WASTED LOVE (Completed)

By felisurya

128K 17.1K 571

[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Cold ass Jacqueline, direktur paling muda di Wardhana Group, harus terusik oleh k... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Epilog

Bab 31

2.1K 321 6
By felisurya

Rasa marah Adi semalam sudah melebihi ubun-ubun. Dia dibuat malu oleh para petinggi lainnya lantaran mereka semua harus menunggu Marshall yang menghilang. Setelah Jacqueline diutus untuk membawa Marshall kembali pun, Jacqueline juga tidak kembali. Keduanya pergi seolah hilang ditelan lubang hitam. In fact, lebih baik jika keduanya sungguhan lenyap ditelan bumi ketimbang Adi harus menghadapi mereka lagi. Beruntung bagi Marshall dan Jacqueline, niat Adi yang siap melabrak mereka berdua luntur ketika bertemu dengan Winahyu, public relations director Wardhana Group, di dalam elevator pagi itu.

"Pagi, Pak Adi."

"Pagi." Adi menjawab dengan wajah kusut.

"Pak, Pak Marshall nggak mau ditaruh di PR aja?" celetuk Winahyu, dengan semangat mengeluarkan ponselnya. "Traffic medsos kita biasanya nggak setinggi ini, lho. Semua karena Pak Marshall."

"Ada apa memangnya?" balas Adi tak acuh. Sulit baginya menangkap isi layar ponsel Winahyu tanpa mengenakan kacamata baca.

"Kemarin Pak Marshall main basket sama anak-anak MT." Winahyu menerangkan. "Bareng sama Jacqueline juga."

"Jacqueline siapa?" Kening Adi berkerut. Kali ini Winahyu berhasil menarik perhatiannya.

"Jacqueline Finance lah, Pak. Memangnya kita punya Jacqueline mana lagi?" Winahyu tertawa hambar. "Pak Marshall sama Jacqueline main basket bareng anak-anak MT. Ada yang—"

"Main basket?!"

"I-iya, Pak. Tapi mereka—"

"Jadi kemarin anak itu kabur dari rapat buat main basket?!" Adi menggeram. "Dan saya nggak nyangka Jacqueline malah ikut-ikutan dia! Saya pikir kalau Marshall saya titipkan ke Jacqueline, dia bisa berhenti main-main. Tapi ternyata malah dia ikut menyeret Jacqueline jadi sama bodohnya dengan dia!"

"Pak Adi, maaf. Tapi, sebetulnya it's a blessing in disguise. Kemarin ada yang foto dan rekam, masuk Instagram pakai hashtags, nge-tag akun Pak Marshall sama Wardhana Group, lalu nggak tau gimana traffic kita naik, Pak. Kemudian saya minta admin Instagram Wardhana Group buat repost dan hasilnya banyak banget profile views akun kita setelahnya."

Adi tidak mengerti satu kata pun yang diucapkan Winahyu.

"Intinya, Pak Marshall nggak sengaja bikin good publicity tentang Wardhana Group yang bikin orang-orang tertarik dengan kita."

"Hah?"

"Bahkan nggak sedikit yang komentar, mereka nggak nyangka Wardhana Group yang dikira kaku dan very corporate-like ternyata punya petinggi-petinggi muda yang merakyat. Pak Adi harus lihat video Pak Marshall yang telanjang kaki dunking di ring basket sampai kemejanya sobek."

Adi melotot.

"But it's good, Pak Adi. Orang-orang suka hal-hal yang mereka bisa relate. Melihat calon penerus grup perusahaan sebesar Wardhana tampil begitu apa adanya selayaknya orang biasa, nyeker main basket sampai bajunya sobek, that's a lot of modest, good publicity." Winahyu buru-buru menanggalkan senyum dan menjelaskan kepada Adi.

Good publicity. Ketika sudah dua kali kata itu disebut, barulah Adi mulai menyimak ucapan Winahyu dengan lebih seksama.

"Bukan cuma Pak Marshall. Dengan adanya Jacqueline di sana, especially dia ninggalin Louboutin-nya begitu aja di pinggir lapangan, kita juga lebih dapat exposure. Saya baca banyak banget komen yang bilang bakal seru kalau kerja dengan petinggi muda yang ganteng dan cantik, tiba-tiba mahasiswa pada mau magang di sini dan tentunya traffic official website kita juga naik."

"Apa artinya buat kita?"

"Artinya kita harus support Pak Marshall dan Jacqueline untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti ini lagi. Kita bisa bikin acara-acara resmi. Saya yakin Pak Marshall punya banyak ide. This is cost-free publicity, Pak, luar biasa baik untuk departemen PR dan saya yakin juga departemen lain serta seluruh Wardhana Group akan merasakan manfaatnya."

Adi menarik napas panjang. Baru saja dia terpikirkan untuk mendamprat Marshall, sekarang dia akan memintanya untuk melanjutkan 'berbuat bodoh'. Marshall pasti akan girang setengah mati. Dia pakarnya ngadi-ngadi. Ternyata bukan cuma girang, Marshall mendadak menjadi sangat bersemangat diberi tugas untuk menambah exposure Wardhana Group di media sosial, sungguh berbeda dengan ketika dia dibebankan tugas perihal keuangan dan manajemen.

"Kemarin kamu main basket bareng Jacqueline dan anak-anak MT?" tanya Adi. Dia memanggil Marshall ke ruang kerjanya pagi itu.

Marshall tidak berani menjawab. Dia cuma menunduk untuk menghindari tatapan mata Adi. Bagi Marshall, Adi seperti Medusa. Salah tatap maka dia akan mati membeku.

"Winahyu bilang, kamu harus lebih sering melakukannya," gumam Adi, setengah menggerutu. "You brought good publicity and exposure for our company yesterday."

"Hah?" Marshall mengangkat kepala, tercengang.

"Something to do with Instagram, apalah Papa nggak ngerti. Kamu ngomong aja sama Winahyu." Adi mengibaskan tangan. "Dia mau kegiatan seperti ini jadi acara reguler di kantor."

"Beneran?" Kedua mata Marshall berbinar.

"Ngomong aja sama Winahyu."

Marshall keluar dari ruang kerja Adi sambil menahan diri agar tidak berteriak kegirangan. Dia kira Adi akan mencambuknya pagi ini, tetapi ternyata yang terjadi sebaliknya. Adi malah menyuruhnya melakukan kembali kegiatan-kegiatan seperti kemarin! Marshall bergegas mendatangi Jacqueline di ruang kerjanya, bahkan setengah berlari.

"Pagi, Pak Marshall." Kana menyapa dengan senyum lebar melihat Marshall yang muncul.

"Na, kumpulin semua anak MT di rooftop nanti sore!" perintah Marshall.

"Hah?" Kana melongo.

"Yang punya gitar suruh bawa gitar, yang punya cajon suruh bawa cajon, yang nggak punya apa-apa cukup suruh bawa badan." Marshall melanjutkan. "Oh ya, itu OB pada suruh beli lampu-lampu gantung yang kayak di kafe gitu dong, semua dipasang di rooftop. Sama pesenin pizza buat... I don't know. Anak MT ada berapa? Eh, sekalian aja OB diitung, biar diajak sekalian."

Kana mengerjapkan mata berkali-kali. Dia tidak bisa mengikuti percakapan Marshall yang begitu cepat. Tangannya yang memegang pena berhenti di udara. "Gi-gimana, Pak?"

"Kamu ngapain?"

Marshall dan Kana sama-sama menoleh. Jacqueline baru saja keluar dari ruang kerjanya.

"Kamu jangan nyuruh Kana yang aneh-aneh." Jacqueline menegur.

"Nggak aneh-aneh. Aku cuma minta Kana bantu nyiapin rooftop untuk jam session kita nanti sore."

Jacqueline memicing. "Hah?"

"Jam session. Aku yakin kakimu sakit lagi sekarang gara-gara main basket kemarin so I thought let's switch to jam session instead. Aku bisa main gitar, kamu bisa main gitar, I bet many of the management trainees can play as well. Kita semua bisa nge-jam bareng."

Jacqueline bergantian menatap Kana dan Marshall, lalu menarik tangan Marshall agar berdiri sedikit menjauh.

"Kamu gila, ya? Ini kantor, bukan kafe!" Jacqueline mendesis. "Dan lagi, itu rooftop untuk helipad, again, bukan kafe! Plus, kamu nggak takut digantung sama Pak Adi setelah kejadian kemarin?!"

Marshall tersenyum lebar. "Santai, Jacques. Why are you so worked up?"

"Of course I am! Aku nggak habis pikir gimana kemarin aku bisa terjerumus ke kekonyolan kamu."

"Aku main basket, bukan pakai narkoba. Lagian, main basket itu nggak konyol. Kalau itu konyol, nggak mungkin Papa nyuruh aku untuk bikin kegiatan kayak gitu lagi barang anak-anak MT."

"What are you talking about?"

Marshall mengeluarkan ponsel. Dia menunjukkan Jacqueline foto yang di-post akun resmi Wardhana Group sambil menyeringai. "Winahyu bilang nggak pernah traffic sekencang ini."

Jacqueline melotot horor melihat foto dirinya di salah satu slide sedang menembak bola tanpa alas kaki, sepatu Louboutin miliknya tergeletak di tepi lapangan. "What the f—siapa yang foto?! Kenapa bisa ada di Instagram-nya Wardhana Group?!"

"Salah satu dari yang main basket sama kita, lah. Aku lupa namanya siapa aja anak-anak itu. Anyway, kita akan kenalan lagi nanti sore."

"Marshall, what the hell is going on?"

"Kamu nggak ngerti juga? Oh, right. Kamu nggak punya media sosial. You should make one now, seems you're getting famous. Beberapa komen nanya apakah cewek Louboutin itu punya akun Instagram."

"Marshall." Jacqueline mendelik.

"Kita berdua, petinggi kantor, main basket sama anak-anak MT, mereka senang, mereka ngepos, orang-orang senang ngelihat ada petinggi yang mau merakyat, mereka jadi punya kesan baik terhadap Wardhana Group. Itu intinya. It's a good publicity what we did. It's a free marketing. Winahyu senang, Papa ngizinin untuk bikin acara lagi. Hence, the jam session this evening. Atau kamu mau main catur aja? That's a good idea, though. Nanti aja buat hari Senin."

Jacqueline memijat keningnya. Dia mengerti sekarang, meskipun dia kurang nyaman dengan ide kegiatan lanjutan.

"Okay." Jacqueline mengucap pelan.

"Kamu ikut, kan? Somehow kita berdua jadi duta publicity mulai sekarang."

"Nope, I'm not joining."

"Jacques, come on."

Jacqueline menggeleng. "Aku nggak mau ikut-ikutan apapun acaramu di rooftop."

"Ini bukan acaraku, Jacqueline. Ini acara kantor." Marshall meralat. "Besides, this would be different than the rave party I held last time. Aku setuju, saat itu aku bego banget, caper parah bikin rave party kayak gitu. Of course, people like you wouldn't come."

"Maksudnya apa people like me?"

"Orang-orang yang cerdas dan berkelas," ucap Marshall. "Tapi, kali ini beda. Ini acara kantor. Nggak akan ada hal aneh-aneh. We're just going to be there to have fun in a good, polite way. Bahkan nggak akan ada alkohol. Cuma ada pizza. Dan kita bisa menjalin hubungan baik sama anak-anak management trainee, bibit-bibit perusahaan. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu kesulitan nemu staf berpotensi untuk Finance? Who knows you will find one here?"

Great. Jacqueline yang biasanya saja segan bersosialisasi dengan sesama petinggi, kini harus meladeni bocah-bocah management trainee yang masih polos dan tidak tahu apa-apa. Tapi mungkin justru karena mereka masih polos, akan lebih mudah bagi Jacqueline untuk membina dan memilah, mana yang tulus, mana yang fake, mana yang betulan rajin, mana yang cuma senang menjilat.

"Oke."

"Nice!"

***

Continue Reading

You'll Also Like

38K 6.3K 21
Aku Bertahan dengan mu Karena menurutku Kau pantas untuk dipertahankan
337K 44.6K 67
"You're always driving me crazy, Sabrina." kata Parameswara sungguh-sungguh. Sabrina menghela nafas. Entah untuk ke berapa kalinya di malam menuju ta...
4.7M 350K 54
TIDAK TERSEDIA DI GRAMEDIA WA 0895-6012-87793 | Shopee ariskakhurnia [CERITA LENGKAP] Arsel yang bahkan belum resmi lulus dari SMA, sudah mendapatkan...
1.9M 93.1K 56
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...