Closing Closure ✔️ | ODYSSEY...

Od jannmaria

328K 48.4K 15.6K

"Closure paling tepat adalah tekad move on yang kuat." Closing Closure adalah podcast berisi cerita jujur dar... Více

-
--
1. Amarahmu
2. Akan
3. Padam
4. Sendumu
5. Nanti
6. Meredam
7. Kecewamu
8. Kelak
9. Terbenam
10. Hampamu
11. Segera
12. Tenggelam
14. Berhenti
15. Menikam
16. Kiranya
17. Kamu
18. Paham
19. Berkat
20. Serpihan
21. Dendam
22. Hidup
23. Enggan
24. Tentram
25. Semoga
26. Selalu
27. Tertanam
28. Tidak
29. Ada
30. Suram
31. Yang
32. Selamanya
33. Mencengkram
34. Tiada
35. Takdir
36. Kelam
37. Kekal
38. Abadi
39. Bersemayam
---
--Extra Chapter--

13. Sepimu

5.7K 1.1K 326
Od jannmaria

ODY

Minggu, 16 Desember 2018 pukul 20.37

Hidup ini akan lebih mudah, andai perkara patah hati sama sederhananya dengan jatuh cinta.

Waktu aku jatuh cinta, paling-paling aku kerepotan mengurusi kupu-kupu yang beranak pinak di dalam lambung dan usus besarku. Waktu aku kasmaran, paling-paling aku kelelahan mengomeli jantungku yang tidak bisa berhenti bernyanyi seperti biduan di kondangan. 

Beda cerita ketika aku patah hati, kan?

Aku kesulitan menyusun jantung yang meletus dan serpihannya pecah tidak berseri. Aku kesulitan mengeja asa yang sudah kususun rapi jali. Aku kesulitan menganyam kembali rasa percaya bahwa patah hati hanya sementara, nanti akan ada kisah baru lagi. Masalahnya, ini hatiku yang tergelincir, bukan kakiku yang terkilir.

"Habis dari mana, Do?" Nada tegurku sedingin es batu.

"Kerja," imbuh Edo, dengan suara renyah dan hangat seperti biasanya. "Kamu tahu, proyek yang waktu itu  ...."

Edo meneruskan bicara dari seberang sana, seperti anak kecil yang baru bertemu toko permen kesukaannya, sementara aku adalah orang dewasa yang tidak pernah benar-benar pasang telinga.

Aku ini naif, bukan? Aku patah hati dan aku mencari pelarian. Aku putus asa dan memutuskan menalikan kepercayaanku pada ramalan. Kini setelah semuanya berjalan dan berbunga tidak sesuai harapan, perasaanku tidak karuan.

"What are we, Edo?" tukasku, memotong pembicaraan.

"W-what? Gimana maksudmu?"

"What about us?" Suaraku dibalut rasa perih yang tajam. Ia telah merasakan rasa bibirku, apa lagi yang membuatnya ragu? "What are we?"

"Kenapa jadi nanyain ini, Dy?" Indera pendengaranku mendeteksi rasa tidak suka di setiap penggalan kata.

Memangnya tidak boleh aku menanyakan ini?

Mudah sekali ya bagi manusia zaman sekarang. Dahulu, bibir ke bibir adalah pengejawantahan cinta. Sekarang, apalah artinya, jika pergumulan sepasang kelamin saja dengan sepele dianggap tiada artinya.

"Aku cuma mau tahu," kilahku.

"Aku pun tidak tahu." Kutebak, Edo menjawab itu sembari mengedikkan bahu. "Aku ke kamu, Dy–aku gak tahu."

Dadaku berubah menjadi langit yang mendung. Ada awan kelabu, guruh mungil, dan hujan yang cerdik menyempil.

Edo sebetulnya tahu, sejak awal ia enggan memilih. Aku pun sejak dahulu tahu, aku hanya menjadikannya sarana agar cepat pulih.

Betapa ketidak tahuan yang dipura-purakan itu menyakitkan, sayang.

Aku baru tahu, Edo milik Tania kini. 

Duhai, mengapa aku merasa dicuri, padahal aku tidak pernah memiliki?

***

Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 15.16

"Jadi, udah berapa kotak tisu lo habisin  buat nangisin Tuan Raden Heraldo Koeswoyo?" hina Marcell seraya menyeringai.

Tanpa seceruk belas kasihan pun, kuhantamkan stik golf yang sedang kupegang ke Chanel Calfskin Sneakers yang tengah memproteksi kakinya.

"BUSET! Lo masih temperamen aja ya!" Marcell meringis seraya mengelus ujung kakinya. Entah karena kesakitan atau karena sedih--sepatu ribuan dollar-nya kuperlakukan semena-mena.

Aku membenarkan bandana biru tua yang melekat padat di kepala. Tanganku menggenggam stik besi itu dengan overlapping grip--  jari kelingking kananku diletakkan antara jari telunjuk dan jari tengah bagian kiri. Kuayunkan stik ke arah belakang tubuh hingga melampaui tinggi kepala, kemudian dengan kutarik balik pukulan itu supaya mengenai sisi bola.

Apakah kena? Tentu tidak. Barusan, aku cuma banyak gaya. Si Marcell tertawa seperti iblis yang baru berhasil menjerumuskan seorang pemuka agama ke neraka.

"Banyak gaya lo," komentar Marcell. Ia tertawa sampai wajahnya merah. Tangannya memegangi perut--lebay sekali, memangnya lambung dia bakal kabur kalau tidak dipegangi begitu?

"Daripada lo, banyak dosa," timpalku kesal. 

Bola golf tolol. Bisa-bisanya dia tetap diam di tempat setelah aku bermanuver sungguh-sungguh. This fucking stupid golf ball is actually a paid actor, bitch.

"Tapi, gue gak pernah ya nangisin lawan jenis sampai semingguan kayak lo. Liat dong, muka lo gede banget gitu, kayak disengat tawon berjamaah. Hahahahaha," tawa Marcell, puas meledek wajahku yang membengkak.

Aku geram. Kuamati jam tangan Patek Philippe 1939 Platinum World Time yang melingkar di tangan kirinya. Jika aku berhasil merampok itu dan menjualnya, niscaya aku bisa ongkang-ongkang kaki sampai kiamat tiba.

"Jadi, lo udah fix suka sama Edo nih, ya? Akhirnya."

"Tau deh." Aku membuang muka, menyembunyikan air mata yang pecah dari celah-celah.

"Utuk utuk utuk ... " Marcell ragu-ragu mengusap punggungku yang dilapisi  kaus polo warna biru navy--serasi dengan bandanaku.

***

"Iya deh, nangis aja terusin, gak papa." Marcell akhirnya menyerah, menghempaskan tubuhnya di rumput halus sebelahku. "Lo cinta banget sama Edo ya, Dy?"

Gak tahu. Aku tidak tahu apakah aku benar mencintai Edo, atau aku hanya kecewa akibat ramalan itu tidak tepat--yang itu berarti, aku harus kembali giat mencari.

Segala sesuatu akan lebih mudah andai ramalan Kios Spoiler Masa Depan akurat tepat sasaran. Edo jadi kekasihku, dan aku tidak perlu repot-repot patah hati sesenggukan.

"Gimana tadi kata lo? Edo udah punya calon istri?" singgung pria berusia terpaut satu tahun lebih tua dariku itu.

Tangisku kian menggelegar. Marcell ini tolol atau kurang ajar? Aku mengangkat golf stick head milikku tepat ke dekat arlojinya, mengancam akan menghancurkan benda penunjuk waktu seharga puluhan milyar rupiah yang bertengger gagah di pergelangan tangannya.

"Siapa calon istrinya? Kata lo, dia orang yang familier? Siapa? Mana orangnya?"

Aku menggeleng seraya mengubur wajahku di antara dua lutut.

***

"Ody, dengerin gue dulu, deh," bisik Marcell. Suara beratnya berhembus lembut. "Edo itu ... baik banget, tahu? Dari antara kita semua, Edo itu yang paling setia."

Daguku meninggi, mataku kupilin erat-erat dengan mata Marcell--kutangkap sinyal sungguh-sungguh dari sana. "Nih, gue ranking ya."

"The least faithful, si Yudhis. Parah, cok. Dulu sebelum kawin sama Anis, ceweknya banyak bener--bisa kali dia bikin kelurahan sendiri," gerundel Marcell. "Yudhis tuh galak, tapi kalau ke perempuan sama ke anak kecil, dia lembuuuut banget. No wonder, para perempuan banyak yang terperdaya."

Aku nyengir mendengar penjelasan Marcell. Kusapukan pandanganku ke panorama yang terbentang di sekitar. Rumput hijau maha luas, langit biru dengan sapuan awan lunak nan elok.

"The second least faithful, si Agi. Wah, kacau tuh anak. Muka anak-anak, tapi diem-diem bikin anak!" Marcell melotot seperti kerasukan pocong.

Sialan. Kalau ada Olimpiade Menabur Garam di Atas Luka, pastilah Marcell juaranya.

"Peringkat selanjutnya, si Dewa. Dia ini di tengah-tengah, lah. Bajingan juga, dia tuh. Emang sih dia setia sama Tania. Tapi bukan berarti dia bersih, cuma dia paling bagus aja pencitraannya. Btw, dia sempet pacaran beberapa kali sama kawan sesama residennya--setelah cerai dari Tania, tapi, kehalang restu terus."

Kutelengkan kepala. "Kehalang kenapa?"

"Dia duda, kan, Dy. Stigmanya jelek aja, gitu, katanya." Marcell memajukan bibir bawah.

"Ooooh."

Aku meninjau sosoknya. Tinggi Marcell setidaknya sekitar 180 senti dan aku hanya nyaris 170. Kilauan mentari menabrak figur Marcell sebelum silaunya tersampaikan ke mataku.

"Nah, peringkat selanjutnya, si Edo." Marcell mengunci pandangannya pada setiap sudut netraku, membuatku salah tingkah. "Edo itu bener-bener baik banget, Dy. Sumpah, demi semua jam Patek Philippe yang gue punya. Dia ini sebener-benernya cowok yang ada di muka bumi."

"Kak Marcell lebay," sungutku.

Marcell membentuk huruf "V" dengan jemarinya. "Sumpah, Dy! Edo orangnya pendiam, gak gampang dekat sama orang lain--termasuk ke abangnya sendiri. Edo cuma deket sama gue. Jadi, let's say, di antara kami semua, cuma gue yang paling tahu Edo seperti apa."

"Edo itu, kalau udah cinta sama orang, dia bakal cintaaaaaa banget. Dia mungkin kurang asik dan cenderung kaku, itu karena dia memang begitu--makanya dia memilih berekspresi lewat musik. I swear to God, Edo ini romantis banget orangnya. Lo beruntung, deh, bisa sama dia," lanjut Marcell.

Aku setuju dengan Marcell. Kuakui, membangun kemistri dengan Edo itu susah sekali. I thought it's because we were'nt meant to be. Aku kerap bertanya, mengapa atmosfer antara aku dan Edo terasa begitu dibuat-buat? Seolah dinamika kami memang tidak seharusnya, hanya aku berkeras memaksa. 

"Tapi, kata gue, itu juga sih kelemahan Edo," imbuh lelaki lawan bicaraku seraya membenarkan Fendi Baseball Cap yang dikenakannya.

Marcell terbahak sejenak, sebelum ia berdehem dan mengasah kembali sorot matanya.

"Kelemahan gimana, Kak?" sahutku ingin tahu.

"Ya, itu. Karena saking cintanya, dia rela melakukan hal-hal di luar nalar. Kadang, gue juga gak habis pikir sama dia, tuh," Marcell mendecak. "Gue gak bisa bocorin hal-hal di luar nalar apa yang sudah dia lakukan, karena gue janji akan selalu keep aib dia. Tapi, intinya, dia ini baik, Rhapsody. Sangat baik."

"Iya, Kak Marcell. Noted. Thank you,"  timpalku, bingung mau menjawab apa.

"Tapi, lo tau, Dy. Akibat kebucinan si Edo, dia sempat ketiban sial juga. Nasib dia tuh mirip deh sama pepatah gitu. Ibaratnya, ya, ada sebuah peribahasa." Marcell melipat tangannya di dada, mengukuhkan postur tegak serta mimik serius.

"Wah, peribahasa apa, tuh, Kak?"

"Sepandai-pandainya tupai melompat, sambil meminum air, dua tiga pulau terlampaui."

Aku mendelik ketus. Wajah Marcell masih seratus persen serius. Ingin rasanya aku melesak sampai inti bumi daripada menghadapi makhluk oon seperti ini.

***

"Dah, nih, lanjut. Tadi, kan, Kak Marcell mengurutkan level kesetiaan teman-teman Kakak. Kak Yudhis yang kelima, Agi keempat, Dewa ketiga, Edo kedua, kalau Kak Marcell, keberapa?"

"Nilai matematika lo berapa sih?" Marcell menaik turunkan alis.  "Ya Kesatu, dong!" sergah Marcell pede. Hidungnya kembang kempis. Bibirnya melengkungkan senyum bangga, bagai bapak-bapak yang baru menyaksikan anaknya bisa membaca.

"Kak Marcell, setia dari mananya?" cemoohku.

Kalau mantan pacar Yudhis disatukan bisa dibuat satu kelurahan, niscaya mantan pacar Marcell bisa dibuatkan Sekte Balas Dendam dengan keanggotaan berjumlah jutaan, tersebar dari Sabang sampai Merauke.

"Setia maksudnya setiap tikungan ada, ya?"

Marcell nyengir. Sinar keemasan sang surya menggandakan kemilau di permukaan kulitnya. Enaknya jadi Marcell. Wajah bening, rekening pun glowing. 

***

Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 15.58

Pergelangan tangan kiri Marcell diangkat. Matanya menyipit, memperhatikan detak detik yang dihasilkan arloji tersebut.

"Sebentar lagi, temen gue bakal dateng. Sini, gue ajarin cara mukul yang bener, biar gak malu-maluin nusa dan bangsa, mau gak?"

Aku iyakan saja. Marcell lantas mengarahkanku untuk sedikit menekuk lutut dan pinggul.

"Pegang stick secara horizontal, dan tegak lurus sama tanah." Marcell menggenggam tanganku--sejenak membuat tanganku terasa disengat. "Hei, fokus. Baru dipegang orang ganteng dikit aja, kok, langsung mesem-mesem?"

Gemas, kuinjak kaki Marcell.

"Ayun stick ke atas, tumpuin berat badan lo ya. Ujung tongkat lo harus menghadap ke belakang---" Marcell mencontohkan dengan tongkat besi miliknya. "Nah, pas diayunin ke bawah, stick-nya agak dimiringin, terus berat badan lo agak ditumpukan ke arah ayunan lo."

Kepalaku mengangguk tanda paham. "Harus kenceng gitu, gak, Kak?"

"Ya, harus pakai tenaga, dong."

"Oke kalau gitu, Ody mau coba sendiri. Boleh ya?"

"Boleh dong." Marcell menyetujui.

Dengan semangat empat lima, kupegang erat-erat stick golf dan dengan bauran percaya diri yang agak berlebih, kuangkat ia--begitu cepat, hingga menimbulkan bunyi berkelebat.

Juga bunyi teriakan menyayat.

"GUSTI, J-JIDAT GUE ..."

Ada Dewa di sana, matanya juling, tubuhnya gontai, kepalanya kliyengan, tangannya menangkup kepala dengan kepayahan,--meratapi jidatnya yang baru saja kena hantaman. 

Tawa Marcell menyembur ke seluruh pasang telinga yang mendengarkan. Sementara aku meringis--antara harus berempati atau turut menertawakan.

"D-De-Dewa, l-lo, g-gak pap-pap-pa?" Aku bersimpuh di sebelahnya.

"Beli duren, dua kilo," ucap Dewa dengan nada dongkol.  Di matanya, ada banyak emosi jengkel bercokol. "Menurut lo?"

---

Hai teman-teman online-ku yang (amat sangat) kusayang. Apa kabar? Semoga sehat, ceria, dan gembira. Gimana, terhibur kah dengan chapter ini? :)

Udah ketebak, kan, siapa yang bakal kuceritakan di chapter selanjutnya?


Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

5.8K 866 10
"Most of the good dreams are too good to be true." ***************** Kisah Kedua dari Fated Rivals Aurora Ranajaya is a spoiled little princess. Seba...
131K 13.8K 53
Seri 2 Kambodija Let me tell you, Love. Nostalgia Is a feeling of a place where we ache to go again, honestly in a sad way. Do you remember? Who...
1.9K 141 11
Usaha seorang gadis mencari pembunuh sahabatnya dengan bantuan anak baru.
1M 144K 45
Dendam kesumat membara di dadanya. Bagai api yang berkobar tak tahu arah, melalap segala hal yang lewat tanpa kecuali, si anggrek api berjalan menyus...