Satu jam kemudian, Marshall muncul di apartemen. Dia membawa dua kantong belanjaan yang penuh dan meletakkannya di atas meja. Setelahnya Marshall langsung membuka kulkas dan mengisinya dengan barang-barang belanjaan.
"Biar aku aja," ucap Jacqueline.
"Udah, kamu duduk aja, jangan banyak mondar-mandir." Marshall menolak. "Aku jamin besok kamu udah ngotot mau masuk kantor, kan? That's why you need to rest extra today."
Marshall menahan tangan Jacqueline yang menggenggam susu kotak. Dia terus menggenggam sampai Jacqueline melepaskan susu kotak di tangannya. Marshall mengambil susu kotak itu lalu memasukkannya ke kulkas.
"Gimana di kantor?" tanya Jacqueline, gelisah karena harus menunggu tanpa bisa melakukan apa-apa. She hates being useless.
"Maksud kamu aku, kantor atau kerjaan kamu?"
"Semuanya."
"Well, hari ini mood Papa lumayan baik, jadi aku nggak kena damprat. Aku—"
"Due diligence!" Jacqueline tiba-tiba teringat. Dia menjentikkan jari, nyari terlonjak dari kursi. "Gimana rapat due diligence sama Pak Adi?"
"It's fine."
"Are you sure?"
"Kalau berantakan, Papa pasti udah kebakaran jenggot neror kamu. Buktinya, nggak ada yang telepon kamu hari ini, kan?"
Alfons, tapi itu lain soal.
"Kantor aman. Aku nggak tahu Kana kerja atau nggak karena aku nggak main ke daerah ruang kerjamu, plus, I don't think it matters since you were not at the office anyway. Kamu sendiri gimana? Udah baikan?"
Marshall mulai memotong-motong bahan. Jacqueline melongok. That's a lot of stuff, namun sepertinya Marshall tidak bohong soal dirinya yang pernah sekolah masak. Dari caranya memotong, dia terlihat terampil dan terlatih.
"Jacques?"
"Hmm?" Jacqueline tersentak.
"Kakimu gimana? Udah baikan?"
Jacqueline mengangguk. "Iya. Aku bisa langsung lari keliling GBK sekarang juga kalau kamu mau."
"Don't push it." Marshall tertawa. "Kamu baik-baik aja karena kamu masih minum obat penahan sakit. Kamu masih harus banyak istirahat. Did you read Dear Boys?"
"Iya. Udah di volume 18."
"Wow, cepat banget."
"Itu satu-satunya hiburanku di sini, what do you expect?"
"Do you like it?"
"Yup."
"Nggak nyangka kamu suka komik basket."
"Aku dulu main basket, dari SMP sampai kuliah."
"You? No way!" Kedua mata Marshall melebar.
"Why?"
"Kamu tipe anak sekolah yang pintar banget, sombong, judes dan nggak mau berurusan sama orang lain. Masa' iya ikut tim basket?"
Jacqueline tertawa kecil. "What was that supposed to mean? Aku nggak kayak gitu. Aku punya teman-teman semasa sekolah, ikut tim basket dan nggak cuma belajar melulu."
Marshall menaikkan alisnya. "Kamu pasti bohong."
"Kenapa aku harus bohong? Ya ampun."
"Because you are nothing like that now. Di kantor kamu lonewolf, nggak punya teman, nggak hangout sama siapapun kecuali petinggi-petinggi dan itupun pasti urusan kerjaan, business lunch. You're very snobbish, you know that?"
"Itu karena aku nggak punya waktu lagi di kantor. Lagipula, semakin tinggi pohon, semakin kencang anginnya. People don't want to be my friends." Jacqueline membela diri. "And if they do, they have an agenda."
Marshall menghela napas. "Yeah, you're right. Kalau aku bukan the so called putra mahkota, aku rasa nggak mungkin orang-orang bersikap sebaik itu denganku."
"You know best."
"Tapi, seriously kamu ikut tim basket? Yang butuh teamwork yang begitu kuat?"
"Shall, aku tahu soal teamwork. Sebelum aku ada di posisi sekarang, kamu pikir aku kerja sama siapa? Sewaktu aku masih jadi management trainee, kalau aku nggak pintar soal teamwork, menurutmu aku bisa mencapai semua yang aku capai?"
Marshall tertawa. "Oke, oke, I get it. Tapi, aku masih nggak percaya kamu bisa main basket sampai kamu tanding one-on-one sama aku."
"Anytime. Sekarang juga bisa. Tuh, ada lapangan di bawah."
"Ya, nggak sekarang juga, Jacqueline. Kamu mau kelar main malah jalan pakai tongkat? Nggak, kan?"
"That way I can go to the office and claim bahwa aku cedera saat main basket."
"Main basket with me? Yang ada aku ditampol ayahku gara-gara bikin aset terbaiknya cedera saat main basket yang nggak penting. Anyway, later okay? Saat kamu udah sembuh. In the meantime, terima aja kalau aku masih belum percaya. Hahaha!"
"Sama halnya aku juga nggak percaya kamu bisa masak sampai aku cicipi sendiri hasil masakanmu." Jacqueline melirik bahan makanan yang sudah siap di atas talenan. "Bœuf bourguignon. T'es sûr?"
"Hah?" Marshall melongo. "Hei, kalau aku bisa nyebut nama makanannya, bukan berarti aku bisa bahasanya. Kamu bisa bahasa Perancis?"
Jacqueline tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. "Kenapa kamu pengen masak bœuf bourguignon?"
"Karena aku suka makanan ini."
"Really?"
"Yeah."
"Tapi, masaknya kan ribet. Butuh waktu tiga-empat jam."
"Worry not, aku akan pakai pressure cooker." Marshall mengeluarkan pressure cooker dari lemari. "Kamu betul-betul tahu banyak tentang makanan ini, ya?"
"Cukup banyak untuk bisa nge-judge hasil masakanmu dengan tepat."
"Yes, Chef!" Marshall mengolok dengan memberi tanda hormat. Setelahnya dia tertawa keras. "Kamu pernah student exchange di Perancis atau apa?"
"Nggak." Jacqueline menggeleng.
Marshall menumis bahan-bahan makanan dan aroma yang menggugah langsung memenuhi seisi ruangan. Jacqueline memejamkan mata sejenak. This smell, it's been too long.
"Lihat, baru saya tumis aja kamu udah keenakan kayak lagi ngelem." Marshall menoleh, meledek Jacqueline.
Buru-buru Jacqueline membuka mata. Dia tidak menyahut, membiarkan Marshall fokus mengolah makanan. Jacqueline punya soft spot untuk laki-laki yang pandai memasak. Marshall tidak kalah menarik dibanding Alfons dalam balutan celemek. Tangannya sigap dan cekatan menari di atas kompor. Raut wajahnya begitu serius, padahal biasanya saja dia tidak pernah seserius ini di kantor. Gerakannya begitu lembut namun yakin.
"Okay, all set. Tinggal nunggu jadi 40 menit lagi." Marshall menutup pressure cooker dan mencuci tangan, lalu melapnya di celemek.
"Kamu bilang, kamu pernah sekolah masak di Amerika?"
"Oh." Raut wajah Marshall sedikit berubah. "Memangnya aku bilang begitu?"
"Iya, tadi siang, saat kamu pamer bahwa kamu jago masak."
Marshall mengembuskan napas. Dia menuang air dari teko ke gelas lalu meneguknya. Marshall menarik kursi di hadapan Jacqueline dan menumpukan dagu di tangan.
"Kalau aku kasih tahu kamu rahasiaku, kamu janji nggak akan sesumbar, kan?"
"Marshall, aku ini direktur keuangan, bukan akun gosip." Jacqueline memutar bola mata. "Ngapain juga aku sesumbar soal rahasiamu di kantor?"
"Oke." Marshall mencondongkan wajah ke arah Jacqueline. "Iya, aku pernah sekolah masak di Amerika. Dua tahun, associate degree, setelah aku lulus S1. Aku bilang sama Papa bahwa aku kerja jadi konsultan di Lindner. Truth is, I never worked there. Selesai S1, aku masuk CIA di New York—"
"CIA?"
"Culinary Institute of America."
"Oh."
"Kamu nggak ngira CIA as in Central Intelligence Agency, kan?"
"Well, aku nggak tahu—"
"Hahaha!" Marshall tergelak. "Kamu cute banget sih, Jacques?"
Wajah Jacqueline tiba-tiba memerah. Definitely bukan karena dibilang cute oleh Marshall, tetapi karena Marshall menertawakannya.
"Anyway, aku masuk CIA di New York dan ikut program culinary arts. Setelahnya aku sempat kerja setahun di restoran Perancis sebelum Papa meneror aku untuk kuliah MBA."
"Kamu punya uang dari mana untuk sekolah masak?"
"Aku jual salah satu apartemen milikku. Waktu aku ulang tahun ke-19, Mama ngebeliin aku apartemen di daerah Kuningan, not this one, obviously, lalu aku jual."
"Buat sekolah masak?"
Marshall mengangguk.
"Kenapa nggak minta sama orangtuamu aja?"
"Of course, bego juga aku nggak minta sama Papa." Marshall mengelus dagunya dengan kening berkerut. Sedetik kemudian ekspresinya berubah. Dia memutar bola mata. "Minta sama Papa lalu aku digampar dan disuruh pulang ke Indonesia secepatnya? Jacques, aku sebisa mungkin mengulur waktuku di Amerika supaya nggak pulang ke Indonesia cepat-cepat dan melempar diri ke hellhole bernama Wardhana Group, I thought you know that already."
"Jadi, kamu sekolah masak untuk mengulur waktu?"
"Nggak. Aku sekolah masak karena aku suka." Marshall menggumam. "Aku mau jadi koki, tapi jelas aku terlahir sebagai manusia yang nggak bisa memilih masa depannya seperti apa."
"So you graduated from Babson, sold your apartment, studied culinary, worked for a year at a French restaurant, then joined the MBA program at Stanford before returning here?"
"Exactly." Marshall mengangguk. "Dan aku milih di Stanford bukan karena bosan di East Coast, ya, tapi karena MBA di sana nggak perlu pengalaman kerja. Ingat kan, aku sebetulnya nggak pernah kerja di Lindner sama sekali?"
"Oke, kenapa kamu nggak lanjut aja tinggal di Amerika setelah lulus MBA? Kalau kamu berhasil menipu ayahmu sebelumnya, kamu juga bisa menipu ayahmu lagi, kan?"
Marshall terdiam. Sorot matanya berubah getir. "Aku nggak punya nyali lagi."
"Nggak punya nyali? Kamu kan bilang, kamu sebetulnya mau jadi koki. Kamu udah pernah melakukannya, diam-diam membelot dari ayahmu, lalu tiba-tiba kamu bilang nggak punya nyali lagi?"
Marshall memejamkan mata sejenak. Dia menelan ludah, terlihat kesulitan mengakses memori yang setengah mati ingin dipendamnya.
"Aku—" Suara Marshall tercekat. "—takut. Akhirnya Papa tahu aku bohong dan di hari itu, rotannya keluar lagi."
Jacqueline terkesiap mendengarnya.
"Papa mukulin aku lagi dengan rotannya. Meskipun aku udah berdarah, dia nggak berhenti. Dia terus-terusan mukulin aku sampai aku nggak bisa bangun lagi, sampai bukan cuma Mama yang minta Papa untuk stop, tapi juga pembantu-pembantu di rumah kami."
Marshall membuka mata. Dia menyambar gelas minumnya dan menenggak sisa air dengan cepat. Jacqueline masih terperangah. Tatapan matanya pada Marshall melunak.
"Anyway." Tiba-tiba Marshall beranjak. Dia segera mengubah air mukanya dan memaksakan senyum. "Kenapa jadi mellow begini? Let's do something nice while we wait for the food. Aku punya gitar. Sebentar."
Jacqueline hendak menahan langkah Marshall untuk mengucapkan bahwa dia sama sekali tidak menyangka Marshall pernah melalui masa-masa yang begitu sulit. Dia ingin mendengar cerita Marshall yang lain. Dia ingin tahu lebih banyak tentang putra mahkota tengil yang dianggap bodoh itu. Namun, lidah Jacqueline kelu dan tangannya terasa kaku. Dia membiarkan Marshall menghilang di balik koridor dan baru kembali beberapa menit setelahnya.
Marshall muncul lagi dengan sebuah gitar di dalam tas. Dia membukanya di hadapan Jacqueline dan mulai mengambil posisi. Jacqueline menatap wajah riang Marshall. Is this his way of masquerading pain?
"Kamu mau lagu apa?" tanya Marshall.
"Romance d'Amour."
"Ya ampun, jangan itu juga." Marshall mendengus. "Disclaimer, aku bisa main gitar, bukan jago.
Jacqueline mengulurkan tangannya dan menyunggingkan senyum kecil. "Kalau begitu sini, biar aku aja yang main. Kamu pasti capek seharian kerja lalu masak. Biar aku yang gantian hibur kamu."
Sontak semburat merah langsung tercetak di pipi Marshall. Dia memalingkan wajah, menyembunyikannya saat dengan hati-hati menyerahkan gitar di pangkuannya kepada Jacqueline. Ketika suara petikan mulai mengalun, barulah Marshall kembali mengangkat wajahnya. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa kagum melihat jemari Jacqueline menari halus, berpindah dari satu fret ke yang lain. Senyum Marshall perlahan mengembang. Romance d'Amour. Mulai sekarang, lagu itu adalah lagu favoritnya.
***