Am I Antagonist?

luckybbgrl által

2.6M 380K 21.2K

Ara adalah gadis penikmat novel yang selalu terbawa perasaan dengan apa saja yang ia baca. Sebuah novel berju... Több

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
bukan update! (revisi)
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
Tiga Puluh Delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
empat puluh tiga
empat puluh empat
empat puluh lima
empat puluh enam
empat puluh tujuh
empat puluh delapan
empat puluh sembilan
lima puluh
lima puluh satu

tiga puluh tujuh

25.5K 3.6K 221
luckybbgrl által

"Ikut gue!"

Vanya yang semula tengah menyimak perbincangan Rea dan Savita tersentak kaget saat merasakan tangan kirinya ditarik seseorang cukup kencang. Kepala gadis itu menoleh, dan mendapati Agam yang tengah menarik pergelangan tangannya.

Vanya tanpa bisa menolak langsung berdiri, dan mengikuti cowok itu karena kalimat perintahnya yang seakan tidak menerima penolakan. Tapi keduanya harus berhenti saat Rea angkat suara.

"Mau lo bawa kemana Vanya?" Rea berdiri dari duduknya dan bertanya dengan tatapan curiga, takut-takut kalau saja Vanya dibawa menjauh darinya agar bisa kembali di-bully oleh cowok itu.

Rea tahu bahwa hubungan Vanya dan Agam sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Tapi ia tidak bisa yakin kini mereka tengah berada di alur novel bagian mana, karena alurnya sudah jauh berbeda dari alur sebenarnya berkat ulahnya sendiri.

Ia khawatir, meski hubungan keduanya sudah membaik, dilihat dari sikapnya Agam yang labil tidak ada jaminan bahwa ia tidak lagi mem-bully Vanya. Jadi, waspada terhadap Agam adalah pilihan terbaik menurutnya.

"Apa urusannya sama lo?" Agam berbalik dengan tangan yang masih memegang pergelangan tangan Vanya, menatap Rea dengan sinis.

"Vanya temen gue. Jelas gue khawatir kalo dia berduaan sama cowok yang dulu sering nge-bully dia!"

Agam tertawa remeh, kemudian berbalik lagi dan menarik tangan Vanya tanpa membalas perkataan Rea. Vanya yang tahu bahwa Rea mengkhawatirkannya, hanya memasang senyuman manis pertanda bahwa dia akan baik-baik saja.

Savita sedari tadi hanya memperhatikan interaksi ketiganya. Melihat kepergian Agam dan Vanya, gadis itu lantas menarik tangan Rea kebawah agar kembali duduk.

"Udahlah, mereka juga udah baikan kayaknya. Kalo ada apa-apa, Vanya pasti ngehubungin kita juga. Tenang aja," Savita berbisik pelan sembari memainkan sedotan di gelas es jeruk miliknya yang telah kosong menyisakan es batu.

Rea awalnya masih tidak bisa tenang melihat kepergian keduanya, tapi berkat perkataan Savita, kini ia jauh lebih tenang.

••••

"Nathan!"

Nathan menghentikan langkahnya dan berbalik, mendapati Vera yang tengah berjalan menghampirinya. Cowok itu menghela nafas, kemudian berusaha mengubah ekspresinya supaya terlihat lebih santai.

"Kenapa?" Vera tersenyum lebar saat melihat wajah Nathan terlihat lebih baik daripada sebelumnya.

"Lo mau kemana?"

"Ke rooftop," Vera mengangguk paham, kemudian tersenyum lebar lagi.

"Gue ikut, boleh?" Nathan mengangguk sambil berdehem sebagai jawaban. Setelahnya kembali berjalan diikuti Vera yang melangkah tepat di sampingnya.

Selama perjalanan menuju rooftop, keduanya hanya diam dengan ekspresi yang berbeda. Vera yang menahan senyumnya sepanjang jalan, sedangkan Nathan hanya memasang wajah datar.

Sesampainya di rooftop, keduanya duduk di kursi besi yang bersandingan dengan meja kayu di hadapannya. Itu, tempat Agam dan sekumpulannya termasuk Nathan biasanya kumpul saat jam istirahat kedua atau saat ada jam mata pelajaran yang kosong.

Keduanya hanya diam, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Vera sibuk menatap wajah Nathan, sedangkan Nathan menatap jauh ke depan sibuk dengan pikirannya yang sedari kemarin tidak bisa ia kendalikan.

Pikirannya hanya tertuju pada satu, yaitu Rea.

Gadis itu saudara tirinya.

Bagaimana jika gadis itu tahu bahwa ia saudara tirinya dari awal?

Apakah mereka berdua tidak akan pernah menjadi sepasang kekasih?

Atau apakah mereka tetap akan menjadi sepasang kekasih tanpa memerdulikan status itu?

Atau bagaimana?

Kenapa ia baru memikirkan hal tersebut saat tahu dengan pasti Rea adalah saudara tirinya? Kenapa tidak dari awal?

Padahal sebelumnya, yang ia tahu adalah mereka saudara satu ayah dan bisa disebut saudara kandung.

Tapi meski ia tahu begitu, kenapa ia tetap menjalin hubungan dengan Rea?

Kenapa juga ia rela menyakiti gadis sebaik dia hanya karena ingin balas dendam?

Padahal harusnya, Rea tidak salah.

Harusnya ia juga sadar bahwa ia tidak tahu pasti alasan perceraian kedua orang tuanya karena hanya mendengar dari sudut pandang Ibunya.

Harusnya ia juga sadar bahwa dilihat dari watak Ibunya sendiri, bisa saja alasan perceraian kedua orang tuanya adalah tingkah Ibunya bukan Ayahnya.

Lalu kenapa ia bisa percaya dengan perkataan Ibunya dan menjadikan Rea sebagai alat balas dendam? Padahal gadis itu tidak tahu apa-apa.

Gadis itu hanya mencintainya dengan tulus pada saat itu.

"Lo kenapa?"

Suara khawatir Vera memecah lamunan Nathan, membuat cowok itu sadar dan langsung menoleh ke arahnya.

"Kenapa apanya?" tanyanya balik setelah kembali menghadap ke depan, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, berusaha terlihat sesantai mungkin.

"Lo kayak mikir sesuatu yang berat banget gitu," Vera terkekeh pelan sebelum ikut menatap ke arah Depan, menikmati pemandangan gedung-gedung tinggi dengan latar belakang warna biru langit dan awan yang putih.

"Enggak kok. Perasaan lo aja," jawab Nathan singkat, membuat Vera kembali menoleh ke arahnya sambil menaikkan sebelah alisnya tidak yakin.

Tangan kiri Vera terangkat menyentuh lengan kanan Nathan, membuat cowok itu sedikit menegang karena kontak fisik tiba-tiba itu.

"Gue tahu lo, Nath," suara lembut Vera terdengar. Nada khawatir dan menenangkan jadi satu, membuat Nathan yang awalnya tegang menjadi lebih santai.

Tangan kiri Vera menarik lengan kanan cowok itu agar tangan Nathan bisa sepenuhnya ia genggam. Tangan kanan cewek itu ikut menggenggam, seolah memberitahu bahwa Nathan bisa berbagi kegelisahannya kepadanya.

"Lo gak tahu apa-apa soal gue," jawab Nathan acuh sembari menarik tangannya agar lepas dari genggaman Vera.

"Gue tahu, Nath," Vera memiringkan kepalanya menatap cowok itu yang enggan menatapnya balik.

"Lo gak tahu apa-apa, Ver!" suara Nathan sedikit meninggi. Cowok itu memilih bangun dari duduknya hendak pergi dari sana.

"GUE TAHU LO, NATH!" suara tinggi gadis itu berhasil membuat langkah Nathan berhenti. "Kenapa lo selalu nganggep gue gak tahu apa-apa? Gue tahu lo gak pernah sayang beneran sama Rea. Gue tahu ada alasan dibalik lo mau jadi pacar dia kan?"

"LO GAK TAHU APA-APA, VERA!" Nathan berbalik, menatap Vera nyalang sambil membentak gadis itu. Vera tertegun mendengar suara bernada tinggi milik Nathan yang belum pernah ia tujukan untuknya. Selama ini, ia hanya mendengar bentakan itu saat cowok itu membentak Rea.

Nathan berjalan mendekat ke arah Vera dengan raut wajah kemerahan karena menahan amarah.

"Lo bilang lo tahu kalo gue gak sayang sama Rea?" Nathan tertawa remeh. "Lo salah. Gue beneran sayang banget sama dia, cuma telat buat nyadarinnya. Terus lo bilang gue ada alasan dibalik gue mau jadi pacar Rea?" Nathan menaikkan kedua alisnya kemudian mengangguk.

"Iya, emang ada. Dan sekarang gue nyesel kenapa gue jadiin alesan itu buat jadi pacar Rea. Padahal gue bisa pacaran sama dia karena gue beneran sayang sama dia."

Vera makin tertegun mendengar penuturan Nathan.

"Kenapa? Lo mau bilang kenapa gue mau sama Rea yang kayak lintah nempel mulu ke gue?" Nathan menatap Vera nyalang. Ia merasa muak melihat wajah Vera, karena setiap ia melihat wajah gadis di hadapannya ini, ia jadi teringat setiap kalimat yang keluar dari mulut gadis itu yang tak jarang menjelek-jelekkan Rea.

"Seenggaknya Rea kayak gitu ke gue doang, pacarnya. Dia juga gak pernah ngejelek-jelekin lo di belakang," Nathan mengerutkan keningnya, rahangnya juga mengatup menahan agar amarahnya tak meledak-ledak.

"Sedangkan lo? Lo ngincer pacar sahabat lo sendiri, Ver. Bahkan lo sering ngejelek-jelekin Rea di belakang dia. Selama ini gue diem karena nganggep Rea gak lebih baik dari lo. Tapi sekarang gue sadar. Rea jauh lebih baik daripada lo yang kayak lonte!"

PLAKK

Suara tamparan tangan Vera di pipi Nathan terdengar nyaring. Mata gadis itu merah dan berair, hatinya sakit saat mendengar cowok yang ia sukai menyebutnya 'lonte'.

"GUE SUKA SAMA LO, NATH. LO GAK SADAR?" teriaknya frustasi. Tidak tahu lagi harus sejauh apa ia memendam perasaannya kepada cowok itu. "Gue suka sama lo bahkan sebelum Rea jadi pacar lo. Tapi kenapa lo kayak gini ke gue?" air matanya luruh.

Air mata Vera terus turun, gadis itu menahan isak tangisnya. Rasanya sakit dan sesak jadi satu, apalagi perkataan cowok itu terus terngiang di kepalanya.

"Gue tahu, kok," Nathan menurunkan tangannya yang tadi memegang bekas tamparan Vera di pipi kirinya. "Emangnya lo bisa ngasih sesuatu yang gak bisa dikasih Rea ke gue?"

Tangisan Vera mereda, gadis itu mendongak menatap Nathan dengan tatapan penasaran dan sendu jadi satu.

"Bisa. Apapun bisa gue kasih buat lo, Nath," jawab Vera dengan suara pelan.

Mendengar jawaban Vera, Nathan mendekat. Memegang pipi gadis itu dan menariknya agar menatapnya. Dengan senang hati Vera menurut, menatap cowok itu dalam dan sendu.

Nathan menatap lekat ke arah bibir Vera sambil perlahan menarik wajah gadis itu mendekat. Vera memejamkan matanya saat menyadari apa yang hendak cowok itu lakukan. Jarak wajah keduanya telah dekat, Nathan masih terus menarik wajah Vera sampai membuat bibir keduanya bersentuhan.

Nathan ikut memejamkan matanya, kemudian mulai melumat bibir Vera pelan.

Jika benar Rea dulu amat mencintainya, kenapa gadis itu tak pernah mau ketika ia cium?

••••

Nathan pergi dari depan rumah Rea dengan mobil hitamnya. Raut wajah ceria yang setiap kali gadis itu tampakkan di hadapan Nathan hilang begitu badannya berbalik hendak melangkah masuk ke dalam rumah.

"Siapa yang nganterin kamu tadi?" suara Widya langsung menyapa telinganya begitu pintu rumahnya tertutup setelah ia masuk.

Rea menghela nafas sembari memejamkan matanya pelan, mencoba menghalau rasa muaknya mendengar suara orang yang ia anggap sebagai perusak kebahagiaan di hidupnya itu.

"Bukan urusan Mama," tanpa menoleh sedikitpun ke arah Widya, Rea melangkah hendak menuju ke kamarnya.

Sudah menjadi kebiasaannya sepulang sekolah ia akan berdiam diri di dalam kamar, apalagi jika Mama dan Papanya ada di rumah. Ia baru akan keluar saat waktunya makan malam atau saat kedua orang yang paling tidak ingin ia lihat tidak berada di rumah.

Widya berdiri, berjalan menghampiri Rea dan mengikuti langkah gadis itu memasuki rumahnya semakin dalam.

"Pacar kamu?" Rea tetap melanjutkan langkahnya sembari memutar matanya sekali saat menyadari bahwa Mamanya mengikutinya.

"Siapa namanya?" Rea menghela nafasnya lagi mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Mamanya. Kenapa wanita itu banyak sekali bertanya? Memang apa pedulinya? Ia bahkan tidak peduli dengan kebahagiaannya dan memilih menikah lagi setelah membuat Ayahnya gila.

"Sejak kapan kalian pacaran?" Widya terus bertanya meski Rea tak menjawab pertanyaannya. Berharap dengan perhatiannya, siapa tahu Rea anaknya yang dulu kembali.

"Rea jawab Mama dulu!" Widya mencekal tangan Rea saat anak gadisnya itu mulai menaiki tangga menuju ke lantai dua. Detik itu juga Rea langsung menepis tangannya kasar hingga tangan Widya terhempas begitu saja.

Rea menatap Mamanya tajam dengan alis mengkerut marah. Ia sudah tidak tahan lagi. Amarahnya yang berusaha ia tahan semenjak mendengar suara Mamanya itu langsung lepas begitu tangan halusnya menyentuh tubuhnya tanpa permisi.

"UDAH DIBILANG BUKAN URUSAN MAMA. NGERTI GAK SIH?" teriak Rea murka, hingga Widya tersentak. Ia memang sudah biasa mendengar nada tinggi Rea semenjak pernikahan keduanya, tapi tetap saja hatinya teriris mendengar teriakan anak yang dulu berada di kandungannya selama 9 bulan dan mati-matian ia berjuang untuk melahirkannya.

Tanpa sadar mata Widya berkaca-kaca karena rasa sesak yang menyerang dadanya. Rea yang menyadari itu membuang muka sambil tersenyum remeh.

"Mama nangis?" tanya Rea tak percaya, sedetik setelahnya raut mukanya kembali datar, menatap Mamanya datar. "Gak pantes tau gak?" ucapnya dingin sebelum berbalik dan kembali menaiki tangga.

Rea buru-buru menutup pintu kamarnya dan bersandar di sana sembari membuang nafas lega

"Mama gak boleh tau kalo Nathan pacar gue."

Tubuh Rea seakan melayang, pandangannya buram berganti dengan seluruhnya hitam berkali-kali dengan cepat. Kepalanya terasa berputar-putar terus menerus hingga tubuhnya terasa seperti ditarik beriringan dengan cahaya putih terang yang menyilaukan.

"Mau kemana, Re?"

Raut wajah Rea yang tengah melangkah menuruni tangga langsung berubah menjadi amat datar ketika suara Widya yang tengah duduk di meja makan bersama Agung terdengar. Keduanya tengah sarapan sebelum berangkat menuju kantor, penasaran hendak kemana anaknya pagi-pagi di hari libur sudah rapi dengan pakaian casual.

Tanpa repot-repot menjawab, Rea langsung melangkah menuju ruang tamu agar bisa secepatnya keluar dari rumahnya yang meski besar terasa memuakkan itu.

Widya saling menatap dengan Agung melihat Rea menghiraukan pertanyaannya. Meski bukan pemandangan yang langka, tapi Widya dan Agung setiap harinya selalu berlagak layaknya tidak pernah terjadi apa-apa, seolah keduanya tidak punya perasaan yang bisa disakiti oleh Rea.

"Bentar ya, Mas," Widya memegang pundak Agung sebentar, kemudian berdiri dan melangkah mengikuti langkah Rea agar bisa berbicara berdua dengan anaknya.

"Re, kamu mau kemana?" Widya bertanya dengan lembut sembari berusaha mengejar langkah Rea.

"Rea sayang?"

"Re, kamu mau kemana pagi-pagi gini?" Rea terus berjalan meski tahu bahwa Mamanya mengikuti di belakang.

"Mau ketemu Ayah gila kamu lagi?"

Mendengar Ayahnya yang dihina, Rea langsung menghentikan langkahnya tanpa berbalik. Melihat itu, Widya ikut menghentikan langkahnya.

"Jadi bener ya? Kamu mau ketemu Ayah kamu lagi?"

"Bisa Mama ulangi perkataan Mama tadi?" tanya Rea lirih sembari membalikkan tubuhnya perlahan.

"Perkataan yang mana?" Widya mengerutkan keningnya bingung.

"Ayah aku gila?" tanya Rea dengan tatapan dingin disertai alis naik sebelah. Widya memasang wajah terkejut, ia benar-benar tanpa sadar mengucapkan itu tadi karena paham bahwasanya Rea hanya peduli pada Ayahnya.

"Mama kira siapa yang bikin Ayah aku gila?" alis Rea berkerut samar, menatap tidak percaya ke arah Mamanya yang di matanya kini terlihat sangat tidak tahu diri.

"Sayang, bukan gitu maksud Ma-"

"Bukan gitu gimana?" suara pelan tapi tegas Rea berhasil memotong perkataan Mamanya. Nada suaranya terdengar lembut tapi terasa sangat tajam di telinga. "Mama sendiri loh yang ngomong Ayah aku gila."

"Sayang, maaf. Mama-"

"Mama tahu gak siapa yang bikin Ayah aku gila?" nada suara yang terdengar santai berbanding terbalik dengan raut wajah gadis itu yang terlihat sangat keruh.

"Rea, Mama gak maks-"

"Mama tahu kan siapa yang bikin Ayah gila?"

"KAMU KETERLALUAN YA!" Widya tidak lagi bisa menahan emosinya. Sedari tadi ia hendak berbicara, Rea yang notabene adalah anaknya sellau memotongnya.

"Keterlaluan?" ulang Rea dengan senyuman yang meledek.

"DARI TADI MAMA MAU NGOMONG KAMU POTONG TERUS. MAU JADI ANAK DURHAKA KAMU?" Rea tertawa hambar mendengar bentakan Mamanya.

"MAMA INI MAMA KAMU. YANG UDAH NGANDUNG DAN NGELAHIRIN KAMU! BISA GAK NGEHARGAIN MAMA SEDIKIT, HAH?" suara lantang Widya terdengar hingga seluruh rumah. Tapi sepertinya tidak berpengaruh apa-apa pada Rea.

Rahang Rea mengatup erat, berusaha menahan emosi yang meledak-ledak mendengar perkataan Mamanya yang baginya tidak masuk akal.

"KAMU DENGER GA-"

"MAMA YANG KETERLALUAN!" bentakan Widya terhenti karena suara dengan nada tinggi Rea yang lebih lantang.

"MAMA SADAR GAK SIH KALO MAMA ITU PENYEBAB AYAH GILA?" Rea tertawa renyah.

"Sekarang Mama minta aku buat ngehargain Mama? Mama sadar dong, emangnya Mama ngehargain Ayah yang selalu berusaha ngebahagiain Mama?" Widya tertegun mendengar perkataan Rea yang tidak lagi dengan nada tinggi, tapi bisa menyentil hatinya.

Agung yang tadi masih berada di meja makan, kini juga berdiri di ambang perbatasan ruang tengah dan ruang tamu menyaksikan keduanya yang tengah adu mulut. Sedikit tertegun juga mendengar perkataan Rea yang masih belum bisa luluh dengan segala perhatian yang ia dan Widya berikan.

"Terus tadi apa? Mama ngatain Ayah aku gila?" mata Rea mulai berkaca-kaca.

"MAMA ITU PENYEBAB AYAH AKU MASUK RUMAH SAKIT JIWA. JADI GAK PANTES BUAT NGATAIN AYAH AKU GILA!!" Rea berteriak sekencang mungkin di akhir kalimatnya. Nafas gadis itu memburu seusai meluapkan segala emosinya karena mendengar Ayahnya dihina.

Ia paling tidak suka mendengar ada yang mengatakan hal itu. Ayahnya tidak gila. Ayahnya hanya tidak mau lagi berbicara dengan orang lain dan suka menatap kosong ke arah depan.

"Gak usah perhatian lagi sama aku. Aku gak butuh perhatian dari orang kayak Mama. Bahkan kalo aku mati dibunuh pun, Mama gak perlu ngurus mayatku!"

Selepas mengatakan kalimat itu dengan air mata yang membasahi kedua pipinya, Rea berbalik dan langsung meninggalkan rumahnya dengan membanting pintu rumahnya sekencang mungkin.

Hitam sepenuhnya memenuhi pemandangan mata Rea selama sepersekian detik.

Belakang kepalanya terasa ditarik dengan paksa, kemudian mulutnya dipaksa juga untuk meminum sebotol vodka.

"Akh!"

Visual Agam terlihat tengah menjambak rambutmya kencang-kencang sampai membuatnya mendongak menatap ke arahnya usai meneguk setengah botol vodka tadi. Agam terlihat menaikkan bibir atas kirinya menatap wajah merah Rea.

"Nge-bully Vanya berani. Giliran kayak gini kagak berani?" tanya Agam sinis.

"CUPU!"

Dakk

Rea langsung membuka matanya dengan nafas yang memburu dan keringat yang membasahi keningnya. Tangannya langsung memegang kepalanya yang terasa berdenyut dengan kencang, seolah-olah kepalanya benar-benar baru saja terhantam meja.

Matanya bergerak ke kanan dan kiri, meneliti dimana ia berada, kemudian membuang nafas lega sambil memejamkan mata saat sadar bahwa ia berada di kamarnya sendiri.

Ia menoleh ke arah jendela kamarnya yang tertutup tirai, terlihat cahaya matahari sudah menyusup lewat celah-celahnya.

"Itu tadi mimpi atau apa?"

To be continue...

Olvasás folytatása

You'll Also Like

232K 19.6K 25
••Alethea Andhira Gadis cantik yang memiliki kehidupan sederhana memiliki sifat rendah hati dan ramah. Sosoknya yang cantik tidak membuatnya memiliki...
589K 9.7K 11
Judul Sebelumnya : My Cold Husband Selena Azaerin, walau dirinya bekerja sebagai agen intelijen negara, Selena tak pernah kehilangan sifat cerobohnya...
329K 22.3K 23
Bagaimana jika kamu sedang tidur dengan nyaman, tiba tiba terbangun menjadi kembaran tidak identik antagonis?? Ngerinya adalah para tokoh malah tero...
417K 29.1K 42
menikah dengan duke Arviant adalah hal yang paling Selena syukuri sepanjang hidupnya, ia bahkan melakukan segala cara demi bisa di lirik oleh Duke Ar...