JARAK [complete]

By A_Cinderakasih

324K 15.8K 3.5K

"Lalu, seperti halnya perjalanan mengelilingi bola bulat dunia, kita akan kembali ke sebuah titik akhir yang... More

PRELUDE
SEBUAH PROLOG
AMBANG
Chapter 1
01.1 | Before the Podium
01.2 | Start Jongkok
01.3 | Pasukan Kasukabe
01.4 | Para Wanita
01.5 | Matahari
01.6 | Langit
01.7 | Trio
01.8 | Jenjam
Jeda - Garis Start
Chapter 2
02.1 | Bidadari Jatuh
02.2 | Firasat
02.3 | Arus
02.4 | Telecommunication
02.5 | Round
02.6 | The Melancholic Generation
02.7 | Surat Sewarna Darah
02.8 | Orthochromatic
Jeda - Wessel Zone
Chapter 3
03.1 | Sky, Sunlight and Clouds
03.2 | Sasmita Awang-awang
03.3 | Asmaradahana
03.4 | Endracapa
03.5 | Duta Panglawung
03.6 | Jajabang Mawinga-winga
03.7 | The Direction to the Day after Tomorrow
Jeda - Wessel Zone Kedua
JARAK
Chapter 4
04.1 | Pertemuan
04.2 | Tulisan-tulisan
04.3 | Tatap Muka
04.4 | Dewata
04.5 | Tiga Ratus Sekian Kilometer
04.6 | Sebuah Percakapan di Pinggir Danau
04.7 | Perempuan di Depan Mata
04.8 | Raseksa Ragana
Jeda - Sinta Obong
Chapter 5
05.1 | le Garçon et la Fille
05.2 | Kopi dan Cokelat
05.3 | Dan Bagiku Bandung Lebih daripada itu
05.4 | Wibrama
05.5 | Janglar
05.6 | Langit Berawan Badai yang Kau Lihat di Kejauhan dari Muka Pantai
05.7 | Kucari Kamu
05.8 | Andakara Liyan
Jeda - Rahasia dan Cerita-cerita Lainnya
Chapter 6
06.1 | Samudra dan Angkasa itu Dipertemukan Badai
06.2 | Bandu Kulita
06.3 | Granggam Monga-mangu
06.4 | Tempat dimana Semua Hal itu Berawal
06.5 | Percakapan Laut
06.6 | Jaul Panamaya
06.7 | Balada Seorang Buronan
06.8 | Srenggi, Srimala, & Srengenge
Jeda - Gagat Rahina
07 | Menuju Akhir
08 | Garis Finish
Epilog

03.6 | Cata Kantaka

2.9K 212 28
By A_Cinderakasih

03.6
Cata Kantaka



Wonosari. Gunungkidul
Sekitar bulan Juni 2008
Ujian kenaikan kelas


Kalau ia pikir-pikir lagi, Tama baru menyadari sesuatu. Ia tak tahu apapun mengenai Surya. Ia hanya kenal Surya yang berbagi kelas agama hindu berdua saja dengannnya. Ia hanya kenal Surya yang begitu ramah dan baik hati kepada teman-teman di kelasnya, hingga Surya menjadi idola dan popular di antara teman-teman perempuan di kelasnya. Ia juga hanya kenal Surya yang suka basket. Selain itu, Tama tidak tahu apa-apa mengenai Surya.

Suatu siang setelah ujian akhir kenaikan kelas di hari pertama selesai, Tama tak sengaja melihat sosok Surya yang sedang bermain basket di lapangan upacara sekolah bersama dengan beberapa orang anak tim basket SMA 1. Beberapa orang yang ikut bermain basket bersamanya adalah adik kelas mereka. Tama terhenti sejenak di sudut bangunan sekolah tempat ia dapat menyaksikan permainan Surya yang bergitu lincah. Seragam Surya telah dilepas dan tinggal kaos putih yang biasanya ia kenakan di bawah seragamnya. Beberapa kali Surya mencetak angka sambil tertawa-tawa. Ia terlihat begitu bahagia.

Tama termenung sembari mengingat-ingat cara bermain Surya ketika mereka bermain 3 on 3 yang sekarang sudah jarang sekali mereka lakukan. Kegiatan belajar persiapan ujian kenakan kelas membuat mereka menghentikan aktivitas mereka itu. Tama ingat bahwa permainan Surya tak pernah seagresif itu ketika bermain bersama teman-temannya. Ia juga selalu merasa bahwa Surya tak pernah bermain secara maksimal ketika di lapangan. Tapi mengapa ya?

Lamunan Tama itu terhenti ketika ia mendengar suara bola basket yang terpantul mendekatinya. Anak-anak yang bermain basket di lapangan menoleh ke arahnya. Termasuk Surya yang tiba-tiba sedikit terpana mendapati Tama menangkap bola yang terlempar ke luar lapangan. Tama agak sedikit tergagap menangkap bola basket itu. Pandangannya bertemu dengan Surya. Ia melihat Surya melambai ke arahnya. Tama tersenyum kecil lalu melempar bola itu ke arah Surya. Surya menangkap bola itu dan melambai lagi kepada Tama sebagai ucapan terimakasih. Tama hanya mendengus kecil melihat Surya kembali berbalik menuju teman-temannya.

Tetapi, entah apa yang Surya lakukan, yang pasti, ia mendekati temannya lalu mengoper bola itu dan berbalik menuju bawah ring basket untuk mengambil seragam dan tasnya. Tama agak termenung karenanya. Ia melihat Surya yang kini tengah berjalan menuju ke arahnya.

"Hei." Ujar Surya menyapa Tama sembari menyisir rambutnya yang sedikit panjang di bagian poni itu ke arah belakang. Beberapa bintik peluh merembes di pelipisnya.

"Oh, hai." Kata Tama. "Eum, kok main basketnya berhenti?" kata Tama sambil menunjuk ke arah lapangan. Teman-teman Surya itu terus melanjutkan permainan mereka. Surya mengikuti pandangan Tama ke arah lapangan.

"Oh,em, pengen pulang aja." Kata Surya tertawa seadanya.

Tama tersenyum geli mendapati jawaban Surya itu. Surya berhenti tertawa dan menyisakan senyum di ujung bibirnya. Tama menatap senyum itu. Ia baru sadar sesuatu lagi, sepertinya, ia tak pernah memperhatikan wajah Surya selama ini. Ia tak pernah tahu kalau Surya bisa tersenyum seperti saat ini. Memangnya, ia biasa tersenyum seperti ini?

"Kamu udah mau pulang?" tanya Surya kepada Tama.

"Yap." Kata Tama mengangguk.

Lalu tanpa bertanya, keduanya sepakat untuk berjalan bersama menuju parkiran belakang.

"Tumben baru balik. Kan ujian udah selesai berjam-jam lalu?" tanya Surya membuka obrolan.

"Tadi belajar ke perpus bentar sama Lintang dan Kikan." Jawab Tama sambil mengingat-ingat lagi. Lintang dan Kikan pada akhirnya memutuskan untuk pulang karena harus berangkat les di tempat yang berbeda. Tama selalu berpikir kalau ada ya, murid yang benar-benar kuat untuk sekolah, sore les hingga malam, dan masih harus mengerjakan tugas setelahnya. Setiap hari, setiap minggu.

Surya hanya mengangguk tanda mengerti.
Tiba-tiba, Tama seolah teringat sesuatu.
"Kok Jay nggak ikutan kamu main, ya?" tanya Tama. Biasanya, Jay yang maniak basket itu pasti tak akan melewatkan kesempatan untuk bermain basket ketika ada kesempatan untuk bermain.

"Nggak tahu, tam. Jay tadi buru-buru balik di tengah permainan setelah dapat telepon." Jawab Surya sembari mengingat-ingat ekspresi wajah Jay yang memucat ketika berbicara dengan seseorang yang ada di telepon itu. Jay kemudian hanya berpamitan kepada Surya sekilas saja sebelum pada akhirnya berlari-lari kecil menuju ke arah parkiran belakang sambil membawa tas gendongnya.

Tama lagi-lagi mengangguk sambil melirik ke arah Surya. Surya terlihat berpikir, sepertinya ia masih kepikiran soal Jay. Tetapi ia tak mengutarakannya kepada Tama. Bahkan, ia sendiri tak sadar Tama masih memandanginya. Lagi-lagi, entah mengapa, Tama kembali menyadari sesuatu. Ia agak kaget ketika mendapati pantulan mereka berdua di jendela deretan ruang kesenian terlihat berbeda.

"Eh, bentar deh, Surya." Kata Tama menghentikan langkah Surya. Surya menatap Tama dengan tatapan heran.

"Kenapa?" tanya Surya heran.

Tama mengerutkan keningnya lalu berdiri berhadapan dengan kaca ruang kesenian. Surya mengikuti pandangan Tama ke arah kaca jendela ruang kesenian. Ia mendapati pantulan mereka berdua terlihat tidak jelas di sana.

"Perasaan beberapa waktu lalu tinggiku masih setelingamu, deh." kata Tama sambil memicingkan matanya menatapi pantulan mereka berdua.

Surya tergagap dengan kalimat Tama itu. Tiba-tiba ia merasa sedikit senang tetapi gugup akibatnya. Surya mencuri-curi pandang ke arah Tama yang berdiri di sisi kirinya.

"Kamu tambah tinggi ya?" tanya Tama sambil tiba-tiba melayangkan pandangan menuduh ke arah Surya. Surya sedikit tergagap karena pandangan itu. Ia merasa dituduh melakukan sesuatu, sesuatu yang tidak pada tempatnya. Surya merasakan pipinya sedikit memanas.

"Yah, kan wajar kalau cowok tambah tinggi, Tam." Kata Surya memalingkan wajah dan meneruskan berjalan. Tama mengikutinya. Mukanya terlihat sedikit kesal. Surya sedikit geli melihat perubahan air muka Tama.

"Aku sebel deh sama kalian!" kata Tama kemudian. Surya melirik Tama dengan ekspresi heran dan geli.

"Sebel karena tambah tinggi dan kamu enggak?" kata Surya.

"Bukan!" kata Tama cepat-cepat. "Eh, iya! Maksudku, laki-laki itu nggak perlu mengeluarkan effort yang banyak tetapi hasil pekerjaannya setara dengan perempuan yang mati-matian berusaha di bidang itu. Ya kaya soal tinggi badan. Aku nggak mungkin menyaingi tinggimu dong meski aku lari, lompat-lompat, renang sekalipun biar aku bisa tambah tinggi."

Surya tertawa geli mendengar kalimat Tama itu.

"Wajar sih tam. Kan memang begitu default manusia sejak diciptakan ke dunia."

"Iya sih, tapi tetep aja sebel dong. Aku juga pengen tinggi!" protes Tama.

Surya semakin terbahak.

"Tama, Tama. Anak laki-laki kodratnya memang memiliki postur yang lebih tinggi dari anak perempuan. Kan aku juga malu kalau aku lebih pendek daripada kamu."

"Ah, tau ah, pokoknya aku mau banyak olahraga biar nggak kalah tinggi sama kalian semua." Kata Tama kemudian berjalan cepat-cepat menuju motornya yang terparkir di bawah pohon nangka. Surya hanya bisa tertawa mendengar tekad Tama itu.

*

Hari-hari setelahnya, ujian masih banyak menanti mereka. Beberapa hari ini, Jay terlihat begitu kusut dan tak fokus. Ia selalu datang mepet sebelum ujian dimulai dan pulang cepat-cepat bahkah mengumpulkan lembar ujiannya paling pertama. Beberapa orang mulai sadar dengan perilaku Jay itu. Surya merasa bahwa ada yang aneh setelah telepon yang Jay terima di tengah-tengah permainan basket mereka beberapa hari lalu. Anggit sendiri menangkap gelombang kepanikan, kesedihan, dan keputusasaan yang kuat dari perasaan Jay selama beberapa hari ini. Dan Kikan, orang terakhir yang merasakan air muka Jay yang terlihat selalu dalam kedukaan.

Suatu siang di tengah ujian yang terakhir, tiba-tiba, Pak Prayitno guru BK, menginterupsi ujian. Ia bercakap sejenak dengan guru pengawas ujian hari itu. Guru pengawas itu terlihat terkejut dan air mukanya berubah keruh sembari sesekali mencuri-curi pandang ke arah kelas. Tama termenung sejenak melihat adegan itu lantas tak mengindahkannya karena ia pikir ada masalah di kantor guru. Tetapi, fokusnya terhadap ujian teralihkan ketika guru penjaga ujian itu berjalan ke arah Jay dan mengatakan sesuatu. Pak prayitno sedang mencari Jay. Apapun masalah ini, terlihat begitu serius ketika air muka Jay berubah mengeras sambil berjalan keluar kelas. Pintu kelas kembali ditutup. Tapi dari jendela kelas mereka, Tama dapat melihat Pak Prayitno sedang berbicara pada Jay akan sesuatu.

Beberapa orang menatap adegan itu dalam diam. Beberapa merasa acuh dan kembali menekuni lembar jawab mereka. Beberapa tak sadar adegan barusan karena terlalu fokus. Tama mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas. Pandangannya bertemu dengan Lintang yang saling bertukar isyarat ada apa. Tetapi diantara keduanya, tak ada yang tahu alasan mengapa Jay dipanggil. Tak mungkin Jay mencontek ujian hingga dipanggil di tengah-tengah seperti ini. Tama mengedarkan pandangannya lagi. Ia menangkap tatapan Kikan ke arah pintu kelas sebelum anak itu kembali berpaling ke lembar ujian dan kertas jawaban di mejanya. Tatapan Tama bertemu dengan Pram dan Janu yang juga saling mengangkat bahu tanda tak paham. Tama mengalihkan pandangannya ke arah Surya yang juga memandangi pintu masuk kelas. Lalu pandangannya bertemu dengan Anggit. Ekspresi Anggit mengeras sebelum pada akhirnya Anggit kembali menatap ke arah pintu kelas.

Siang itu, Jay tak kembali ke kelas.

Setelah ujian siang itu, mereka berkumpul di lorong depan kelas. Kikan juga ikut, setelah Lintang memaksanya untuk jangan pulang terlebih dahulu. Janu dan Pram bergantian untuk menghubungi Jay dengan telepon mereka. Tetapi, panggilan mereka selalu ditolak, hingga pada akhirnya nomor Jay sama sekali tak bisa dihubungi.

"Nggit, menurutmu, Jay kenapa?" tanya Janu setelah ia menyerah menghubungi Janu. Kini giliran Pram yang mencoba menghubungi Jay.

Anggit menggeleng lemah. Ia tak bisa ditodong pertanyaan seperti ini. Ia tak memiliki kemampuan untuk meminta pertanda. Pertanda yang sering ia lihat itu, datang begitu saja. Tetapi ketika didesak seperti ini, ia hanya bisa menggeleng sedih. Semua orang diam.

"Aku balik deh." kata Kikan kemudian.

"Kan, entar dulu deh. Memangnya kamu tak cemas dengan Jay?" tanya Lintang menghentikan Kikan yang hendak berjalan pulang.

"Alah, paling juga karena apa. Besok-besok dia pasti ngomong kalau urusannya udah beres." Kata Kikan ketus. Ia merasa dituduh. Tetapi kalimat Lintang itu sebenarnya tepat. Dan karena itu ia merasa tak senang karena mendapati fakta bahwa ia khawatir terhadap Jay dan orang lain menyuarakan kekhawatirannya yang berusaha ia simpan untuk dirinya sendiri.

"Kan, jangan gitu lah." Kata Tama sedikit kesal karena Kikan yang bersikap egois.

"Hei, kalian ada yang tahu nomor ayahnya Jay?" tanya Pram tiba-tiba.

Semua orang menoleh menatap Pram. Semua orang terdiam. Tak ada yang punya nomor ayah Jay.

"Kamu sudah coba telepon ke kakak perempuan Jay atau ke rumahnya?" tanya Surya.

Pram mengangguk. "Kakanya juga tak bisa dihubungi. Sedang telepon rumahnya tak ada yang mengangkat. Sepertinya, tak ada orang di rumah Jay saat ini."
Semua orang perpandangan dalam diam.

Di kejauhan, suara deru kendaraan menandakan bahwa hari mulai petang, dan orang-orang ingin segera kembali ke rumah setelah seharian berkegiatan di luar rumah.

*

Keesokan harinya. Ujian telah selesai tetapi Tama terbangun sekitar pukul lima pagi. Tidurnya semalam begitu tak nyenyak. Ia seolah merasakan perasaan tak nyaman dan kekhawatiran yang tak ia ketahui datangnya darimana. Ia menyibakkan gorden dan membuka jendela kamarnya, membiarkan udara pagi masuk ke dalam kamarnya. Pagi itu kabut mengambang tipis, sisa-sisa dingin malam memasuki kamar Tama. Tama beranjak dari ambang jendela sembari mengusap-usap kedua lengannya yang terasa dingin menuju meja belajarnya. Ia mendapati sebuah pesan masuk di handphonenya.

Dari Jay.
Tam, kamu sudah tidur ya?

Isi pesan itu membuat Tama sedikit lega mengetahui nomor Jay aktif. Pesan itu masuk ke HPnya lewat tengah malam. Ia tersenyum kecil, perasaan lega menyusupi benaknya. Setidaknya Jay baik-baik saja, nyatanya ia menghubungi Tama lewat sms. Tama buru-buru membalas sms itu dan meletakkan HPnya kembali ke atas mejanya. Tapi Jay tak kunjung membalas. Tama pun tak sadar kalau smsnya itu tertunda. Ia telah buru-buru masuk kamar mandi untuk melalukan rutinitas di pagi hari. Tama keluar dari kamar mandi dengan baju yang telah berganti dan bau harum sabun. Ia menilik HPnya tetapi tak ada sms masuk. Mungkin Jay masih tidur, pikirnya.

Tama sedang menuruni tangga ketika ia mendengar suara Janu ada di arah dapur. Ia mendengus geli karena mendapati fakta bahwa mungkin Janu ingin menumpang sarapan seperti hari kemarin-kemarin.
Tama hendak menyapa Janu dengan sebuah ledekan ketika eyang putrinya dan Janu menatapnya yang baru saja muncul di ujung tangga dengan tatapan kaget, sedih, khawatir, dan campuran ekspresi yang tak dapat Tama jelaskan. Tama termenung ketika ekspresi Janu mengeras.

"Jan?"

"Tam, kakak perempuan Jay meninggal."
Ada sebuah perasaan menyengat yang mengagetkan Tama.

Seolah ia salah dengar, Tama bertanya. "Apa?"

Janu menelan ludah dan mengulangi kalimatnya. "Kakak perempuan Jay meninggal. Semalam. Aku dapat kabar dari Surya. Pemakamannya hari ini pukul 11."

Hening. Tama mengeratkan pegangannya pada teralis tangga. Ia jadi teringat sms Jay yang baru ia buka pagi ini. Jangan-jangan, semalam Jay berusaha menghubungi Tama untuk memberi tahu Tama tentang kabar ini.
Eyang putri Tama beranjak dari tempatnya.

"Eyang bikinkan sarapan buat kalian berdua. Kalau mau berangkat melayat, nanti sarapan dulu ya." Kata eyang putri sambil berjalan menuju area dapur.

Tama tertegun di tempatnya. Janu terlihat gelisah. Tama tahu, Janu paling benci berita kematian seperti ini. Apalagi, dari orang terdekatnya. Kedua bersahabat itu lalu duduk di kursi ruang makan dalam diam.

"Kenapa, jan? Kenapa kakaknya Jay meninggal?" tanya Tama tak mengerti.

"Kata Surya, tengah malam tadi, Jay menghubunginya, dan memberikan kabar itu. Kata Jay dalam pembicaraannya dengan Surya, beberapa hari lalu kakak Jay mengalami kecelakaan di jalan menuju ke tempat KKNnya di Kulon Progo. Kakaknya pergi naik motor bersama dengan pacarnya. Lalu dalam perjalanan mereka menuju ke tempat itu, kecelakaan itu terjadi. Surya bilang, Jay tak mau bercerita mengenai detailnya. Tetapi, yang pasti, kecelakaan itu adalah kecelakaan beruntun yang memakan beberapa korban. Pacar kakak Jay juga meninggal ketika dalam perjalanan dilarikan menuju ke rumah sakit. Sedang kakak Jay selama beberapa hari berada di ICU hingga akhirnya semalam menghembuskan nafas terakhirnya." Cerita Janu panjang lebar.

Tama diam, tertegun. Ia merasa bahwa mungkin akibat kejadian yang menimpa kakaknya itu, Jay jadi terlihat berantakan. Lalu ia teringat mengenai pesan Jay yang baru ia balas pagi tadi. Tetiba ia merasakan perasaan sedih yang luar biasa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia membayangkan sosok Jay yang meski terlihat dingin, adalah seorang adik yang memiliki kecenderungan sister complex. Ia mengusap air mata yang belum sempat jatuh itu.

"Anak-anak kelas sudah dikabarin. Nanti kita akan berkumpul di rumahku sebelum akhirnya berangkat bersama-sama menuju rumah Jay untuk melayat. Tapi, Surya sudah berangkat ke sana semalam setelah Jay menelepon. Ia telah di sana."

*

Satu-satunya perempuan yang paling dekat dengannya adalah kakaknya sendiri. Setelah kematian ibunya pada saat persalinan si kembar, bagi Jay, kakak perempuan adalah matahari di keluarganya. Tumbuh sebagai satu-satunya perempuan di keluarganya, kakak perempuannya merupakan sosok panutannya sejak kecil. Kakak perempuannya adalah sosok yang tegar, kuat, mandiri, dan begitu penyayang terhadap ketiga adik laki-lakinya. Kakak perempuannya adalah anak kebanggaan ayahnya. Bagi Jay sendiri, kakak perempuannya menggantikan sosok ibu di keluarga mereka, kakak yang menyayangi adik-adiknya, serta teman berbagi kisah keluh kesah masa remaja.

Tapi kini sosok itu telah tiada, dan meninggalkan perasaan merana dan lubang yang menganga di dalam hati Jay. Ia termenung di kamar kakak perempuannya ketika hari itu, segenap kerabatnya hilir mudik mengurusi pemakaman kakak perempuan Jay. Ayah Jay juga ikut sibuk mengurusi hal-hal yang tak ia tahu. Kedua adik kembarnya tak henti-hentinya menangis bersama dengan saudara sepupunya yang lain.

Jay masih ingat percakapan terakhirnya dengan kakak perempuannya di suatu sore sebelum keesokan harinya si kakak pergi untuk berangkat ke tempat KKNnya bersama sang pacar.

Jay sedang belajar untuk ujian bahasa inggris esoknya ketika sang kakak muncul di ambang pintu kamarnya.

"Jay, novelku yang judulnya Burung-Burung Manyar di mana ya?" tanya kakaknya sembari mengambil satu komik Conan dari rak berisi deretan komik yang ditata rapi oleh Jay, lalu duduk di kepala tempat tidur Jay.

Jay menoleh kepada kakaknya lalu membuang muka ketika ingat bahwa novel kakaknya itu masih di tangah Kikan.

"Eng, anu, mbak, masih dipinjem temen."
Kakak Jay memandang ke arah adiknya dengan tatapan curiga. Ia urun membaca komik conan dan meletakkannya di tempat tidur.

"Temen? Maksudmu, Kikan temenmu yang kamu bilang anak klub sastra SMAmu itu? Yang pernah kakak ajak kamu ke pertunjukan mereka?" tanya kakaknya penuh selidik.

"Iya." Jawab Jay singkat. Ia pura-pura menekuni buku latihan soal di hadapannya.

"Lah, itu kan kamu pinjam udah lama banget. Belum selesai? Atau jangan-jangan kamu marahan lagi sama anak itu?" kakak Jay beranjak dari tempat tidur dan berdiri di samping meja belajar Jay sambil pura-pura melihat komik lain di rak buku, sembari mencuri pandang ke arah adik laki-lakinya itu. Dan, Jay memang tak pernah bisa berbohong kepada kakaknya itu. Kakaknya tersenyum kecil. Ia merasa adiknya sudah besar, sudah masuk masa remaja yang sedang gemas-gemasnya memahami perasaan dalam dirinya.

"Oh, jadi proyek baikanmu sama dia nggak berhasil ya?" ledek kakaknya.

Jay memandang kakaknya dengan tatapan jengah bercampur malu.

"Mbak, udah deh, nggak usah ngomong begitu."

Kakak perempuannya tertawa. "Aku nggak mau bantuin lagi loh pokoknya."

"Mbak!" protes Jay.

Dan kakak perempuannya berlari-lari kecil untuk keluar dari kamar Jay sebelum Jay protes lebih lanjut.

Jay tak menyangka bahwa percakapannya beberapa waktu lalu sebelum kecelakaan itu terjadi merupakan percakapan terakhirnya dengan kakaknya.

Surya muncul di ambang pintu kamar.
"Jay, kamu dicariin ayahmu. Acara pemakamannya sudah mau dimulai." Kata Surya hati-hati.

Jay sejenak tertegun menatap Surya tanpa ekspresi. Ia lalu mengangguk kecil dan bangkit dari duduknya. Jay tak berkata apapun saat melewati sisi Surya. Ia berlalu begitu saja dan tingkah lakunya yang seperti itu membuat Surya makin cemas terhadap Jay.

Upacara pemakaman kakak perempuan Jay dimulai dengan sebuah prakata duka dari bapak lurah tempatnya tinggal. Kalimat-kalimat yang dihaturkan dalam bahasa jawa halus itu keluar masuk begitu saja di telinga Jay tanpa ia maknai. Ia terdiam tertegun menatap jazad kakak perempuan satu-satunya yang dibaringkan di dekat keranda.

Ayahnya tampak tegar meski sisa mata yang memerah masih terlihat jelas. Kedua adik kembarnya sesenggukan menahan tangis. Keluarga dan beberapa tetangga menangis. Jay, ia mati rasa. Dalam kekhusyukan yang tak dapat dijelaskan, sekilas Jay melihat sosok Kikan diantara pada hadirin yang kidmat. Ia sesaat terhenyak. Ada debaran aneh terasa. Tapi bayangan itu hanya sekelebat saja. Surya yang berdiri diantara barisan laki-laki kerabat Jay menatap Jay bergantian ke arah para pelayat. Sekilas tadi, ia melihat air muka Jay sedikit berubah lalu kembali lagi. Surya lagi-lagi menatap jam tangannya dengan gelisah. Anak-anak itu belum juga datang.

Rombongan anak-anak kelas mereka berjalan agak jauh dari sepeda motor yang mereka parkir agak jauh. Ketua kelas berada di depan. Janu, Pram dan Anggit berjalan bersandingan. Lintang dan Tama dibelakang mereka bersama dengan anak-anak perempuan lain di kelas mereka. Lintang berulang kali menyeka air matanya dengan tisu yang ia bawa di tangan. Tama hanya diam, meski perasaannya rasanya sesak sekali.

Jenazah hendak diberangkatkan ketika mereka datang. Mereka semua mengendik ke arah Jay yang menatap rombonan mereka ketika datang. Mereka berdiri di belakang para pelayat yang telah bersiap untuk menghantarkan jenazah. Surya yang melihat teman-temannya itu sudah datang, merasa sedikit lega.

Rombongan pelayat itu ngantarkan sang jenazah menuju pekuburan di daerah mereka. Jay dan ayahnya berada di deretan pemanggul keranda. Surya segera menghampiri teman-temannya yang mengekor pengusung itu.

"Kalian kok lama banget?" tanya Surya menyandingi Janu. Pram beringsut mengapit Surya diantaranya dan Janu. Anggit berjalan di sisi Janu yang lainnya. Lintang dan Tama berjalan cepat-cepat mengekor para teman laki-laki mereka itu.

"Sorry deh, tadi kan nungguin anak-anak yang lain kumpul dulu baru berangkat. Nggak semuanya tahu rumah Jay." Kata Janu.

"Kita tadi nungguin Kikan, ya." Tambah Pram.

Surya celingukan ke arah teman-temannya. Semua orang yang bertemu tatap dengannya, tersenyum kecil. Tapi Surya tak menemukan Kikan diantaranya.

"Lah, mana anak itu?"

"Itu dia, Kikan nggak muncul di rumahku sampai batas waktu yang kita tentukan. Karena rumah Jay agak jauh, jadi kami meninggalkannya." Jawab Janu.

Surya hanya mengangguk kecil.

"Dia ada di sini. Sekilas, aku tadi melihat Kikan, menyaru bersama pelayat-pelayat lainnya." Kata Anggit tiba-tiba.

Semua orang menatap Anggit agak kaget. Anggit menatap teman-temannya itu dengan tatapan kalem dan senyum kecil.

Penguburan jenazah kakak Jay berlangsung cepat dan kidmat. Orang-orang mulai berpamitan pulang kepada keluarga Jay. Keluarga Jay pun juga memutuskan untuk pulang dan mengurusi keperluan paska upacara pemakaman. Tapi Jay bergeming di samping pusara kakak Jay yang dikuburkan di samping pusara ibunya. Ayahnya paham perasaan anak laki-lakinya itu dan memilih untuk meninggalkannya. Anak-anak kelas mengucapkan salam dan ungkapan dukacita kepada ayah Jay. Beberapa anak dan ketua kelas ikut serta kembali ke rumah Jay untuk mengulurkan bantuan. Beberapa pulang setelah bersalaman dengan Jay.

Janu, Surya, Pram, Anggit, Lintang dan Tama mendekati Jay.

"Jay." Kata Janu.

Jay menoleh menatap teman-temannya dengan tatapan kosong. Ia bangkit dari tempatnya berjongkok dan tersenyum kecil kepada teman-temannya yang bermuka sedih.

"Hei. Makasih ya, kalian dan teman-teman sekelas sudah mau datang." Kata Jay.

Tiba-tiba saja, Lintang menghambur ke arah Jay lalu memeluk Jay. Semua orang terdiam, terpana oleh adegan itu. Jay tak bisa berkata apa-apa, bingung hendak melakukan apa.

"Jay, don't let this make you down. People come and go. It is how the life works. But, remember one thing, you always have us." Bisik Lintang. Jay tersenyum kecil, merasa tersentuh oleh kalimat Lintang itu. Jay menepuk punggung Lintang. Lintang melepaskan pelukannya. Teman-temannya mendekat.

Janu menepuk pundak Jay berkali-kali. Jay menatap teman-temannya itu dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tersenyum kecil.
"Terimakasih." Ujarnya.

Kikan datang pagi itu, sendirian, menuju rumah Jay. Ia menyaru di kerumunan para pelayat. Ia ingin bertemu Jay. Tetapi, sejak kedatangannya di halaman rumah Jay, ia tak menemukannya. Baru ketika acara pemakaman itu dimulai, ia menemukan Jay berdiri tak jauh dari ayah Jay dan kedua adik kembarnya. Ia terhenyak ketika mendapati air muka Jay yang tak dapat diterka. Dalam hatinya, ada perasaan sedih tak terkira yang terasa ngilu.

Ketika teman-teman sekelasnya datang, Kikan beringsut menjauh. Tapi, Anggit menangkap gerakannya diantara para pelayat yang kidmat. Kikan menelan ludah ketika tatapannya bertemu dengan Anggit. Tapi Anggit, ia tahu Kikan tak ingin menampakkan diri. Anggit hanya mengendik dan tersenyum kecil, memberikan isyarat bahwa rahasianya aman bersama Anggit. Kikan bernapas lega melihat Anggit membuang pandangannya ketika Janu dan Pram mengajak Anggit bicara.

Sampai pemberangkatan jenazah kakak perempuan Jay pun, Kikan masih saja bersembunyi diantara para pelayat yang tak ia kenal. Entah mengapa, suatu logika dalam benaknya membuatnya tak ingin menampakkan diri. Mungkin Kikan khawatir, mungkin juga ia cemas. Ia, belum berbaikan dengan Jay setelah sekian lama. Ia takut, Jay menolak kehadirannya.

Kikan pun kemudian memberanikan diri untuk mendekati Jay dan teman-temannya yang tertinggal di dekat pusara yang baru setelah beberapa teman-temannya yang hendak pulang memergokinya tertegun. Kikan harus mencari alasan bohong agar teman-temannya tak bertanya banyak hal mengapa ia barusan muncul. Tapi teman-temannya itu seolah tak mau ambil pusing, akhirnya meninggalkan Kikan dan malah mendukung Kikan untuk segera bertemu dengan Jay.

Jantungnya terasa akan berhenti ketika Jay yang dikelilingi teman-temannya itu meleparkan pandangannya kearahnya. Ia semapt bergeming di tempat ketika teman-temannya ikut menatap kedatangannya. Ia merasa gentar. Ia ingin berbalik dan kabur. Tapi ini bukan saat yang tepat baginya untuk menjadi pengecut setelah ia melakukannya sejauh ini. Kikan menangkap senyum kecil tersungging di bibir Anggit. Lagi-lagi Anggit mengangguk dan seolah gagap, Kikan ikut mengangguk kecil. Tama dan Lintang menatapnya dengan tatapan lega.

Janu menepuk lagi pundak Jay dan mengajak teman-temannya itu untuk pergi meninggalkan Jay dan Kikan berdua saja.

Jay kembali berjongkok di tempatnya tadi berdiri. Kikan dengan takut-takut berjongkok bersisihan dengan Jay, sedikit menyisakan ruang yang muat ditempati Pram berjongkok di sana. Kikan dapat merasakan jantungnya berdebar sangat keras. Debaran itu menghentak gendang telinganya, membuatnya sedikit pusing. Jay sendiri, ia terdiam sambil menaburkan kelopak bunga yang tersisa di keranjang di dekat nisan. Kikan mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkan buku karangan Romo Mangun yang berjudul Burung-Burung Manyar yang dulu sempat ia pinjam dari Jay, milik kakak Jay.

Kikan meletakkan buku itu di atas pekuburan kakak Jay.

"Thanks for the book." Kata Kikan. Dalam hati, Kikan tahu ini bukan saat yang tepat untuk mengembalikan buku. Tapi ia tak tahu bagaimana lagi ia membuka obrolan diantara Jay dan dirinya. Jay melirik ke arah buku itu. Ia sejenak termenung, meningat percakapannya dengan kakaknya suatu malam. Kakaknya mencari buku itu sebelum paginya berangkat ke tempat KKN dan mengalami kecelakaan.

"It is very amazing book with a well-written story. Thank you so much for giving me an opportunity to know and read this book. And, I am so sorry about your sister, Jay." Tambah Kikan sembari memberanikan diri menatap Jay. Jay mengambil buku itu dan mengamati sampulnya. Terhenyak.

"Kakakmu adalah orang yang baik. Ia sangat cantik dan cerdas. Aku hanya beberapa kali bercakap-cakap dengannya. Tuhan memiliki tempat yang sesuai untuk orang sebaik dia." Lanjut Kikan. Jay menatap Kikan tiba-tiba. Ia tak tahu Kikan mengenal kakaknya.

"Kau kenal kakakku?" tanya Jay kaget.

Kikan sedikit gelagapan ditanya seperti itu. Ia seolah barusan telah membocorkan sesuatu yang tak ingin ia katakan kepada siapapun. Mungkin ia terbawa suasana, tapi ia terlajur telah mengucapkannya.

"Eum, technically, no. Tapi, beberapa kali kakakmu datang ke pementasan anak klub sastra di balai dinas pendidikan kabupaten, dan ia mengenal Pembina kami. Hanya beberapa kali aku mengobrol dengannya tanpa sengaja. She was a nice girl."

Hening yang menyesakkan muncul diantara keduanya. Kikan menaburkan kelopak bunga yang berserakan dibawah gundukan tanah. Ia tak tahu apalagi yang harus ia ucapkan lagi. Ia sesekali mencuri-curi pandang ke arah Jay yang termenung menatapi buku milik kakaknya itu. Kikan mengambil napas, seolah memutuskan sesuatu.

"Jay, aku, minta maaf ya, karena telah bersikap kekanak-kanakan terhadapmu selama ini. Aku sesungguhnya tak pernah membencimu. Aku, hanya iri terhadapmu yang memiliki teman-teman yang begitu kompak, kemampuanmu untuk mengontrol diri diantara anak-anak laki-laki seusiamu yang cenderung bersikap kekanak-kanakan, dan juga dedikasimu terhadap hal yang kau sukai. Aku merasa iri karena entah mengapa, meski aku berusaha sekuat tenaga, aku tak pernah bisa menghasilkan sesuatu yang membanggakan bagiku. Maaf. Setelah ini, aku harap kita bisa mengobrol seperti biasa." Kata Kikan panjang lebar.

Kikan menghela napas dan bersiap berdiri ketika tangan Jay meraih pergelangan tangan kanan Kikan, menghentikan Kikan yang hendak berdiri. Kikan berbalik menatap Jay kaget karena tangan Jay yang menghentikannya. Kikan mengurunkan niatnya dan menunggu-nunggu agar Jay melepaskan tangan Kikan. Tapi Jay tak melepaskan tangan Kikan.

Alih-alih, Jay tiba-tiba menubruk Kikan dan membenamkan mukanya di pundah kanan Kikan. Napas Kikan sesaat tercekat, tubuhnya membeku di tempat. Ada perasaan merinding di bulu kuduknya, tetapi, bersamaan dengan itu, pipinya memanas dan darahnya berdesir tak karuhan. Ada ombak bergumul di dalam perutnya. Ia tak tahu apa yang harus ia perbuat.

"Can I stay still for a moment?" tanya Jay.
Pundak Kikan mengendur rileks. Tahu-tahu, ia baru sadar, Jay tengah menangis dalam diam di pundaknya. Kikan menatap pucuk rambut Jay yang tertiup angin. Ada perasaan sedih yang turut terbawa, tersampaikan kepadanya. Ia menghela napas dalam-dalam. Ia juga tak kuasa menahan tangisnya, perasaan sedih yang tak dapat ia bayangkan.
Dan mereka berdua, entah berapa lama bertahan dalam posisi itu, berbagi kesedihan, berbagi air mata.

[ ]

*Cata kantaka : perasaan sedih

Well well well, maaf kalau ceritanya jadi sedih sedih begini. Sebenarnya, saya sudah rencanakan cerita ini masuk ke serial ini tapi bingung mau di plot di bab mana. Nah, karena seperti yang saya bilang serial ini hanya akan ada 48 bab selain jeda di tiap 8 bab, dan karena ini sudah hampir tengah-tengah serial, alias mendekati bab 24, maka saya ingin bikin di bab-bab tengah-tengah ini banyak dari tokoh yang akan merasakan masalahnya sendiri-sendiri. Jadi, mohon bersabar untuk bab selanjutnya. Saya sedang nyambi tugas akhir juga soalnya. ^^
Btw, thanks for reading, please give me a feedback by leave comments or vote for this chapter. See you again!

Nb, semoga nggak banyak typo ya. hehe

Continue Reading

You'll Also Like

3.8M 28.4K 29
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
342K 44.4K 46
#Wattys2020 Winnerã…¡New Adult | Humor - Slice of Life | Spin off of Say My Name | Bagaimana rusuhnya tiga bersaudara anak Pak Gesang Waluyo dan Bu Gen...
246K 12.7K 15
|| SPIN-OFF THE WEDDING SERIES || Zianne tahu, sedari awal dalam hidup Tama yang monokrom, hanya Patricia lah yang mampu menjelma sebagai pelangi. Zi...
102K 16.8K 58
Dia adalah sepasang sepatu High Heels. Dia perpaduan antara arogansi, harga diri, dan keindahan. Dia adalah stiletto terbaik dan louboutin termahal. ...