WASTED LOVE (Completed)

By felisurya

127K 17.1K 571

[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Cold ass Jacqueline, direktur paling muda di Wardhana Group, harus terusik oleh k... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Epilog

Bab 26

2.1K 328 4
By felisurya

Bœuf bourguignon adalah comfort food bagi Jacqueline. Sewaktu kecil, ibunya sering membuatkan untuk sekeluarga. Jacqueline tidak pernah makan bœuf bourguignon lain selain yang dibuat ibunya, jadi dia tidak punya perbandingan. Namun, baginya bœuf bourguignon buatan ibunya adalah yang paling enak.

"Gimana rasanya?" tanya Marshall, nyengir lebar dengan satu tangan masih memegang sendok sementara tangan lain memegang panci.

Jacqueline tidak segera menjawab. Dia larut dalam rasa yang ditawarkan semangkuk beef stew ala Perancis di hadapannya itu. Wanginya, rasanya... sama. Jacqueline makan dengan lahap, membuat cengiran di wajah Marshall semakin lebar. Marshall tidak lagi berdiri tegang. Dia ikut duduk dan makan bersama Jacqueline.

"Kalau enak boleh kali dipuji," celetuk Marshall.

"Enak." Jacqueline menggumam.

"Enakan mana sama yang biasa kamu makan?"

"Sama."

"Dan kamu makan di restoran bintang lima mana?"

"Ibuku yang bikin." Jacqueline terdiam sejenak sebelum menyuapi diri lagi.

"Oh." Marshall menaikkan alis. "Ibumu koki?"

"Bukan. Dia pegawai kantoran biasa."

"Pasti jago masak?"

Jacqueline menggeleng.

"Bukan koki, nggak jago masak tapi bisa bikin bœuf bourguignon." Marshall makan sesuap. "Menarik. Ada penjelasannya?"

"Ibuku campuran Perancis."

"Oh." Marshall tercengang. Satu fakta lagi tentang Jacqueline yang Marshall yakin tidak ada satupun di kantor yang tahu. She's a very discreet person. "Tunggu. Yang campuran Perancis itu ibumu atau kamu?"

"Ibuku," sahut Jacqueline singkat.

"Selama ini aku pikir kamu campuran Jepang, dari namamu, Kitahara."

"Itu juga nama ibuku."

"Ibumu campuran Perancis dan Jepang?"

Jacqueline mengangguk.

"Interesting. Kalau begitu, mau dong sekali-kali dikenalin sama ibumu. Aku pengen tahu gimana orang Perancis asli menilai masakanku."

"Ibuku udah lama meninggal."

"Oh."

Tiga kali Marshall cuma bisa mengucap 'oh' saat Jacqueline membombardir dengan fakta-fakta tentang dirinya.

"I'm sorry to hear that," ucap Marshall pelan.

"It's fine. Udah lama meninggalnya." Jacqueline menyunggingkan senyum kecil. "Waktu aku masih sekolah."

"It must be hard for you." Marshall menatap dengan iba.

"Yeah."

"Karena sakit?"

"Bukan." Jacqueline berbisik lirih. Dia membuka mulut, hendak bercerita lebih, namun dia mengurungkan niat. Sekian lama telah berlalu namun rasanya masih saja begitu berat. "Marshall?"

"Iya?"

"Tadi siang Alfons telepon aku."

Tubuh Marshall menegang mendengarnya. Sendoknya terhenti di tangan. "Terus?"

"Aku akan gugat cerai dia."

Kedua mata Marshall melebar mendengarnya. Dia menahan diri untuk tidak bersorak kegirangan.

"Kamu udah nggak cinta lagi sama dia?" tanya Marshall hati-hati.

"Aku baru sadar bahwa selama ini aku memang nggak pernah benar-benar cinta sama dia," jawab Jacqueline. "I got married just because I thought I should. But maybe, that's not really what I want."

"Oke." Marshall mengangguk. "Jadi apa yang kamu inginkan?"

A new relationship. Someone who loves me dearly. Seorang lelaki yang bisa melindungi dan melembut di saat yang bersamaan. Demikianlah jawaban-jawaban yang dikira Marshall akan terlontar dari mulut Jacqueline. Kenyataannya tidak. Itu sebabnya Marshall terkejut saat Jacqueline meletakkan sendok di atas mangkuk bœuf bourguignon-nya yang hampir kosong dan menangkupkan tangan di atas meja.

Jacqueline tidak menghabiskan makanannya. Dia cuma memandang lurus dengan tatapan kosong, seolah tersesat dalam pikirannya sendiri. Tiba-tiba Jacqueline menundukkan kepala dan terisak pelan. Jantung Marshall mencelus melihatnya. Seketika darahnya berdesir.

Marshall kaget melihat Jacqueline tiba-tiba menangis. Tidak pernah ada perempuan yang menangis di hadapan dia sebelumnya. Tentunya dia tidak pernah menyangka bahwa perempuan yang dikiranya paling keras di antara semua perempuan yang dikenalnya ternyata bisa menangis juga.

Jacqueline tidak berlama-lama menangis. Dua-tiga detik kemudian, dia segera menyeka matanya dan kembali menyantap sisa makanan di piring.

"Sori," gumam Jacqueline, mengalihkan wajah dari Marshall.

Marshall pun tidak berani mengajak Jacqueline bicara. Dia cepat-cepat menghabiskan bœuf bourguignon di piringnya dalam hening dan beranjak.

"Mmm—" Marshall melihat jam tangannya dengan canggung. "A-aku harus pulang dulu sekarang. Besok pagi ART dari rumahku datang buat bersihin semua ini."

Jacqueline menoleh. Dia mengerjap bingung dengan Marshall yang tahu-tahu ingin pulang. "Oh."

"Ngg—" Marshall menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia meringis. "Thanks for the dinner. Sampai besok."

Kemudian Marshall pergi begitu saja, meninggalkan Jacqueline yang duduk tertegun, bingung dengan sikapnya. Mata Jacqueline yang memicing heran berubah menjadi sendu manakala dia menyadari apa yang terjadi. Ini sama seperti saat Marshall melihat luka-luka di tubuh Jacqueline. He ran away.

Jacqueline menghela napas berat sambil menyibakkan rambut dari keningnya. Dia tidak habis pikir bagaimana caranya dia bisa menangis tiba-tiba di depan Marshall. So stupid. Barangkali karena bœuf bourguignon yang menyeret emosinya ke masa lalu, kemudian memberi efek domino dengan mengaduk-aduk perasaannya di masa sekarang.

Marshall sendiri sadar dengan sikapnya yang aneh itu. Dia langsung menyesal begitu menutup pintu meninggalkan Jacqueline. Maybe he should have stayed. Definitely he should have stayed. Marshall tidak tahu bagaimana caranya menghadapi Jacqueline di saat-saat dia terlihat rapuh. He can handle her being hard as rock, angry as hell, but not when she's vulnerable.

Marshall melangkah masuk ke dalam elevator. Dia meregangkan lehernya setelah menekan tombol untuk turun ke parkiran. It's fine. Besok Jacqueline akan kembali ke kantor dan dia akan pretend bahwa semuanya baik-baik saja. Lagipula Marshall tidak berencana akan menghindari Jacqueline seperti itu, so it should be fine, right?

Di luar dugaan Marshall, ketika dia datang ke kantor esok paginya, dia sama sekali tidak menemukan Jacqueline di sana. Ruang kerja Jacqueline gelap gulita saat dia lewat, padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Marshall menggenggam erat segelas kopi di tangannya yang baru dia beli untuk diberikan kepada Jacqueline. Dia menghampiri Kana yang sedang duduk bosan di mejanya.

"Kana," panggil Marshall.

"Eh, pagi Pak Marshall." Kana menyapa.

"Jacqueline mana?" Marshall bertanya tanpa basa-basi.

"Oh, Mbak Jacqueline nggak masuk," jawab Kana. "Katanya cuti sehari, ada urusan."

"Urusan apa?"

"Wah, saya nggak tahu, Pak. Nggak berani nanya."

"Jacq—"

Kalimat Marshall terputus ketika ponsel di saku celananya bergetar. Ada panggilan telepon dari asisten rumah tangga yang dimintanya membereskan apartemen.

"Halo?" Marshall menjawab telepon itu.

"Halo, Mas Marshall?"

"Iya, kenapa Bik?"

"Ini apanya yang mau diberesin ya, Mas?"

"Semuanya, Bik. Itu ada piring-piring kotor sama perabotan bekas saya masak semalam. Ranjang di kamar juga sekalian dirapiin aja."

"Mas, tapi di sini nggak ada perabotan kotor sama sekali," ucap Bibik. "Adanya piring dan perabotan bersih, semuanya udah di lemari. Sprei di ranjang juga udah dilepas dan dilipat. Ini mau diganti sprei baru apa gimana?"

Marshall terperangah mendengarnya. "Bik, nggak ada koper atau tas di sana?"

"Di mana, Mas?"

"Nggak tau. Di kamar, lemari, di mana aja satu apartemen?"

"Nggak ada, Mas. Dari tadi saya keliling apartemen semuanya rapi, nggak ada barang apa-apa. Mas Marshall nyari apa?"

Marshall menelan ludah. Saat itu dia sadar, Jacqueline sudah pergi, tidak tinggal di apartemennya lagi.

"Mas, ini adanya amplop di atas meja." Suara Bibik terdengar lagi.

"Amplop?"

"Iya, amplop cokelat, tebel."

"Isinya apa?"

"Sebentar, saya—" Suara Bibik tertahan. "—i-isinya uang, Mas. Banyak banget."

"Hah?!"

"Uang sama kertas, tulisannya—" Jeda lagi. "—terima kasih, ini uang sewanya. Lima ratus ribu buat yang bersihin apartemen ini."

"D-dari siapa tulisannya, Bik?" tanya Marshall, walaupun dia sudah tahu siapa yang meletakkan uang itu di sana.

"Nggak ada, Mas."

Marshall mengusap wajahnya. "Ya udah, pulang aja, Bik."

"Saya nggak harus bersihin apartemennya?"

"Nggak usah."

"Uangnya?"

"Ambil lima ratus ribu buat Bibik, sisanya taruh di meja." Marshall memutuskan sambungan telepon dan meletakkan gelas kopi di atas meja Kana. "Buat kamu, Na."

"Buat saya, Pak? Terima kas—"

Marshall tidak mendengarkan ucapan terima kasih Kana sampai habis. Dia membalikkan badan dan bergegas pergi tanpa pamit. Sambil berjalan menuju elevator, Marshall berusaha menghubungi Jacqueline. Tidak diangkat. Dia mencoba sekali lagi. Masih tidak diangkat. Ketiga kalinya dia mencoba, Jacqueline menolak panggilannya dan Marshall langsung dialihkan ke mailbox.

Ting! Elevator datang. Adi berhadapan dengan Marshall, menatapnya dengan heran.

"Marshall, mau ke mana?"

Marshall tidak menjawab. Dia bahkan tidak sadar bahwa Adi baru saja menegurnya. Tangan Marshall sibuk mengetik dan pandangan matanya tertancap pada layar ponsel sementara kakinya melangkah masuk elevator.

"Marshall, kamu mau ke mana? Sebentar lagi rapat!" Adi menghardik dengan suara lebih keras, tetapi Marshall masih tidak sadar.

Pintu elevator menutup.

"Marsh—!"

Marshall
Jacqueline, kamu ke mana? Kenapa pergi dari apartemen saya?

Satu centang. Pending.

***

Continue Reading

You'll Also Like

170K 21.1K 38
[Pemenang Watty Awards 2022 kategori New Adult] "People often forget that you'll always reap what you sow. " • • • • • • • • • • Kisah Pertama dari F...
27K 2.5K 22
[FREE ALL CHAPTER] Ethan Pascal tau, satu-satunya cara untuk mendapatkan Valerie Isaac kembali adalah dengan menjebaknya untuk bekerja sama di proyek...
214K 11.5K 64
Rana at the age of thirteen fell in love with Vian. Rana at the age of sixteen fell for Reza. Having years of loving someone in silence, she has to...
945K 99.6K 41
Niar - Gusniar Hayati, 30 tahun, Direktur Operasional PT Saka Buana Patria Bagaimana mungkin seorang Keenan Cakra salah dalam membuat keputusan? Kala...