Into The Light (Seungwoo X We...

By primasantono

3.7K 438 112

*COMPLETED* Wendi yang telah memasuki umur mendekati kepala 3, sejatinya tidak peduli ketika teman-temannya s... More

Into the Mirror
Prolog
1. Light
2. Blank
3. Begin Again
4. Remember Me
5. Your Smile and You
6. Stay With Me
7. I'm Here For You
8. Fever
9. When We Were Close
11. While The Memory Fall A Sleep
12. Timeline
13. Want Me
14. Slow Goodbye
15. Please
16. LL (Love + Love)
17. Sweet Travel
18. Petal
19. I'm Still Loving You
20. Child
21. So Bad
22. Here I Am
23. Time of Sorrow
24. Like Water
25. In Love
26. We Loved Each Other
27. You are Mine
28. Howling

10. White Night

82 15 1
By primasantono

Muka tertekuk Wendi semakin menekuk sekian ruas begitu melihat Seno dan ibunya kini tampak akrab saling bernostalgia. Ibunya yang selama ini membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa nyaman berbicara dengan Sakti, kini justru seakan tidak pernah kehabisan cerita di hadapan Seno.

"Oh emang anak Ibu tuh dua-duanya sama aja. Makan bakwan ada kolnya aja langsung sesak nggak karuan dan dibawa ke UGD," celoteh Ibu Wendi diselingi anggukan cepat Seno.

"Kayak gitu sok-sokan minum kopi tuh, Bu,"

"Emang Sen, besok kamu jewer aja itu. Wisnu itu ampun deh ndak bisa dibilangin. Katanya asem mulutnya kalau nggak ngopi seharian. Pusing Ibu,"

Wendi yang sejak tadi berada di dapur untuk membuatkan minuman, hanya bisa melengos. Situasi ini pasti tidak akan mengenakkan juga untuk Sakti yang tadi sudah bela-belain jemput ibunya ke bandara. Sakti yang seharusnya bisa langsung pulang sehabis lembur demi berkutat dengan mesin-mesin itu, justru kini terjebak di rumahnya dan melihat masa lalunya begitu akrab dengan ibu dari pacarnya.

Pelik banget memang. Rasanya Wendi mau menghilang aja saking tidak tahu harus berbuat apa.

Kepala Sakti tiba-tiba nongol, ia habis berbincang juga dengan Wisnu yang memang mutusin buat tiduran di kamar. Padahal Wendi yakin banget kedua orang itu pasti main PS di kamar bukannya istirahat.

"Wisnu main PS terus ketiduran,"

"Nggak heran, tapi dia udah minum obatnya kan?"

"Udah kok di hadapan aku langsung minum," sahut Sakti sambil perlahan mendekat dan berdiri di samping Wendi yang masih mengaduk teh, "Capek nggak? Biar aku aja sini,"

Wendi menggeleng lemah, "Udah kamu duduk aja,"

Sakti tidak menurut, ia tetap berdiri di samping Wendi sambil sedikit mengintip ke arah sofa tempat Seno dan ibunya Wendi bercengkrama. Wendi bisa tebak dari gurat wajahnya kalau pria itu sedikit tidak nyaman, "Jangan dipikirin yah. Ibu lama nggak ketemu Seno soalnya jadi agak heboh,"

Sakti hanya diam sambil tatapannya masih menerawang ke arah kedua manusia yang menjadi objek pembicaraan itu mereka itu. Suara denting sendok dari tangan Wendi terdengar sejenak diantara keduanya yang terdiam dengan pikiran masing-masing.

"Jadi Seno itu atasan kerjanya Wisnu?"

Wendi yang sejak tadi hanya fokus pada deretan cangkir akhirnya mendongak, "Iya, baru sekitar tiga bulanan gitu,"

"Berarti pas yang ketemu di Bogor itu posisinya kamu udah tahu?"

"Iya, tahu karena nggak sengaja Wisnu cerita soal bos barunya,"

"Aku agak kaget lihat dia tadi disini. Di rumah kamu,"

Wendi menangkap getir suara Sakti barusan. Ia menyelesaikan pekerjaannya dan menyeka tangannya dari butiran gula yang jatuh. Ia menghela napas sambil menatap Sakti yang kini menatapnya juga. Wendi bisa merasakan aura Sakti yang agak aneh menatapnya lebih dalam dari biasanya.

"Lain kali kamu harus cerita ya Wen,"

"Maaf, aku pikir nggak penting dan ... buat apa juga--"

"Penting Wen. Justru penting banget karena dia orangnya,"

Wendi menghela napasnya sambil menatap pria itu lekat-lekat. Pertama kalinya bagi Wendi menyaksikan mata Sakti dengan aura seperti itu. Aura yang belum pernah terbaca oleh Wendi sebelumnya. Sakti tidak membalas sambil pandangannya kini ia alihkan ke arah lain, "Kalau tadi nggak ada Ibu, mungkin aku bakal langsung berpikir yang nggak-nggak,"

"Kamu pikir aku bakal ngapain?" potong Wendi sambil menahan volume suaranya agar tidak terdengar keluar. Sakti mendekat agar suara mereka hanya terdengar satu sama lain.

"Wen, ini udah malam, wajar aku kaget. Apalagi aku tahu jelas dia siapa di hidup kamu sebelumnya,"

"Iya tapi dia kan bukan siapa-siapa sekarang. Please, aku bahkan tadi nggak bisa berdiri tegak, Sakti. Wisnu juga masih sakit perutnya. Aku nggak bisa bohong kalau kehadiran dia tadi membantu banget buat aku karena dia udah tahu jelas harus gimana kalau aku kambuh,"

"Poinku bukan itu. Kasih tahu aku, Wen. Seenggaknya kamu bisa bilang kamu sama siapa selama perjalanan tadi kan?"

Wendi memutar bola matanya dan bereaksi malas. Ia memijit keningnya entah untuk keberapa kalinya sambil menghela napas, "Keadaanku tadi boro-boro bisa pegang hp .... Lagipula di situasi tadi menurut kamu emangnya aku bisa lapor 'Sakti, ada mantan crush aku sekarang,' ketika aku bahkan mau duduk tegak aja kepalaku sakit banget. Kamu juga coba pikirin dari sisi aku gimana,"

"Berarti kalau aku nggak kesini tadi, kamu mungkin nggak akan cerita sama sekali ya kalau dia nganterin kamu kesini,"

"Jangan ngarang hal-hal yang nggak terjadi deh. Mending sekarang kita ke depan, nganter teh ini biar Seno juga bisa cepet pulang. Aku masih agak pusing,"

"Wen ...."

"Sakti, please not today. Okay?"

Wendi dengan sigap mengangkat nampan yang diatasnya sudah ada beberapa cangkir berisi teh dan cemilan, meninggalkan Sakti yang tidak punya pilihan lain selain mengikuti langkah Wendi keluar dapur. Dengan cepat Wendi menghampiri sofa tempat Ibunya dan Seno berbincang sejak tadi. Wendi bisa tahu jelas kalau aura wajah keduanya begitu cerah sekarang, bertolak belakang dengan aura wajah dirinya dan Sakti yang baru datang.

Seno memeriksa isi cangkir dan dengan cepat menegur Wendi, "Wen, masih sakit gitu padahal kasih aja gue air galon,"

"Maunya juga air keran aja sih tadi. Tapi gimana," sahut Wendi asal yang kemudian dibalas sikutan pelan Ibunya. Wendi hanya mendumel dalam hati lantas memilih duduk di samping Sakti yang duduk bersebrangan dengan Seno dan Ibu Wendi. Sakti hanya diam sambil meneguk tehnya, membuat Wendi hanya bisa ikut terdiam melihat orang-orang didepannya menikmati teh sajiannya. Seno dengan cepat menghabiskan tehnya sambil tersenyum kearahnya.

"Gue pulang ya, Wen. Seno langsung pulang ya, Bu. Besok nggak ada Wisnu di kantor pasti sibuk nih," ujar Seno sambil mengarahkan pandangannya bergantian antara Wendi dan Ibunya.

"Iya, terima kasih banyak Seno. Salam buat Mami sama Teh Sarah," sahut Ibunya sambil kini mengalihkan wajahnya ke Wendi, "Wen, pesenin taksi deh, udah malem banget ini,"

"Udah pesen kok, Bu. Ini udah di depan harusnya," jawab Seno sambil kepalanya celingukan ke arah luar. Benar saja sebuah taksi dengan cat biru mencolok sudah sampai di depan rumah.

Sakti pun ikut berdiri sambil berpamitan. Wanita itu tersenyum sambil berulang kali menampakkan rasa terima kasihnya, "Sakti, nanti ngobrol lagi ya. Terima kasih banget sudah jemput Tante,"

"Anytime Tante, kabari ya kalau ada apa-apa. Wendi, aku pulang dulu,"

Wendi tampak bergeming dan hanya mengangguk perlahan ke arah pria itu. Keempat manusia itu kemudian berjalan beriringan keluar dari rumah, mengantar kedua pria itu yang mulai terpisah begitu keluar pagar. Sakti dengan cepat masuk ke mobilnya sementara Seno menaiki taksinya sambil terus melambaikan tangan hingga taksinya benar-benar menghilang di tikungan.

Hanya tersisa Wendi dan Ibunya, dengan pikiran berkecamuk dan perasaan yang saling bertolak belakang satu sama lain. Ibunya tampak bahagia, senyumnya begitu lebar dibanding Wendi yang pikirannya sedang kemelut. Ibunya dengan wajah cerah ceria kemudian merangkul anak gadisnya erat-erat sambil tersenyum, "It's good to be sick sometimes,"

"Maksudnya? Ibu nih suka aneh,"

"Ibu nggak nyangka waktu Ibu mutusin kesini, Ibu pikir Ibu bakal nangisin dua anak Ibu yang sakit barengan. Eh, anak gadis Ibu malah kasih kejutan sampai punya dua lelaki yang ngurusin begini,"

Wendi mengernyit sambil menampakkan wajah tidak setuju, "Apaan sih Bu, enggak lah,"

"Jadi Nduk, kamu sebenarnya mau sama yang mana?"

Seno membuka pintu apartnya dengan rona bahagia yang terpancar di wajahnya. Berulang kali ia tersenyum, bersenandung pelan sambil membersihkan badannya yang lengket luar biasa. Ia berhasil mengobrol lagi dengan Wendi, bahkan berhasil menemukan rumahnya, dan bertemu ibunya. Seakan-akan bebannya bertahun-tahun kemarin sedikit lepas walau reaksi judes Wendi masih mengganggu pikirannya.

Tapi entah kenapa, ia puas sendiri melihat reaksi Wendi ketika ia berhasil kembali akrab dengan Ibunya. Apalagi reaksi Sakti yang berubah drastis melihat Ibu Wendi langsung memeluknya begitu masuk ke rumah malam itu. Reaksi itu, entah kenapa membuat Seno merasa menang walau juga ia merasa jahat.

Berulang kali kata-kata Wendi terlintas di pikirannya. Mereka tidak bisa lagi berteman sejak hari itu. Seno sendiri tiba-tiba meragu, apakah caranya melihat Wendi sudah berubah sejak saat itu? Apakah Seno juga tidak bisa melihat Wendi sebagai temannya sejak itu?

Pagi hari menjelang, dengan pikiran Seno yang masih berputar-putar disekitar itu. Beberapa notifikasi sudah masuk ke hpnya, membuatnya belum juga bergeming dari kasurnya sejak sepuluh menit yang lalu. Notifikasi kerjaan, ibunya yang mengomel karena kemarin seharian ia lupa menelepon, Wisnu yang bilang mungkin ia akan kembali bekerja besok, dan pesan Chandra yang sedikit membuat dahinya mengernyit.

Dengan cepat ia menekan tombol Call sambil merengut, menunggu nada tunggunya tersambung.

"Pagi Seno Sayang--"

"KAMPRET APA-APAAN GUE DIJADIIN PANITIA CAMPING BOCAH?!"

Reaksi Seno yang meledak seketika membuat tawa Chandra meledak selama beberapa saat. Begitu Yeri yang sudah menikah resmi pensiun jadi panitia, Chandra lah yang didaulat untuk membuat panitia acara terbaru Into The Light yang akan datang. 

"Lo ngadi-ngadi banget eh bangsat--"

"Tunggu dulu eh, lo dengerin dulu lah, ya menurut lo gue ngajak siapa lagi? Yang single di kelas kita kan paling kita-kita aja sisanya,"

"Gue kan udah bilang nggak mau terlibat kayak gituan. Nggak penting,"

Chandra tergelak dulu sebelum melanjutkan, "Nggak camping yang literally camping kali. Nyewa villa, kumpul-kumpul, bakar-bakar, ngobrol, udah!"

"Buat apa? Penting gitu di hidup gue?" ujar Seno masih nyolot sambil dirinya mulai bangun dan berjalan menuju pantry mengambil segelas air.

"Ya udah lah Bro anggep aja healing ala ala. Staycation ala ala. Nanti paling juga pada sibuk sama bocah masing-masing, kita bertiga nikmatin hidup aja sendiri,"

Alis Seno terangkat sebelah, bertiga katanya, "Bertiga? Bukan kita berdua doang?"

"Ya nggak lah bangsat, ntar lo khilaf lagi duaan sama gue doang. Makanya baca dulu sampai bawah iMes gue. Gue juga ajak Wendi,"

Tiba-tiba mata Seno membulat sumringah begitu nama gadis itu keluar. Ia berdeham sedikit sambil menurunkan tensi darahnya, "Oh, boleh tuh,"

"Bangsat, lo kalau gue sebut Wendi aja langsung mau. Gue masih tanya anaknya dulu nih semoga dia beneran mau. Kalau jadi, weekend cabut,"

"Wait, lo jangan bilang Wendi dulu kalau gue juga mau ikut. In case dia nggak mau karena gue--" Seno tiba-tiba teringat dengan muka judes gadis itu semalam. Kalau gadis itu tahu mereka akan jadi panitia lagi, mungkin dia bakal langsung nolak mentah-mentah.

"Okay, gue bakal bilang masih nyari anggota lain aja,"

"Good. Makasih banget udah bikin mood gue happy pagi ini. See ya!" seru Seno sambil tersenyum sumringah. Suara protes Chandra ia hiraukan dan ia langsung menutup telepon itu dengan rona bahagia muncul di wajahnya.

Sambil bersiul, ia melangkah menuju balkon tempat ia menjemur handuknya lalu bergegas masuk toilet dengan cerah ceria di hatinya.

Baru dua hari ijin sakit, tapi Wisnu kini sudah menghadap Seno lagi dan bilang siap bekerja. Anak itu sudah sibuk mondar-mandir sana-sini, mempersiapkan beberapa berkas dan ruang meeting yang pagi ini jauh lebih wangi dari biasanya.

"Saya kepikiran soalnya hari ini mulai seleksi calon Brand Ambassador baru kita. Kasihan Bayu kalau ngurus semua sendiri,"

"Kan emang harusnya ini diurus sama tim Brand Executive, Bayu sama lo cuma bantu-bantu dari segi brief produk. Lo masih sakit nggak?" sahut Seno sambil menyeruput kopi pagi yang dibawa Wisnu. Ia manggut-manggut menikmati minuman yang kini menghangati tubuhnya itu.

"Saya udah baik-baik aja, Bang. Lagipula tim BE hari ini lagi ngurus iklan. Saya udah di-brief kok," sahut Wisnu lalu tersenyum karena pria didepannya itu menikmati kopi yang ia bawa tadi, "Enak ya Bang? Baru buka dibawah,"

"Enak. Thanks ya, bayaran gendong ke UGD?"

Wisnu cuma tertawa. "Oh iya Bang, udah liat beberapa calon BA barunya? Cantik-cantik,"

Seno hanya mengangkat bahu dan tidak tertarik, "Tolong email aja deh fix-nya yang mana. Gue mumet sendiri lihat kalian debat di email,"

Wisnu mengangguk sumringah, "Oke Bang, tunggu ya. Kebetulan salah satu kandidat mau main kesini juga,"

Seno hanya manggut-manggut lagi sambil mulai membalas beberapa email yang sudah masuk dan menyesap kopinya hingga tetes terakhir. Bunyi notifikasi email dari Wisnu masuk dengan title List Brand Ambassador. Seno dengan cepat mengaksesnya dan seketika jarinya mematung melihat salah satu nama. Ia dengan cepat menggerakkan mouse-nya dan membuka salah satu profile kandidat itu.

What?

Belum selesai melongo, Wisnu mendatanginya kembali dengan hp di tangannya. Ekspresi di wajahnya seperti terburu-buru, "Salah satu kandidat main kesini, Bang, saya jemput dulu,"

"Siapa?"

"Shila Danisa, Bang,"

Mata Seno tampak terkesiap mendengar nama itu barusan. Nama yang sangat familiar itu kini harus ia dengar lagi setelah sekian lama. Mendadak rasa bersalah melingkupi dirinya. Mendadak segala macam memori itu melintas di pikirannya.


Notes from Prima:

Here she comes, Shila akhirnya muncul wkwkwk kira-kira ada yang udah nungguin?

Lagi sibuk terJunho-Junho kemarin efek The Red Sleeve jadinya nunggu mood beneran datang buat nulis.

Semoga suka! :)

Continue Reading

You'll Also Like

33.8K 2.5K 34
Sandi Harusbi Jaksana (Sandi) seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab atas segala persoalan yang dihadapi banyak pasangan muda se-Indonesia (k...
Our Boyfriend By N

Teen Fiction

24K 1.5K 37
Popularitas menjebak Rio dan Key dalam keadaan. Rio seorang kapten tim basket dan Key yang merupakan siswi #1 disekolah harus menyembunyikan kisah c...
78.6K 8.6K 39
[COMPLETED]-What if you meet the right person, but at the wrong time? Daftar Pendek The Wattys 2021
2.6M 39.7K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...