KALOPSIA

By annananana_

201K 23.6K 3.9K

Berbekal ijazah SMA Dara Pratiwi pergi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Di sana ia ditawarkan sebuah peker... More

1. Dimas
2. Dara
3. Pertemuan (1)
4. Pertemuan (2)
5. Malam Itu (1)
6. Malam Itu (2)
7. Tanggung Jawab (1)
8. Tanggung Jawab (2)
9. Pizza (1)
10. Pizza (2)
11. Pulang (1)
12. Pulang (2)
13. Menyesatkan (1)
14. Menyesatkan (2)
15. Saus Keju (1)
16. Saus Keju (2)
17. Tak Lagi Dara (1)
18. Tak Lagi Dara (2)
19. Mencari Kos-Kosan (1)
20. Mencari Kos-Kosan (2)
21. Ke Dokter (1)
22. Ke Dokter (2)
23. Wangi Dimas (1)
24. Wangi Dimas (2)
25. Udang Asam Manis (1)
26. Udang Asam Manis (2)
27. Benar-benar Gila

28. Anak Kucing

3.5K 833 136
By annananana_

****

Pagi itu, Dimas terbangun dengan kantung mata yang menghitam, wajahnya kusut dan kepalanya pusing. Semalaman ia tidak bisa terpejam hanya karena terus memikirkan perbuatannya pada Dara.

Dimas mencium anak kucing itu, dan yang lebih membuatnya bersalah, Dara sama sekali tidak tahu kalau aksi Dimas tersebut termasuk bentuk pelecehan. Astaga, Dimas semakin takut meninggalkan Dara di Jakarta sendirian.

"Bapak masih ngantuk?" Dara yang sudah duduk di kursi penumpang bertanya dengan mata menelisik wajah Dimas.

Sebelum menuju kantornya, Dimas lebih dulu mengantarkan Dara ke tempat Beni sekaligus memastikan kalau calon ibu dari anaknya itu baik-baik saja. Tidak tersesat apa lagi terjatuh.

Tunggu. Ini bukan bentuk perhatian Dimas kepada Dara, melainkan pada anaknya yang ada di dalam perut gadis itu.

Semenjak melihat bentuk calon anaknya saat memeriksakan kandungan Dara kemarin, Dimas merasakan dadanya selalu berdesir setiap mengingat itu. Meski masih berbentuk janin, tapi Dimas ingat sekali seperti apa suara detak jantung anaknya.

Ah, mungkin seperti ini rasanya jadi Sean dan Andri saat tahu mereka akan memiliki anak.

"Gue gak ngantuk," sahut Dimas malas.

"Tapi muka Bapak kusut banget."

Iya, dan semuanya gara-gara lo, gerutu Dimas dalam hati dengan dengusan samar.

"Oh iya, Pak, nanti di tempat temen Bapak itu, Dara kerjanya jadi apa? Tukang cuci piring?"

Alis Dimas terangkat ke atas, melirik sekilas gadis itu sambil tetap memfokuskan pandangannya pada jalanan di depan sana. "Nggak tahu."

Dimas masih mencoba untuk tidak terlalu perhatian pada Dara, tidak terlalu sering berinteraksi. Karena jujur saja, Dimas takut kebablasan seperti semalam.

"Pak ...." Dara tampak ragu-ragu untuk bertanya, takut lelaki itu tersinggung.

"Kenapa?" tanya Dimas yang sadar.

"Itu ... em, apa temen Bapak udah tau kalo Dara hamil?"

Sontak merasakan rasa panas menjalar ke kepalanya, Dimas berdehem. "Temen gue udah pada tahu tentang kondisi lo."

"Terus gak apa-apa gitu, Pak?"

Dimas mendadak bingung. "Gak apa-apa gimana?"

"Mereka gak jijik sama Dara?" Semakin tidak mengerti, Dimas malah menaikan sebelah alisnya menatap gadis itu. "Dara kan hamil, Pak, tapi belum nikah. Biasanya orang-orang di kampung Dara bakalan ngegosipin, terus ngejauhin dan mandang rendah orang-orang seperti Dara."

Perasaan tidak enak seketika berkerumun di dalam dadanya. Sejak ia mengenal Dara, hingga gadis itu tinggal bersamanya, baru kali ini ia melihat Dara setidak percaya diri itu.

"Elo gak bisa menyama ratakan semua orang, Dar. Apalagi sama orang-orang di kampung lo. Mereka beda. Dan temen-temen gue gak sepicik itu dalam menilai orang. Mereka juga gak sempurna." Dimas kembali fokus pada jalanan di depan sana, namun perasaannya belum juga membaik. "Lagian ya, Dar. Hanya karena elo udah gak perawan dan hamil di luar nikah, bukan berarti elo lebih rendah dari mereka, dan seharusnya elo juga jangan merasa rendah hanya karena kehidupan lo berbeda. Selama elo gak nyusahin mereka, gak nyakitin mereka, dan gak minta makan sama mereka, elo berhak atas hidup yang lo jalani. Inget, Dar, hidup lo itu punya lo."

Dara masih mengamati Dimas dari samping. Menelaah setiap ucapan lelaki itu. "Gitu ya, Pak?"

"Ini gue ngomong panjang lebar gini elo ngerti gak?" dengusnya. Ingat, Dara itu kan telmi. "Jangan iya-iya aja tapi gak paham."

"Ngerti, Pak." Sedikit, lanjut Dara dalam hati.

"Jangan buat mereka nyakitin lo, Dar," ujar Dimas lagi yang Dara balas dengan anggukan kepala. "Kalo pun ada, lo bilang sama gue. Biar gue piting kepalanya." Dimas mengungkapkan itu dengan gemas, membuat Dara tergelak keras di tempatnya.

Setidaknya, Dara merasa sedikit lega setelah mendengar kata-kata Dimas barusan. Ia berharga, setidaknya untuk Bapak—di kampung.

"Cintai diri lo sendiri sebelum elo mencintai orang lain."

"Kalo Bapak, udah mencintai diri sendiri."

"Oh, jelas dong." Bisa dibilang ia sangat amat mencintai dirinya sendiri, hampir setiap saat Dimas akan memuji dirinya sambil bergaya di depan kaca. Ugh, orang-orang harus tahu betapa tampannya Dimas saat baru selesai mandi. "Gak boleh ada orang yang melukai harga diri gue, Dar."

"Terus, mencintai orang lainnya udah?"

Yah ... diingatkan. Dimas sudah mencintai seseorang, tapi orang yang salah. Ck, sialan memang. "Skip! Pertanyaan lain aja lah."

Dara menyengir. "Ya udah, soal pekerjaan aja deh, Pak." Kalau soal pekerjaan Dara akan selalu semangat. "Nanti Dara langsung kerja apa di wawancara kerja dulu, Pak?"

"Em ...." Dimas berpikir sebentar. "Wawancara kali."

"Temen Bapak galak gak, Pak?"

"Galak kayak bulldog."

"Terus, nanti Dara dapet seragam, Pak?"

Duh, bawel sekali makhluk kecil di sebelahnya ini.

"Nggak tau gue," sahut Dimas mulai malas. "Coba hal-hal kayak gini nanti lo tanya Beni aja."

Dara mengangguk patuh. Rasanya senang sekali bisa mendapatkan pekerjaan, bibir mungilnya itu terus tersungging ke atas menampilkan deretan giginya yang tertata rapi. Akhirnya ia bisa mengirim uang lagi untuk Bapak di kampung. Bisa membantu Bapak melunasi hutang.

Cukup lama Dimas berkendara—karena nyatanya jalanan cukup macet di pagi hari—akhirnya mereka tiba di restoran Beni, usaha yang lelaki itu bangun dengan modal yang ayahnya berikan.

Dimas membawa Dara langsung ke ruangan Beni, dimana temannya itu juga baru saja tiba dan sedang membaca laporan penjualan.

"Waahhh, calon Papa baru kelihatan makin ganteng aja," sambut lelaki itu dengan tawa lebar.

Jelas Dimas tahu ocehan itu tidak lain adalah sebagai bentuk ledekan yang Beni berikan untuknya.

Selesai menyapa sahabatnya, pandangan Beni lantas beralih pada sosok mungil yang kini berdiri di balik tubuh Dimas.

"Nah ... yang ini pasti calon Mama barunya?"

Dara yang tak paham hanya tersenyum lebar seraya mengangguk. "Selamat pagi, Pak. Nama saya Dara."

"Eh, manis banget," kelakar Beni geli yang membuat Dimas mendengkus seraya mencibir jijik. "Gue Beni." Ia ulurkan tangannya ke arah Dara, yang hendak gadis itu sambut namun Dimas sentak menjauh. "Bangke!" ringis Beni kesakitan.

"Gak usah salaman, langsung ke intinya aja," Dimas bersungut dengan wajah galak.

Seketika berdecak dengan tampang kesal, Beni menatap Dimas tajam. "Lo emang bener-bener kurang pelepasan ya, Dim? Sewot mulu perasaan."

"Perasaan lo doang."

"Bawaan bayi tuh," cibirnya sambil melengos dan beralih pada Dara yang masih memasang wajah polos. "Umur lo berapa, Dar?" Beni penasaran sekali, karena tampang Dara masih sangat belia.

"Delapan belas tahun, Pak. Dara baru lulus enam bulan yang lalu. Tapi Bapak tenang aja, Dara jago kok kalo cuma cuci piring," cerocos gadis itu tak penting.

Beni berdecak kagum dengan kedua tangan bertepuk senang. "Delapan belas tahun?" Lalu kembali menatap Dimas. "Masih yahut banget ya, Dim? Ini sih bukan kue soes lagi."

Dimas tidak akan membiarkan ledekan Beni kali ini. Ia toyor kepala lelaki itu dengan keras, hingga Dara yang melihat itu melebarkan kedua matanya. "Macem-macem gue mampusin lo, Ben."

"Kok jadi kesel?" Beni tersenyum menyeringai. "Gue bener kan?" ledeknya kemudian.

Membalas Beni dengan keadaan yang sudah hampir telat seperti ini rasanya tidak mungkin, Sean bisa ngamuk kalau ia telat lagi. Lantas, memberikan pelototan tajam pada sang sahabat, Dimas kemudian mengancam dengan gerakan tangan yang akan memotong leher Beni—yang seketika membuat lelaki itu tergelak.

Dimas mendesis, lalu beralih pada Dara. "Gue tinggal kerja dulu," ujarnya lalu menatap jarum jam di tangan. "Nanti pulang kerja gue ke sini lagi."

"Bapak mau apa?"

Duh ... bisa tidak sih Dara tidak banyak bertanya? Membuatnya makin kesal saja.

"Dia mau lihat lo, Dar, takut kangen," kelakar Beni yang masih senang mengolok Dimas.

"Baru ketemu loh, Pak, masa udah kangen aja." Dara dan kepolosannya memang tidak ada duanya dan hal itu kembali menyulut gelak tawa Beni terdengar semakin keras.

"Dimas gak bisa jauh dari lo."

Mendengar itu, tentu saja Dimas menggeram, ia sudah menebak kalau si berengsek Beni pasti akan kembali meledeknya. "Mati lo ya, Ben!" ancamnya. "Sekali lagi lo ngomong yang enggak-enggak, gue buat mulut lo gak bisa nyium cewek-cewek!"

Bukannya takut, Beni malah pura-pura meringis. "Uhh ... tatuttttttt!"

Sialan memang, tapi sudah lah ia tidak punya banyak waktu. "Dar," panggil Dimas. "Betah-betah lo di sini."

Dara hanya menganggukan kepala dengan senyum di bibir yang tidak hilang. "Iya, Pak."

"Gue titip Dara, Ben." Aura galak dan kesal tidak juga hilang dari wajah Dimas, mungkin benar kalau itu adalah bawaan bayi. "Inget apa yang gue minta."

Beni seketika mencibir. "Ck, bilang gak peduli tapi titipan lo banyak amat ya."

Tanpa mau meladeni omongan Beni, Dimas segera pergi dari ruangan itu meninggalkan Dara yang masih tersenyum kesenangan karena mulai hari ia bukan pengangguran lagi.

Sementara itu Beni sangat penasaran seberapa polosnya gadis yang sudah sahabatnya hamili itu. "Dar."

"Iya, Pak?"

"Lo serius baru delapan belas tahun?" tanya Beni menelisik. Dari tampang, Dara terlihat seperti anak kecil, wajahnya mungil dan tatapannya sangat polos. Atau jangan-jangan sebenarnya umur Dara baru 16 Tahun? Wah ... kalau benar seperti itu, Dimas bisa kena pasal pelecehan anak di bawah umur. "Gue gak yakin umur lo 18 tahun."

"Bener kok, Pak. Dara udah punya KTP—eh ini Dara boleh panggil Pak Bos aja gak sih?"

"Terserah lo mau manggil gue apa, asal jangan panggil sayang, nanti Dimas bisa ngamuk," kelakar Beni yang menyulut kebingungan di diri Dara.

"Kok ngamuk? Memangnya kenapa, Bos?"

Sebelum menjawab, Beni menggiring Dara untuk duduk di kursi berputar yang berada di depan meja kerjanya, sembari ia juga kembali menduduki kursinya. "Dimas gak suka kalo kucingnya gue ganggu."

Dara merengut bingung. "Loh, memangnya Pak Dimas punya kucing ya, Pak?"

"Ada, di apartemennya. Anak kucing yang tersesat," seloroh Beni asal bahkan hampir cekikikan sendirian.

"Perasaan Dara gak pernah lihat ada kucing."

"Elo gak tau Dimas baru nampung anak kucing di apartemennya?" Kepala itu menggeleng lugu. "Elo sadar gak maksud gue apa?"

Lagi, Dara menggeleng dengan kerjapan mata polos. "Lagian, Pak Bos kok iseng banget pake ganggu-gangguin anak kucingnya Pak Dimas."

Ya Tuhan! Benar saja apa yang Dimas bilang, Dara ini memang terlalu polos, Jakarta sangat bahaya untuk gadis itu, apalagi kalau di Jakarta bersama Dimas. Ck, bisa-bisa langsung berbadan dua.

Eh, tapi bukannya sudah ya?

"Udah lah." Beni mengibaskan tangannya dengan hela napas berat. "Kita ngobrol yang lain aja."

"Oke, Bos," jawab Dara semringah.

Ya ampun, sekarang Beni tahu kenapa Dimas selalu uring-uringan.Ternyata sumbernya ada di depannya saat ini.

****

Kata Anna :

Lanjutannya bisa dibaca di KaryaKarsa, link di bio ya, atau bisa juga beli ebook pdfnya ke nomor 0895-0926-4245 harga 80K

Continue Reading

You'll Also Like

6.7K 355 17
Shendrika Athena dibisiki oleh sang paman agar dapat menikah dengan ayah dari kekasihnya. Seolah diperlancar oleh takdir, Noah-sang kekasih ternyata...
life By Widi Asih

Fanfiction

12.4K 1.5K 32
Dalam dunia di mana kekuatan dan kekerasan merajalela, Xiao XingChen, seorang kultivator yang memilih jalan kebaikan, secara tidak sengaja menemukan...
2.1M 20.1K 25
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
2.6K 211 44
Maya tidak punya tujuan hidup selain ingin selalu bersama Noah. Berbagai hal tak masuk akal dia lakukan agar tetap dilihat oleh Noah Malik. Terlalu b...