WASTED LOVE (Completed)

By felisurya

145K 18.9K 594

[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Cold ass Jacqueline, direktur paling muda di Wardhana Group, harus terusik oleh k... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Epilog

Bab 29

2.4K 355 8
By felisurya

Ingin rasanya Jacqueline mengumpat keras-keras sewaktu lampu elevator tiba-tiba meredup dan gerakannya berhenti. Sekembalinya dari rumah sakit, Jacqueline cuma membeli sandwich dari kafe di lobi gedung kantor untuk makan malam dan mulai lembur. Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam ketika dia akhirnya selesai bekerja dan hendak pulang. Lelah, mengantuk dan ingin rasanya dia bisa teleportasi dan langsung merebahkan diri di ranjang saat itu juga. Saat sedang menunggu elevator, sosok Marshall muncul di sebelahnya, membuat Jacqueline kaget.

"Kamu belum pulang?" tanya Jacqueline.

"Ini mau pulang." Marshall menjawab singkat.

Elevator datang dan keduanya masuk. Baru turun dua lantai, mendadak elevator itu mati. Jadi di sinilah dia sekarang, stuck dengan Marshall.

"Shit." Jacqueline mengumpat lagi dalam gumaman. Dia berkali-kali memencet bel darurat tetapi tidak ada yang menyahut.

Marshall menyalakan layar ponselnya. 23:38. "Nggak bakal ada yang nyahut, lah. Udah jam segini. Mana mungkin masih ada yang kerja."

"Bukannya bel emergency harus dijaga 24 jam?!"

Marshall mengangkat bahu. "Teorinya begitu. Tapi, kenyataannya?"

Jacqueline mengusap sudut matanya. Rasa kantuknya sudah hilang. Dia mengeluarkan ponsel dengan gusar.

"Kamu mau ngapain?" tanya Marshall.

"Panggil bantuan."

"Ke siapa? Udah jam segini. Mau nerorin satu-satu anak buahmu untuk nolongin kamu?"

Jacqueline terdiam.

"Ini pasti cuma mati lampu sejenak. Nanti juga nyala lagi. Sabar aja." Marshall melipat tangan di dada, lalu bersandar pada dinding elevator.

Lima menit mereka menunggu, namun elevator itu tidak kunjung bergerak juga. Lampu di dalam masih mati dan tidak ada sahutan apa-apa dari speaker untuk emergency. Jacqueline mengeluarkan ponselnya lagi dengan gelisah. Dia menjadi lebih gelisah ketika melihat baterai yang tinggal satu persen. Jacqueline kembali memencet tombol emergency berkali-kali.

"Oke, ini mulai aneh." Marshall tidak lagi bersandar dengan santai. Dia turut mengeluarkan ponsel dan mendecak. "Shit. Tinggal satu persen."

"Are you kidding me?!" Jacqueline mengusap wajah. Kali ini gantian dia yang bersandar pasrah ke dinding elevator. Entah kapan elevator ini akan kembali menyala atau mereka akan diselamatkan. Worst case scenario besok pagi pukul delapan. Berarti dia harus tidur di sini, menghabiskan delapan jam bersama Marshall dalam kegelapan?!

"Bateraiku habis," ucap Marshall, sementara ponselnya meredup lalu mati total. "HP kamu gimana?"

"Dead as hell." Jacqueline menggumam. Dia menghela napas lalu duduk berselonjor di lantai. Jacqueline memeluk tasnya dan memejamkan mata. Kalau tidak tahu berapa lama dia akan terperangkap di sini, sebaiknya dia tidur dulu saja.

Ada cahaya kecil yang memancar, yang membuat Jacqueline kembali membuka mata. Cahaya itu datang dari smart watch di pergelangan tangan Marshall.

"This is better, right?" celetuk Marshall, ikut duduk berselonjor di sebelah Jacqueline. "Daripada gelap total."

"Thanks." Jacqueline menyahut.

Rasanya sangat canggung duduk berdua dalam kegelapan tanpa ada satu hal pun yang bisa mengalihkan perhatian mereka. Marshall menoleh. Dia melihat Jacqueline sudah memejamkan mata. Walaupun begitu, Marshall tahu Jacqueline kesulitan untuk terlelap. Keningnya berkerut, menandakan ada banyak hal yang tengah berseliweran di kepalanya.

"Gimana telinga kamu?" tanya Marshall, memecahkan keheningan. "Masih berdenging?"

Jacqueline mengangguk pelan.

"Besok pagi mau aku temenin ke dokter?"

"Nggak usah," gumam Jacqueline. "Aku bisa sendiri."

"Aku tahu kamu bisa sendiri. Yang mau aku berikan bukan tumpangan kendaraan, tapi moral support."

"Moral support? Buat apa? Aku nggak kenapa-napa. It's nothing serious."

"Aku tahu. Tapi, kadang hati kita lebih lega kalau ada teman yang mendampingi."

Jacqueline mendengus. "Teman?"

"Iya, teman. Don't you consider me as your friend?"

"Yang namanya teman nggak akan kabur melihat kesusahan orang," ujar Jacqueline sinis.

Raut wajah Marshall berubah. Dia tidak bodoh. Dia peka. Dia tahu apa maksud Jacqueline.

"Kamu marah karena aku pergi begitu aja waktu kamu nangis?" Suara Marshall melembut.

Jacqueline tidak menyahut.

"Aku minta maaf. Saat itu aku—" Marshall menggigit bibir. "—a-aku nggak tahu harus berbuat apa. Nggak pernah ada perempuan yang nangis di depanku sebelumnya."

Jacqueline terdiam.

"Sama seperti saat aku ngelihat luka-luka di tubuh kamu. I didn't know what to do, so I avoided you. Aku tahu nggak seharusnya aku bersikap kayak gitu. Aku pengecut."

Marshall menunggu Jacqueline membalas ucapannya. Apa saja. Tetapi, Jacqueline cuma memejamkan mata dengan tangan terlipat di depan dada. Marshall tidak peduli apakah Jacqueline sungguhan tidur atau cuma berpura-pura, dia lanjut meneruskan ucapannya.

"Aku nggak mau hal seperti itu terulang untuk ketiga kalinya, Jacqueline. Aku nggak mau pergi dari kamu begitu aja kali berikutnya aku ngelihat kamu kesusahan. Please let me know what I should do."

Hening.

"Jacqueline? Aku tahu kamu nggak lagi tidur. Please, don't ignore me."

"Nggak ada lain kali, Marshall." Jacqueline mengucap lirih. "Lain kali aku nggak akan bersikap seperti itu lagi di depan kamu. I'm sorry for making you confused."

Tiba-tiba Jacqueline merasa bodoh. Hanya karena Marshall berbuat baik padanya, dia punya hak apa untuk menuntut Marshall menganggapnya teman? Maybe, she's just a charity case for him. So what? Jacqueline tidak bisa mengatur bagaimana orang lain menganggapnya, apa yang dirasakan Marshall terhadapnya. Salah dia sendiri yang terjebak ekspektasinya semata. Salah dia sendiri mengharapkan Marshall tidak melakukan sesuatu yang membuatnya kecewa. She should not have burst out and cried in front of him in the first place. What's wrong with her anyway? Tidak biasanya Jacqueline hilang kendali atas emosinya dan meledak di depan orang lain. Nope, she has never done that, not as a child, not as a teenager, definitely not as an adult.

"Nggak, Jacqueline. Aku nggak mau hubungan kita balik lagi kayak dulu, di mana kamu selalu dingin dan kaku sama aku. I want you to be able to open up to me, to be vulnerable around me. Dan aku juga ingin jadi orang yang lebih mengenal kamu, yang lebih tahu gimana harus menghibur kamu di saat kamu susah. I need to learn. I want to learn. Please let me know."

Dua tahun Jacqueline menikah dengan Alfons, tidak pernah sekalipun terucap kata-kata seperti yang diucapkan Marshall dari mulutnya. Sementara Marshall, this little piece of prick, he cares.

"You are not a charity case." Marshall menegaskan. "Aku mau kamu menganggapku teman karena aku juga menganggap kamu teman. A good friend, someone I care about, someone I want to protect. Dan aku yakin, itu juga alasan kenapa aku pergi begitu aja kemarin. I was afraid. Kalau aku lihat kamu nangis, aku juga jadi sedih. Lalu, aku nggak tahu akan seperti apa reaksiku, bisa jadi malah bikin kamu semakin bingung. I didn't want that to happen. Itu sebabnya aku pergi. And please believe me, aku langsung menyesal begitu keluar dari pintu itu. I wanted to be with you. Aku mau menghibur kamu, tapi aku nggak tahu gimana caranya. Daripada cuma membebani kamu, aku pikir lebih baik aku pergi."

Jacqueline terdiam. Andai Marshall tahu betapa menyentuhnya kata-kata tersebut bagi Jacqueline. She doesn't get much affection from people on a daily basis, namun bersama Marshall, semua perhatian itu dicurahkan kepadanya sampai overdosis. Marshall menunggu dengan sabar dalam hening. Dia tidak ingin memaksa Jacqueline memaafkannya. Dia cuma mau menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Mungkin Jacqueline akan menganggapnya laki-laki lemah, but it's okay. Yang paling penting buat Marshall bukan diakui sebagai lelaki yang tangguh, tetapi sebagai orang yang kekurangannya dimaklumi dan kerapuhannya diterima oleh Jacqueline.

"Kamu—" Suara Jacqueline melembut. "Kamu nggak perlu berbuat apa-apa, Marshall. Kamu nggak perlu ngomong apa-apa. Just stay with me, duduk dalam diam di sebelahku."

Raut wajah Marshall yang tegang dan kaku perlahan mencair.

"Itu aja udah cukup."

"Right! Aku janji nggak akan pergi lagi lain kali. I will stay, duduk di sebelah kamu, diam nemenin kamu," ucap Marshall dengan semangat.

Jacqueline mengulum senyum, geli sendiri melihat sikap Marshall. Dia tidak bisa lagi berlama-lama marah. Jacqueline membuka tas dan mengeluarkan komik Dear Boys.

"Ini buat kamu." Jacqueline menyerahkan kepada Marshall.

"Apa ini?" Marshall menerima. Sedetik kemudian matanya berbinar. "Dear Boys?"

"Volume dua. Kamu nggak punya volume itu di apartemen. Sekarang koleksimu lengkap."

"Terima kasih, Jacqueline!" Wajah Marshall berubah semringah. Dia segera membuka segel komik tersebut. "Ngomong-ngomong apartemen, kamu akan tinggal di mana setelah ini? I don't mind you coming back to my apartment. Lagian, kamu juga belum selesai baca Dear Boys-nya kan?"

Jacqueline menggeleng. "It's fine. Aku udah nemu apartemen lain."

"Oh." Marshall terlihat kecewa. "Di mana?"

"Kenapa kamu mau tahu?"

"Biar aku bisa ngunjungin kamu."

Jacqueline tidak menjawab. "Ayo buka komiknya, kita baca bareng, buat killing time."

Marshall mengarahkan cahaya dari senter di smart watch dan berbagi bacaan dengan Jacqueline. Di tengah jalan membaca, keduanya ketiduran dengan kepala tergolek menempel ke satu sama lain. The worst case scenario happened. Mereka berdua baru ditemukan esok paginya pukul delapan oleh Haikal dan seorang teknisi di lantai dasar.

"Anjir!" Haikal memekik, ketika pintu elevator membuka dan dia menemukan Marshall dan Jacqueline yang duduk di lantai setengah sadar.

Jacqueline memicingkan mata manakala cahaya lampu lobi menyilaukan matanya. Melihat sosok Haikal, dia segera melompat bangun bagaikan tersengat listrik.

"Ka-kalian ngapain di sini?" tanya Haikal, masih dengan wajah tercengang.

"Kita kejebak di lift." Jacqueline buru-buru berusaha meluruskan supaya Haikal tidak berpikir macam-macam.

"Kejebak di lift?"

"Iya. Semalam lift-nya mati dan kita kejebak sampai pagi."

Haikal mengerutkan kening. "Kenapa nggak minta bantuan?"

"HP kita berdua mati, itu udah jam dua belas malam dan nggak ada yang respon padahal kita udah ngebel emergency seratus kali." Marshall mengucap.

"Kalian ngapain jam dua belas malam berdua di kantor?" Haikal memicingkan mata.

"Kerja," sela Jacqueline cepat. "Anyway, saya duluan."

Sebelum Haikal kembali mencecarnya dengan pertanyaan, Jacqueline segera melipir pergi dari elevator.

"Gue juga." Marshall mengekor langkah Jacqueline sambil menepuk bahu Haikal. "Sampai nanti, bro. Oh ya, jangan bilang siapa-siapa soal lo nemuin kita berdua di sini, oke?"

Mendengar ucapan Marshall, Jacqueline sontak menarik napas dalam-dalam. Kenapa pula Marshall harus bilang seperti itu?! Sekarang pasti Haikal jadi berpikir macam-macam dan obviously dia akan melakukan hal sebaliknya dari yang diminta!

"Kamu ngapain minta Haikal jangan bilang-bilang?" Jacqueline mendesis, setelah mereka sudah berjalan menjauh.

"Lho, kamu mau kita jadi bahan gosip karena berduaan di lift semalam?" balas Marshall. "Aku sih nggak masalah."

"Marshall, gara-gara kamu ngomong gitu, sekarang pasti Haikal mikir memang ada apa-apa di antara kita. Jelas dia bakal lebih gencar lagi bikin gosip."

"Memangnya beneran nggak ada apa-apa di antara kita?" Marshall nyengir jahil.

Jacqueline memutar bola mata dan mempercepat langkahnya.

"Oke, oke." Marshall tertawa kecil. "Tapi asli, Haikal nggak akan sesumbar. Aku sama dia hubungannya lumayan baik. He can be trusted."

Trusted his ass. Dalam kamus Jacqueline, tidak akan pernah ada yang namanya teman sejati di kantor. In fact, there is no such thing as a true friend in life. Manusia itu pada dasarnya egois. Kalau bisa menjual teman sendiri untuk ketenaran dan sedikit spotlight yang menguntungkan dirinya, setiap orang akan melakukannya. Demikian juga dengan Haikal, yang bertolak belakang dengan apa yang dikira Marshall tentangnya, sesumbar soal penemuannya pagi tadi di elevator. Kisah tentang Jacqueline dan Marshall yang semalaman terkurung berdua di elevator tidak hanya berhenti di Haikal. Cerita itu menyebar dengan berbagai macam bumbu ke mana-mana, hingga seantero kantor mendengarnya dan sampai ke telinga Adi.

***

Continue Reading

You'll Also Like

4.1M 30.7K 34
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
213K 23.3K 43
TERBIT | PART MASIH LENGKAP [Collaboration To Celebrate NCT Dream's Anniversary] "Loh, pulangnya sendiri aja, Mas Jibran? Mana calonnya? Enggak mau d...
122K 13.5K 36
Copyright © 2017 by Littlesunshine_ • DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENYALIN, MENCETAK CERITA INI TANPA SEIZIN PENULIS • ---------------------- Ardisa...
✅One and only By Ris

General Fiction

2.2K 182 41
[END] 5 kepala yang tinggal dalam satu atap yang sama. 5 kepala yang walaupun satu tempat, namun mempunyai kisah dan kenangan yang berbeda-beda. Wala...