METAFORGAYA (Segera Terbit)

By ujwarf

36.2K 6.8K 2K

[FOLLOW SEBELUM BACA YA GUYS 😘] **** "Saya Gaya!" Itu ucapan pertama cowok tengil yang tengah berdiri di had... More

PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 23
BAGIAN 24
BAGIAN 25
BAGIAN 26
BAGIAN 27
BAGIAN 28
BAGIAN 29
BAGIAN 30
BAGIAN 31
BAGIAN 32
BAGIAN 33
BAGIAN 34
BAGIAN 35
BAGIAN 36
BAGIAN 37
BAGIAN 38
BAGIAN 39
BAGIAN 40
BAGIAN 41
BAGIAN 42
BAGIAN 43
BAGIAN 44
BAGIAN 45
EPILOG

BAGIAN 22

485 102 13
By ujwarf

PART ini lebih panjang nih. Selamat membaca yaaa. Jangan lupa VOTE dan KOMEN.

***

META.

DUA COWOK

Aku sedikit terguncang mendapati satu DM dari salah satu platform pendidikan terbesar di Indonesia. Apa aku nggak salah lihat? Mereka ingin menjadikanku Brand Ambassador program mereka? Seorang Meta, yang biasanya berbicara di depan kamera, beberapa minggu lagi akan pergi ke Jakarta? Menghadari grand opening program terbaru mengenai pengembangan diri di kalangan remaja dan dewasa muda.

Dadaku masih sesak. Sebuah gerakkan yang awalnya kulakukan demi berbagi sudut pandang lewat istagram ternyata sudah berjalan sejauh ini. Kukira, mungkin hanya akan ada pekerjaan yang dilakukan secara online. Endorse, promosi, atau campaign apa pun yang dilakukan secara online. Namun saat ini, aku ada di titik yang lebih tinggi. Hadir sebagai orang yang benar-benar terlihat di mata umum.

Mendapati DM itu, aku buru-buru menghubungi Sandrina. Tanpa waktu panjang, dia langsung menyahut dengan suara nyaring.

"Ada apa?" Itu pertanyaan yang menyebalkan. Sebagai manager, seharusnya dia sudah tahu apa yang akan kusampaikan.

"Ada apa!" Aku mengerucutkan bibir, mengikuti caranya bicara. "Nyebelin."

"Hahaha." Suara tawanya terdengar renyah. "Soal Ruang Kesehatan Mental ya?"

"Kenapa nggak ngasih tahu soal itu?" Aku mondar-mandir di depan ranjang.

"Sebenarnya selain menghubungi di DM instagram, CEO-nya udah kontakan sama aku lewat WA. Aku belum ngasih tahu kamu karena mereka masih menyiapkan MoU-nya. Rencananya, aku akan kasih tahu semuanya setelah berkas jadi."

Biasanya, aku nggak serajin itu melihat DM di media sosial. Sandrina selalu jadi kaki tanganku dan melakukan apa saja. Nah setelah pindah ke Bandung, aku jadi lebih sering melihat media sosial. Apalagi setelah pekerjaan mengedit dan upload video aku ambil alih.

"Lagian, kenapa sih semangat amat?" Sandrina menanggapi lagi. "Jangan terlalu sering lihat medsos deh. Tugasmu bikin konten aja. Capek kalau lihat medsos terus."

Itu ucapan yang menohok. Pasalnya, aku juga mulai membaca berbagai komentar. Dan aku baru sadar jika konten edukasi pun masih banyak yang menghujat. Dibilang jualan ludah, sok-sok-an motivator, dan berbagai bully-an lain. Dulu aku nggak sadar karena jarang sekali bersinggungan dengan medsos, ada Sandrina juga. Nah sekarang, semua itu jadi terlihat nyata. Beberapa kali, bahkan aku terenyak membaca komentar-komentar itu.

"Sepertinya kamu benar, Drin." Aku menelan ludah. "Sehari kemarin, aku mikirin beberapa komentar netizen juga. Apa aku kejauhan ya? Maksudku, kok berani-beraninya aku bikin konten. Padahal aku sendiri masih bobrok."

"Eits ....." Terdengar jeda yang cukup lama. "Kita udah ngobrolin ini di awal-awal lho. Kamu kan niatnya sharing sesuatu yang kamu pelajari. Kamu hadir untuk berbagai sudut pandangmu. Bukan untuk ngajarin orang."

"Tapi sama aja ...." Aku mengembuskan napas. "Ternyata nggak semudah yang aku kira."

"Udah!" Sandrina menyumpal mulutku secara halus. "Mending kamu fokus ke konten. Masalah netizen, biarin aja. Kan kamu sendiri yang bilang. Kita nggak mungkin bisa membahagiakan semua orang. Gimana sih kamu?"

Aku mengangguk-angguk. "Thanks, Drin."

"Yes, Memet!"

"Apaan sih Mumat Memet. Kayak Gaya aja!" Aku mencebik.

"Gaya, Gaya, Gaya ....." Sandrina terkekeh. "Sudah lebih dari dua minggu aku nggak denger ceritamu soal Gaya. Dia apa kabar?"

Ucapan itu membuat aku menyadari banyak hal. Setelah kejadian masak bareng di rumah Gaya, semuanya berjalan normal. Aku tetap lari pagi dengan Gaya. Gaya juga tetap datang ke kosan dengan dalih ngecek ini itu. Namun, ada satu yang berubah. Selama weekend, kami nggak jalan bareng. Weekend seolah hari-hari larangan antara aku dan Gaya. Sebab di hari itu, hanya ada aku dan Praha.

"Kok diem?" Sandrina mengagetkan lamunanku.

"Dia baik. Masih suka gombal. Masih suka bikin ketawa," jawabku pada akhirnya.

"Terus Praha?"

Pertanyaan itu membuatku menghela napas. "Perkembangannya makin jauh. Dua minggu terakhir, aku dan Praha sering jalan bareng. Dia ngajak mainlah, nonton, makan bareng, ke tempat wisata, dan kegiatan lain."

"Wiiiih." Sandrina bertepuk tangan. "Hebat. Bisa banget ya nge-handle dua cowok sekaligus? Seorang Meta lho ini. Si jomblo akut yang kisah percintaannya datar-datar aja tiba-tiba ada dalam situasi ini."

"Siapa dulu dong gurunya. Nyonya Sandrina!" Aku terkekeh hambar.

"Tapi tapi ...." Terdengar suara yang agak ragu. "Kamu emang mau gini terus? Maksudnya, kamu mau ada terus di bayang-bayang dua cowok?"

Pertanyaan itu kontan membuatku beku. Ini juga yang sebenarnya membuatku pusing. Gaya, dia adalah tipe cowok yang bisa mencairkan suasana, santai, sangat terbuka dengan berbagai kemungkinan. Aku suka. Bahkan aku merasa jika aku bakal kesepian kalau nggak ada Gaya. Sementara Praha, siapa yang nggak mau sama dia? Di balik sosoknya yang gagah, tentu, dia adalah lelaki dewasa dengan pikiran yang visioner. Dia sudah memikirkan banyak hal jika kami jadi melangkah ke jenjang serius. Kamu masih ingat soal usul menyewa apartemen? Itu bagian dari salah satu kedewasaannya meskipun pada saat itu, aku nggak nyaman.

"Woy!"

"Woy lagi!"

Sandrina terkekeh. "Ngapa sih? Bukannya jelasin, malah diem ...."

Aku menggigit bibir. "Mmmmm, sejauh ini aman-aman aja sih. Maksudku, belum ada hal yang membuat aku harus benar-benar memilih. Keduanya masih bukan siapa-siapa. Aku sedang mencoba menjajaki dan memilah."

"Cielah, menjajaki. Bahasamu gitu amat!"

"Harus dong. Demi yang terbaik." Aku memilih mengalihkan pembicaraan. "Perkembanganmu sama Pandu gimana? Hebat banget seorang Sandrina. Ke Bandung satu hari, eh langsung dapet cowok."

Sandrina terkekeh centil. "Makin deket. Tiap malem teleponan gitu. Seneng ih. Apalagi, weekend ini dia mau ke Garut. Mau ketemuan sekaligus .... ada yang mau dibicarin katanya."

"Dia mau nembak?" Aku mengerutkan kening.

"Sepertinya begitu ....." Sandrina menjawab dengan suara seperti berkumur. "Aku nggak berekspektasi, tapi aku siap-siap aja."

"Kalau nembak, mau diterima?" tanyaku lagi.

"Kenapa enggak?" Sandrina terkekeh. "Selama pendekatan, dia cowok yang menyenangkan. Aku suka."

Aku mengangguk-angguk. Kisah perjalanan cinta Sandrina terasa mulus. Ketemu cowok, pendekatan, eh bentar lagi jadian. Dan saat dibandingkan dengan kisahku, kok sepertinya kisahku malah rumit banget ya? Aku ada di antara dua cowok yang keduanya sama-sama menyenangkan untukku.

"Drin, udahan dulu ya." Aku berucap pelan. "Kalau ada info dari platform itu, telepon aja. Aku sih bakal terima. Soalnya itu salah satu impian aku banget bisa tampil di media yang lebih luas. Apalagi, katanya acara grand openingnya ditayangkan di televisi."

"Tentu." Sandrina menjawab yakin. "Kalau kamu muncul di televisi, nanti aku juga kecipratan."

"Ya udah. Bye ...."

"Eh tunggu." Sandrina menghentikan tanganku untuk mengusap ikon berwarna merah.

"Apalagi?"

"Jangan lupa salat instikharah. Kamu nggak bisa lama-lama ngegantungin dua cowok. Harus ada satu yang benar-benar dipilih!"

Mendengar ucapan itu, aku meringis. Kenapa Sandrina tiba-tiba jadi seperti ustadzah? Sialnya, ucapan itu memang benar.

"Ya udah, bye ...." Sandrina menutup panggilan dari sana.

Setelah pembicaraan itu terhenti, aku terdiam cukup lama. Dari awal pindah ke Bandung, aku nggak nyangka akan ada masalah serumit ini. Kukira, aku akan menghadapi kehidupan baru dan orang-orang baru. Eh ternyata, aku nggak bisa lepas dari apa pun. Bukan hanya yang baru datang, yang lama pun enggan untuk dilepaskan. Sialnya, aku terjebak di dua hal itu. Aku yang masih newbie dalam urusan percintaan merasa terkurung sekaligus terlena.

Oh, Tuhan. Tolong!

***

GAYA.

SAHABAT

Studio dengan dinding berwarna hitam pucat karena terlalu banyak coretan, dan mungkin sudah terlalu lama, tampak di pelupuk mata. Selain tampilan dinding, beberapa peralatan band, yang terasa sudah sangat tua, dan sepertinya belum ada rencana untuk diganti oleh pemiliknya, seakan mengolok-lokok.

Biarpun kami jelek, sepertinya elu nggak mampu bayar!

Kira-kira, begitulah olokkan yang dengan secara gaib mengusik hati.

"Gimana-gimana? Ada job lagi nggak?" Itu pertanyaan Pandu saat saya datang.

Saya memilih duduk di kursi plastik dan meneguk air mineral yang tutupnya sudah terbuka. Entah itu milik siapa. "Job nyanyi mandiri sih ada," saya berbicara hati-hati. "Untuk Band ..... belum."

Ungkapan itu ditanggapi helaan napas panjang. "Enak ya kalau jadi vocalis. Bisa nerima job sana-sini. Sementara kita-kita ya nggak bisa apa-apa."

Saya menghela napas. Ucapan Wastra membuat suasana sedikit lebih kikuk. "Masalah sewa studio, kalian jangan mikirin. Biar saya."

"Mau dibayarin maneh terus?" Abar ikut bersuara. "Kita memang kere. Tapi pengin juga kali patungan bareng-bareng. Biar nggak merasa bersalah."

"Ya terus mau gimana?" Saya mengangkat kedua alis. "Kalian itu bagian hidup saya. Kalau ada kesulitan ya kita jalani bareng-bareng. Kebetulan, saya masih pegang uang."

Pandu memilih berdiri. Dia mengotak-atik gitar. Abar juga sama. Dia mendadak sibuk menggerak-gerakkan stik dram. Sementara Wastra, dia seperti seorang pembersih. Mendadak rajin ngelap-ngelapin kain di atas beberapa peralatan.

Melihat mereka yang kelihatan bete, pikiran saya jadi terbang kepada kejadian beberapa tahun lalu. Kami di pertemukan di beberapa tempat. Bersama Pandu misalkan. Awalnya, kami bertemu di managemen. Dia yang sering mengiringi saya jika diundang dalam acara live accoustic. Tentu, pada awalnya kami hanya rekan kerja biasa.

Kalau Abar, aku bertemu dengannya saat menonton lomba band di Bandung. Saya melihat Abar membawa dua stik dram sambil diacung-acungkan saat band-band itu perform. Terlihat aneh dan nyentrik. Terus heboh sendiri. Nah Wastra, kami dipertemukan di salah satu kegiatan di café. Waktu itu dia bertugas sebagai crue di belakang panggung. Dia yang membereskan berbagai peralatan saat ada acara. Eh, ternyata dia bisa main bass juga.

Entah kenapa, pada saat itu saya tertarik meminta kontak mereka, hingga saya berinisiatif untuk mengumpulkan mereka.

"Serius?" tanya Pandu. "Saya mah cuman maen gitar modal hobi," lanjutnya tidak percaya diri.

"Apalagi saya!" Abar menggeleng. "Saya ngedram baru bisa kayak mukulin bedug sebelum adzan."

Ucapan itu disambut tawa oleh Wastra. "Ulah khawatir. Saya lebih parah dari kalian. Kerjaan saya sehari-hari jadi tukang ngegulung kabel setelah acara selesai. Saya cuma bisa main bass bermodal otodidak. Masih banyak yang perlu dipelajari."

Pada saat itu, hanya saya dan Pandu yang mungkin lebih professional. Saya sudah manggung dari café ke café sendiri, di bawah naungan salah satu managemen. Saya biasanya akan mengisi live accoustik di beberapa café.

"Nggak apa-apa. Semua bisa dilatih," ucap saya untuk meyakinkan. "Kalian sudah punya basic dalam bermain band. Nggak harus sekolah musik, karena kebutuhannya cuma sebatas di atas panggung. Saya yakin, kalau dilatih terus, kita bakal lebih kompak. Lama-lama, kita juga terbiasa."

Ada hening yang menyelimuti salah satu café sore itu. Sampai kemudian, terbit senyum ragu dari mereka. Saya maklum betul dengan rasa tidak percaya diri itu. Perlu waktu lama untuk menumbuhkan semuanya.

"Saya harap, band bisa bikin hidup saya lebih baik," ucap Abar. "Biar bisa beli apa aja."

"Saya juga." Pandu bersuara. "Pengin banget bisa ngajak cewek ke tempat-tempat mahal. Biar pas kencan nggak malu-maluin."

"Saya mah pengin bikin Emak jeung Abah bahagia. Setidaknya bisa makan tiap hari sama tahu dan tempe, itu sudah luar biasa. Nggak kayak sekarang. Garam lagi, garam lagi. Lama-lama usus di dalam perut berubah jadi laut."

Saya terkekeh mendapati kejujuran mereka. Hingga saya merasa bahwa jalan ini memang cocok. Mungkin, band bisa jadi jalan untuk menuju sukses? Hingga Band itu dibentuk dengan nama Riung Mungpulung yang artinya berkumpul. Kami bertekad untuk selalu bersama dalam suka dan duka. Meskipun sebenarnya, band kami kekurangan keyboardis. Ya, kami memilih tetap membuat band meski serasa pincang. Saya pikir, mungkin nanti akan ada anggota lain yang bisa diajak gabung. Eh, sampai sekarang, tidak ada yang tertarik. Siapa sih yang mau gabung di band kecil seperti kami?

"Yok latihan lagi!" Pandu mengagetkan keheningan yang cukup lama.

"Hayuk!" Abar berdiri. "Gaya pisan euy si Pandu. Mentang-mentang lagi deket sama cewek, semangatnya tinggi!"

Pandu hanya terkekeh. Saya yakin, dia hanya berusaha mengangkat semangat yang lainnya juga. Ya, meskipun tidak dipungkiri kalau pertemuannya dengan Sandrina membuat dia terlihat lebih bergairah. Mungkin baru pertama kali ada cewek yang nggak neko-neko dan nggak lihat dompet.

"Gera neangan atuh, Bar." Saya angkat bicara. "Biar semangat juga."

"Haha. Nggak ada yang mau." Abar menyiapkan drum. "Nggak ada yang mau digendong kalau jalan-jalan. Padahal digendong lebih menarik ya daripada naik kendaraan? Mungkin peluang akan terbuka kalau tahun ini bisa beli motor. Minimal meuli motor bebek."

Wastra menepuk pundak Abar. "Tenang, beberapa bulan lagi, kita mau bikin single. Iya nggak, Gay?"

Ucapan itu membuat saya sedikit terenyak. "Eh ... iya iya. Setuju. Semoga dalam waktu dekat lagunya bisa jadi. Terus kita bisa rekaman."

Saya tidak yakin dengan ucapan sendiri. Faktanya, sampai sekarang lagu itu belum sedikit pun tercipta. Saya sendiri belum bisa menyocokkan syair dengan chord yang ada. Ya, beginilah kalau musik cuma modal otodidak. Saya memang bisa mendengar nada dan menyocokkannya dengan suara, tapi urusan produksi lagu? Ah, miris. Tentu, kalau pun ada syair lagu yang tercipta, saya harus menghubungi orang-orang yang paham. Kemudian, akan ada fase galau lagi. Biaya. Tidak ada yang bisa memproduksi sesuatu tanpa biaya.

Saya berdiri dari duduk. Memilih membenarkan posisi stand mik sebelum benar-benar latihan. Bersamaan dengan itu, wajah Meta berkelebatan. Mulai muncul rasa ragu di benak. Apa suatu hari Meta akan menerima saya? Terutama pekerjaan yang bahkan kata Mama adalah pekerjaan 'main-main'. Apa saya akan selalu ada di zona ini? Atau mungkin, akan menyerah pada masanya?

"Udah ah, jangan galau terus!" Suara Pandu menggelegar. "Kalau gini terus, gimana mau sukses? Masalah job, santai aja! Nggak akan ada yang bisa ngeduga kok. Waktu di undang di café itu juga kita nggak nyangka kan? Masalah uang sewa studio juga nggak perlu dipikirin. Ada Bos Gaya sekarang. Masih bisa terselamatkan!"

"Gas!" Wastra mengacungkan jempol.

"Caaaag!" Abar tak kalah keras bersuara.

***

Di PART ini agak nyesek soal band Gaya. Apakah Band-nya akan jalan terus?

Continue Reading

You'll Also Like

125K 10.3K 22
Karina Mentari senang banget waktu Arsel mengajaknya mendaki Gunung Rinjani. Bagi Karina, nggak ada perjalanan seromantis itu sejak pertama kali meng...
38.8K 5.5K 53
Akibat perceraian kedua orang tuanya, Star Allen harus pindah bersama ibunya dari New York ke Wilmington, kota kecil di North Carolina. Star harus be...
1.4K 458 28
"LDR itu nyakitin Bro, kita di sini cape-cape nungguin, eh di sana dia disuapin cewek lain." Fannisa Dera Luthfina Welcome to LDR Tiap hari liat hp ...
434K 55.6K 36
Campus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona F...