METAFORGAYA (Segera Terbit)

Oleh ujwarf

36.2K 6.8K 2K

[FOLLOW SEBELUM BACA YA GUYS 😘] **** "Saya Gaya!" Itu ucapan pertama cowok tengil yang tengah berdiri di had... Lebih Banyak

PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 22
BAGIAN 23
BAGIAN 24
BAGIAN 25
BAGIAN 26
BAGIAN 27
BAGIAN 28
BAGIAN 29
BAGIAN 30
BAGIAN 31
BAGIAN 33
BAGIAN 34
BAGIAN 35
BAGIAN 36
BAGIAN 37
BAGIAN 38
BAGIAN 39
BAGIAN 40
BAGIAN 41
BAGIAN 42
BAGIAN 43
BAGIAN 44
BAGIAN 45
EPILOG

BAGIAN 32

328 82 5
Oleh ujwarf

META.

KEJUTAN

Saya melirik ke arah Pandu, Wastra, Abar. Mereka sedang tertawa di lantai yang menyerupai panggung. Sementara, saya meneguk air setelah berlatih dua lagu bersama mereka. Dalam satu ruangan saja, saya seperti bukan bagian dari band saya sendiri. Saya seperti orang yang terpojok sendiri karena sama sekali nggak masuk ke dalam obrolan-obrolan mereka.

"Du ...." Saya berucap agak canggung.

Tawa mereka terhenti, disusul dongakkan Pandu dengan wajah mendadak lempeng. "Napa?"

"Saya mau tanya sesuatu, penting." Saya menatapnya tajam. "Harus sekarang."

Wastra melirik Pandu. "Cepetan gih, bos kita mau ngobrol."

Entah kenapa, kata-kata 'bos' yang keluar dari mulut Wastra membuat saya sedikit risi. Bos! Ucapan itu seperti ejekkan. Jika biasanya saya terhibur, saat ini saya hanya mengelus dada.

Pandu mendekat dengan gerakkan lemas. "Naon?"

"Maneh ngasih nomor saya ke Sandrina?" tanya saya tanpa basa-basi.

Sejenak, Pandu terdiam. Matanya menerawang langit-langit studio. Hingga muncul satu anggukkan.

"Kenapa dikasih?"

"Bukannya itu hal biasa ya, Gay? Maksud urang, kan Sandrina temannya Meta. Maneh temennya saya. Kebetulan Sandrina minta kontak supaya bisa ngehubungin kalau ada apa-apa. Itu salah ya?"

"Maneh pura-pura nggak tahu atau gimana?" Ucapan saya sedikit meninggi. Hal itu membuat Abar dan Wastra tergopoh mendekat. Suasana jadi terasa agak panas.

"Maksudnya?"

Saya berdiri dari kursi, lalu bergerak satu langkah ke arah Pandu. "Gara-gara maneh, Meta sedih."

"Hah? Naha urang?" Pandu menggeleng. "Bentar-bentar. Urang beneran nggak ngerti sama arah pembicaraan maneh."

"Bapaknya Meta datang ke kosan. Dia maksa Meta buat balik!" tegas saya. "Maneh tahu nggak, sekarang Meta juga sulit dihubungi sejak kejadian itu. Saya nggak bisa ketemu sama dia, bahkan nggak ada akses. Dia menutup diri. Dan ...."

Pandu menggeleng, dia seperti akan membantah sebelum akhirnya saya bersuara lagi.

"Dan dua hari lalu juga, Pak Madi nelepon saya."

Penjelasan itu membuat Pandu melotot. Dia yang awalnya terlihat kikuk, sekarang menggeleng. "Jadi maneh nuduh urang sama Sandrina yang ngelakuin semuanya?"

"Ya siapa lagi?" Ucapan saya makin tinggi. "Pak Madi tahu alamat Meta secara tiba-tiba. Terus dalam waktu bersamaan, Pak Madi tahu nomor saya."

Pandu mengusap rambut, dia terlihat frustrasi. "Soal nomor, urang minta maaf. Urang salah pisan karena nggak konfirmasi dulu. Tapi soal yang terjadi ke Meta, rasa-rasanya nggak mungkin Sandrina menjerumuskan Meta ke hal buruk. Maksud urang, kalau memang Sandrina ngelakuin itu, pasti dia punya alasan. Sandrina kenal Meta jauh lebih lama daripada maneh. Dia juga manager Meta. Dia pasti tahu apa yang mau dilakuin."

"Dan kamu juga baru kenal Sandrina, belum sampe seminggu. Gimana mungkin kamu bisa menyimpulkan sepercaya diri itu?"

Ucapan saya membuat Pandu mendadak diam.

"Udahlah." Saya menggibaskan tangan. "Lupakan, Du. Udah kejadian juga. Sekarang saya mau pulang." Saya berdiri dari hadapan mereka bertiga.

"Lho, latihannya kan belum beres. Baru dua lagu. Gimana sih kamu, Gay!" Abar nyeroscos.

"Biariin!" Wastra bersuara. "Kita itu udah nggak jadi prioritas Gaya lagi. Kita itu jadi buangan sekarang. Maklum, kan dia mutusin buat kerja. Apalagi katanya mau kerja di hotel. Beuh. Bentar lagi bakal punya kehidupan baru."

Saya melirik Wastra sejenak, ingin menanggapi. Tapi rasa-rasanya, nggak ada gunanya juga memberikan tanggapan. Saya tidak melakukan apa-apa selain membereskan barang-barang, lalu menarik tas dari pinggir kursi. Setelahnya, saya melangkah pergi. Studio ini benar-benar terasa asing. Sama seperti diri saya sendiri. Saya merasa terasingkan dari banyak hal.

***

Mengapa luka selalu disalahkan

Mengapa luka seolah bumerang

Luka padahal bisa menghangatkan

Luka mendatangkan sadar yang dalam

Saya membaca potongan tulisan di dalam kertas itu sekali lagi. Disusul gelengan pelan. Liriknya masih sangat mentah. Entah kenapa, saya semakin tidak percaya diri. Di saat anak-anak mempercayakan sebuah lirik lagu itu ke saya, saya sendiri malah semakin sadar tentang satu hal. Saya orang paling nggak bisa diandalkan untuk membuat kata-kata.

Kutari kertas itu dari tebalnya buku sehingga menghasilkan suara. Saya membulatkan kertas tersebut dan melemparkannya ke tong sampah. Itu adalah bulatan ke lima untuk malam ini. Tentu saja, mungkin masih akan ada bulatan-bulatan lain di hari-hari selanjutnya.

Di saat saya akan melanjut memikirkan lirik-lirik lain, saya terinterupsi oleh ponsel yang berdering. Saya berharap itu Meta tentu saja. Tapi bukan. Nomor Pandu yang malah berderet di layar ponsel.

Cepat, saya mengangkatnya. "Kenapa, Du?"

"Urang geus ngobrol sama Sandrina," jawabnya.

"Oke. Terus?"

"Bisa dipastikan kalau bukan Sandrina yang ngasih alamat Meta ke Pak Madi. Bukan Sandrina juga yang ngasih nomor kamu ke Pak Madi."

Penjelasan itu membuat saya mengembuskan napas. Pandu, Pandu, saya semakin mengerti bahwa orang yang sedang jatuh cinta bisa sekali banyak berubah. Ya, termasuk saya. Mungkin saya akan melakukan hal yang sama seperti Pandu jika ada masalah yang berhubungan dengan pacar atau orang yang spesial.

"Nggak apa-apalah, Du. Udah nggak penting juga. Lagian ...."

"Ini penting, Gay!" potong Pandu. "Sama seperti pembelaan-pembelaanmu ke Meta, pembelaanku ke Sandrina juga penting!"

Saya berdiri dari tempat duduk. "Terus mau kamu apa, Du?"

"Urang udah ngobrol sama Sandrina. Selengkap-lengkapnya." Terdengar deru napas Pandu. "Sandrina cukup syok karena Meta marah besar ke dia. Bahkan Meta memblokir akses komunikasi. Hal itu bikin Sandrina galau juga. Seharusnya, maneh jangan egois, Gay. Kudu bisa lihat dari berbagai sudut pandang."

Ucapan Pandu membuat saya teringat kejadian semalam. Pantas Sandrina tidak mengangkat telepon. Sepertinya kejadian kemarin sama-sama membuat semuanya kalang kabut.

"Thanks informasinya, Du," ucapku pada akhirnya. "Sorry kalau saya terlalu menggebu-gebu. Sorry juga buat tadi siang. Saya tiba-tiba-tiba pergi dari studio."

"Saya dan anak-anak udah maafin," ucap Pandu. "Tap saya nggak tahu, sampai kapan kami bisa bertahan." Terdengar tarikkan napas berat. "Itu aja sih yang mau diceritain."

Telepon ditutup bahkan sebelum saya menanggapi ucapan Pandu. Saya hanya menelan ludah. Buah keputusan saya ternyata bisa berefek jauh terhadap hal-hal yang sudah dibangun dari dulu.

Saya melihat kembali ke HP yang masih menyala. Rasa-rasanya, saya harus menghubungi Meta lagi. Saya tidak puas dengan kejadian tadi pagi. Saya nekat datang dan mengetuk-ngetuk pintu kamar Meta, tapi hasilnya nihil. Mungkin malam ini ada keajaiban?

Pelan, saya menekan tombol panggil di nomor Meta. Dada saya langsung bergemuruh saat panggilan itu tersambung! Ya ampun, Meta memang belum mengangkatnya, tapi beban yang ada di dalam diri seperti menguap begitu saja. Beginikah rasanya bahagia yang datang dari hal sederhana?

"Hallo, Gay ...."

"Kelakuan kamu bikin saya jadi kayak cimol yang didiamin sehari. Keras. Beku. Nggak enak."

"Aku baik-baik aja. Sorry kalau bikin kamu khawatir. Aku benar-benar syok. Ini baru aktifin HP lagi." Terdengar kekehan pelan. "Tapi, cimolnya bisa diangetin nggak?"

"Haha. Lucu." Saya mengusap dada, ketenangan itu menjalar lagi. "Syukurlah kalau kamu baik-baik aja. Tapi, saya masih penasaran soal Bapak kamu. Dia ...."

"Dia datang, maksa pulang, terus aku tolak." Terdengar embusan napas keras. "Sesimpel itu."

"Nggak simpel. Soalnya dia juga ...."

"Dia kenapa?"

Saya menepuk jidat. Soal Pak Madi yang menelepon, sepertinya nggak usah dibocorin dulu. Saya harus membiarkan Meta tenang. "Eng-enggak. Lupain."

"Haha. Aneh!"

"Eh, kamu udah makan? Kalau saya pesenin makanan, mau? Saya takut banget kamu kenapa-napa. Ngegalau itu capek tau. Saya nggak yakin kamu inget makan. Saya aja dicuekkin dari tadi pagi." Saya sedikit mencebik saat mengingat kejadian pagi itu. "Atau, kamu butuh teman buat jalan malam ini? Saya nggak ada kerjaan juga. Barangkali, jalan-jalan bisa bikin kamu bisa lebih tenang."

Cukup lama Meta diam. "Tapi aku nggak bakalan ketemu mantan kamu lagi, kan?"

"Ya ampun. Kamu masih kesal soal mantan aku?"

"Ya kesel." Suara Meta terdengar sedikit merajuk. "Double-double deh jadinya."

"Yang bikin kesel sebenernya apa sih?"

"Kamu masih nanya?" Nada bicara Meta berubah jadi jutek.

Pipi saya mendadak panas. Baru kali ini saya serasa digombalin. Saya buru-buru angkat suara untuk menghilangkan rasa gugup, "Malam ini, pokoknya nggak bakalan ada yang bikin kamu kesel." Saya tersenyum penuh percaya diri. "Percayakan semuanya kepada Bapak Gaya yang terhormat."

"Bener ya?"

"Ya!" Saya mengacungkan tangan ke atas. "Saya tunggu di depan gerbang ya."

"Okey!"

Telepon ditutup begitu cepat. Badan yang berat, pikiran yang kalut, semuanya seolah terpecah-pecah dan lenyap. Meta selalu jadi obat. Meta mirip seperti cahaya yang menyinari labirin. Rumitnya perasaanku bisa dengan mudah dia tangani.

***

Cie, mulai lagi nih Meta sama Gaya. wkwkwk.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

719 153 34
Story 03. [ Twisted Lies ] By : @girlRin @LindraVey β–ͺ︎β–ͺ︎β–ͺ︎β–ͺ︎ Keterbatasan ekonomi membuat Ana tak melanjutkan sekolahnya setelah lulus dan memilih be...
434K 55.6K 36
Campus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona F...
125K 10.3K 22
Karina Mentari senang banget waktu Arsel mengajaknya mendaki Gunung Rinjani. Bagi Karina, nggak ada perjalanan seromantis itu sejak pertama kali meng...
38.8K 5.5K 53
Akibat perceraian kedua orang tuanya, Star Allen harus pindah bersama ibunya dari New York ke Wilmington, kota kecil di North Carolina. Star harus be...