Real Talk

By dindastdj

8.6K 781 136

For all the time we spent, For all the conversations we talked, For all the road we rode, For all the tears... More

/r e a l t a l k/
Prolog
1. Something Between
2. The Moment I Knew
4. Unexpected
5. Be Bold
6. Remember Me?
7. "Not" Little Throwback
8. How It Began
9. True Stalker
10. How We Started
11. He's All That
12. First Impression
13. You're My Truly Crush
14. His Greatest Gift
15. Doubt
16. Now or Never
17. The New Lover
18. Real Love
19. My New Family

3. Never Be Alone

435 59 9
By dindastdj

LANY — Malibu Nights
_____

BEGITU lagu Traitor berputar, perempuan yang berbaring miring itu langsung membenarkan posisi headset dan menaikkan volume suara sampai penuh. Waktu sudah menunjuk pukul dua pagi, namun tangisnya belum juga reda.

Kedua bahu perempuan itu naik turun tanpa irama. Perempuan itu tersedu-sedu, berusaha meluapkan emosi yang tertahan. Ponselnya dihujani notifikasi chat dan panggilan dari Akbar hingga pukul satu tadi.

Segala kenangan manis yang ia miliki bersama Akbar tiba-tiba melintas di benaknya. Semua canda, kata-kata manis, cita-cita yang mereka impikan dan sentuhan hangatnya.

Dalam sekejap, semua yang hal indah itu tergantikan oleh amarah dan kecewa.

Jika jatuh cinta murni sebuah kecelakaan. Maka, meluruskan perasaan sebuah keputusan. Lalu kenapa? Kenapa Akbar memutuskan untuk berpaling?

Seketika, kepala Rere dipenuhi berbagai pertanyaan krusial yang menyakiti dirinya sendiri.

Hidung Rere tersumbat, matanya terasa berat untuk berkedip. Sudah lama ia tak pernah menangis sejadi ini. Terlebih, Rere merasa begitu bodoh lantaran mengabaikan kecurigaannya selama ini.

Rasanya ia sudah kehilangan gairah untuk hidup.

/r e a l t a l k/

"Beneran, Re?" Setelah hampir dua menit menyimak tanpa mencela sama sekali, Luna akhirnya bersuara. Sepulang kuliah, Luna langsung mendatangi rumah Rere sendirian, sesuai permintaan sahabatnya.

"Gue juga berharapnya nggak. Tapi— Sumpah." Rere mengangguk kuat. "Lo boleh tanya Azka. Dia saksinya."

Luna mengusap bahu Rere, memberi dukungan untuk sahabatnya.

"Walaupun gue gak pernah lakuin itu sama sekali. Gue tuh tau itu bukan karna gatel! Gue bisa bedainnya! Gue nggak sepolos itu!" Tambahnya, berapi-api.

Setelah merasa puas menceritakan kejadian semalam, Rere menelan ludahnya, dan menghirup napas panjang. Sedangkan Luna, menatap Rere penuh rasa kasihan, tak dapat membayangkan bagaimana rasanya memergoki pacar yang selingkuh di depan mata.

"Dan, lo berakhir kayak gini dari kemaren?" Tanya Luna, mengingat semalam Rere enggan didatangi olehnya ataupun Aca dan Tiara. Semalam, Rere hanya mengabari mereka di grup chat bahwa hubungannya dengan Akbar telah berakhir, tetapi tidak menjelaskan kronologinya sama sekali walaupun seisi grup mendesak.

"Gue udah gak tau lagi..." Rere merengek, berusaha menahan airmatanya lagi ketika semua ingatan tentang semalam kembali hadir di kepala. "Gue pengen benci dia tapi masih nggak bisa."

Luna terdiam. Sembari berusaha mencari kata yang tepat untuk menghibur sahabatnya, perempuan berambut gelombang kecoklatan itu mengeluarkan sebotol mineral dingin dari tasnya. "Minum dulu, Re."

Rere menuruti perintah sahabatnya, sengaja ia meminta Luna menemaninya sendirian tanpa teman-temannya yang lain. Selain karena belum siap, ia juga tak yakin bisa leluasa menceritakan semuanya di depan mereka.

Karena, Luna lah yang paling ia percayai.

"Semalem Akbar nelfonin gue, nggak gue angkat," kata Rere setelah menjauhkan botol dari mulut. "Boomchat juga nggak ada yang gue bales, langsung gue clear chat. Karna isinya denying semua! Dan bisa-bisanya dia selalu sumpah bawa-bawa Allah?"

"Asli, ini no excuse sih, Re."

Rere menggeleng, memicu airmatanya kembali turun. "Gue nggak ngerti, Lun kenapa harus berakhir kayak gini?" ia menjeda sejenak. "Dan, kenapa harus gue liat semuanya pake mata gue sendiri?!"

Luna menghela napas, memahami Rere. Menurut Luna, mungkin Rere sudah terlalu jauh kenal Akbar dibandingkan siapapun, termasuk keluarganya. Dari sini, Luna bisa menilai bahwa hubungan Rere dan Akbar memang sudah terlalu dalam.

"Masalahnya, empat—atau lima tahun lagi tuh gue mikir pasti nikah sama dia!"

Luna yang sejak awal duduk di pinggir kasur, mengubah posisinya jadi lebih ke tengah. Ia ingin mendengar lebih.

"Bahkan, kemaren seperempat gaji magangnya aja ditabung buat nikah!" tambah Rere masih terisak.

"Dia bilang gitu?"

Rere mengangguk.

"Beneran udah gila si Akbar." Luna menggeleng tak percaya.

Luna memejamkan matanya sejenak. Perempuan yang tangannya terlipat itu mulai dapat bernapas dengan perlahan. Kepalanya sudah tidak terlalu panas, dan tatapannya melembut.

"Lo kalo masih mau nangis, keluarin aja, Re," ujar Luna. "Jangan ditahan."

Rere menghirup napas dalam-dalam, mencoba menetralkan perasaannya.

"Gue gak tau nih ya kata-kata gue akan ngehibur lo atau nggak. Tapi Tuhan baik banget loh, Re nunjukin semuanya dari sekarang. Karna nggak kebayang kalo lo udah terlanjur getting married sama dia, marriage life kalian bakal se-chaos apa nantinya."

Rere tertegun atas kata-kata Luna. Sampai detik ini, ia sebetulnya masih mengharapkan kedatangan Akbar serta kata maaf dari laki-laki itu. Jauh dalam lubuk hati Rere, ia benar-benar tidak siap jika harus kehilangan Akbar. Tetapi, mana mungkin juga Rere mempertahankan seorang pengkhianat?

Suara ponsel Rere berbunyi, lantas ia meraup benda pipih yang tergeletak di balik bantal. Kernyitannya muncul melihat nama yang tertera.

Shinta Rinjani: Re? Boleh tante telfon kamu?

"Nyokapnya Akbar," kata Rere, memperlihatkan layar ponselnya. "Gue harus ngomong apa?"

Tangan Luna terulur menggenggam tangan Rere, membaca sekilas chat tersebut, sebelum akhirnya menatap Rere.

"Dia udah tau lo putus?"

"Gue yakin belum, Akbar pasti belum cerita." Rere tertawa getir. "Mana berani anjir cowok pengecut kayak dia."

Luna menurunkan tangannya, dan menumpukan siku di atas bantal untuk menopang kepala. Pikirannya terpekur sesuatu yang sepertinya tak terpikirkan oleh Rere.

"Nggak usah langsung lo respon nyokapnya. Gue yakin ini tuh taktiknya Akbar," ujar Luna. Raut wajahnya berubah kesal. "Bangsat ih, manipulatif banget!"

Rere menelan ludahnya, ia merasa begitu kecil dan bodoh sekarang. Ia menuruti perkataan sahabatnya.

"Tapi lo udah bilang sama nyokap lo?"

Rere menggeleng pelan. "Gue takut."

"Apa yang lo takutin, Re?" Luna menurunkan tangannya.

Rere kembali menggeleng, tak berani mengutarakan ketakutannya.

Wajah Luna perlahan berubah curiga. Posisi duduknya pun berganti, seperti sudah mewanti-wanti jika ia akan mendengar sesuatu yang tidak nyaman.

"Re."

Melihat Rere kembali menggeleng, Luna enggan mendesak sahabatnya lagi, tangan kanan perempuan itu terlurur, menyentuh pundak Rere, berusaha menguatkan sahabatnya.

"Salah nggak sih kalo gue gak mau bunda jadi benci sama Akbar?"

Sontak, pertanyaan Rere membuat Luna tenggelam dalam kalut. Meskipun ia tak pernah terjebak pada situasi yang Rere alami.

Pasti serba salah.

"Re, kalo yang lo takutin perubahan sikap nyokap lo ke Akbar, lo harus tau kalo itu tuh bagian dari konsekuensi yang harus dia ambil,"

Rere masih diam. Ia merasa sedih atas pernyataan Luna barusan. Karena, itu semua benar. Akbar patut mengambil konsekuensi itu. Selain itu, sebelum bersama Akbar, Rere belum tahu bagaimana caranya membentengi diri karena ia belum pernah dikhianati depan mata.

"Sumpah ya. Lo nggak salah apa-apa. Lo nggak boleh nyalahin diri lo sendiri. Bullshit banget orang-orang nyuruh intropeksi diri kalo diselingkuhin. Itu tuh emang udah maunya dia aja, Re. Dia lakuin semua itu dalam kondisi sadar, gak ada pembenaran atas pengkhianatan."

Rere tak mampu mengeluarkan argumen apa-apa, otaknya masih belum stabil.

"Dari yang kasus DM-DMan sama cewek di Malang aja udah ketaker kalo dia bajingan," kata Luna. "Sadar nggak sih, Re? Tuhan tu nampar lo. Di Jakarta aja lo dikasih liat kalo dia berani begitu. Gimana waktu jauh di Malang?"

Tangisan Rere yang sempat reda, akhirnya pecah lagi. Sungguh sakit rasanya mengingat kembali momen itu, terlebih disaat ia mencoba nekat menanyakan tentang kecurigaanya, tetapi malah hanya dijawab, "apa sih" oleh laki-laki itu.

"Apa dia nggak happy selama sama gue ya, Lun?" tanya Rere, pelan. Ia menyeka air matanya. "Karna— kalo dia happy sama gue, nggak mungkin dia cari kebahagiaan di orang lain."

Luna menegakkan tubuhnya, lalu membenarkan bantal yang ia jadikan tumpuan siku, ia tersulut.

"Lo mau nggak tau biggest truth-nya apa?"

Rere tak menyahut, ia menatap Luna tanpa berkedip.

"Semua ini karna lo tulus, sedangkan dia gak lebih dari orang yang gak tau terima kasih," kata Luna. "Dan, gak menutup kemungkinan juga dia cari sesuatu di diri cewek lain, yang nggak dia dapetin dari lo."

Tarikan napas Rere terasa lebih berat, ia memundurkan tubuhnya, merasa tak terima.
"Tapi harusnya cewek itu tau dong kalo Akbar punya pacar? IG Akbar kan banyak foto sama gue?"

"Akbar juga harusnya sadar dong kalo dia punya pacar? Apalagi dia udah go public banget?"

Diserang begitu oleh Luna, Rere kalah telak. Perempuan berpiyama putih itu mengusap gusar wajahnya yang lengket akibat air mata.

"Dengerin gue, Re," Raut wajah Luna melembut. "Sex wouldn't make him stay. Either pretty face, or loving him harder. It wouldn't be."

Luna menyelipkan rambutnya dibalik telinga, dan melanjuti. "Lo itu cantik, mandiri, kuat, asik, dewasa, pinter, lucu, udah gitu still virgin. Akbar tuh sama sekali nggak worth it buat lo. Apa lebihnya dia? Dia tuh cuma beban keluarganya doang. You're way too good for him!"

"Tapi, Lun—" Rere menjeda sejenak.

Luna menghela napas panjang, membiarkan Rere mengungkapkan isi hatinya lagi.

"Gue baru ngerasain ngenalin pacar ke orangtua itu ya sama dia aja. Sisanya backstreet semua. Kan lo tau sendiri," lanjut Rere.

"Terus lo mau gitu nerima dia lagi?" ujar Luna, pelan.

Rere tak menyahut. Ia mengangkat bahu, kali ini gerakannya bukan karena ia benar-benar tak tahu, melainkan ragu. Karena, hatinya masih memilih Akbar.

"Re, efek dari diselingkuhin tuh parah banget. I've been through that. Hari-hari lo gak tenang. Semisal lo maafin dia, pasti hal ini bakal jadi bahan ungkitan kalo lagi berantem." Luna menjeda sejenak. "Okay, lagi nggak berantem pun hati lo bawaannya curiga aja, Re. Gak lucu kalo lagi makan bareng inget pernah diselingkuhin, lagi telfonan inget pernah diboongin. Dikit-dikit bawaannya insecure."

Ada jeda dua detik, kemudian Luna melanjuti.
"Gue mau negasin kalo lo nggak salah, Re. Karna bukan lo yang berengsek di sini. Jadi, jangan ngerasa kalah."

Rere tak menyahut apa-apa. Ia lagi-lagi tertawa getir. Semua perkataan Luna terasa benar. Berkali-kali ia ditanamkan untuk selalu berbuat baik pada siapapun, dan kini ia tak merasa kalah. Karena bukan dirinya yang pelaku.

"Malah gue yakin lo bisa move dari Akbar lebih cepat dibandingin sama mantan lo yang lain."

Seperti orang linglung, Rere manggut-manggut dan menatap kosong layar ponselnya yang mati di genggaman.

"And one thing," ujar Luna. "Sebenernya yang lo takutin itu cuma adaptasi lagi aja, Re. Adaptasi ke masa sebelum lo ketemu dia. Tapi tenang, it just temporary. Sebulan lah mentok-mentok."

Saat Rere menatap Luna, ponselnya berdering. Ada notifikasi chat masuk dari Akbar. Walaupun belum membukanya, pesannya masih bisa terbaca di pop up notifikasi. Jantungnya berdebar-debar, otomatis ia menunjukkan pesan itu ke Luna.

Akbar kurniawan: you know i love you so, right? I'll catch u up soon, baby. Please wait

"Najis. Buaya emang."

Tetapi, Rere tak menampik jika masih ada secercah perasaan senang menerima pesan itu dari Akbar. Benteng yang baru saja dibangunnya seketika runtuh begitu saja. Seolah terbutakan, Rere tak mau tahu Akbar mengatakannya tulus dari hati atau tidak.

"Lo inget nggak sih? Waktu gue diselingkuhin Arman, lo ngomong apa?" ujar Luna. "Lo bilang ke gue, selingkuh itu habit. Kemungkinan berubahnya terlalu kecil, malah hampir gak ada."

Rere tertegun, teringat perkataannya setahun lalu. Disaat ia menasehati Luna yang baru saja diselingkuhi mantan kekasihnya yang saat itu ketahuan melakukan hubungan intim dengan seorang perempuan dibelakangnya. Airmata Rere kembali mengalir. Di situasi seperti ini, ia merasa bukan menjadi dirinya. Ia kehilangan jati dirinya. Kehilangan akal rasionalnya. Rere merasa kehilangan segalanya.

"Dan, berkat omongan lo yang mindblowing itu, gue sadar," suara Luna melembut. Ia meraih bahu Rere, dan mendekapnya. "Sekarang gue cuma mau bilang sama lo," ada jeda. Ia menepuk lembut punggung sahabatnya. "Jangan mau kembali ke yang buruk cuma karena gak sabar untuk dapetin yang baik."

Seakan berhasil medapatkan kembali akalnya yang sempat hilang, Rere langsung mempererat pelukan sahabatnya. "Gue beruntung banget punya lo, makasih ya, Lun."

Keduanya sontak saling melepaskan, lantaran ponsel Rere kembali berdering. Kali ini ada panggilan masuk dari bunda.

"Nyokap gue." isak Rere, memperlihatkan layar ponselnya.

"Angkat aja."

"Gue nggak bisa lagi sobbing gini ngomong sama nyokap gue."

"Yaudah, take your time." Luna menarik napas pendek. "Tapi inget ya, Re. This is not your loss, but his. Percaya sama gue."

Saat ponselnya berhenti berdering, Rere bertanya pilu. "Dia apa nggak nyesel ya lakuin ini?"

"Nggak sekarang, tapi nanti." Luna berujar jujur, mengingat pengalamannya. "Lo nggak sendirian kok. Ada nyokap lo, gue, Aca, Tiara, bahkan Azka yang selalu ada buat lo. Jadi nggak usah lagi takut ngadepin hari-hari besok ya."

"Makasih ya, Lun."

Luna mengambil ponselnya, dan beranjak. "Gue nelfon nyokap gue dulu ya,"

"Yah, lo mau balik?" Rere langsung menegakkan posisi duduknya.

"Malah gue mau ngabarin kalo malem ini gue nginep sini."

Tahu bila temannya ingin mengatakan terima kasih lagi, Luna kembali bersuara.
"Saran gue, kalo lo belum siap telfonan sama nyokap lo, mending lo text aja."

Rere menghela napasnya. Dilihatnya Luna berjalan keluar dari kamarnya, perempuan itu mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan untuk bunda.

Realita Kusuma: iya bun?

Riana Hassan: Kok telfon bunda nggak diangkat Re?

Realita Kusuma: chat dulu aja ya bun, aku lagi nggak bisa telfonan. Ada apa?

Riana Hassan: tadi mamanya Akbar bilang sama bunda, katanya kamu belum bales-bales chatnya. Dia khawatir banget tuh

Rere menghela napas panjang, akalnya mulai berfungsi. Ia tertawa getir, tahu betul arahnya akan kemana.

Realita Kusuma: alah paling disuruh sama Akbar kan bun?

Riana Hassan: maksudnya?

Realita Kusuma: aku kan putus sama dia wkwkwk

_______

wkwkw bgt gak tuh?

aku sedang bersemangat. semoga ini bertahan lama aamiin❤️

makasi yg udh baca, vote, komen!💖🤗

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 106K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
793K 50.4K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
3.7M 39K 32
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
2.5M 38.1K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...