Mereka tidak percaya Jaemin dan Jeno benar-benar memiliki hubungan istimewa," ungkap Jisung.

"Jangan salahkan mereka, Jisung. Kita sahabatnya dan mereka melakukan kerja yang baik dalam menutupinya," timpal Haechan.

"Tidak juga. Kalian hampir memergoki kami siang itu. Di mobil Jeno. Ingat?" jawab Jaemin.

"Oh, no. What exactly are you doing that time?!" tuntut Haechan.

Jaemin dan Jeno saling lirik sebelum tertawa. "Kami dengan senang hati memperagakannya ulang, tapi ada Jisung dan Chenle di sini."

"I should break your car's window that time, Lee."

Renjun tak percaya Lee Jeno yang dikenalnya tiba-tiba menjadi berubah setelah bersama Jaemin. Jeno yang terbilang dingin dan canggung kini cerah dengan senyum dan seolah tak bisa lepas dari Jaemin. Apakah ini efek Jaemin?

Ponsel Jaemin bergetar di sakunya. Ia melihat nomor ayahnya menelepon dan pergi untuk mengangkatnya.

"Jadi kalian tinggal bareng sekarang?" tanya Haechan.

"Nggaklah. Dia cuma tinggal di tempatku sementara. Kenapa? Kamu kangen kamarku?"

"Sadly, yeah."

"Well, come over."

"Lalu? Menghabiskan waktu melihat kalian berdua bermesraan? Thank you very much," jawab Haechan sambil mengalihkan pandangan.

"Aku dan Jaemin tidak bermesraan sepanjang waktu. Kami juga harus mengerjakan tugas dan–"

"Berpura-pura di depan orang tuamu," potong Renjun.

Namun Jeno tidak tersinggung, ia mengangguk. "Just come. I'll invite Renjun, if he is not busy, Chenle and Jisung. Maybe Jaemin would like to invite Mark, too."

Ucapan terakhir Jeno membuat wajah Haechan memerah. Jeno yang tersenyum penuh rahasia membuatnya menyadari bahwa ia sudah ketahuan. Haechan pun membuang muka. Perlahan ia merebahkan tubuhnya di atas rumput yang empuk dan menghela napas.

Mark Lee... Mark Lee... Mark Lee... Kamu nggak capek berlarian di pikiranku? Ia membatin, sekali lagi membayangkan wajah Mark yang tersenyum padanya di koridor tadi.

"Yeah, and Lucas," timpal Renjun.

Mungkin juga, batin Jeno. Ia sadar sahabat Jaemin yang satu itu sama sekali tak ramah padanya. Ia bahkan hampir tak bicara pada Jaemin jika ada Jeno. Setiap kali matanya menangkap sosok Jeno, wajahnya seolah mengeras.

"So?" tanya Jeno.

"Sure," jawab Haechan. "Kita pergi nanti?"

"Aku hanya perlu menelepon Laura," Jisung mengeluarkan ponselnya. Chenle dan Renjun pun mengangguk.

"Kau nggak ada kerjaan?" tanya Haechan pada Renjun.

"Sudah selesai. Nah, Haechan, mudah, kan, jika kamu juga mau membantu?" balas Renjun.




~




Mark tertipu. Ia sudah datang ke rumah Lee Jeno ketika mendapati Jaemin mengiriminya pesan yang mengatakan bahwa Jaemin perlu berkunjung ke kantor orang tuanya sore itu.

"Damn it," geram Mark. Jaemin yang mengundangnya ke sini dan ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Beruntung Jeno menyambutnya dengan ramah.

"Dia pergi secepat kilat," terangnya sambil mengajak Mark ke kamar. "Tapi nggak apa-apa, kan? Lagipula yang lain sudah berkumpul."

Begitu memasuki kamar Jeno, Mark melihat Renjun, Chenle, Jisung, dan Haechan tengah mengelilingi sesuatu. Mereka tampaknya memainkan board game.

"Guys, Mark sudah datang," Jeno mengumumkan. Semua orang mengangkat kepala dan menyapanya riang. Namun tentu saja hanya satu orang yang menarik perhatian Mark.

"Yeah, Full Sun!" seru Jisung ketika menyadari ia berhasil menyingkirkan Haechan dari permainan. Haechan yang tak fokus karena kedatangan Mark pun terpaksa mundur.

"Ehem, di mana ayahmu, Jeno?" Mark berusaha mengalihkan perhatiannya.

"Sedang tidak di rumah untuk beberapa hari. Hei, Mark, kamu suka otomotif, kan?" tanya Jeno.

Mark mengangguk.

"Kamu pasti ingin melihat garasi keluarga kami. Ayo!" ajak Jeno. "Haechan, ayo ikut. Mereka tidak akan mempedulikanmu sampai ada yang mengalah."

Meski malu-malu, Haechan pun menurut. Ketiganya keluar dan menuruni tangga, menuju garasi keluarga Lee.

"Ayahku mengoleksi motor dan mobil. Tapi tidak sebanyak ayah Yuta. Ayahku cenderung pemilih. Aku nggak mengerti, tapi aku rasa kamu pasti senang," Jeno berkata dengan riang, pura-pura tak menyadari Mark dan Haechan yang saling lirik sepanjang perjalanan.

Mereka tiba di garasi yang dimaksud. Jeno menyalakan semua lampu dan dalam sekejap tampak berjejer motor-motor koleksi Ayah Jeno.

"Wow, this is quite a collection," puji Mark, tanpa sadar ia melangkah masuk dan menyentuh kendaraan terdekat.

"Enjoy it while you can. Ah, aku harus mengantar makanan untuk anak-anak. Haechan, temanilah Mark di sini," pinta Jeno. Tanpa mempedulikan pandangan Haechan yang melebar, ia meneruskan kepada Mark. "Haechan sudah seperti keluarga. Dia hafal tempat ini lebih dari aku. See you."

Lalu tanpa bisa dicegah, Jeno kabur begitu saja. Haechan menggigit bibir ketika menyadari ia sudah jatuh dalam perangkap Jeno dan Jaemin. Dua orang itu pasti bersekongkol untuk menjebaknya agar punya waktu berdua dengan Mark. Namun begitu dilihatnya sosok Mark berlutut di dekat sebuah motor, ia tak bisa menahan diri. How adorable, batinnya menyadari perhatian Mark tersita sepenuhnya.

"You like motorcycle, Mark?" tanyanya sambil mendekat.

Mark mengangguk. "Sayangnya orang tuaku nggak memperbolehkanku mengendarainya."

Haechan manggut-manggut. Sama seperti Jeno, ia juga tak mengerti otomotif.

"Its just feel refreshing, you know? Being able to go full speed in the road."

"Aku belum pernah naik motor, Mark," Haechan mengaku.

"Naiklah bersamaku," tiba-tiba Mark menatap Haechan dan bangkit berdiri. "Aku biasa menggunakan motor Lucas. Praktisnya, itu seperti motorku karena aku yang menyetel semuanya."

Haechan merasakan kegembiraan luar biasa meliputinya mendengar ajakan itu. "Are you sure? Tidak merepotkan?"

Kali ini Mark tertawa. Lelaki di depannya itu terkenal cerewet dan banyak bicara di depan orang, tetapi kini di depan Mark, ia tampak lembut dan gugup.

"Tentu saja. Bilang saja kalau kamu senggang. Aku akan mengajakmu jalan-jalan."

"Oke," jawab Haechan sambil tersenyum.

"I'm done here. Kita keluar?"

"Ah, sesungguhnya... taman rumah Jeno juga indah. Kamu mau melihat?"

Mark hanya mengangguk dan tersenyum.

Jeno yang merasa misinya berhasil, bergegas menelepon Jaemin. Namun tak seperti biasanya, Jaemin mematikan teleponnya. Bertanya-tanya, Jeno pun mengetikkan sebaris pesan.


Mark and Haechan: success.

Where r u?


Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku dan bergegas kembali ke kamar ketika mendengar panggilan pelayannya.

"Tuan. Teman Tuan datang."

"Teman?" Jeno mengerutkan kening, mengurungkan langkahnya ke atas dan kali ini menuju ruang depan. Berdiri di tengah ruangan, Wong Yukhei.

"Lucas?" Jeno tak ingat ia mengundang Lucas. Setahunya, Jaemin juga tidak mengatakan Lucas akan datang.

"Hei, Jeno. Aku tahu ada Mark dan teman-temanmu di sini. Aku tidak bermaksud mengganggu."

"Tentu saja tidak. Ayo masuk. Anak-anak sedang bermain gim di kamarku sementara Mark dan Haechan..."

"Ah, tidak. Aku datang untuk bicara padamu. Aku tahu Jaemin tidak di sini sekarang."

Kali ini Jeno menatap Lucas tak mengerti.

"Aku perlu mengatakan sesuatu padamu. Tentang Jaemin."

Lucas tak ingin kehadirannya mengganggu suasana di rumah Jeno. Jadilah mereka berdua berbincang di tangga depan yang mengarah ke teras. Mereka duduk berjauhan.

"Kamu mungkin menyadari aku tidak senang dengan hubunganmu dan Jaemin. Well, I make it obvious so you must notice it. Aku merasa kalian berdua terlalu cepat menyimpulkan segala sesuatu. Jaemin tak tahu banyak tentangmu dan begitu pula sebaliknya."

"Itu tidak benar. Kami bersama-sama hampir setiap hari."

"Jeno, ini berbeda," Lucas menghela napas. "Mark bilang, kamu akhirnya bertemu dengan Jaemin the beast, kan? Tapi bukan. Yang kamu temui hanya setitik dari dirinya yang tidak pernah dia tunjukkan pada orang lain. Jeno, Jaemin bukan orang biasa."

Meski Jeno ingin menyahuti bahwa ia tahu Jaemin orang yang istimewa, ia memilih diam dan menunggu Lucas menjelaskan segalanya.

"Jaemin the beast adalah orang yang menjalankan perusahaan ayahnya. Jaemin mungkin memberitahumu tentang apa yang terjadi di Kwek Hall, tapi ada alasan kenapa neneknya memilihnya sebagai pewaris tunggal. No offense: Lee Taeyong mungkin berlagak misterius, tetapi Jaemin adalah enigma. Aku sahabatnya, tetapi aku bisa bilang kalau Jaemin mengerikan."

"Apa maksudmu, Lucas?"

"Sejak Jaemin ikut campur dalam perusahaan ayahnya dua tahun belakangan, tahukah kamu keuntungan perusahaan naik drastis? Aset keluarga Na terus bertambah dan itu bukan karena pemasaran yang baik, tapi dari kemampuan mereka menjerat orang-orang yang hendak mencurangi perusahaan."

"Bukankah itu baik?"

"Jaemin menggantung orang-orang itu dengan kaki di atas. Memukuli mereka sampai semua surat dan keperluan beres. Dia memang membantu perusahaan orang tuanya, Jeno, sebagai algojo."

Pikiran Jeno terasa kosong ketika mendengar ini.

"Tentu dia tidak sendiri. Ada sepasukan orang yang bekerja padanya. Kalau bukan Jaemin, tak akan ada yang bisa bertahan dari penculikan seperti kemarin. Jaemin berbohong, Jeno. Dia tidak dipukuli orang-orang itu. Dia berkelahi dengan orang-orang itu habis-habisan."

"Kamu yakin?"

Lucas mengangguk. "Dalam masa pembangunan Oak Building, aku lebih sering bertemu dengannya. Keluarga kami menyerahkan proyek itu pada kami mengingat kami sahabat dan akan baik jika kami bekerja sama. Suatu hari, kami menyudutkan Mr. Nam, menakut-nakutinya dengan sederet tuntutan hukum. Tapi orang itu penipu. Dia tidak bodoh. Aku sudah lelah dengan interogasi, tetapi Jaemin..." Lucas kesulitan melanjutkan ceritanya. Jeno mengamati wajahnya yang berangsur-angsur pias.

"Lucas?"

"No, I'm fine. Let me finish it," ia menyahut dengan suara serak.

"Jaemin memintaku duduk dan mengatakan ia akan melanjutkan interogasi. Aku sedikit malu menyadari anak yang lebih muda dariku tidak kehabisan energi dan menawarkan bantuan. Tetapi rasa maluku menjadi ketakutan. Waterboarding, Jeno. Tak sampai lima belas menit ia bersama Mr. Nam, tetapi lelaki itu sudah menjelaskan semuanya dan menandatangani surat-surat kuasa."

Jeno hanya bisa tertegun dalam diam.

"Keluarga Na adalah salah satu kelurga legendaris yang kita kenal. Mangkraknya Oak Building tentu menjadi hal yang memalukan keluarga mereka. Jaemin berhasil mengalihkan tanggung jawab itu sehingga Mr. Nam kini dihukum seberat-beratnya. Padahal, hal itu tak lain dari keputusan teledor ayah Jaemin. Kini kau tahu, kenapa neneknya bahkan menyerahkan keluarga Na pada Jaemin."

Dalam sekejap, perasaan Jeno yang ringan mendadak berat dan gelap. Ucapan-ucapan Lucas benar-benar masuk ke pikirannya sehingga membuatnya bertanya-tanya tentang Jaemin yang sesungguhnya.

Jaemin anak yang periang. Dia selalu ceria. Dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku. Tidak pernah. Lucas bisa saja berbohong untuk mensabotase hubungan kami.

"Tidak, Lucas. Aku nggak akan percaya sampai Jaemin yang mengatakan ini atau aku melihat buktinya. Aku tahu kamu nggak setuju dengan hubungan kami, tapi aku akan memintanya jadi pacarku, Lucas."

Lucas menatap Jeno tak percaya. "Kamu pikir aku melakukan ini untuk menggagalkan hubungan kalian? Aku menyayangi Jaemin seperti saudara. Aku senang melihatnya bahagia, tapi aku tahu kalian tak berpikir panjang soal hubungan kalian. Kalian hanya akan saling melukai."

"Kamu nggak tahu apa-apa," Jeno meneguhkan ucapannya, menatap Lucas lekat-lekat.

"Fine. Kamu mau bukti? Jaemin tidak ada sekarang. Pasti nomor teleponnya juga tidak bisa dihubungi. Datanglah ke sini," Lucas mengetikkan sesuatu di ponselnya, lalu dalam sekejap, sebuah pesan masuk ke ponsel Jeno. Lucas mengiriminya alamat sebuah tempat.

"Kamu akan melihatnya sendiri." Merasa tidak dihargai, Lucas menuruni tangga dan bersiap pergi.

"Aku akan mendatangi tempat ini sekarang," Jeno juga bangkit.

"Bagus. Buktikan seberapa salah aku." Ia terhenti sejenak dan menoleh ke arah Jeno. "I did it for you, man. You are a nice guy. Please... leave him. Nggak ada yang cukup gila untuk bersama Na Jaemin." Lalu ia benar-benar pergi.




~




Tak usah hiraukan resepsionisnya. Langsung menuju ke lift. Tekan lantai teratas. Sampai sana, kamu harus naik lewat tangga darurat. Ada garis kuning dan papan peringatan, tapi tetaplah berjalan. Kalau kamu beruntung, lantai itu tidak berpenjaga.

Begitu arahan Lucas.

Jeno pun menurut. Ia tiba di gedung yang di peta tertulis sebagai perusahaan telekomunikasi. Ia meminta sopir untuk menunggu tak jauh dari tempat itu dan melangkah masuk. Sesuai arahan Lucas, ia menuju lift dan menekan lantai tertinggi. Selain resepsionis dan beberapa orang yang lalu lalang di lobi, tak ada yang ditemuinya.

Begitu pintu lift terbuka, Jeno melangkah menuju tangga darurat. Pintu berat itu dibuka dan benar kata Lucas. Garis kuning dan papan peringatan menyambutnya. Ia pun melangkah melewati garis itu setelah berdoa Lucas tak melakukan sesuatu yang bodoh seperti menjebaknya.

Jeno tiba di lantai teratas dan ia membuka pintu sepelan mungkin. Terdengar langkah kaki di kejauhan dan ia pun menyelinap masuk. Lantai itu memang belum selesai. Meski kaca-kaca telah dipasang, lantainya belum diporselen dan dindingnya belum dicat. Di sana-sini tergeletak perkakas yang digunakan tukang.

"...Bos besar belum datang?"

"Kita tidak perlu Bos besar."

Jeno mendengar percakapan sayup-sayup. Ia pun melangkah perlahan menyusuri lorong hingga tiba di kelokan. Didengarnya suara langkah mendekat dan ia langsung merapatkan tubuh ke dinding dan masuk tanpa suara ke ruangan terdekat. Dua orang yang berpenampilan seperti bodyguard melewati ruangan itu begitu saja.

"Orang yang keras kepala..." gumam salah satu dari mereka.

"Tidak hari ini. Dia bertemu dengan Na Jaemin."

Dalam debaran jantungnya, Jeno tahu ia tidak salah tempat meski sadar betul bahwa ia tak diharapkan di sini. Ia menyelinap keluar begitu dua bodyguard itu memasuki pintu darurat, dan menuju ke arah datangnya suara berisik. Ia melewati pintu yang terbuka di ujung lorong, lalu merapatkan diri ke dinding. Silir angin langsung menghajar wajahnya. Berbeda dengan lorong dan ruangan sebelumnya, tempat ini belum dipasang kaca. Sebagai gantinya, kain-kain putih dipasang di sekeliling ruangan.

"Masih tidak mau bicara?" terdengar suara orang. Jeno menggeser tubuh, berusaha mengintip dari balik kain putih.

Ia membungkukkan tubuh, menjaga agar dirinya tak tampak dari manapun. Lalu perlahan ia mengintip dari balik kain.

Dilihatnya seseorang tengah digantung terbalik di tengah ruangan. Tangan dan kaki orang itu diikat sementara mulutnya terengah-engah. Ada seember air tepat di bawah kepalanya. Di sekeliling orang itu, berdiri tiga orang yang juga berpakaian sama dengan para bodyguard tadi. Salah seorang dari mereka menghantamkan pukulan ke perut orang yang diikat.

"Bagaimana?"

This is too much, batin Jeno. Ia sudah ingin muntah ketika menyadari ada bercak-bercak darah sekaligus muntahan di lantai. Lucas is psycho...

"Bukan di situ," terdengar suara lain dari ujung ruangan. Suara yang anehnya familiar bagi telinga Jeno. Tanpa sadar, ia yang akan pergi mendadak terpaku di tempatnya.

"Memukul di perut takkan membuatnya kesakitan." Seseorang muncul dari kegelapan. Ia mengenakan celana jin, sepatu hitam, dan jaket hitam tanpa kaus di dalamnya. "Lakukan ini," ia mendekati tawanan mereka, lalu memencet bahu orang itu dengan telunjuknya. Terdengar raungan yang membangkitkan bulu kuduk Jeno.

"Tangannya pasti sakit. Kita perlu berhati-hati untuk tidak meninggalkan jejak terlalu banyak bukan, anak-anak?"

Itu Jaemin! Jeno kini bisa melihat wajah yang dibingkai rambut pink itu. Ia tampak bosan, menjepit rokok di tangannya. Jeno bahkan tak tahu bahwa Jaemin merokok. Tapi wajah itu bukan Jaemin yang dikenalnya. Jelas bukan Jaemin-nya.

Ia seolah bukan orang yang menyebabkan orang lain menangis kesakitan seperti barusan. Wajahnya tampak bosan.

"Hei, untuk terakhir kalinya aku bertanya. Berapa harga yang kamu berikan untuk para pemilik tanah, hm? Aku harus pergi karena ada acara penting dan kamu menyia-nyiakan waktuku. Kalau kamu tidak ingin menjawab..." Jaemin membungkuk, kali ini membisikkan sesuatu ke telinga tawanannya tanpa bisa Jeno tangkap. Namun Jeno melihat wajah terkejut tawanan itu ketika mendengar bisikan Jaemin. Ia seolah mengalami horor yang luar biasa.

"Baik! Aku bilang! Tolong, jauhkan tanganmu dari Luna..." orang itu meratap.

Jaemin tersenyum simpul. "Aku hanya akan mengantarnya pulang sekolah–"

Tawanan itu meneriakkan nominal sejumlah besaran uang. Jaemin tersenyum lebar. "Nah, bukankah mudah? Selanjutnya, ada Mr. Kim yang akan membantu mengurus surat-suratnya. Setelah itu, aku tidak memerlukanmu lagi."

"Tolong... jangan bunuh aku..."

"Aku tidak mau mengotori tanganku dengan darahmu. Mencabut gigimu saja sudah sangat menjijikkan." Jaemin menegakkan tubuh. Ia meregangkan tangannya, memamerkan tubuhnya yang tak berpakaian.

"Turunkan dia, rawat lukanya. Bawa ke klinik sebagai korban tabrak lari. Tentu saja, ia harus ditabrak dulu." Jaemin memerintahkan sebelum menghisap rokok.

"Tuan, ada telepon dari Shanghai," terdengar suara lain dari ruangan sebelah.

Jaemin pun berbalik pergi.

This is insane... mata Jeno berkunang-kunang menyadari apa yang barusan dilihatnya. Ia bangkit perlahan dan begitu bisa merasakan kembali kakinya, ia mundur dan pergi dari ruangan itu. Ia ingin pergi. Pergi.




~




Jeno tak menjawab pertanyaan teman-temannya tentang keberadaannya beberapa saat yang lalu. Ia hanya mengatakan dirinya keluar untuk suatu hal dan mereka pun kembali bermain. Ia terlalu terkejut dengan apa yang dilihatnya tadi bahkan hingga melewatkan Mark dan Haechan yang duduk berdampingan membaca komik.

Apakah itu Jaemin? Itu benar-benar Jaemin... Jeno termenung di dalam toilet. Ia merasa butuh waktu untuk sendiri. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Lucas. Jeno menolak panggilan Lucas dan mengetikkan pesan.


Sorry. Doesn't really like to talk right now.


Dikirimkannya pesan itu. Beberapa saat kemudian, Lucas menjawab.


I know. Are you okay? When I'm with him 'that' time, I cant even eat and sleep after.


Jeno menghela napas dan tidak membalas pesan Lucas.

Dibasuhnya wajahnya keras-keras dan ia berharap dirinya bisa sedikit melupakan kejadian itu. Setidaknya di depan teman-temannya.

Mereka asyik bermain sampai malam. Ketika mereka bersiap untuk pulang, pintu kamar terbuka dan wajah Jaemin muncul.

"Halo!" sapanya riang. Ia masuk dengan membawakan bungkusan makanan dari gerai fast food. "Kalian pasti lelah bermain-main. Makanlah dulu sebelum pulang."

Anak-anak menyambutnya dengan gembira. Dalam sekejap, mereka kembali duduk di lantai, memakan pizza dan burger yang dibawa Jaemin.

"Hyung! Kenapa lama sekali?" tanya Jisung.

"Pekerjaan. Orang tuaku sedang ke luar negeri jadi mereka menghambatku lebih lama. Kalian bersenang-senang?" jawab Jaemin.

"Tentu saja! Aku mengalahkan Renjun-hyung dua kali. Ngomong-ngomong, aku kira Mark dan Haechan saling suka satu sama lain. Mereka hanya bermain gim berdua saja."

Jaemin tertawa sementara Mark dan Haechan memerah.

"Pekerjaan macam apa, Jaemin? Celanamu kotor," decak Haechan, mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk ujung celana Jaemin. Jeno mengawasi kejadian itu dalam diam.

"Ah, meninjau konstruksi kafe."

"Oh, kerja sama keluargamu dengan keluarga Yuta, ya?"

Jaemin mengangguk.

"Restoran?" tanya Chenle.

"Bar. Japanese bar."

Saat itu, Jeno bisa melihat Jaemin dari cahaya yang berbeda. Ia orang yang berbeda dari lelaki yang dilihatnya tadi. Tetapi penampilan mereka sama. Hanya saja kali ini Jaemin sudah mengenakan kaus biru di balik jaketnya. Tidak ingin kena darah, ya? Batin Jeno. Sekali lagi ia melempar pandangan pada Jaemin dan menyadari bahwa Lucas benar. Anak itu benar-benar mengerikan.

Malam itu, Jaemin tak banyak membutuhkan Jeno untuk tertidur. Ia langsung terlelap setelah Jeno mendaratkan kecupan di keningnya, meninggalkan Jeno yang gundah.

Jeno tak bisa mengatakan bahwa ia menyaksikan apa yang dilakukan Jaemin tanpa sepengetahuan lelaki itu. Namun ia tak bisa menahan gejolak perasaannya yang tak tentu. Dipandanginya wajah Jaemin yang tertidur dengan rambut sedikit basah. Siapa kamu? Ia tak berbeda dari Jaemin yang selama ini dikenalnya. Tampak damai. Perlahan Jeno mengelus tangan Jaemin yang terlipat di sisi wajahnya. Disadarinya buku-buku jemari anak itu sedikit bengkak.

Jeno tak bisa menahan diri. Ia pun menangis dalam diam. Takut membangunkan Jaemin, ia turun dari tempat tidur dan duduk di lantai. Siapa Jaemin yang sebenarnya? Mengapa dia tega melakukan itu? Jaemin yang manakah yang kini di dekatku?

Pikiran Jeno dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang ia tahu takkan terjawab karena ia sudah jatuh hati pada Jaemin. Mendadak ia menyadari alasan Lucas dan mulai meragukan dirinya sendiri. Ia tak tahu banyak tentang Jaemin seperti yang dikiranya. Ia mungkin tahu kebiasaan Jaemin ketika tidur, makanan kesukaannya, minuman yang dimintanya setiap kali terbangun tengah malam, dan lain-lain. Tetapi fakta bahwa ia tak tahu ada karakter lain dari Jaemin membuatnya takut.

Lamunannya disadarkan oleh denting pelan ponsel Jaemin di atas rak. Biasanya Jaemin mematikan ponselnya jika akan tidur. Biasanya Jeno tak peduli dengan benda itu. Namun kali ini ia tertarik. Diraihnya ponsel itu dan layarnya menunjukkan pesan dari Eliya.


Tomorrow: The Savannah 9 pm. The passcode: rattlesnake.




~




"Lucas, I really need your help."

Dihadapkan dengan sepasang mata yang penuh permohonan di depannya, Lucas hanya bisa menghela napas panjang. Jam istirahat baru saja berbunyi dan Jeno sudah menerobos masuk kelasnya meski guru baru saja membereskan meja.

"Lee Jeno, that's too risky."

Jeno sudah mengiriminya pesan pagi itu yang berisi permintaan tolong untuk mencari tahu acara yang akan dihadiri Jaemin malam nanti.

"Mana Jaemin?" tanya Lucas.

"Mungkin sedang makan. Aku langsung pergi dengan beralasan perlu ke toilet."

Lagi-lagi Lucas menghela napas. Tapi ia sudah melakukan langkah penting kemarin dengan mengatakan segala sesuatunya kepada Jeno. Ia tak bisa mundur sekarang.

"Sejujurnya, aku tahu acara di The Savannah. Tidak sengaja, tentu saja. Ada email resmi yang akan dihapus satu jam setelah dibaca di komputer sepupuku. Tidak hanya itu, sepupu-sepupuku tidak sabar untuk dewasa karena ingin pergi ke tempat itu."

"Jadi kita tidak bisa masuk?" bahu Jeno langsung lemas.

"Tenang dulu," sergah Lucas. "Aku tidak bilang kita tidak bisa masuk. Kita bisa masuk dengan sedikit penyamaran. Pakaian dan penampilan. Untuk itu, kita butuh Ten."

Jeno menatapnya tak mengerti.

"Why do you guys need bodyguards?" tanya Ten ketika Jeno dan Lucas mencegatnya di koridor siang itu.

"Look. We'll hire you, so can you just shut up and give us what we need?" potong Lucas.

"I know, dummy. But hiring bodyguards means that you believe in them. And I should prep them beforehand."

"He's right," Jeno menatap Lucas.

Lucas memutar bola mata dan akhirnya menyerah. "Kami harus pergi ke acara penting. Ini bukan acara terjadi baku tembak atau apa, tapi kami hanya butuh mereka untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Its formal, by the way."

"How many?"

"Empat orang," Lucas sudah mempertimbangkan ini.

Ten mengangguk. "Aku bisa ikut, kalau kalian mau."

"Sebagai bodyguard?" tanya Jeno sangsi.

"Hei, man. I'm good at it!" bela Ten.

"You're hired. See you later." Lucas menarik tangan Jeno dan keduanya pergi dari hadapan Ten.

"Ten akan tahu..."

"Lalu kenapa? Dia bisa sangat berguna, tahu. Meskipun aku bilang acaranya tidak berbahaya, tapi ini penting dan aku merasa dia bisa menyesuaikan situasinya."

Jeno pun hanya diam mendengarnya.

Beruntung orang tua Jeno tidak di rumah. Ia tentu akan ditanyai ketika pergi mengenakan jas seperti ini. Lucas menjemputnya dan mereka pergi bersama menuju The Savannah, sebuah hotel bintang lima yang secara eksklusif dimiliki keluarga Na. Ia tidak perlu repot-repot mengabari Jaemin karena Jaemin sudah mengatakan akan pergi meeting malam itu. Right, Jaemin. I'm gonna join your meeting tonight, batin Jeno saat membalas senyuman Jaemin.

"Bagus, kamu tampak lebih tua beberapa tahun," komentar Lucas setelah mengemati pakaian Jeno. Hari itu ia mengenakan setelan formal single breasted blazer berwarna hitam dari Amiri yang dipadukan dengan kemeja putih. Rambutnya disisir dengan rapi. Sementara Lucas mengenakan setelan Versace yang mengkilap. Rambutnya juga disisir rapi.

"Ten?" tanya Jeno, perlahan ia bisa merasakan kegugupan dalam perutnya.

"Dia sudah menunggu di sana. Kamu yakin dengan ini, Jeno?"

Jeno mengangguk. "Aku harus tahu, Lucas."

"Fine. Jangan bilang aku tidak mengingatkanmu, ya."

Mereka berdua pun terdiam sepanjang perjalanan. Begitu tiba di parkiran hotel, mereka disambut Ten yang sudah berpakaian rapi. Namun wajahnya tampak marah. Ia langsung menghampiri Lucas dan mencengkeram kerah kemejanya.

"Really, kid? The Savannah? Kamu kira aku nggak tahu apa yang akan kalian lakukan? Kalian minta aku untuk membantu kalian masuk ke 'tempat itu', kan? Bullshit, I'm going–"

"No, Ten. Listen," Lucas menahan tangan Ten. "Ada Jaemin di dalam. Di acara itu. Kamu mungkin tahu sesuatu tentang tempat itu, tapi aku dan Jeno tidak. Bisakah kamu membantu kami? Jeno perlu mengetahuinya."

Ten mendengus keras. Ia sudah menduga ada yang tidak beres ketika Lucas mengirimkan alamat. Begitu tiba di parkiran, ia langsung memaki menyadari ini malam penting di The Savannah. Ia bertaruh melihat salah satu paman tertua keluarga Lee Taeyong memasuki lobi hotel.

"Why?! Ini bukan untuk kita, anak-anak."

"Karena aku mencintai Jaemin," Jeno membalas, menatap Ten lekat-lekat. "Aku harus tahu apa yang dia lakukan... aku mungkin sudah mengetahuinya sedikit, tapi aku perlu tahu lebih banyak. Aku harus tahu posisiku sekarang, Ten. Kamu perlu membantuku. Tapi jika memang kamu keberatan, oke. Aku akan masuk sendiri."

Ten mengerang. Meski Jeno baru saja melemparkan pandangan paling mematikan padanya, ia tak bisa mengabaikan fakta bahwa anak itu memang butuh bantuannya.

"Kamu nggak perlu masuk. Kami akan membayarmu di sini," Lucas tampak akan mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.

"No! Keep it!" Ten memalingkan muka, tak mau melihat selebaran cek disapu ke wajahnya. "Kalian tahu aku nggak bisa menerimanya. Aku juga nggak akan membiarkan kalian masuk tanpa orang yang bisa dipercaya. Aku akan membantu kalian. Tapi berjanji padaku untuk menjelaskan semuanya. Mengerti?"

Lucas dan Jeno mengangguk patuh.

"Betul. Kalian juga harus patuh padaku sepanjang malam ini. No question needed sampai semua ini berakhir. Mengerti?"

Lagi-lagi Lucas dan Jeno mengangguk.

"Alright, lets do this shit," Ten berbalik, menghadapi anak buahnya.




~







Kepanjangan, ya?

Continue Reading

You'll Also Like

76.7K 7.6K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
19K 643 21
haechan melepaskan orang yang sangat ia cintai dan kemudian melihat dia mencintai orang lain. Apakah ada rasa yang lebih sakit dari ini? Start:28 Mar...
491K 36.9K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
58.1K 5.2K 46
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...