A Destiny In Silence

Da ArandraCloudy5

210 1 0

Ketika Raja tidak memiliki otoritas tinggi di tahtanya, Yoon Jung-hyun pemegang kendali partai Namin telah me... Altro

Prolog
Cast Story
Chapter 1: Sebuah Kabar

Chapter 2: Permasalah yang terjadi

17 0 0
Da ArandraCloudy5

Jeonghae duduk di depan Raja. Rapat kabinet pun dimulai. Permasalahan yang sejak tadi Raja pikirkan telah menjadi kenyataan. Partai Namin sedang meributkan permasalahan pewaris tahta, dengan tanpa merasa bersalah mereka berseru di depan putra mahkota

"Jeonha... banyak rakyat yang meributkan masalah pewaris tahta," ucap Hwang Dae-hyung memulai rapat.

"Jadi, kalian ingin memulaikan rapat di pagi hari yang cerah ini dengan mempersalahkan pewaris tahta? Apa kalian merasa terbebani jika aku mengangkat Yi Yeon sebagai putra mahkota?"

Jeonghae diam mendengarkan perkataan ayahnya, ia sungguh penasaran ingin mendengar jawaban dari para penjabat juga

Hwang Dae-hyung memilih diam, sedangkan itu Partai Namin yang terpecah belah menjadi Soron dan Noron pun ribut.

Mereka bahkan tidak segan-segan memarahi satu sama lain dengan satu kubu sendiri di Partai Namin, sedangkan itu Partai Seonin yang sedari tadi terdiam segera membuka mulutnya.

"Apa kalian tidak sadar telah berbuat lancang di depan Jusang Jeonha!" Seru Moon Gyeo-il. Ia begitu muak mendengar keributan di aula Seonjeong.

Raja melirik Moon Gyeol-il dengan tenang.

"Ini bukan saatnya mendengar keributan kalian yang tidak ada habisnya," ungkap Yang Won-gyu penuh bijak melanjutkan perkataan Moon Gyeol-il. Penjabat partai Namin saling memandang satu-sama lain, ada yang merasa bersalah, tersinggung, marah dan bingung.

Karena keadaan tersebut menjadi runyam, Raja tertawa melihat raut wajah para penjabat Partai Namin yang bercampur aduk. Semua orang lantas menoleh ke arah sang Raja.

"Apa kalian sudah menyelesaikan ributnya?" Sengit tajam Raja kepada Para penjabat Partai Namin.

Mereka hanya bisa tertunduk kaku mendengar perkataan Raja. Hal ini malah membuat Jeonghae curiga dengan gerak-gerik mereka. Tidak bisanya Partai Namin begitu patuh kepada raja. Bahkan Yoon Jung-hyun sejak tadi hanya menunjukkan raut ekspresi kebingungan.

"Lanjutkan, Mentri Yang," perintah Raja setelah suasana menjadi hening. "Sepertinya ada berita yang menarik bisa kudengar untuk pagi ini, bukan sebuah permintaan yang membuat telingaku terasa panas," sindir Raja melirik tajam Partai Namin.

Putra Mahkota tersenyum sinis. Ia tidak menyangka ayahnya begitu berani menantang langsung Partai Namin.

Sepertinya mainan mereka untuk Abba-mama telah habis.

Gumam Putra Mahkota tertawa dalam hati. Akan tetapi, ia masih merasakan keresahan yang akan datang. Partai Namin tidak akan membiarkan siapapun termasuk raja, menginjak harga diri mereka. Jika saja partai Namin saat ini tidak mengalami perpecahan, mungkin ayahnya akan di permainkan oleh mereka.

🔸🔸🔸

Song-hwa tersenyum senang melihat kehadiran kakaknya yang telah lama tidak berjumpa.

"Orabonie, bagaimana keadaanmu?" Tanya Song-hwa setelah mereka berdua duduk. "Saya baik-baik saja, Mama. Bagaimana dengan anda?"

Sejenak Song-hwa terdiam mendengar pertanyaan balik sang kakak. Ia ingin sekali mengungkapkan kekhawatiran dan kekesalan yang di alaminya di istana. Namun, sekuat tenaga ia berusaha menepiskan pemikirannya itu.

"Aku baik, Orabonie. Hanya saja, aku bosan di istana. Dulu aku selalu melatih diriku dengan panah, namun sekarang sepertinya tidak bisa," ungkap Song-hwa sedih.

"Maka dengan begitu, saya membawakan anda panah sesuai permintaan anda, Mama," Song-hwa mengangkat alisnya dan sontak wajahnya menjadi ceria. "Benarkah Orabonie?"

Song-jae mengangguk mantap. Ia lalu menggeser sebuah kotak kayu persegi panjang dari belakangnya. "Ini, hadiah untuk anda.."

Song-jae menyerahkan kotak kayu tersebut di hadapan Song-hwa. "Anak panah dari kayu mahoni kualitas terbaik dari Utara," ujar Song-jae begitu bergembira saat memberikan hadiah untuk adiknya.

Dulu Song-jae selalu mengajarkan Song-hwa memanah. Menurut Song-jae, memanah adalah bakat terpendam yang dimiliki oleh adiknya itu.

"Bingoong-mama, maafkan saya mengganggu anda. Daewang daebi-mama memanggil anda ke Jagyeongjeon." Ujar Dayang Heo kepada Song-hwa. Ia cukup terkejut mendengar panggilan untuknya, namun Song-hwa menyadari jika Ibu Suri Agung memanggilnya karena masalah yang terjadi saat Salam Pagi.

Ia menghembuskan napas dengan kasar. Sepertinya hari ini ia akan kembali mendengar 'keluh kesah' Ibu Suri Agung yang selalu ingin dihindari.

Song-jae yang mengetahui raut wajah sang adik berubah mulai bertanya-tanya dalam hati. Akan tetapi, ia mengurungkan kembali niatnya untuk bertanya. Tidak ingin menanyai masalah kehidupan adiknya di istana jika Song-hwa tidak mengungkapkannya. Ia tidak ingin dianggap sebagai kakak laki-laki yang terlalu khawatir dengan keadaan adiknya. Bisa-bisa Song-hwa yang telah menjadi Putri Mahkota menjaga jarak padanya karena mengganggu kenyamanan kehidupan pribadinya. Menurutnya adiknya itu telah dewasa dan pastinya bisa menjaga diri.

Di sisi lain Song-hwa berusaha tersenyum melihat wajah Song-jae. Ia tahu jika kakaknya itu pasti bertanya-tanya perihal mengenai kehidupannya selama di istana. Ingin sekali dirinya ditanyai hal tersebut agar bisa meluapkan seluruh kekesalan apa yang telah terjadi selama ia tinggal di istana, sayangnya sang kakak tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut.

Song-hwa tersadar dari lamunannya. "Maaf Orabonie tidak bisa mengantarkan mu pergi keluar. Aku harus bersiap ke Jagyeongjeon. Sampaikan salam kepada Eommanie bahwa aku baik-baik saja selama di istana.." kata Song-hwa memutuskan segera bangun dari duduknya dan bergegas menuju Jagyeongjeon.

🔸🔸🔸

Langkah Jeonghae begitu lebar setelah sepeninggalannya dari rapat di Aula Seonjeong. Kepalanya masih sibuk memikirkan dengan apa yang sebelumnya dibahas.

Partai Namin menentang kedatangan orang-orang barat memasuki negeri mereka. Menganggap orang-orang barat adalah musuh dan akan merusak keyakinan leluhur yang telah mereka pertahankan sejak dulu. Sedangkan itu Partai Seonin menyetujui kedatangan orang-orang barat hanya dengan syarat.

Saat langkah kakinya hampir mendekati istana Donggung, Jeonghae melihat keberadaan Song-jae, tak menyadari kehadiran dirinya yang berjarak 5 langkah darinya.

"Song-jae!" Panggilnya kepada kakak iparnya itu. Lelaki muda yang dipanggil segera menoleh ke arah sumber. "Seja Jeoha," ucapnya sembari menundukkan kepala menyadari kehadiran putra mahkota.

"Apa kau baru saja menemui Bingong?" Tanya Jeonghae. Song-jae mengangguk pelan. "Aah... lalu kenapa wajahmu sangat kusut sekali?" Tanya Jeonghae menyadari jika Song-jae seperti dirinya, sedang memikirkan hal yang berat di pikirannya. "Apa kau ada masalah?"

Song-jae menggeleng pelan. Menepis pertanyaan Putra mahkota jika ia baik-baik saja. "Hanya lelah saja, Jeoha..." bohonh Song-jae. Sayangnya, jawaban itu terasa menggelikan bagi Jeonghae. Orang lain pun akan tahu jika Song-jae terlihat sedang memikul beban di pikirannya. Putra mahkota merasa tidak puas mendengar jawaban pendeknya dan ingin kembali menanyainya, tapi setelah memikirkan dengan matang Jeonghae pun memilih tidak kembali bertanya. Mungkin saja Song-jae belum bisa mengungkapkan bebannya.

Jeonghae lalu mengalihkan topik pembicaraannya. "Sebenarnya ada yang ingin ku bicarakan dengan dirimu," ujar Jeonghae dengan wajah serius.

"Membicarakan tentang apa, Jeoha?"

🔸🔸🔸

Uap teh melati yang sedang di siapkan oleh Dayang Im untuk Ibu Suri dan Song-hwa mengepul ketika diseduh kan olehnya.

Setelah menyelesaikan kegiatannya, Ibu Suri melirik ke arahnya. Mengerti dengan maksud lirikan Ibu Suri, Dayang Im pun meninggalkan mereka berdua.

Song-hwa terdiam menatap teh melati yang masih mengeluarkan uap panas dari cawan nya. Ia menunggu kalimat yang keluar dari bibir Ibu Suri Agung.

Alih-alih mengeluarkan suara, Ibu Suri sengaja memperlambat waktu. Ia meminum teh melati yang masih hangat itu lalu melirik ke arah Song-hwa. Tatapannya begitu mengindimitasi bagi Song-hwa.

Karena suasana begitu hening, Song-hwa merasa tidak nyaman. "Maafkan saya, Daewang daebi-mama.. ada apa anda memanggil saya? Apakah ada masalah?" Tanya Song-hwa hati-hati. Semenjak salam pagi tadi, ia tahu jika Ibu Suri sedang menahan kemarahan setelah mendengar 'berita baik' dari Ratu yang mengandung.

Ibu Suri merupakan anggota Partai Seonin dalam artian ia adalah musuh utama bagi Ratu Yoon yang mendukung Partai Namin begitu sebaliknya. Mereka berdua mencoba untuk mempertahankan kekuasaan partai mereka masing-masing, sayangnya setelah kejadian Seo Jung-hyo, ayah dari Mendiang Ratu pertama membuat Partai Seonin jatuh dari kekuasaan penuhnya. Partai Namin lalu naik kekuasaan.

Perseteruan ini tidak berakhir juga setelah Ratu Yoon mengandung, menurut Ibu Suri kedudukannya di istana dalam dan Partai Seonin akan goyah jika saja Ratu melahirkan seorang Putra. Partai Namin pun akan tetap menguasai istana.

Sebaliknya Partai Seonin yang tidak memiliki kekuasaan besar, memilih memangku kepercayaan di kedudukan Putra Mahkota. Meski mereka tahu Yeongdae tidak akan bisa bertahan jika Ratu Yoon melahirkan seorang putra, namun hanya itu kesempatan mereka untuk memulai kembali kekuasaan mereka yang telah terpuruk.

Satu hal yang bisa mempertahankan kedudukan Putra mahkota adalah pewaris. Hal tersebut adalah merupakan rencana mereka agar kedudukan Yeongdae sebagai pewaris tahta tidak akan terganggu. Song-hwa harus melahirkan seorang putra, dan itu akan menjadi tujuan utama Partai Seonin.

"Aku benar-benar pusing sekali setelah mendengar perkataan Junjeong," ungkap Ibu Suri dengan wajah merah padam.

"Mengandung? Hah! Aku tidak habis pikir dengan wanita itu, ia belum puas begitu saja setelah menjadi seorang Ratu dan sekarang pastinya ia ingin menjadikan anaknya itu sebagai pewaris..."

Song-hwa mendengarkan keluhan Ibu Suri dengan seksama. Sudah menduga letak masalah yang akan dibicarakan oleh Ibu Suri.

"Lalu, bagaimana dengan perkataan seja tadi?" Song-hwa tercekat mendengarnya "Mak-maksud anda, Daewang daebi-mama?" Tanya Song-hwa dengan Kalut. Ibu Suri tersenyum tipis. "Season. Kamu pasti juga mengerti bukan, Bingoong?"

Song-hwa mengerjakan matanya. "Ya-yah, Daewang daebi-mama.." gagap Song-hwa.

Mengandung adalah sebuah hal yang ingin ia hindari. Bukannya Song-hwa tidak ingin memiliki seorang anak, namun ia baru saja menginjakkan kakinya 1 setengah tahun di istana. Bukankah itu terlalu awal baginya untuk mengandung?

Seakan mengerti dengan isi pikiran Song-hwa, ibu Suri berdecak terhadapnya. "Ketika kamu ingin mempertahankan kedudukan di dalam istana, salah satu terpenting adalah pewaris.." ujar Ibu Suri penuh penekanan. Song-hwa merasakan lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sesuatu setelah mendengar perkataan menohok dari Ibu Suri. "Usiamu sudah cukup untuk mengandung," lanjut Ibu suri.

Song-hwa menahan napasnya.

Ibu suri pun tertawa kecil melihat reaksi Song-hwa. "Kenapa kamu begitu gugup, Bingoong?" Tanya Ibu Suri tidak penasaran, hanya memastikan kejujuran Song-hwa.

"Sejujurnya... saya belum memikirkan hal jauh seperti itu, Daebi-mama,"

"Hal jauh? Kamu sudah menjadi istri Putra mahkota, calon Ratu negeri ini, lalu kenapa kamu tidak memikirkan untuk mempertahankan tahta-mu?"

Hati Song-hwa terasa mencelos mendengar balasan Ibu Suri. Ia tidak menduga perkataannya dapat membawa kemarahan Ibu Suri. Ia benar-benar menyesali mengeluarkan kalimat tersebut. Song-hwa menjerit dalam hatinya, bingung menghadapi suasana yang terasa mencengkamkan baginya.

"Aku akan memberimu satu bulan," ucap Ibu Suri dengan pelan, penuh ancaman.

Song-hwa meremaskan kedua tangannya dibalik dangui nya. Ia merasakan waktunya di Jagyeongjeon terasa begitu lambat. Ia begitu berharap jika bisa menyelesaikan percakapan ini dengan cepat tanpa hambatan.

"Bagaimana?" Lanjut Ibu Suri setelah hening sejenak.

Song-hwa sekuat tenaga untuk berpikir bijaksana. Ia bukan lagi seorang gadis bangsawan yang hidup dengan orang tua yang selalu memanjakannya ataupun seorang kakak laki-laki yang selalu menjaganya, sekarang ia adalah seorang istri dan juga seorang Putri mahkota. Hidup di istana harus bisa membuatnya lebih mandiri dari siapapun, karenanya ia harus bersiap menghadapi masa depan yang akan dilaluinya. Song-hwa sudah bertekad dan berjanji kepada dirinya sendiri sebelum ia diangkat menjadi Putri mahkota bahwa dia tidak akan takut menghadapi apapun lagi. Ketakutan hanya akan menjadi kelemahan di istana, ia tidak boleh menunjukkannya kepada siapapun.

Song-hwa dengan penuh keyakinan lalu menjawab Ibu Suri. "Saya akan melaksanakan perintah anda, Daebi-mama. Saya tidak akan berjanji, tapi akan saya usahakan untuk mengandung seorang putra," ucap Song-hwa dan Ibu Suri yang mendengarnya begitu bahagia karena kepercayaan diri Song-hwa.

Bagi Song-hwa menjadi Putri mahkota bukanlah sebuah kesalahan untuknya. Ia telah terpilih dan tidak ada waktunya untuk menyesali dan kembali ke belakang untuk melihat masa lalu yang telah ia jalani karena sekarang ia sudah di tengah jalan. Sekarang bukanlah saatnya ia menyerah, namun saatnya ia mempertahankan tempatnya agar bisa bertahan di tengah perseteruan ini.

🔸🔸🔸

Continua a leggere

Ti piacerĂ  anche

43.3K 5.9K 18
This is the sequel of RRR, so new readers please read it before starting this book. Agneya, the soon to be crown prince of Rakshatra, was bounded by...
Guard Dog Da whizbee_

Narrativa Storica

7.9K 565 10
He was just a chief minister who fell in love with a prince. He expected trouble. But he never expected his love was part of a big scheme. The prin...
801K 18.1K 35
Her Royal Highness The Princess Royal, is a beacon of regality, yet beneath her crown lies a woman determined to defy the conventional expectations o...
Beyond Times Da Woody

Narrativa Storica

92.8K 5.9K 55
-"And where do I reside?" -"You reside in my heart, Priye!" Two broken souls, who endured pain and loneliness all their life. Destiny united them and...