Perfect Strangers ∥ KM ✓

By amourkm

10.3K 1K 463

Rate: M Genre(s): Boyslove / Romance / Fluff / Smut Warning(s): AU, Typo(s), Ooc, Don't like don't read, Rnr... More

2

1

4.9K 516 230
By amourkm






Chapter.01
__________


"Kau gila?! Kita baru saja mulai berkencan selama tiga hari!"

Teriakan wanita itu menggelegar di area taman yang sunyi karena setiap orang yang berada di sana, kini telah memfokuskan perhatian mereka ke arah dua pasangan yang sedang bertengkar di tengah-tengah taman. Keduanya menjadi tontonan namun terlihat tidak peduli─ sebenarnya si wanita lah yang terlihat tidak peduli karena sibuk melontarkan makian sedari tadi.

"Aku bahkan belum mengetahui siapa dirimu selain nama, tempat kerja dan alamat apartemenmu. Kau juga tidak tahu banyak tentang ku dan disini, kau tiba-tiba melamarku?"

Pria yang semula berlutut di depan wanita itu akhirnya berdiri dengan ekspresi terkejut dan tidak percaya di wajahnya. Tidak pernah terpikirkan akan ditolak begitu saja oleh wanita yang merupakan kekasihnya tersebut dan bahkan di caci maki di depan umum seperti ini.

"Tapi aku mencintaimu, Yuna. Ku pikir kau juga mencintaiku?" Ada kebingungan dalam suaranya. Tentu saja, ia tidak mengerti apa yang salah dari melamar kekasihnya sendiri.

"Demi Tuhan Jungkook, kita baru mengenal dua minggu. Dua minggu sialan!" Wanita bernama Yuna itu menekankan setiap perkataannya dengan kekesalan yang memuncak.

"Aku setuju untuk mencoba berkencan dengan mu karena kau pria yang baik, tapi bukan untuk melamarku tiba-tiba seperti ini. Kita berdua masih muda, banyak hal yang ingin ku lakukan dan bersenang-senang. Aku tidak ingin terikat dan mengorbankan masa mudaku untuk keinginan bodohmu ini."

Yuna mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah karena emosi seraya menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga.

"Aku hanya ingin menjadi kekasihmu dan kita berdua bisa bersenang-senang, melakukan berbagai hal seperti yang dilakukan pasangan kekasih lainnya. Kita masih 24. Pernikahan bukan hal yang sederhana Jungkook, itu bukan sesuatu yang bisa kau minta dengan mudah pada orang yang baru kau kenal dua minggu lalu," sambungnya setelah mencoba menenangkan diri. Tidak ada gunanya melampiaskan amarah disini dan lagi pula ia bukanlah wanita pemarah. Ia hanya sedikit kesal bercampur tidak percaya karena pria yang baru saja ditemuinya menjadi bodoh dan berlebihan dalam hal hubungan.

Ia hanya menginginkan seorang kekasih. Jungkook kebetulan adalah pria yang cocok. Dia baik, manis dan selalu perhatian. Yuna pikir mereka bisa menjadi pasangan yang manis. Membuat teman-temannya iri dengan hubungan mereka berdua karena ia mendapatkan pria tampan yang baik. Mereka bisa melakukan berbagai kencan dan bersenang-senang.

Namun, bukan ini yang Yuna inginkan. Dilamar di depan banyaknya orang di tengah-tengah kencan pertama mereka. Ya, kencan pertama!

Baru tiga hari lalu mereka memutuskan untuk berkencan dan inilah harinya. Di sebuah taman yang dikelilingi banyaknya pengunjung karena ini merupakan malam akhir pekan. Mungkin Yuna akan senang jika itu hanya kejutan kencan pertama dari Jungkook karena pria itu memang manis. Namun saat Jungkook mulai berlutut, menawarkan bunga dan membuat pengakuan untuk melamarnya, itu bukanlah sesuatu yang Yuna harapkan terjadi di kencan pertama dengan orang yang baru beberapa waktu lalu ia kenal.

Pengakuan Jungkook tentang betapa pria itu jatuh cinta padanya, ingin bersamanya dan menikahinya, membuat Yuna merinding sampai ke tulang punggungnya.

Itu bukanlah sesuatu yang bisa kau katakan pada orang yang baru kau kenal, bahkan tidak mengetahui tentangnya selain hal-hal dasar dari perkenalan.

Tentu saja itu membuatnya kesal dan sedikit takut. Seorang pria tiba-tiba melamarnya di depan banyak orang, apa yang Jungkook harapkan? Yuna menerimanya?

Maaf saja, cara Jungkook justru terlihat seperti pria itu memiliki niat lain padanya.

"Kita bisa melakukan semuanya setelah menikah. Aku berjanji tidak akan melarangmu pergi bersama teman-temanmu. Kita bisa melakukan berbagai kencan seperti yang kau inginkan. Tolong, menikah denganku?" Jungkook maju selangkah lebih dekat ke Yuna.

"Aku mencintaimu─"

"Apakah kau bahkan yakin, kau benar-benar mencintaiku? Bukan karena kau putus asa dengan keinginan menikahmu itu?" potong Yuna dengan ketus.

"Bagaimana bisa kau begitu mudah mengatakan mencintai seseorang tanpa pernah mencoba mengenalnya lebih banyak terlebih dahulu. Bagaimana jika seandainya aku bukan orang baik atau di antara kita menjadi bosan, lalu apa setelahnya? Berpisah dan mencari yang lain?

"Pernikahan bukan untuk main-main seperti itu, Jungkook."

"Aku yakin kau orang yang baik," ucap Jungkook dengan anggukan tegas.

"Bukan itu maksudku, Jungkook." Yuna mengerang kesal.

Ya Tuhan, apakah pria ini tidak bisa menggunakan kepalanya untuk berpikir secara rasional?

"Jika kau tidak ingin menikah sekarang, kita bisa bertunangan dulu. Aku baik-baik saja dengan itu."

"Kenapa kau mencintaiku?" tanya Yuna tiba-tiba.

"Kau mengatakan sangat mencintaiku, lalu jelaskan alasannya. Apa yang membuatmu jatuh cinta dengan mudah padaku?" tambahnya.

Jungkook menjawabnya tanpa membuang waktu sedetikpun. "Kau wanita yang baik."

"Hanya itu?" Yuna menatapnya dengan bahu melorot lelah. Pria ini benar-benar tidak bisa dipercaya.

"Uhm… ya…" Jungkook berdeham dan memutar otak dengan cepat.

"Kau… baik, aku tahu tempat kerjamu dan itu cukup bagus, kau juga punya teman-teman yang… baik." Kata terakhirnya keluar ragu-ragu seperti pertanyaan.

"Kau bahkan belum pernah bertemu dengan teman-temanku!" sembur Yuna. Kekesalannya semakin bertambah.

"Ya, tapi aku pernah melihat mereka sekali di akun sosial mediamu," balas Jungkook dengan nada yang sama.

"Kau tidak tahu apa-apa tentangku dan berani ingin menikahi ku?"

"Kita bisa bertunangan─"

Yuna menarik buket bunga di tangan Jungkook dan langsung melemparkannya tepat di wajah pria itu.

"Cari orang lain untuk obsesi pernikahanmu itu! Jangan cari aku lagi, aku tidak ingin melihatmu. Kita berakhir Jeon!"

Kelopak mawar merah terjatuh berserakan di tanah bersamaan dengan hatinya yang ikut jatuh. Ia gagal… lagi?

Jungkook berpikir ini akan menjadi terakhir kali ia mencoba melamar seseorang setelah tiga kali gagal. Mungkin Yuna benar, ia hanya terobsesi pada pernikahan. Sejujurnya ia bahkan tidak yakin bagaimana perasaannya sekarang. Apakah ia bersungguh-sungguh dengan apa yang ia rasakan untuk wanita itu?

Tiga kali ditolak ketika ingin melamar kekasihnya, tiga kali ia mendapatkan jawaban tidak dengan alasan yang berbeda-beda. Dulu karena ia masih berada di universitas dan belum bekerja. Namun setelah lulus dan mendapatkan pekerjaan, alasan itu berubah karena ia tidak memiliki tempat tinggal sendiri. Sekarang setelah ia mendapatkan pekerjaan bagus dengan gaji tinggi serta memiliki apartemen sendiri, ia ditolak lagi karena apa? Terlalu muda? Mereka hanya baru mengenal dua minggu?

Memangnya butuh berapa banyak waktu untuk jatuh cinta?

Kenapa para wanita selalu membingungkan?!

Apa yang salah dengan menikah lalu mengembangkan cinta kemudian? Ini tidak seperti dirinya memaksa atau mengancam seseorang untuk menikah dengannya.

Jungkook menahan diri untuk tidak berteriak mengumpat. Ia menghela nafas dan membasahi bibirnya dengan sapuan lidahnya.

Ia telah menghabiskan beberapa hari untuk memikirkan persiapan ini, bahkan telah memberitahukan orang tuanya tentang rencananya meskipun ia belum mengatakan apapun tentang siapa kekasihnya. Mereka mendukung apapun keputusannya. Tidak pernah mempertanyakan apa-apa dan hanya memberikan semangat.

Sekarang apa yang harus ia katakan pada mereka?

"Appa, eomma… aku ditolak lagi?"

Ya Tuhan, itu benar-benar memalukan. Orang tuanya akan berpikir betapa menyedihkannya ia selalu ditolak dan mungkin mereka juga akan berpikir sama, bahwa ia hanya sangat putus asa untuk menikah.

Jungkook hanyalah seorang pria yang menyukai hal-hal romantis dan ya, ia bisa mengatakan bahwa dirinya selalu romantis terhadap pasangannya. Ia adalah tipe pria yang manis dan menyukai hal-hal yang juga sama manisnya.

Menikah sebenarnya bukan prioritas baginya, terlebih ia memang masih sangat muda. Namun Jungkook berpikir betapa menakjubkan bangun setiap hari dengan wajah pasangannya di sampingnya, berbagi setiap pelukan dan ciuman. Pergi bekerja dengan kata-kata penyemangat dari pasangannya, kemudian saat pulang ia juga akan disambut dengan ucapan selamat datang dan senyum manis. Mereka akan melakukan banyak kencan setiap hari libur atau hanya bermalas-malasan dengan berpelukan seharian di tempat tidur.

Melakukan setiap kegiatan dengan pasangan, terdengar sangat menyenangkan baginya.

Jungkook hanya ingin memiliki seseorang yang bisa ia panggil sebagai miliknya dengan bangga dan penuh cinta.

Lalu kenapa itu sangat sulit untuk diwujudkan?

Apa yang kurang darinya? Tidakkah ia sudah lebih dari cukup?

Haruskah ia melakukan operasi untuk merubah wajahnya, baru setelah itu akan ada yang mau menikah dengannya?

Jungkook mengerang kesal lalu menendang buket bunga yang telah rusak di tanah. "Sialan!" umpatnya sangat keras.

Ia terengah-engah oleh kekesalannya sendiri. Mengusap kasar wajahnya, kemudian menekuk kedua lututnya hingga duduk berjongkok. Dahi berada di atas lutut sementara sebelah tangannya terangkat menggenggam helaian rambutnya yang telah acak-acakan.

Ia benar-benar lelah melakukan hubungan yang sia-sia ini. Sudah menghabiskan setiap bagian dari hatinya untuk mencoba dan mencoba namun hasilnya selalu sama. Tidak ada yang berubah. Selalu berujung dicampakkan begitu saja.

Mungkin orang-orang yang pernah menjalin hubungan dengannya berpikir bahwa ia tidak benar-benar serius, namun sebenarnya Jungkook adalah tipe orang yang selalu menganggap bahkan hal terkecil itu serius.

Mungkin mereka berpikir ia hanyalah orang yang menarik, bisa bermain-main dengannya, namun Jungkook bukanlah pria yang hanya berpikir dari otak apalagi nafsu. Ia juga selalu mengutamakan perasaan. Miliknya maupun orang lain.

Penolakan kali ini semakin menambah daftar panjang untuk patah hatinya.

Jungkook tidak menyadari berapa lama ia duduk berjongkok di sana dengan kepala tenggelam di antara lengannya. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini. Mungkin pada akhirnya ia harus menyerah dengan segala macam hubungan dan membuang jauh-jauh harapannya untuk memiliki seseorang sebagai miliknya.

Harga dirinya sudah terlalu sakit jika harus mengalami penolakan lagi.

"Hei, apa kau baik-baik saja?"

Pertanyaan macam apa itu?

Jungkook mengangkat wajahnya dan langsung membentak, "Menurutmu bagaimana, huh? Apa aku terlihat seperti dalam keadaan baik-baik saja?!"

"A-ah maaf, aku tidak bermaksud tidak sopan atau apa. Kau duduk di tengah-tengah taman sejak lima belas menit yang lalu. Jadi aku memutuskan untuk menghampirimu."

Lima belas menit? Jungkook bahkan tidak sadar. Sekarang setelah pria di depannya mengatakan itu, ia menyadari kakinya yang mulai kesemutan karena berjongkok lama.

"Kakimu akan sakit jika terus di posisi itu. Sebaiknya kau pindah duduk di bangku taman saja atau mungkin pulang beristirahat."

Sekarang Jungkook juga merasa bersalah. Pria di depannya cukup baik untuk menghampirinya dan bertanya keadaannya. Suaranya yang lembut juga mengandung sedikit nada khawatir.

"Oh tidak─ jangan menangis, apa aku mengatakan sesuatu yang salah?"

Menangis? Apa-apaan?

Jungkook akan membantah itu. Tidak mungkin seorang pria sepertinya menangis.

Namun saat membuka bibirnya untuk menjawab, ia justru mengeluarkan isakan kecil dan bibirnya bergetar.

Serius? Ia menangis?

Hal bodoh apalagi ini.

"Ini, gunakan ini. Tolong jangan menangis." Sebuah sapu tangan berwarna kuning cerah diulurkan padanya.

"Aku minta maaf jika aku mengganggumu. Aku akan pergi sekarang."

Jungkook mengulurkan tangannya, bukan untuk meraih sapu tangan itu namun tangan yang memberinya.

"Terima kasih. Kau tidak melakukan sesuatu yang salah, aku hanya─ aku─" Jungkook terhenti dan terisak lebih keras, membuat pria yang membungkuk di depannya itu semakin gelagapan.

"H-hei, kenapa kau malah menangis lebih keras─ uhm…"

"Jungkook, aku Jungkook," ucapnya di sela tangisan.

"Oh oke, aku Jimin."

Itu sungguh perkenalan yang aneh karena dilakukan dalam situasi yang juga aneh.

"Tolong berhenti menangis, kau bisa menarik lebih banyak perhatian padamu."

"Lalu? Kau pikir aku peduli, disaat aku sedang patah hati seperti ini? Memangnya kenapa jika orang-orang melihatku? Apa mereka akan mengolok-ngolokku karena ditolak? Ya, aku tahu aku memang menyedihkan."

Jimin yang menyaksikan pria yang dihampirinya itu terus mengoceh dan menangis, hanya menggaruk kepalanya. Sebelah tangannya yang lain masih digenggam oleh pria Jungkook itu.

"Aku mengerti, tapi mungkin kau bisa menangis dan mengeluh di tempat lain. Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri disini," ucapnya mencoba memberitahu.

"Ayo, bangun lebih dulu. Kakimu akan sakit." Jimin memegangi lengan atas Jungkook, menariknya bangun.

Kemudian menyerahkan lagi sapu tangan miliknya untuk digunakan. "Ini, hapus air matamu."

Jungkook menerimanya dan menghapus air matanya. Namun bukannya berhenti, ia justru semakin sesenggukan.

"Kenapa… kenapa semua wanita itu menyebalkan? Apakah mereka tidak tahu aku sudah menyiapkan kejutan ini dengan susah payah?"

Jimin hampir menepuk dahinya sendiri karena Jungkook masih melanjutkan.

"Aku sampai harus meminta libur pada atasanku untuk mencarikannya cincin dan bunga. Tapi lihat? Dia bahkan menghancurkan buket bunga yang aku beli seharga 85 ribu won. Dia menghancurkannya begitu saja!" Jungkook menunjuk bunga yang hancur di tanah. Terlihat lebih kesal tentang bunganya yang dirusak daripada fakta dia baru saja ditolak di depan umum.

"Aku tahu itu menyebalkan, tapi─"

Jungkook beralih menatapnya seolah hanya Jimin lah orang yang paling mengerti dirinya. "Kau juga berpikir dia menyebalkan, kan? Memang."

"Apa yang salah dengan melamar kekasihmu begitu cepat, Jimin? Bukankah itu berarti menunjukkan keseriusan ku padanya? Aku tidak ingin main-main, aku berniat memberinya hubungan resmi. Tapi dia…" Jungkook berhenti, menghapus air matanya.

Tatapan Jimin melembut ketika mendengar kata-kata pria itu. Sebenarnya ia sudah berada di taman sejak Jungkook dan kekasihnya tiba. Ia semula melihat dari kejauhan, namun karena tertarik dan penasaran, ia mendekat dan memutuskan melihat tak jauh dari tempat pasangan itu berdiri.

Ia berpikir betapa manisnya ketika melihat pria itu meminta si wanita menunggu sebentar lalu kembali dengan sebuah buket bunga besar yang di genggam di balik punggungnya.

Jimin sudah tahu kemana arahnya. Jadi ia menonton, bermaksud ingin melihat adegan pengakuan romantis itu karena tidak banyak pria yang bersedia melakukannya di depan umum karena kekhawatiran akan ditolak oleh pasangannya. Meskipun Jimin berpikir itu tidak mungkin karena mereka adalah pasangan, tentu saja mereka pasti ingin terus bersama dan memiliki hubungan yang lebih serius.

Namun hal-hal yang selanjutnya terjadi, bukanlah apa yang ia harapkan untuk dialami oleh pria malang itu. Di tolak di depan umum, bertengkar dengan si wanita yang berakhir pergi setelah menyebabkan kekacauan memalukan untuk kekasihnya─ mantan kekasih sekarang.

Jimin berpikir untuk pergi karena tidak ingin melihat sisanya. Tahu pasti itu sangat memalukan bagi pria itu. Namun bisikan-bisikan di sampingnya dari para pengunjung taman yang lain, membuatnya tetap disana. Ada yang mengasihani pria itu namun ada pula yang mengejek. Alis Jimin berkerut mendengar itu.

Setelah sekitar lima belas menit pria yang duduk berjongkok itu tidak bergerak, ia mulai sedikit khawatir. Ia tahu mereka orang asing, tidak saling mengenal, namun Jimin tetap merasa kasihan padanya. Sendirian di tengah-tengah taman tanpa ada yang menghibur setelah ditolak dan dipermalukan.

Jadi meski ragu-ragu, ia memutuskan untuk menghampiri sekedar untuk menanyakan apakah dia baik-baik saja karena jika pria itu terus dalam posisi seperti itu, kakinya akan sakit. Juga akan membuat lebih banyak perhatian tertuju ke arahnya.

Jelas Jimin tidak mengantisipasi untuk tangisan dan keluhan secara terang-terangan pria asing yang sekarang ia ketahui bernama Jungkook itu.

"Aku tahu itu menyakitkan tapi segera, kau pasti akan baik-baik saja. Pernahkah kau berpikir mungkin saja kekasihmu─"

"Mantan kekasih." Jungkook mengoreksi seraya mengusap air mata di pipinya menggunakan lengan kemejanya karena sapu tangan Jimin sudah terlalu basah.

"Mantan kekasihmu." Jimin membenarkan, suaranya terdengar seperti sedang membujuk seorang anak kecil.

"Dia bukan orang yang tepat untukmu. Jika kalian tidak bisa bersama, mungkin saja itu cara Tuhan memberitahumu bahwa dia bukan yang terbaik untukmu dan ada orang lain diluar sana yang sebenarnya ditakdirkan untukmu dan sedang menunggu akhirnya kalian bisa bersama."

Jungkook menatapnya dengan tatapan tak percaya dan kekaguman. Kata-kata Jimin sangat masuk akal. Ia tidak bisa memaksa seseorang untuk bersamanya jika mereka tidak ingin dan mungkin benar bahwa Yuna ataupun mantannya yang lain, bukanlah orang yang tepat untuknya.

Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Jungkook ingat kata itu.

Setelah mendengar pengingat itu dari Jimin, ia tiba-tiba merasakan kelegaan menyapu dirinya. Patah hatinya berkurang dan tidak seperti sebelumnya, ia yakin segera ia akan baik-baik saja, seperti kata Jimin.

Itu juga menumbuhkan kembali harapan di hatinya bahwa ia pasti akan menemukan seseorang yang tepat untuknya. Yang akan menjadi miliknya.

Jungkook tiba-tiba selangkah lebih maju dan tanpa peringatan memeluk Jimin cukup erat.

"Terima kasih. Sungguh, terima kasih Jimin," ucapnya berulang kali. Menangis di pundak pria yang sedikit lebih pendek darinya itu.

Jimin terkejut oleh gerakan itu. Namun akhirnya membalas pelukan Jungkook meskipun harus sedikit berjinjit untuk meletakkan dagunya di pundak pria itu. Mengabaikan bagaimana tubuh besar Jungkook secara mengejutkan terasa sangat pas melingkupi tubuh kecilnya.

"Aku tidak melakukan apapun untuk mendapatkan terima kasih," ucap Jimin.

"Tidak, kau tidak tahu!" Jungkook berseru, meskipun suaranya sedikit teredam di bahu Jimin.

"Kata-katamu sangat berarti. Kau benar, mungkin mereka bukan orang yang tepat untukku. Mungkin kami memang tidak cocok."

Jimin tersenyum. Lega karena kata-kata sederhananya cukup membuat Jungkook merasa lebih baik.

"Bagaimana bisa aku berpikir untuk menikahinya, sementara dia bahkan tidak bisa menghargai usahaku. Aku masih kesal dia merusak bunga yang ku pesan untuknya!"

"Aku mengerti." Jimin mencoba untuk tidak tertawa karena Jungkook masih mengungkit bunga 85 ribu wonnya yang hancur.

"Setidaknya dia seharusnya menerimanya ya…" ucapnya, lalu melepaskan pelukan mereka meskipun entah perasaannya saja namun Jungkook terlihat enggan dengan cara kedua tangannya masih melingkari tubuhnya.

"Bunganya sangat cantik. Sayang sekali." Ia cemberut melihat kumpulan mawar merah berserakan di tanah.

"Benar, kan? Dia tidak bisa menghargai hal-hal romantis ini." Jungkook mengeluh lagi namun Jimin melihat dia tidak lagi menangis. Hanya tersisa jejak basah di bulu mata serta pipinya, hidungnya juga merah.

"Mmh padahal ini sangat manis," ungkap Jimin.

"Aku tahu, aku memikirkan rencana ini sampai hampir tidak tidur semalaman. Terus menekankan pada diriku sendiri bahwa ini harus berhasil. Tapi…"

"Tidak, tidak, jangan menangis lagi." Jimin tanpa berpikir mengulurkan tangannya dan menangkup kedua sisi wajah Jungkook. Menyapukan ibu jarinya di bawah mata basah pria itu.

Sadar dengan tindakannya, ia langsung menurunkan tangannya dan beralih menepuk pundak Jungkook.

"Tidak apa-apa, ini bukan salahmu. Kau sudah mencoba dan ku pikir ini benar-benar sangat manis. Dia yang bodoh karena telah menolak pria manis sepertimu."

"Bodoh, apa yang ku katakan?" Jimin menegur dirinya sendiri dalam hati. Ia harus berhenti sebelum mulutnya mengeluarkan omong kosong lebih banyak.

Ia lantas mundur dan mencoba memberikan senyum. "Baiklah, sebaiknya kau pulang Jungkook. Beristirahatlah, ini pasti hari yang melelahkan untukmu."

Jungkook menatapnya sedikit lebih lama sebelum berubah cemberut. "Aku tidak ingin."

"Hm?" Jimin berkedip bingung.

"Aku tidak ingin pulang. Aku mungkin hanya akan memikirkan ini lagi ketika sendirian dan menyalahkan diriku sendiri lagi."

"Kau tidak salah!" Jimin menegurnya, "Sudah ku bilang itu bukan salahmu."

"Aku tahu." Jungkook menunduk, "Tapi… aku benar-benar tidak ingin pulang dan sendirian saat ini."

Jantung Jimin terasa akan melompat keluar dari dadanya. Apa maksudnya ini?

Apakah Jungkook menyiratkan dia masih ingin Jimin bersamanya?

Atau dia ingin Jimin membawanya pulang?

"Pulang apa?!" Jimin langsung berseru dalam kepalanya, "Kemana kau akan membawanya, bodoh!"

"Uhm.. ya, tapi kau tidak bisa terus berada disini atau berkeliaran diluar sana sendirian semalaman. Kau harus pulang," ucapnya.

"Tidak bisakah kau bersamaku?"

"Huh?" A-apa?

Jimin menatap tak percaya padanya.

"Uh.. maksudku, jika kau mau." Jungkook menggigit bibir bawahnya. Ia tahu permintaannya sangat aneh karena meminta seseorang yang hanya ia baru ketahui namanya untuk menemaninya. Namun ia benar-benar tidak ingin sendirian sekarang.

"Jungkook, kau serius memintaku menemanimu?"

"Jika kau keberatan, tidak apa-apa. Aku mengerti."

"Bukan begitu." Jimin segera menjawab.

Mereka berdua benar-benar aneh, bukan?

Siapa yang ingin bersama orang asing yang tidak dikenal sama sekali selain mengetahui nama masing-masing, itu pun mereka baru saling menyebutkannya beberapa menit lalu.

Ya, mereka memang orang asing paling aneh.

"O-oke." Jimin menambahkan setelah beberapa saat berpikir.

Jungkook menatapnya penuh harap.

"Aku akan menemanimu. Lagi pula aku juga akan sendirian jika pulang. Jadi ku rasa baik-baik saja untuk bersamamu lebih lama," sambung Jimin.

Jungkook hanya butuh kenyamanan untuk ditemani oleh seseorang setelah apa yang terjadi sebelumnya. Jimin menekankan itu dalam kepalanya.

Ekspresi senang di wajah Jungkook, sudah cukup membuat Jimin tersenyum. Lega bahwa pilihannya benar.

"Sebaiknya kita pergi sekarang," ucapnya.

Tepat saat ia berbalik, Jimin menyadari satu hal.

Mereka masih berada di tengah-tengah taman.

Ia mencoba untuk tidak tersipu mengingat mereka baru saja berpelukan dengan dikelilingi oleh tatapan penasaran orang-orang. Bagaimana tidak, Jungkook baru saja dicampakkan oleh kekasihnya, lalu datang Jimin sebagai pahlawan entah darimana, yang menenangkannya dan memberinya pelukan.

Benar-benar situasi terbodoh yang ia alami.

Jimin segera meraih tangan Jungkook. "Ayo pergi dulu dari sini."

Tanpa menunggu jawaban, ia membawa Jungkook berjalan ke sisi lain taman yang tidak terlalu ramai.

Jungkook mengusap wajahnya menggunakan tangan yang bebas dan mencoba merapikan dirinya meskipun sia-sia. Ia telah acak-acakan, rambut, wajah maupun pakaiannya. Sekarang ia menyesalinya.

"Apa kau ingin sesuatu? Mungkin minum atau apapun." Jimin bertanya dengan lembut setelah mereka tidak lagi berada di tempat dimana keduanya menjadi pusat perhatian seperti sebelumnya.

Taman disisi ini lebih tenang, tidak banyak pengunjung karena ada masalah penerangan lampu yang belum diperbaiki. Itu tidak gelap namun cukup redup.

"Tidak, hanya ingin berjalan seperti ini saja."

Jimin mengangguk, mengintip fitur wajah pria yang lebih tinggi darinya itu.

Jungkook tampan dan juga tinggi. Bahkan Jimin bisa melihat otot yang terpahat di balik kemeja yang dikenakan.

Ia mengalihkan pandangannya ke depan setelah menyadari pikirannya sendiri. Bersyukur karena cahaya redup, tidak memungkinkan Jungkook melihat rona merah di wajahnya.

Ia tidak mengerti kenapa pria menarik seperti Jungkook bisa ditolak. Meskipun baru beberapa saat lalu bersamanya, Jimin yakin Jungkook pria yang baik, lembut dan sopan. Romantis menjadi nilai tambahnya.

Bahkan menurut Jimin, ia berpikir Jungkook adalah tipenya. Pria yang selama ini ia cari dan inginkan.

Sayang sekali bukan ia yang memilikinya.

"Terima kasih sudah mau menemaniku," ucap Jungkook memecah keheningan diantara mereka.

Jimin tersenyum. "Tidak apa-apa. Sudah ku bilang aku tidak keberatan."

"Meskipun kau berpikir pasti sangat aneh orang asing memintamu untuk menemaninya, bukan?"

Jimin mengangkat bahu. "Yah, setidaknya aku tahu namamu yang membuatnya tidak terlalu aneh."

Jungkook melihatnya tersenyum geli, yang membuatnya terkekeh dengan suara sedikit serak. Jimin menyenangkan untuk diajak berbicara jadi ia tidak menyesal, seberapapun anehnya situasi ini.

Mereka berjalan lebih lama hingga keluar dari area taman. Tanpa tujuan atau rencana.

Sampai di titik Jungkook mulai merasa kedinginan. Hembusan angin malam terasa membekukan apalagi ini telah memasuki bulan November. Ia hanya mengenakan kemeja tanpa jaket, berbeda dengan Jimin yang mengenakan jaket kebesaran tertutup yang terlihat lembut dan hangat. Kedua tangan pria itu juga berada dalam saku jaketnya.

Mungkin Jimin menyadari ketidaknyamanannya lalu menoleh, mendapati Jungkook saling menggosok lengannya.

"Kau kedinginan," ucapnya, seolah baru tersadar mereka berjalan-jalan cukup lama dengan Jungkook yang kurang berpakaian di malam sedingin ini.

"Ya." Jungkook terkekeh menanggapinya. Tidak mencoba menyembunyikan apapun.

Jimin mengeluarkan tangannya yang tetap hangat karena berada dalam saku jaketnya, lalu meraih tangan Jungkook. Terkejut dengan jari-jarinya yang dingin.

Cemberut karena kurangnya perhatiannya sedari tadi, ia lantas meletakkan tangan Jungkook di antara kedua tangan sendiri.

"Kau dingin." Jimin menggosok tangan mereka bersama-sama ketika keduanya memutuskan berhenti.

Fakta baru yang Jimin temukan adalah perbedaan ukuran tangan mereka. Jari-jarinya sendiri gemuk dan pendek, sementara milik Jungkook panjang dan ramping. Tangannya juga lebih besar dari milik Jimin sendiri.

Perbedaannya terlalu mencolok namun sebenarnya sangat menggemaskan ketika mereka saling menggenggam seperti ini.

"Uhm… aku tidak memiliki maksud apa-apa tapi," Jimin menggigit bibir bawahnya lalu berkata ragu-ragu, "apakah kau ingin pergi ke apartemen ku?"

"Itu tidak terlalu jauh dari sini. Hanya perlu menyeberang dan melewati satu blok." Ia menunjuk jalan seberang yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri lalu tikungan di sebelahnya.

"Kau bisa menghangatkan diri disana," tambahnya.

Jungkook yang sedari tadi hanya diam memperhatikan apa yang dilakukan Jimin dengan mata lebar, akhirnya ikut menoleh.

"Apa tidak apa-apa? Aku tidak ingin merepotkanmu," jawabnya.

Jimin senang karena jawaban Jungkook tidak menyiratkan keberatan karena keberaniannya.

"Tidak apa-apa. Aku tinggal sendirian dan ada pemanas ruangan untuk membuatmu hangat," jelasnya.

Jungkook terlihat berkonflik sebentar, sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum.

"Terima kasih," katanya.

Jimin mengangguk dan mereka langsung berjalan menuju tempat tinggalnya. Ia memang sering berjalan-jalan di area taman itu karena apartemennya juga cukup dekat. Hanya membutuhkan sepuluh menit untuk berjalan kaki. Taman itu indah saat musim semi dan ia menyukainya, terlebih ketika melihat bunga bermekaran.

Jimin menyarankan mereka untuk mampir di sebuah minimarket. Sedikit berdebat tentang apa yang harus mereka beli untuk dimakan di apartemen Jimin, hingga akhirnya memilih beberapa beer kaleng dan makanan ringan sebagai camilan. Ia juga telah memesan pizza untuk mereka berdua. Setidaknya ia ingin menyambut tamunya dengan baik.







◆◆◆◆◆

Continue Reading

You'll Also Like

31.4K 2.9K 23
Mereka berdua , Jimin dan Jungkook di paksa menikah karena perjanjian Darah para kakek mereka . Terpaksa , karena jika tidak mereka berdua tidak akan...
949K 133K 29
kadang orang yang kita perjuangin suka gatau diri, cuma bikin sakit hati. © 2k16 by nath highest rank ; #1 in short story ㅡ 18...
194K 21.3K 41
Menyesal! Haechan menyesal memaksakan kehendaknya untuk bersama dengan Mark Lee, harga yang harus ia bayar untuk memperjuangkan pria itu begitu mahal...
19.3K 705 8
oneshoot/twoshoot yang isinya ateez as main cast. all pairing. mostly banyak all x jongho sih :v