Over The Rain

By asharliz

2.3M 122K 16.6K

WARNING : KONTEN CERITA INI SUDAH DIHAPUS UNTUK PROSES PENERBITAN. "Kesalahan terbesarku adalah memercayakan... More

Prolog
Part 2 - "Tanpa Sandaran"
Part 3 - "Hari Baru"
Part 4 - "Dia yang (ternyata) ada di hati"
Part 5 - "Sebuah kejujuran"
Part 6 - "Memang Bukan Untukku..."
Part 7 - "Sebuah Rasa"
Part 8 - "Kejutan"
Part 9 -"Tak Terbalas"
Part 10 - "Terlambat"
Part 11 - "Vanila"
Part 12 - Hujan
Part 13 - Maaf
Part 14 - Rasa Sakit
Part 15 - Berlalu
Part 16 - Tapi Bukan Aku
Part 17 - Nemo
Part 18 - Terima Kasih, Ayah!
Part 19 - Perpisahan
Part 20 - Aku Tanpamu
Part 21
Untuk kamu, kekasih hatiku ...
Part 22 - Kehilangan Kamu
Part 23 - Rapuh
Part 24
Part 25 - Cahaya
Part 26
Part 27 - Rayya Putri Fahreza
Part 28 - Malam Pertama yang Kedua
EPILOG
Say Thanks - Info - Challenges
Home
Pre Order Over The Rain
Info Order Over The Rain

Part 1 - "Dia yang (tidak) Mencintaiku"

201K 5.2K 202
By asharliz

Reza berjalan gontai. Sungguh, seharusnya dia puas melihat Bulan menangis karena kekalahannya akan hak asuh Bumi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Hatinya pun ikut meneriakan kesedihan yang sama. Hanya menunggu waktu, Bumi akan kehilangan sosok ibunya. Perempuan yang begitu dia cintai tapi juga yang paling dia benci.

Benci, karena tidak ada sedikit pun rasa yang dimiliki Bulan untuknya.

Benci, karena Bulan sekarang benar-benar lepas dari hidupnya.

Dan apakah ini balasan untuk kebencian yang dia miliki untuk Bulan? Separuh hatinya menjawab iya. Tapi separuh hatinya menyesali hal ini, karena bagaimana pun tindakanya telah menyakiti Bumi, buah hati mereka yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan hidup yang mereka jalani.

Bulan masih bergeming di sudut ruangan pengadilan. Wajahnya masih merah akibat tangis dan luapan emosi yang baru saja terjadi. Dia sudah benar-benar kehilangan segalanya. Tidak ada yang lebih berarti bagi seorang ibu selain kehadiran anaknya. Dan mulai kini, dia akan terpisah dari Bumi.

Sesaat Reza ingin menghampiri Bulan. Ya, dia hanya ingin menawari tumpangan untuk Bulan. Meski mereka telah resmi bercerai, masih banyak hal yang harus mereka selesaikan secara baik-baik.

"Maaf ..." kata itulah yang pertama kali keluar dari mulut Reza.

Bulan menahan dadanya yang sesak. "Kamu menang." suara Bulan terdengar parau.

Menang katanya? Adakah dari mereka yang pantas disebut sebagai pemenang di sini. Tidak kah Bulan sadar, kalau mereka semua sudah hancur berkeping-keping?

"Iya, aku menang." jawabnya sinis. "Menang atas semua kesalahan yang telah kamu buat."

Bulan ingin membalas Reza, tapi bibirnya tertutup rapat. Ini memang salahnya. Salahnya karena tidak pernah mencintai Reza yang sah sebagai suaminya dan justru mencintai laki-laki lain.

"Tega kamu, Mas." tuduhnya. "Akan lebih mudah bagimu untuk mencari perempuan yang lebih baik dari aku tanpa Bumi disamping kamu."

Reza tersengat mendengar perkataan Bulan. Sedikit pun dia belum memiliki rencana untuk mencari perempuan lain untuk menggantikan posisi Bulan dalam hidupnya. Dia mempertahankan Bumi, karena Bumi adalah satu-satunya hal terindah yang akan dia kenang, kalau dia pernah mencintai Bulan dengan sepenuh hati.

Ada senyum Bulan di wajah Bumi,

Ada keteduhan mata Bulan di saat Bumi menatapnya,

Ada darah Bulan yang mengalir di tubuh Bumi,

Dan hal itulah yang membuatnya sekuat tenaga untuk mempertahankan Bumi tetap disampingnya.

"Kamu bisa bertemu dengan Bumi di akhir pekan." Reza mengingatkan. "Dan satu hari penuh di hari kerja." Mungkin dengan cara ini akan membuat Bumi tidak terlalu merasa kehilangan sosok Ibunya.

Bulan tetap menggeleng. "Apa kamu bisa membacakan dongeng untuknya setiap malam? Apa kamu bisa membujuknya saat dia nggak mau makan? Apa kamu bisa menghabiskan waktu untuk bermain dengannya?" cecar Bulan.

Tanpa harus menjawab pun mereka sama-sama tahu jawabannya. Hanya Bulan yang mampu melakukan hal itu, tapi dia tidak mungkin menyerah untuk memberikan Bumi pada Bulan.

"Benar kata kamu. Aku memang tidak bisa melakukan semua yang kamu bilang." Reza terlihat berpikir sejenak. "Tapi mungkin ... ada perempuan di luar sana yang bisa menggantikan posisi kamu sebagai Ibu Bumi."

Hati Bulan mencelos. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan karena Reza yang akan mencari perempuan lain. Tapi Bumi? akankan nanti Bumi masih mengingatnya sebagai Ibu kandungnya, perempuan yang melahirkan dan mencintainya sejak dia tumbuhh dalam rahimnya.

"Kamu bebas menikahi siapa saja. Tapi cukup aku yang menjadi Ibunya. Aku tidak akan membiarkan Bumi dirawat oleh perempuan lain."

Kali ini Reza tertawa puas. "Apa hakmu mengatur kehidupanku dengan Bumi? Sejak hari ini, kamu sudah kehilangan semua hak dan tanggungjawabmu sebagai istriku dan juga ibu dari Bumi."

Bulan membeku. Semua yang Reza katakan benar. Dia tidak memiliki hak untuk mengatur Reza. Tapi Bumi? Bumi adalah anaknya.

Reza yang awalnya ingin menawarkan Bulan tumpangan membatalkan niatnya. Pertengkaran ini akan terus berlanjut kalau mereka berdekatan. Tanpa basa-basi dia langsung meninggalkan Bulan.

***

Hari sudah mulai gelap, tapi Bulan tidak punya tujuan untuk pulang. Apakah tempat yang biasanya dia sebut sebagai rumah bisa menjadi tempatnya pulang? Sesuai perkataan Reza, dia sudah tidak memiliki hak apa-apa lagi di sana.

Tapi ada Bumi di sana. Bumi pasti mencarinya, menantinya untuk segera pulang. Pikiran itu yang membuatnya dengan cepat memberhentikan taksi yang melintas didepannya.

Koper-koper besar menjadi pemandangan pertama yang dia temui di ruang tamu. Mbok Mirna yang sibuk membereskan barang-barang, tidak menyadari kedatangan Bulan.

"Kamu bisa tinggal di sini. Karena rumah ini atas nama kamu." Reza membuyarkan lamunan Bulan.

Rumah ini memang hadiah yang diberikan Reza padanya. Tapi Bulan sama sekali tidak setuju dengan ide yang diberikan Reza. "Biarkan aku yang pergi dari sini." jawabnya.

"Ndaaaa ... kata Ayah, kita mau jalan-jalan ya?" Dari dalam rumah, Bumi berlari ke arahnya. "Baju sama mainan Bumi udah ditaruh di tas semua." tunjuk Bumi pada tas bewarna merah.

Bulan menatap tajam ke arah Reza.

"Mas, kasih aku satu malam untuk membereskan perlengkapanku. Aku yang harusnya pergi dari sini. Bukan kalian."

"Nda ... mau kemana? Bumi ikut ya ..." rengek Bumi, ketika Bulan mengucapkan kata pergi.

"Nda, nggak kemana-mana kok." jawabnya bohong.

Reza menghempaskan tubuhnya dengan kasar di sofa. Lalu dia menyodorkan sebuah map pada Bulan. "Ini keputusan dari pembagian harta kita."

Bulan tidak meraih map tersebut, dia membiarkan Reza tetap memegangnya. "Kamu yang memiliki semua aset di sini, Mas. Aku nggak berhak dapat apa-apa. Kalaupun aku boleh meminta, aku hanya ingin Bumi bersamaku."

Rupanya Bulan belum lelah untuk terus meminta Bumi pada Reza. Sesuai dengan pendiriannya, Bumi tetap akan bersamanya.

"Terserah kamu kalau begitu." Reza mengambil Bumi dari pelukan Bulan. "Sudah siap semua, Mbok? tolong masukan tasnya ke dalam mobil."

"Kalian mau pergi sekarang?" suara Bulan terdengar pilu.

Reza hanya mengangguk. "Secepatnya aku kabari, dimana nanti kami akan tinggal."

"Mas, bisakah sekali ini kamu mendengarkan aku? Tinggalah di sini. Aku yang pergi." tandas Bulan berbicara dengan suara tinggi.

"Aku hanya menuruti keputusan hukum. Rumah ini sekarang menjadi milikmu."

Kalau saja tidak ada Bumi, ingin rasanya Bulan beradu argumen dengan Reza. Saat semua tas sudah dimasukan kedalam mobil. Hanya menunggu hitungan menit, Bumi akan benar-benar meninggalkannya.

Bulan akan kehilangan oksigennya. Matanya kini terasa panas. Semuanya terasa lebih sakit ketika tadi hakim membacakan tentang kekalahan hak asuhnya atas Bumi. Karena perpisahan yang sebenarnya  baru akan terjadi sebentar lagi.

Pandangan Bulan mengabur, dia tidak ingin Bumi melihatnya menangis. Tapi dia tak kuasa untuk menahan rasa pedihnya.

"Nda ... ndaaa ...." Bumi merengek ketika dia melihat Bulan tidak ikut naik kemobil bersamanya. Tangis Bumi semakin kencang.

Bulan segera berlari untuk memeluk dan menciumi Bumi. Mereka menangis bersama.

Lewat air mata, keduanya menuangkan bentuk dari kepedihan akan sebuah perpisahan yang akan mereka jalani. Dalam dekapan Bulan, nafas bumi terdengar teratur. Anak itu terlelap.

Reza segera meminta Mbok Mirna untuk mengambil Bumi dari pelukan Bulan. Bulan tidak rela untuk melepas Bumi.

"Kami harus pergi, Bulan." Sekali lagi Reza menyadarkan posisinya.

Untuk terakhir kalinya, Bulan mengecup wajah Bumi. Dan berbisik lembut di telinga Bumi. "Bunda sayang Bumi. Sayang banget."

***

TBC

Jangan protes pendek ya :D karena aku nulis tuh nyolong2 waktu. Kalau kalian minta panjang, aku baru bisa update seminggu sekali,hehe.

Selamat baca,

*kisskiss*

Asharliz

Continue Reading

You'll Also Like

15.5M 1.4M 55
#1 in roman Agustus 2021 #1 in pregnant juli 2021 #1 in toxicfamily Juli 2021 #1 in tanggungjawab Agustus 2021 #1 in mba Agustus 2021 #1 in chicklit...
6.1M 324K 14
Ketika lelaki yang ia cintai menolak pernyataan cintanya, Caca bertekad untuk menaklukkan hati lelaki itu. Lagipula, sebelum janur kuning melengkung...
6.1M 704K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
19.7M 2M 55
Sudah terbit dan tersebar di seluruh Gramedia Indonesia -Satu dari seratus sekian hati yang pernah singgah. Kamu, yang terakhir kalinya yang bakal si...