Into The Light (Seungwoo X We...

By primasantono

3.7K 438 112

*COMPLETED* Wendi yang telah memasuki umur mendekati kepala 3, sejatinya tidak peduli ketika teman-temannya s... More

Into the Mirror
Prolog
1. Light
2. Blank
3. Begin Again
4. Remember Me
5. Your Smile and You
6. Stay With Me
7. I'm Here For You
8. Fever
9. When We Were Close
10. White Night
11. While The Memory Fall A Sleep
13. Want Me
14. Slow Goodbye
15. Please
16. LL (Love + Love)
17. Sweet Travel
18. Petal
19. I'm Still Loving You
20. Child
21. So Bad
22. Here I Am
23. Time of Sorrow
24. Like Water
25. In Love
26. We Loved Each Other
27. You are Mine
28. Howling

12. Timeline

71 12 0
By primasantono

Suara jari-jemari yang menari diatas keyboard masih memenuhi satu-satunya kubikal yang lampunya masih menyala terang di ruangan itu. Beberapa laporan yang harus Wendi submit malam itu satu-persatu sudah mulai memasuki sistem dan langsung dicek oleh Juna secara berurutan.

Keduanya hanya terfokus pada laptop masing-masing, diiringi suara menguap dari keduanya secara bergantian.

"Wen, satu lagi pulang deh. Ngantuk parah gue,"

"Lagian lo suka kebiasaan deh mendadak begini. Udah diminta dari Senin juga,"

Juna menatap Wendi dari kubikalnya, kepalanya mendongak sedikit dengan wajah yang senewen, "Lo sih pakai acara vertigo. Bukan vertigo kali tuh cuma kena gejala shock ketemu gebetan lama,"

Wendi hanya mendelik sambil akhirnya mengirim laporan yang terakhir, "SELESAI. Aaaaak stres gue,"

"Terima kasih tak terhingga, Wen. Maafkan bosmu yang kurang kompeten dalam kerjaan dadakan ini,"

Wendi hanya tersenyum meledek sambil memeriksa ponselnya. Pesan Sakti, Ibunya, dan Chandra memenuhi notifikasi hpnya. Ia hanya memeriksa sekilas pesan Sakti yang belakangan ini jadi dingin terhadapnya itu. Sepertinya anak itu mencari alasan untuk bertemu dengan bawa-bawa Wisnu dan mengajak adiknya itu pulang bersama. Ia lalu hanya membalas sekenanya sambil beralih ke pesan Chandra. Alisnya terangkat sebelah.

"Jun, lo tahu kan Chandra anak kelas gue?"

"Iya tahulah, kenapa?" ujar Juna diselingi suara printer yang memenuhi ruangan. 

"Ini dia ngajak gue buat Into the Light-thingy lagi. Males deh,"

"Mau ngapain lagi dah kelas lo?"

"Camping. Nggak tahulah temu kangen gitu. Chandra kena apes gitu disuruh ngurusin karena orang-orang single yang tersisa dan stay di Jakarta tinggal dikit kayak gue, Chandra, dan mungkin .... Seno,"

Juna menaikkan sebelah alisnya, "Gue tahu bukan Chandra yang bikin lo males, Senonya kan?"

"Nggak juga sih. Chandra kan tahu kalau gue suka Seno. Pasti nanti jadi aneh kalau kita bertiga jalan bareng gitu .... Lo nggak mau apa nyamar jadi anak kelas gue? Ke Puncak loh, lumayan liat ijo-ijo,"

"Ajak aja sih Sakti. Mobil terpisah. Kan enak?"

Wendi mendadak terdiam. Sejak kejadian malam itu di rumahnya, yang mempertemukan Seno dan Sakti pertama kalinya itu, ia masih merasa canggung dengan Sakti. Mungkin juga karena belakangan Sakti sibuk dan pulang lebih malam dari dirinya jugalah yang membuat mereka susah bertemu. Apalagi belakangan ini Sakti lebih sering meeting di head office.

"Sejak yang malam itu tuh gue masih gimana gitu sama Sakti,"

"Gimana emang?"

"Ya gitu .... canggung," seru Wendi perlahan sambil berhati-hati berucap.

"Canggung gimana-- Wen, lo kalau cerita jangan keputus-putus napa sih gue gemes sendiri!" seru Juna gemas sambil menatap Wendi senewen. 

"Maaf maaf. Ya gitu, dia agak marah karena gue nggak bilang seharian pas sakit itu gue ditemenin Seno juga--"

"Lah jadi tahu-tahu dia dateng liat lo lagi sama Seno? Wah gila sih gue juga jadi Sakti gondok lah,"

"Emang bakal gondok ya kalau situasi lo juga gitu?" dengan polosnya Wendi bertanya dengan wajah datar. Membuat Juna memutar bola matanya.

"Nih misal, lo tahu Sakti sakit, terus tahu-tahu pas ke rumahnya ada cewek lain ngurusin dia. Lo juga bakal gedeg kan?" ujar Juna sambil mulai mematikan peralatan listrik di mejanya satu persatu, "Apalagi itu mantannya atau dulu gebetannya,"

"Gue pasti nanya sih tapi ya nggak langsung mikir macem-macem kayak dia juga kali. Dia tuh lebay gitu loh bilang kalau pikiran dia pas lihat Seno disitu tuh langsung aneh-aneh tanpa nanya dulu,"

"Halah, paling kalau beneran lo liat Sakti lagi sama mantannya juga udah overthinking,"

Wendi berdecak sebal, tangannya juga mulai sibuk membereskan barang bawaannya, "Dia aja nggak pernah cerita dia pernah pacaran apa enggak,"

Juna mendadak terdiam dan menatap heran gadis itu, "Lah dia bilang ke lo nggak pernah pacaran gitu?"

"Bukan. Dia nggak bilang apa-apa soal masa lalu dia. Maksudnya gue nggak tahu dia pernah pacaran apa nggak. Emang pas kuliah dia nggak cerita sama lo?"

Juna meringis sendiri, menatap heran gadis itu dan merasa aneh, "Masa sih? Nggak pernah bahas sama sekali?"

"Iya. Ih jangan-jangan dia dulu buaya ya?" tiba-tiba tatapan Wendi berubah menyelidik. Juna hanya menimpalinya dengan senyum menyeringai sambil memasukkan laptopnya ke dalam tas.

"Boro. Dia malah manusia paling bucin yang pernah gue kenal,"

Juna menatap Wendi salah tingkah. Memang ada beberapa part yang tidak dia ceritakan soal Sakti sebelum pasangan itu saling kenal. Juna memang tiba-tiba ngide untuk mengenalkan mereka karena Juna tahu jelas keduanya sama-sama patah hati. Tiba-tiba memori Juna menerawang ke masa-masa saat kuliah, mengenal Sakti yang satu kos dengannya itu. Mengenal dunia Sakti yang hanya terpusat pada satu gadis dan langsung runtuh karenanya juga.

Takdir memang lucu. Karena satu gadis itu, hidup tiga orang di sekitar Juna jadi ikut merana. 

Juna berjalan mendekat ke arah Wendi duduk, sambil menggendong tasnya. Wendi menatapnya dengan tatapan penuh tanya.

"Sakti tuh sama kayak lo. Pernah jatuh cinta tapi ternyata nggak pernah kebalas. Saran gue, kalau dia belum mau cerita ya mungkin nggak usah bahas. Karena mungkin dia bukannya nggak mau cerita tapi emang nggak bisa cerita."

Wendi mengerutkan alisnya, "Berarti lo tahu semuanya tapi juga nggak mau cerita sama gue?"

"Bukan hak gue juga Wen buat cerita,"

Wendi memutar bola matanya. Setelah sekian lama bertanya-tanya, tentang semua sikap Sakti padanya yang misterius, yang lebih memilih untuk diam dan tidak cerita sama sekali padanya, ada sedikit bagian di hati Wendi yang mencelos karena ternyata Juna tahu semuanya.

Juna perlahan menggaruk alisnya, lalu kembali menatap Wendi sambil tersenyum, "Wen, apapun itu kalau nanti misalnya lo tahu dan lo kaget atas hal itu, gue harap lo tahu kalau gue cuma pingin lo bahagia. Sakti orang paling baik yang gue kenal, makanya gue mau kenalin lo sama dia sejak awal. Jangan khawatir ya."

Juna mengetuk kubikal Wendi sambil tersenyum lalu berjalan berbalik meninggalkan Wendi yang masih termangu dengan ucapannya barusan. Ia hanya bisa melengos sambil akhirnya mengikuti jejak langkah Juna dan meninggalkan ruangan itu dengan berbagai pikiran berkecamuk di benaknya.

Malam itu begitu Sakti mengantar Wisnu pulang, hanya Ibunya Wendi yang berada di rumah. Ternyata Wendi pun lembur dan masih berada di kantornya karena dikejar deadline yang Ibunya sendiri tidak begitu paham setelah dijelaskan. Sakti akhirnya pamit namun wanita di depannya itu menahannya sambil tangannya ingin mempersilahkan Sakti masuk, "Masuk dulu gimana? Minum teh dulu?"

Sakti menggeleng perlahan, "Maaf Tante, tapi besok masih harus berangkat pagi. Lain kali ya, Tante?"

Wisnu pun dengan cepat ikut menyahut, selama di perjalanan setelah bertemu dengan Shila, Wisnu bisa menangkap ekspresi Sakti yang terlihat lebih loyo dibanding biasanya, "Lagian tadi macet banget Bu, kasian Bang Sakti butuh istirahat,"

Ibunya pun akhirnya mengangguk dan melepas Sakti yang kini memasuki mobilnya lagi. Begitu mobil itu menghilang di persimpangan, helaan napas Wisnu langsung tertangkap oleh telinga Ibunya. Apalagi Wisnu memasuki rumah dengan tampang yang tidak bisa ditebak.

"Le, kenapa?"

Wisnu sedikit manyun ketika mendengar Ibunya memanggilnya dengan panggilannya di masa kecil, "Ibu kalau di Serpong jangan manggil aku Tole dong Bu,"

Ibunya justru tertawa kecil sambil memeluk lengan kanan anak bungsunya yang kini sudah menjadi pemuda dan jauh lebih tinggi darinya itu, "Lupa. Kenapa tho, Nu? Kerjaan?"

Wisnu mendudukkan dirinya di ruang tengah, wajahnya tampak kusut. Ibunya pun ikut duduk disampingnya, memperhatikan lamat-lamat wajah pemuda itu yang kini sedang melepas smart watch-nya.

"Bu. Ibu suka sama Bang Sakti?" 

Pertanyaan Wisnu barusan sontak membuat Ibunya kaget dan sedikit tidak paham, "Hah? Ngawur aja kamu. Ibu emang suka artis-artis muda kayak Afgan tapi ya ndak pacar anaknya sendiri lah!"

"Bukan gitu ..." sahut Wisnu senewen, "Ibu suka Bang Sakti deket sama Kakak?"

"Ibu suka. Anaknya baik, sopan, rajin juga ibadahnya. Kenapa kok tiba-tiba nanya?"

Wisnu tampak berhati-hati berucap. Hatinya juga bertanya-tanya sendiri kenapa tiba-tiba punya ide bertanya begini pada Ibunya. Mungkin apa yang menjadi kekhawatirannya menuntut untuk dibebaskan dari pikirannya sendiri.

"Wisnu kayak ikut campur ya?"

"Ndak lah," Ibunya tertawa kecil sambil mengusap-usap rambut anak bungsunya itu, "Wajar, kamu gini-gini sayang Mbakmu makanya khawatir, tho,"

"Geli sih Bu dengernya tapi, iya. Tiba-tiba keinget pas Kakak wisuda itu loh Bu,"

"Ooooh," Ibunya mendadak mengerti. Ia tersenyum sambil manik matanya menatap Wisnu penuh kasih, "Waktu Ibu pertama datang dan lihat Seno, rasanya juga pingin nanya apa yang terjadi dulu tuh. Tapi Ibu langsung tahu, mungkin itu ya namanya cinta monyet. Cintanya masih polos tapi perasaan sakitnya nyata adanya kayak cinta-cintaan orang dewasa. Ibu mendadak ngerasa bersalah dulu marahin Mbakmu yang lebay,"

"Tapi kemarin itu ya Nu ..." ibunya kini menatap Wisnu lembut, "Matanya Mbakmu itu nggak bisa bohong,"

Wisnu membalas tatapan ibunya dengan pandangan tanya, "Maksud Ibu?"

"Kayaknya dia harus pikir ulang deh apa yang beneran dia pinginin,"

Wisnu mengangguk-angguk perlahan seraya tersenyum samar. Ia menghela napas sambil diam-diam juga setuju. Bunyi pintu garasi yang terbuka mendadak mengagetkan keduanya diikuti suara nyaring gadis yang sejak tadi mereka bicarakan. "Aku pulaaaang!"

Ibunya mengalihkan perhatian dari yang tadinya mengarah ke depan rumah menjadi ke Wisnu kembali, "Mumpung kamu sekantor sama Seno dan kamu juga sudah akrab sama Sakti, coba kamu perhatiin ya. Tapi Ibu yakin Mbakmu kuat, jadi gimanapun juga kamu jangan ngerasa tanggung jawab sama perasaan Mbakmu."

Wendi memasuki ruang tengah dan melihat kedua orang didepannya itu yang saling berbisik. Membuatnya memandang keduanya keheranan.

"Ini pasti lagi ngomongin aku. Iya kan?"

Wisnu dengan cepat berdiri sambil menatap Wendi dengan malas. "Pede. Mandi sana, bau!"

Wendi dengan cepat menghampiri Wisnu sambil memites kepala adik lelakinya itu diiringi suara Ibu mereka yang terus berusaha melerai keduanya.

Chandra membaca sekali lagi iMes di hpnya dan memperlihatkan layar itu ke arah Seno yang malam itu uring-uringan habis mendengar cerita Evan soal kelakuan Shila di masa lalu. Kebetulan Chandra juga lembur sehingga dengan cepat bisa menyusul Seno yang ngidam nasi goreng di daerah Sabang sambil curhat kayak anak remaja.

Seno yang dari tadi lahap memakan nasi gorengnya yang uapnya masih mengepul itu mengernyitkan dahinya, "Apaan?"

"Lihat noh Wendi, gue tanya mau ikut survei apa nggak langsung tanya, 'Seno ikut nggak?'. Gue jawab apa dong?"

Seno sedikit meringis ketika nasi goreng yang benar-benar baru diangkat dari wajan itu terbakar di lidahnya, "Ya jawab aja ikut. Anggep aja gue jadi sopir,"

"Coba nih ya? Kalau dia tetep keukeuh nggak ikut gimana?"

"Ya udah lah nggak usah maksa. Kasih dia waktu juga biar nyaman sama gue," sahut Seno sambil mengangkat bahunya membuat Chandra hanya menatapnya sebal.

Tangan Chandra dengan cepat akhirnya mengetikkan pesan itu. Pesan bahwa Seno kemungkinan besar akan ikut, "Sen ... Sen ... hidup lo begini amat sih,"

"Tahu dah, siapa sih yang nyusun skenario begini di hidup gue? Kusut banget pingin demo gue,"

"Demo gih haha puncak komedi banget sih emang. Yang dipikir korban ternyata malah jadi pelaku. Tapi menurut lo Wendi tahu nggak ya? Kalau tahu kasian juga," sahut Chandra lagi sambil menyendokkan Mie Godok ke mulutnya sendiri secara perlahan. Tidak seperti Seno yang tidak sabaran, Chandra menunggu sampai makanan itu sudah lumayan mendingin.

"Kasian apanya?"

"Ya kalau dengar dari cerita Evan, berarti si Sakti Sakti itu dulu bucin banget ke Shila kan? Siapa tahu aja Wendi cuma jadi pelarian dia karena belum move on,"

"Belum tentu sih. Siapa tahu karena pernah digituin sebelumnya, dia jadi jagain Wendi banget," sahut Seno melemah dengan bahu yang kian merosot. 

Chandra menatapnya prihatin, "Emang lo gimana sih ke dia? Gue juga nggak ngerti sama lo, Sen. Lo tuh lengket banget sama dia tapi masa sih lo nggak pernah gitu ada rasa apapun?"

"Gue ... nggak tau? Asli Chan ..."

"Kalau emang lo nggak suka sama dia terus kenapa gitu dulu lo juga nggak jadi nembak Shila?" 

Seno hanya menggeleng pelan. Piring nasi gorengnya yang sudah kosong itu ia pinggirkan lalu mengangkat sebelah tangannya untuk menopang dagu, "Tahu nggak sih kayak lo suka nih sama orang tapi ya suka aja. Gue suka lihat dia di dekat gue, gue suka dengar suara dia. Itu gue ke Shila,"

Chandra mengangguk perlahan sambil tetap fokus dengan piringnya sendiri, "Terus kalau Wendi?"

"Kalau dia tuh kayak gue udah biasa sama dia. Biasa buat kemana-mana sama dia. Kayak gue bukan diri gue kalau nggak ada dia. Dan saat itu anehnya gue lebih takut kehilangan Wendi. Ngelihat punggung dia pergi sambil marah gitu gue lebih ngerasa aneh. Nggak enak banget,"

Chandra menyuap sendok terakhirnya diikuti helaan napas sambil menatap Seno prihatin. "Dasar. Lo tuh denial apa emang bego sih?"

Seno memutar bola matanya.

Chandra menggeser kursinya agar bisa lebih mendekatkan tubuhnya terhadap meja sambil menatap Seno dengan ekspresi lebih serius. Matanya yang biasanya sering mengeluarkan ekspresi bercanda kini menatapnya dengan mata berkilat.

"Sadar nggak? Hampir di setiap momen penting di hidup lo, dia ada. Lo pelantikan jadi ketua dewan pengawas, dia ada. Pas lo seminar proposal maupun seminar hasil dia datang, padahal udah jelas kalian beda jurusan. Dia juga nungguin lo sidang dari awal sampai akhir. Masa lo nggak sadar?"

"Yang megangin semua bunga yang dikasih adik-adik kelas lo pas wisuda pun dia loh Sen. Dia nunggu sampai benar-benar selesai. Astaga, gue sampai gatel banget kalau lo nggak peka juga,"

Chandra memutar bola matanya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya seperti memberi penekanan pada setiap kalimat yang ia ucapkan. "Tanpa dia bilang pun, udah kentara banget dia sayang sama lo. Gue udah langsung tahu dari lihat mata dia doang,"

"Mana gue tahu kalau dia nggak bilang, Chandra. Gimana gue tahu?"

"Hati lo sendiri udah sadar. Sadar kalau lo nggak bisa kalau nggak ada dia, sadar kalau lo nggak bisa kehilangan dia. Cuma lo nggak bisa ngenalin batas antara rasa care ke temen atau care ke dia sebagai wanita,"

"Dan lagi sebenarnya, Wendi udah pernah bilang sama gue soal perasaannya ke lo," lanjut Chandra kemudian yang membuat mata Seno membulat. 

"God, dia bilang sama lo?"

"Waktu lo pertama kali kabur dari rumah jaman sekolah. Dia ngaku ke gue,"

Seno mengacak rambutnya frustasi. Tampangnya lebih kusut dari kabel listrik dan telepon yang seliweran di depannya. Sudahlah hari ini lebih baik habisin aja gue ya Tuhan. Habisin aja deh biar gilanya sekalian, batin Seno menjerit, "Kenapa lo nggak bilang? Anjir kenapa lo nggak bilang?!"

"Gue menghargai lah perasaan Wendi. Mana ada yang mau sih Sen dibongkar kayak gitu ke orang yang lo suka? Makanya gue diam kirain juga lo bakal sadar, tapi ternyata diamnya gue malah bikin kacau kayak gini ..."

Seno menyandarkan kepalanya yang mendadak berat diatas meja. Segala macam pikiran memenuhi pikirannya saat ini. Shila, Sakti, Wendi, rasanya berputar-putar dibenaknya dan ingin meledak melepaskan diri dari kepalanya. Ia meraung sendiri dengan suara yang mungkin hanya bisa didengar dirinya dan Chandra.

Dalam semalam ia mendengar begitu banyak hal. Dalam semalam hatinya yang tadinya sudah mau menjauh dari Wendi tiba-tiba menjadi berbalik.

Tiba-tiba ia merasa harus berjuang. Paling tidak sampai membuat Wendi kembali nyaman dengannya.Paling tidak ia tidak harus melihat Wendi yang risih menatapnya atau terus menyuruh pergi dari hadapannya.

Paling tidak ia ingin melihat wajah hangat Wendi yang kembali menyapanya dan menyambutnya dengan ceria.

Notes from Prima.

Ini dua karakter cowok yang emang aku paling sebelin sih di hidupku mana dua²nya pernah aku temuin wkwkwk yang satu ga jelas, yang satu masih lihat di belakang. Hiks kasian Wendi ya 🤣

Tapi dari sini semoga pada nggak sebel sama Juna ya huhu.

Continue Reading

You'll Also Like

19.4K 2.5K 16
Sudah bekerja untuknya hampir dua tahun, tapi baru sekarang Nanda merasakan ketertarikan pada Salsa, karyawannya yang kalem dan cekatan. Namun siapa...
46.5K 7.8K 48
[SEGERA TERBIT] ACT 1 - BE YOUR ENEMY ❝Sampai kapan permusuhan ini akan berakhir?❞ Anora bukan berasal dari golongan atas, ia hanya memiliki keluarga...
Our Boyfriend By N

Teen Fiction

24K 1.5K 37
Popularitas menjebak Rio dan Key dalam keadaan. Rio seorang kapten tim basket dan Key yang merupakan siswi #1 disekolah harus menyembunyikan kisah c...
91.5K 8.7K 36
Terkadang apa yang terlihat bagus didepan sering kali berbeda dengan apa yang terjadi di belakang. Sama hal nya dengan kehidupan pernikahan antara Ar...