Love: The Butterfly Effect [C...

De storiesbyyola

847K 90.3K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... Mai multe

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 26: One step at a time

14.7K 1.6K 33
De storiesbyyola

AKSA

"You have to eat," tegurku sambil sesekali melirik kepada ponsel yang menghubungkanku dengan Luna. Melalui sambungan video call, aku dapat melihat Luna sedang membuka bungkus tortilla chips. Aku meneleponnya lima menit yang lalu ketika dia sudah berada di apartemen. Lidahku berdecak ketika dia menggoyangkan bungkus snack-nya di depan kamera. "Makan nasi, Lun. Bukannya tadi siang lo bilang cuma makan sedikit karena ngurus kerjaan?"

"Ini baru mau pesen makan. Enaknya makan apa ya, Sa?" tanya Luna. Terdengar bunyi gemerisik di seberang sana sebelum video menampilkan layar hitam. "Masih di kantor? Lo nggak berniat buat nginep di sana, kan?"

Suara Luna yang sarat akan sindiran mengundang gelak tawaku. Aku menyapu pandangan ke sekitar working space. Hanya tersisa timku dan beberapa orang dari tim lain yang mungkin juga sedang dikejar deadline sehingga mereka masih menghuni lantai dua belas ini meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku mengembalikan perhatianku pada dokumen analisis atas penciptaan sinergi untuk merger rumah sakit yang sedang ditangani oleh timku.

"Sebentar lagi pulang," ujarku dengan suara rendah meski tak ada yang dapat mendengar ucapanku karena aku sengaja menempati meja yang agak jauh dari orang-orang agar bisa mengobrol tenang dengan Luna. "Jadinya pesen apa? Udah semalam ini pilihan makanan masih banyak emangnya? Kalau susah carinya, nanti gue mampir ke sana bawain makanan."

"Apartemen gue kan deket sama pujasera, jadi jam segini masih banyak yang jualan," sahutnya diikuti dengan suara renyah dari gigitan tortilla chips. "Lagi pula, Sa, ini udah malem banget. Besok lo masih harus kerja sedangkan sekarang masih di kantor. Kalau lo nanti mampir dulu ke apartemen gue buat bawain makanan, lo mau sampai rumah jam berapa? Mau tidur jam berapa?"

"It's not a big deal," timpalku ringan.

Keheningan yang kuterima membuatku mendongakkan kepala untuk menatap Luna lewat layar ponsel. Mataku berkedip bingung ketika wanita itu terdiam, memancarkan sorotan mata yang tidak dapat kuartikan.

"Kenapa?" tanyaku.

Luna menghela napas dengan berat. Dia menggeleng pelan lantas bergumam. "Nggak apa-apa." Namun, dari matanya yang masih belum bisa terlepas dariku, aku tahu ada hal lain yang ingin dia bicarakan. Sayangnya aku tidak bisa menebak isi hatinya sehingga aku hanya bisa bertanya-tanya di dalam hati. "Udah makan, Sa? Mau gue pesenin sekalian?"

Aku mengetukkan jari-jariku di atas meja. Luna mengalihkan pembicaraan lagi. "Gue baru aja selesai makan sebelum telepon lo," jawabku, berusaha untuk tidak memaksanya berbicara. One step at a time. "Nanti kalau makanannya udah datang langsung makan, terus tidur. Istirahat yang cukup selagi bisa."

"Iya, iya." Luna mendengus geli. "Sejak kapan lo jadi sebawel ini, Sa? Nyokap gue aja nggak separah lo." Dia tertawa singkat. "Omong-omong, lo nggak merasa terganggu karena kerja sambil teleponan begini?"

"Kalau cuma sepuluh sampai lima belas menit harusnya nggak apa-apa," celetukku. "I need to recharge my energy. Talking to you seems like an effective way to help me clear my head."

Aku menaikkan sebelah alis begitu tidak mendapatkan respons apa-apa dari Luna. Seperti dua menit yang lalu, dia hanya terdiam, membalas tatapanku lewat layar ponsel. Bibirnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar.

"I have to go," pamitku ketika salah satu anggota timku memanggil. "Talk to you later?"

"Not today," tolak Luna tegas. "Lo harus istirahat setelah sampai rumah."

"Alright." Aku mengalah kemudian mematikan sambungan video call setelah kami bertukar salam perpisahan. Jari telunjukku yang akan menekan tombol merah terhenti ketika mendengar Luna memanggil namaku. "Kenapa, Lun?"

Lagi-lagi, hening. Setelah detik demi detik menunggu Luna berbicara, akhirnya wanita itu menggeleng pelan dengan raut wajah yang murung. "Never mind," ujarnya singkat lalu mematikan telepon secara sepihak.

Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. I'm fucking sure she has something in mind, tapi aku tidak tahu apa yang membuatnya ragu untuk membicarakannya denganku. Napasku berembus berat ketika memandang layar ponselku yang sudah menghitam. Tidak tahan berada di situasi ini, aku meraih ponselku kemudian mencari kontak Luna.

If you need anything, I'm only one call away. Aku membaca pesan itu berkali-kali. Merasa pesan itu tidak tepat untuk dikirimkan kepada Luna, jariku langsung bergerak cepat untuk menghapusnya kemudian mengetikkan pesan baru. If you have something in mind, just talk to me. Aku menggeram pelan begitu merasa pesan itu terkesan terlalu menuntut. Pada akhirnya, aku menghapus berbagai kalimat yang sudah kuketik karena merasa tidak ada kalimat yang tepat untuk dikirimkan kepada Luna.

Aku menghela napas lantas menyandarkan punggungku pada kursi. Aku memijat pelipis dengan mata yang terpejam. I miss the moment when everything is so easy with her.

Mataku terbuka lebar ketika salah satu anggota timku menghampiri untuk memberikan dokumen klien yang sebelumnya kuminta. Aku beranjak dari tempat kemudian berjalan ke kubikel tempat anggota timku yang lain berada untuk mendiskusikan pekerjaan dengan mereka. Ketika hanya tersisa tiga langkah menuju timku, aku kembali menatap chatting room-ku dengan Luna. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya aku mengurungkan niat untuk mengirimkannya pesan dan memilih untuk memfokuskan perhatian pada ucapan salah satu associate timku.

Namun, sekeras mungkin aku mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi, di tengah diskusi penting dengan timku, pikiranku terus dipenuhi dengan berbagai tanya mengenai apa yang ingin Luna bicarakan. Apa yang ingin dia katakan kepadaku hingga dia terlihat ragu untuk mengutarakannya? Hingga diskusi dengan tim selesai dan aku melaju mobilku menuju rumah, pertanyaan yang sama masih bersemayam di pikiranku.


*


"Kalau kita ngomongin soal cryptocurrency terutama Bitcoin, tantangannya kan, emang selalu berpusat di harga yang terlalu fluktuatif." Aku menyuarakan pendapat ketika Kevin memulai topik mengenai harga cryptocurrency yang anjlok beberapa hari terakhir. Berhubung besok tanggal merah, sepulang kerja, aku membuat janji temu di Pacific Place dengan Haris dan Kevin. Adam juga sudah diundang, tapi dia menolak datang. Sejak menikah, dia memang sudah jarang berkumpul dengan kami. "Walaupun pas harganya naik itu tinggi banget sampai berkali-kali lipat, tapi kalau udah turun ya turun banget."

"Sampai sekarang gue masih mempertimbangkan buat investasi di Bitcoin," tutur Haris. Dia menghentikan ucapannya ketika seorang pelayan mengantarkan pesanan kami. "Gue masih ragu sama nilai intrinsik cryptocurrency di masa depan. Banyak persepsi yang bilang kalau cryptocurrency itu sebagai penyimpan nilai, tapi karena fluktuasinya di masa sekarang, fungsinya sebagai penyimpan nilai juga jadi kurang jelas. Belum lagi media pertukarannya pake kriptografi. Nggak ada jaminan asetnya."

"Too risky, indeed," sahut Kevin. "But, despite of many risks, semakin hari, semakin banyak aja orang yang investasi di cryptocurrency."

"Risk appetite orang-orang itu tinggi mungkin. Investasi itu kan balik lagi ke pribadi masing-masing orang. Ada yang lebih suka main di aset yang berisiko tinggi dengan harapan imbalan yang tinggi juga. High risk high return," komentarku. Aku mengambil ponsel yang berdenting, menandakan ada sebuah pesan masuk. Begitu melihat notifikasi itu berasal dari pesan spam, aku memilih untuk mengabaikannya. "Gue lebih prefer investasi di aset-aset yang risikonya nggak sebesar kripto—saham, reksadana, obligasi, atau deposito."

"Saham juga risky," celetuk Kevin singkat.

"Tergantung lo investasi buat jangka pendek atau jangka panjang. Kalau investasi di saham buat trading dimana lo beli pagi ini terus bisa lo jual siangnya, mungkin risikonya tinggi. Tapi, kalau lo investasi buat jangka panjang, risikonya nggak terlalu tinggi."

"You're too passive."

"I prefer stability rather than short term profit."

"Tapi, tetep berisiko."

"Gue nggak bilang investasi gue di aset-aset tertentu nggak berisiko. Yang namanya investasi pasti ada risikonya," ralatku sambil meraih gyoza yang berada di tengah meja. "Bedanya, investasi gue risikonya mungkin lebih kecil daripada investasi lo berdua. Lo berdua kan, aktif trading sedangkan gue nggak. Besides, gue juga nggak punya waktu buat mantengin saham setiap jam sembilan pagi dan jam dua siang buat ngecek—sebentar."

Aku menghentikan ucapanku ketika ponselku menyala dan menampilkan notifikasi berupa pesan masuk dari Luna. Sekitar satu setengah jam yang lalu, di jam pulang kantor, aku menanyakan posisinya dan balasannya baru muncul sekarang. Setelah membaca pesan yang dia berikan, aku langsung meneleponnya.

"Lagi di PP juga?" tanyaku setelah Luna memberi sapaan. "Udah makan malam?"

"Sa, lo sadar nggak kalau lo udah kayak alarm berjalan? Nggak pernah lupa dan lewat buat nanya dan ingetin gue buat makan di jam-jam makan," gerutunya diiringi dengan geraman pelan. "Lo lagi di PP? Oh, buat jawab pertanyaan lo tadi—sebelum lo mulai bawel dan ngomel, gue baru aja selesai makan di Pancious. Ini mau langsung pulang kayaknya setelah muter-muter bentar."

"Sendirian?" tanyaku lagi sambil mengaduk ramenku.

"Sama teman kantor."

"Pulang ke Kebayoran Baru?"

"Hari ini pulang ke Bintaro berhubung besok long weekend. Udah berminggu-minggu gue nggak pulang ke rumah. Kalau minggu ini gue nggak pulang juga, nyokap bisa nyamperin gue ke apartemen dan nyeret gue pulang," gurau Luna dengan tawa singkat. "Lagi pula, weekend nanti gue juga ada acara kumpul keluarga besar makanya—sebentar dulu, Sa. Yang itu bagus, Wa. Warnanya cocok sama lo. Beli yang itu aja." Aku mengernyit begitu mendengar suara laki-laki menyahut setelah Luna berbicara. "Halo, Sa? Still there?"

Aku berdeham sementara pikiranku sudah mulai berpikir tentang hubungan apa yang Luna miliki dengan teman kantor yang sekarang pergi dengannya. "Pulang ke Bintaro naik apa? Bawa mobil sendiri?"

"Naik KRL. Mobil gue lagi masuk bengkel."

"Gue anterin aja sekalian gue pulang nanti," kataku tanpa berpikir lebih lanjut. Menyadari bahwa sikapku terlalu impulsif dan Luna tidak memberikan reaksi apa-apa, aku melanjutkan. "If you want. Gue nggak akan maksa kalau lo nggak mau."

Luna mengembuskan napas. "Bukannya nggak mau," tuturnya ragu. "Gue cuma nggak enak kalau harus ngerepotin terus-terusan. Bintaro itu jauh banget, Sa. Nggak searah dengan rumah lo."

"Luna, gue kan nyetir. Anterin lo naik mobil, bukannya menggendong lo atau apapun itu yang kesannya merepotkan. Nggak usah sungkan. Pulang naik KRL jam segini pasti penuh. Nggak nyaman. Gue anterin aja, ya?" bujukku.

"Beneran nggak ngerepotin?"

"Nggak sama sekali," tegasku. "Lo sekarang lagi di mana? Nanti gue susulin ke sana setelah makan malam gue selesai."

"Eh, jangan!" tolaknya cepat. "Mendingan lo makan aja dulu. Nggak usah buru-buru. Gue yang samperin lo ke sana. Teman gue juga udah selesai belanja dan mau langsung balik. Posisi lo di mana?"

"Ikkudo Ichi."

"Lima menit lagi gue ke sana."

"Oke."

Aku mematikan ponsel setelah Luna memberikan persetujuan. Aku menggeletakkan ponsel di atas meja lalu kembali memusatkan perhatian pada Haris dan Kevin yang duduk di hadapanku. "Sorry, tadi sampai mana?" tanyaku. Namun, bukannya mendapatkan sahutan, kedua temanku sejak duduk di bangku kuliah itu membungkam mulutnya, menatapku dengan penuh selidik. "Apa?"

"Sejak kapan lo sama Luna ada di hubungan yang saling antar-jemput ke rumah, saling kasih kabar, dan saling ingetin waktu makan?" tanya Haris, mendramatisir. Aku memutar kedua bola mataku lantas melanjutkan makan malamku yang sempat tertunda. "Terakhir ketemu waktu Lisa kasih oleh-oleh, seinget gue kalian masih canggung dan Luna masih pacaran sama Damar. I guess Luna already broke up with her boyfriend?"

Aku mengerutkan kening. "Kok tahu?"

"Karena, seperti kebanyakan perempuan yang baru putus dari pacarnya, Luna menghapus semua fotonya dan Damar dari feeds IG-nya." Haris mengetuk jari-jarinya di atas meja. Dari ekspresinya, aku tahu bahwa dia menganggap situasi ini sangat menarik. "Lagian, lo juga nggak mungkin bisa sedekat ini sama Luna kalau dia masih sama Damar. Jadi?" Dia tersenyum miring. "Kalian dekat lagi?"

Aku mengangkat bahu acuh tak acuh. "We're friends."

"Yeah, you said the exact same words seven years ago." Haris berdecak. "Lebih dari teman juga nggak apa-apa. Kalian single. Nggak ada salahnya buat saling mengenal, dekat, pacaran, terus menikah. Iya kan, Kev?"

Kevin yang sedari tadi lebih banyak mendengarkan kini menyipitkan mata. "Terlalu jauh buat ngomongin pernikahan," komentarnya, sukses menikam jantungku. Dia meneguk minumnya tanpa merasa bersalah sedangkan nafsu makanku hilang seketika. "You already hurted her once. It's a fact. It's not easy for her to trust you again."

"Gue udah jelasin tentang kesalahpahaman itu," kataku.

"How did she take it?"

"Fine, I assume." Aku menghela napas. "She didn't say much, but she understands."

"How about you?"

"What about me?" tanyaku balik, bingung.

"Are you ready to have a commitment again? Karena gue tahu sejak lo putus dengan Amanda, you have some kind of trust issue with relationship."

"I'm not!" seruku tidak terima. "Hubungan gue dan Amanda udah selesai sejak lama dan gue nggak merasakan efek apapun setelah hubungan kami selesai."

"Terus kenapa sampai sekarang lo nggak punya pacar?"

"Really, Kev?" Aku mendecakkan lidah, agak jengkel dengan interogasi dadakan ini. "I'm busy with work. Lo tahu pekerjaan gue memakan sebagian besar waktu yang gue punya. Bahkan, gue harus lembur pas weekend. I have no time for love."

"Bullcrap." Kevin menggelengkan kepala sambil menahan senyum. "The problem is you don't wanna try. Temen gue yang terakhir kali minta dikenalin sama lo kelanjutannya gimana? She said, you are friendly to everyone and that's it. You just being friendly, tanpa menunjukkan ketertarikan lebih lanjut."

Haris tiba-tiba menimpali. "My friend said the same about you."

Aku menatap Haris tajam, memperingatinya untuk tidak memperkeruh keadaan.

"Berdasarkan apa yang gue barusan dengar—dari percakapan lo dan Luna di telepon—sikap lo itu bisa misleading di matanya. Persis kayak apa yang lo lakukan ke dia di Malang. If you can't guarantee anything, you should back off." Kevin menegaskan. "Kasihan Luna kalau dia harus disakiti dua kali oleh orang yang sama. Mau bagaimana pun juga, gue pernah kenal Luna dan dia orang yang baik. She deserves better. Lagi pula, kalau lo menyakiti Luna kedua kalinya, gue yakin Lisa dan Adam bakal tahu. Mereka pasti marah besar dan Luna—" Kevin mengangkat bahunya, tampak enggan melanjutkan. "Lo bisa tebak gimana akhirnya."

Aku mengusap wajah dengan kasar. Meski Haris dan Kevin berniat baik, mereka tidak tahu bagaimana kondisi hubunganku dengan Luna sekarang. Hubungan kami terlalu abu-abu untuk dijelaskan karena meskipun Luna tidak pernah lagi menolak kehadiranku, bukan berarti dia juga sudah membuka dirinya. Namun, terlepas dari itu semua, ada satu hal yang aku tahu. Ada satu hal yang kuyakini. I'm not going to lose her again this time.

Continuă lectura

O să-ți placă și

Sepantasnya Usai De u t r i

Ficțiune generală

396K 44.3K 56
Why do people get married? Atau .... Why did she want to marry him? Maula bahkan harusnya ngerasa trauma kan? Dia udah dua kali loh menghadiri acara...
953K 98.7K 66
Sekian lama move on, Trinda mendadak CLBK-crush lama belum kelar-melihat mas-mas mempesona berkemeja batik slimfit incarannya delapan tahun silam mun...
86.7K 11.1K 45
It's raining outside. Won't you stay here for a while? --- Penat dengan segala kegiatan di kampus dan permasalahan dalam hidupnya, Fahla Audina memut...
3.3M 34.1K 30
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...