Siapa Yang Mati?

By Ramdan_Nahdi

69.3K 7.6K 642

Delapan Mahasiwa terjebak di sebuah Vila Angker. Teror demi teror mereka hadapi semenjak hari pertama kedatan... More

Siapa Yang Mati?
Wanita Bergaun Putih
Villa Angker
Mati Lampu
Ke Mana Perginya Wanda?
Pak Odih
Tubuh Yang Dingin
Kembali ke Vila
Lorong Panjang
Pemakaman
Tersesat
Pemukiman
Siapa Pak Odih Sebenarnya?
Gua di Tengah Hutan
Pertemuan Tak Terduga
Pemilik Vila
Pengorbanan
Basemen Vila

Belum Sepenuhnya Mati

3K 379 37
By Ramdan_Nahdi

Mereka pun akhirnya berjalan ke luar kamar, menuju pintu belakang. "Bagaimana mereka tau?" tanya Rianti pada Wulan yang sudah berdiri di dekat pintu.

"Sepertinya Pak Odih mendengar suara teriakan tadi."

"Ah ... berarti ini semua salah saya. Maaf," ucap Rianti seraya menatap Gladis yang ada di dekatnya.

"Buka pintunya, Lan," perintah Rianti.

"Tidak bisa. Mereka semua akan tertangkap," balas Wulan.

"Apa ada anak buah Pak Odih di luar?"

Wulan mengganggukan kepalanya.

"Jadi gimana ini?" tanya Rere. "Kenapa kita gak nembus tembok atau terbang aja. Kaya Wulan," imbuhnya.

"Apa Non belum memberitahu mereka?" tanya Wulan pada Rianti.

"Memberitahu apa?" tanya Gladis.

"Sudah sebagian," balas Rianti.

"Sebagian?" Joe kebingungan.

Rianti membalikan badan, menghadap Joe dan Gladis. "Sebenarnya kalian sedang berada di antara hidup dan mati."

"Apa?" sahut Rere yang berdiri di belakang Gladis.

"Intinya kalian belum sepenuhnya mati," jelas Rianti.

Suara deru langkah semakin mendekat. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Rianti pada Wulan.

Wulan mendekati pintu dan meraih gagang pintu. "Sepertinya kita terpaksa melakukan itu, Non."

Rianti mengangguk pelan, tanda ia mengerti dengan ucapan Wulan.

"Bagaimana dengan teman-teman saya?" tanya Joe.

"Mereka sudah tidak bisa diselamatkan," balas Wulan. "Selama kalian belum sepenuhnya mati. Kalian masih ada kemungkinan selamat," imbuhnya.

"Dari mana kalian tau kalau kami belum sepenuhnya mati?" tanya Rere.

"Tubuh orang mati itu dingin. Nafasnya pun dingin," balas Rianti.

Krek!

Wulan membuka pintu sedikit.

"Kalian harus lari lurus ke depan, sekencang mungkin. Jangan sekalipun menoleh ke belakang. Masuklah ke dalam hutan. Nanti di ujung hutan ada jalan ke luar dari tempat ini," perintah Rianti.

"Lalu, bagaimana dengan Pak Odih dan anak buahnya?" tanya Gladis.

"Biar kami yang hadapi," sahut Wulan. "Kalian sudah siap?"

"Niel," bisik Rere.

"Ya?"

"Kaki gw masih sakit."

"Naek ke punggung gw buruan!"

Rere naik ke punggung Daniel.

"Ngapain lu berdua?" tanya Joe heran.

"Kaki Rere masih sakit, Jo. Dah lu siap-siap aja lari, jangan liat kita berdua."

Kriet!

Pintu terbuka lebar. Terlihat beberapa anak buah Pak Odih sudah menunggu kami. Wulan melayang dengan cepat menghalau mereka, diikuti Rianti. "Sekarang!" teriak Rianti.

Joe menarik tangan Gladis, kemudian mereka berlari duluan. Sementara Daniel menyusul di belakang.

Mereka berlari tanpa sedikitpun menengok ke belakang. Melewati pinggiran danau dan masuk ke dalam hutan.

_________

"Ini bener gak sih jalannya?" teriak Gladis seraya menghentikan langkah.

"Gak tau, tapi kita harus tetep jalan ke depan," balas Joe yang berjalan paling depan.

"Capek ih," keluh Gladis.

"Lu capek juga gak, Niel?" tanya Rere yang daritadi masih digendong Daniel.

"Lumayan," balas Daniel dengan nafas tersengal.

"Berenti dulu, Niel!"

Daniel menghentikan langkah, kemudian Rere turun dari punggungnya. "Loh kok turun?" tanya Daniel, heran.

"Gak apa-apa, biar gw jalan kaki aja," balas Rere. "Lagian lu dah gendong gw sejauh ini."

"Santai aja, Re. Selama gw belum pingsan."

"Kalau lu pingsan ntar siapa yang mau gotong."

"Istirahat dulu bentar, Jo!" teriak Gladis.

Joe menghentikan langkah dan duduk di dekat pohon. Gladis pun berjalan mendekatinya. Sementara Daniel dan Rere, duduk agak jauhan.

"Niel! Sini!" Joe memanggil Daniel.

Daniel pun bangkit dari duduknya, kemudian membantu Rere berdiri. Keduanya pun berjalan mendekati Joe dan Gladis.

"Kita gak bisa istirahat lama-lama, takutnya anak buah Pak Odih keburu nyusul," ucap Joe.

"Lanjut jalan lagi aja," balas Rere.

"Emang lu udah bisa jalan cepet?" tanya Joe.

"Belum sih, tapi kalian jalan duluan aja. Cari jalan."

"Biar gw gendong lagi aja, Re," tawar Daniel.

"Gak usah, Niel."

"Asli gw gak kenapa-napa."

"Udah, kalian santai aja gw bisa jalan kok." Rere berusaha meyakinkan teman-temannya.

"Oke kalau begitu." Joe berdiri. "Jangan jalan jauh-jauh, Ya! Kalau capek bilang aja. Nanti kita cari tempat istirahat yang kira-kira aman," imbuhnya.

"Sip!" Daniel pun berdiri.

________

"Masih belum nemu juga ujungnya?" teriak Daniel pada Joe.

"Belum ada tanda-tanda, Niel," sahut Joe.

"Lu temenin Joe aja di depan, Niel," pinta Rere.

"Dia bisa sendirian," balas Daniel, seraya membantu Rere berjalan.

"Niel, menurut lu, apa kita beneran udah mati?"

"Bisa jadi, Re."

"Kok balesan lu santai banget."

"Ya kalau beneran udah mati, mau gimana lagi? Udah takdir kita, mati bareng-bareng."

"Rianti bilang, kita ini belum sepenuhnya mati."

"Nah gw juga bingung sama kata-kata itu."

"Dia juga bilang tubuh dan nafas orang mati itu dingin."

"Huuh."

"Coba mana tangan lu!" Rere menghentikan langkah, seraya meraih tangan Daniel. "Anget. Berarti lu belum mati, Niel!"

"Lu juga anget, Re. Kita sama-sama belum mati," balas Daniel sembari menatap wajah Rere.

"Ehem!" Gladis berdehem kencang. Spontan Rere dan Daniel melepas genggaman. "Bukannya jalan malah pegangan tangan sambil tatap-tatapan!" ucapnya.

Rere lanjut berjalan dengan langkah pelan. Sementara Daniel masih berdiri di belakang, sambil menyunggingkan senyum.

"Ngapain berdiri di sana, Niel?" teriak Rere.

"Eh ...." Daniel pun bergerak, menyusul Rere.

_________

Mereka sudah berjalan cukup jauh, tapi belum ada tanda-tanda ujung hutan. Rere dan Gladis sudah tampak kelelahan. Beberapa kali mereka meminta untuk beristirahat.

"Kita nyasar gak sih, Jo?" tanya Daniel.

"Gw juga gak tau, Niel," balas Joe seraya menatap ke langit yang mulai berubah jingga.

"Mending cari tempat aman buat istirahat. Takut keburu gelap," usul Gladis.

"Iya juga sih," balas Daniel. "Gimana, Jo?"

Joe masih menatap langit. "Masih kuat jalan? Kalau gw liat sih, belum terlalu sore. Bisalah kita jalan sedikit lagi."

"Sanggup, Re?" Daniel bertanya pada Rere.

"Ya terserah."

"Yuk jalan sedikit lagi aja. Siapa tau di depan ketemu ujungnya." Joe bangkit.

Drap! Drap!

Terdengar suara langkah kaki bersahutan. Spontan mereka pun menghentikan langkah, seraya mengedarkan padangan. 

DRAP! DRAP!

Suara langkah itu semakin dekat. "Kita harus gimana nih?" tanya Rere, panik. Joe hanya diam saja, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu.

"Jo!" panggil Daniel. "Jo! Jangan ngelamun!"

"Bentar, gw lagi mikir," balas Joe, seraya menatap pohon besar di dekatnya. "Jalan satu-satunya cuman naek ke atas pohon ini," usulnya.

"Buruan naek!" Spontan Daniel mengangkat tubuh Rere dan membantunya naik ke atas pohon.

"Ayo, Dis!" Rere mengulurkan tangannya. Gladis pun menyambut uluran tangan Rere.

"Tangan lu dingin amat, Dis," ucap Rere sambil menarik tangan Gladis. Namun, sahabatnya itu malah diam, tak berusaha naik. "Buruan, Dis!"

Gladis menghempaskan tangan Rere. "Kalian naek duluan," ucapnya.

"Gw gak akan naek, sebelum lu naek," ucap Joe.

"Lu naek duluan aja, Jo!"

"Terus lu gimana, Dis?" tanya Rere.

"Gak usah khawatirin gw, Re."

"Hah?" Rere bingung dengan sikap sahabatnya itu.

Suara langkah kian mendekat. "Cepet naek! Niel, Jo! Percaya sama gw," ucap Gladis.

Daniel pun naik ke atas pohon, disusul Joe. "Dis," panggil Joe seraya mengulurkan tangannya.

Namun, Gladis bergeming, menatap ketiga temannya itu dengan tatapan sedih. "Daritadi gw ngerasa ada yang aneh sama badan gw yang semakin dingin. Kayanya gw udah mati beneran, Re."

"Jangan ngomong gitu, Dis. Ayo naek!" sahut Rere, kemudian mulai menangis.

"Kalian semua harus selamat!" 

Gladis melangkah menjauh dari pohon. Berdiri, menyambut kedatangan Pak Odih dan anak buahnya.

BERSAMBUNG

Continue Reading

You'll Also Like

4.1K 301 8
Sama sekali tidak menyangka kalau tempat mereka berjualan malam itu adalah sebuah pasar hantu.
8.7K 778 10
baca aja, yang jelas ini nyata ada yang di alamin saya sendiri dan ada dari teman-teman, orang tua, adik, saudara, dan tetangga sekitar rumah. yang...
12.9K 1.4K 30
[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 8 Setelah hampir satu setengah tahun bergabung dalam tim, akhirnya Alwan meminta cuti untuk pertama kalinya keti...
90.5K 10.1K 39
"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau...