WASTED LOVE (Completed)

By felisurya

146K 19K 594

[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Cold ass Jacqueline, direktur paling muda di Wardhana Group, harus terusik oleh k... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Epilog

Bab 24

2.4K 397 20
By felisurya

Selesai makan, ketika Jacqueline sedang lanjut membaca Dear Boys, tiba-tiba ada telepon masuk dari nama yang sontak membuatnya tegang. Alfons. Jacqueline cuma menatap layar ponsel tanpa menjawabnya hingga panggilan itu berakhir. Alfons tidak menyerah. Dia kembali menelepon Jacqueline sampai tiga kali sebelum mengirim pesan.

Alfons
Jacqueline, tolong angkat teleponnya. Aku harus ngomong sama kamu.

Jacqueline menelan ludah, menatap notifikasi pesan dari Alfons seolah bom waktu yang siap meledak. Alfons kembali menelepon dan kali ini Jacqueline menjawab panggilannya.

"Jacqueline?" Terdengar suara Alfons di seberang sana. Tenang, pelan, tidak lagi emosi.

"Ada apa?" balas Jacqueline datar. Dia meremas-remas jarinya. Jantungnya berdetak cepat. Rasa takut itu masih tersisa, sekalipun Alfons sudah jauh darinya.

"Maafin aku," ucap Alfons. "Aku telepon untuk minta maaf sama kamu. Aku nggak tahu apa yang terjadi, apa yang merasuki pikiranku, kenapa aku bisa-bisanya ngelempar pisau ke kamu. I hope you're alright."

Jacqueline hanya diam saja. Telapak tangannya berkeringat semakin hebat.

"Tapi, aku juga nggak nyangka kamu mukul kepalaku dengan gelas," lanjut Alfons. "Why did you do that?"

Hening.

"Jacqueline?"

"Karena kalau aku nggak mukul kamu duluan, kamu pasti akan menghajar aku habis-habisan." Jacqueline menjawab.

"Kenapa kamu berasumsi kayak gitu?"

"Karena itulah yang selalu terjadi selama ini."

"Selalu? Jadi, di matamu, setiap aku marah aku selalu mukul kamu?"

Jacqueline terdiam.

"Don't you think it's a little bit exaggerated, Jacqueline?"

"Iya, kamu memang nggak selalu mukul aku setiap kali marah, Alfons. Tapi, cuma butuh satu kesempatan aja untuk kamu bunuh aku."

"Bunuh? That's a very, very strong word. Aku bukan orang jahat, aku—"

"Kamu bukan orang jahat, tapi kamu jelas bukan suami yang baik." Jacqueline menyela. Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh keberanian yang dia punya. "Aku nggak bisa hidup sama kamu lagi, Alfons."

"Maksud kamu apa?"

"Lebih baik kita pisah aja."

"Pisah?"

"Cerai."

Baik Alfons maupun Jacqueline sama-sama terdiam usai Jacqueline mengucapkan kata itu. Dua tahun menikah, bagaimanapun mereka berseteru, tidak pernah sekalipun Jacqueline mengatakannya. Tetapi, kali ini dia sudah tidak tahan lagi. Jacqueline sungguh serius, hanya butuh satu hari sial di mana emosi Alfons meledak untuk akhirnya mati di tangannya. Jacqueline belum ingin mati sekarang.

"Apa ini gara-gara laki-laki itu?" Suara Alfons menggeram. "Marshall Wardhana?"

"Nggak ada hubungannya dengan dia."

"Wajar sih, Jacqueline. Kalian ketemu setiap hari, dia lebih mapan, mungkin kamu menganggap dia lebih sebanding denganmu daripada aku."

"Alfons, dengar baik-baik," ucap Jacqueline datang. "Aku mau pisah dari kamu karena bukan cuma sekali kamu ngehajar aku. Aku nggak bisa terus-terusan hidup dalam ketakutan."

"Kenapa kamu bikin kesan seolah aku satu-satunya di sini yang berbuat salah? Kamu juga banyak salahnya, Jacqueline. Itu sebabnya aku sampai marah besar. Jangan kira kamu satu-satunya yang suci di hubungan ini!"

"Aku tahu. Makanya, lebih baik kita berpisah sekarang, introspeksi dan membenahi diri sendiri... masing-masing."

"Kamu nggak pernah ngelawan aku sebelumnya seperti ini. Sekarang kamu berani pasti gara-gara dipengaruhi laki-laki itu, kan?"

"Stop bawa-bawa Marshall ke masalah kita. Alfons, kenapa sih kamu nggak pernah take one second, look in the mirror dan berpikir bahwa barangkali semua masalah yang kamu punya itu terjadi karena kesalahanmu sendiri, bukan orang lain?"

"You were fine before and one day this guy appeared dan kamu langsung berubah! Gimana aku jadi nggak menyeret dia ke masalah kita?!"

"I was never fine!" teriak Jacqueline. "Kamu banting aku, jedotin aku, nendang aku, mukulin aku pakai tongkat golf, tusuk aku pakai pisau, how the fuck could you still think I was fine?! Kalau selama ini aku cuma diam aja itu karena aku bego, Alfons! Diam-diam aku selalu berusaha ngasih kamu kesempatan, tapi kemudian aku sadar, buat apa juga aku ngasih kamu kesempatan kalau resikonya adalah nyawaku sendiri dan yang paling utama, AKU NGGAK PERNAH SUNGGUHAN CINTA SAMA KAMU!"

Napas Jacqueline tersengal setelah meluapkan semuanya. Hening. Teriakan Jacqueline menampar Alfons sedemikian sampai-sampai dia kehabisan kata-kata untuk membalas.

"Dan aku memang punya banyak salah sama kamu, definitely, baik yang aku sadari maupun nggak." Jacqueline melanjutkan, kali ini dengan nada suara yang lebih tenang. "Tapi, aku yakin sebesar apapun kesalahanku nggak membenarkan kamu untuk menyiksaku sampai segitunya. Manusia punya perasaan, itu sebabnya dia bisa marah, tapi dia juga punya akal budi untuk menyampaikan amarahnya tanpa harus menyakiti orang lain. Unfortunately you're lacking in that department, Alfons. Dan maaf, aku nggak bisa lagi bersama orang seperti kamu."

Masih hening. Jacqueline membiarkan Alfons mencerna semuanya. Dia tahu, Alfons tidak akan senang mendengarnya. Egonya diinjak-injak. Perasaannya dicabik-cabik. Namun, jujur lebih baik daripada menahan sakit lantaran tidak ingin menyakiti orang lain.

"Setelah itu kamu mau apa?" Akhirnya Alfons kembali bicara. Suaranya merendah, terdengar kalah. "Setelah kita cerai, kamu mau apa?"

Jacqueline mengernyit. Mau apa? "Maksudnya?"

"Iya, kamu mau apa? Mau menjalin hubungan dengan laki-laki itu? Mau kawin lari dengan dia? Mau—"

"Alfons, kamu masih belum ngerti juga?" Jacqueline menghela napas. "Masalahnya bukan aku dan faktor eksternal di luar hubungan kita. Masalahnya ada di antara kita sendiri. Aku nggak sanggup lagi menghadapi sifat kasar kamu. Kelakuanmu bikin aku nggak punya perasaan apapun lagi terhadap kamu. Sampai di sini ngerti?"

Usia Alfons dua tahun lebih tua dari Jacqueline, tetapi dia masih harus menjelaskan seolah Alfons adalah anak kecil.

"Then, what are you going to do after the divorce?"

Jacqueline mengernyit, bingung mengapa Alfons begitu mempermasalahkan seperti apa hidupnya pasca mereka berpisah. "Ya, aku akan hidup seperti biasa. What else?"

"Sendirian? Atau kamu akan menjalin hubungan dengan dia?"

"Aku nggak ngerti kenapa penting banget buat kamu untuk tahu soal itu dan kenapa Marshall terus-terusan terseret di percakapan kita, tapi aku tegaskan sekarang, aku nggak akan menjalin hubungan apa-apa dengan Marshall. Saat ini kami nggak ada hubungan apa-apa dan di masa depan pun nggak akan pernah ada hubungan apa-apa." Jacqueline menegaskan. "Dan jangan berani-beraninya kamu bawa-bawa Marshall ke masalah kita, atau berikutnya bukan cuma gelas yang akan melukai kamu." 

Hening lagi. Jacqueline berusaha mengatur napas dan meredakan emosinya.

"Fine." Alfons mengucap lirih. "Jacqueline, kamu betul-betul nggak mau memberi kesempatan lagi ke aku?"

"Aku udah cukup banyak ngasih kesempatan ke kamu, Alfons."

Dari suara hembusan napasnya, Jacqueline bisa membayangkan Alfons yang tersenyum getir.

"Dira pasti bakal kaget kalau tahu kita mau cerai." Alfons menggumam.

"Dira juga bakal kaget kalau aku tunjukin dia semua luka di tubuhku gara-gara kamu."

"I'm sorry, Jacqueline."

"I know you are but it doesn't change anything."

Terdengar suara Alfons yang menghela napas lagi. "Kalau aku nggak mau cerai gimana?"

"Kamu bisa mengulur selama yang kamu mau, bikin prosesnya ribet sejauh yang kamu bisa, tapi at the end of the day, aku nggak akan pernah kembali ke kamu. In fact, aku akan ambil semua barangku dari rumah sebelum kamu balik ke Jakarta."

"Jacqueline, you don't have to be that extreme."

"It's not extreme, it's the logical thing to do. Aku terpaksa berbuat seekstrim ini kalau kamu juga udah berbuat begitu ekstrim ke aku."

"Jacqueline, I have to go. Please, please, please, reconsider lagi keinginan kamu untuk cerai. Nanti kita omongin lagi kalau kita udah di Jakarta, oke?"

"Aku nggak akan reconsider, Alfons. Dan yeah, nanti kita omongin lagi di Jakarta, di pengadilan. Good luck."

Jacqueline memutuskan sambungan. Tangannya gemetar ketika dia meletakkan ponsel di atas meja. Jacqueline mengerjap, berusaha mencerna percakapannya dengan Alfons barusan. Dia tidak menyangka, dirinya punya kekuatan yang begitu besar untuk menyampaikan keinginan dan ketakutannya kepada Alfons. Dari mana dia mendapatkannya?

Ponsel Jacqueline berbunyi lagi, membuatnya tersentak. Kali ini bukan Alfons, melainkan Marshall. Barangkali telinga orang itu panas lantaran namanya berkali-kali disebut. Jacqueline menjawab panggilan itu.

"Iya?"

"Hei, Jacques!" Marshall menyapa. "Aku lagi di supermarket, mau belanja buat makan malam kita."

Jacqueline melihat jam spiral di dinding. "Ini baru jam lima. Kamu udah pulang kantor?"

"Ini udah jam lima, makanya aku udah pulang kantor. Nggak semua orang kerja lima belas jam sehari kayak kamu, FYI. Anyway, aku lagi mikir mau bikin bœuf bourguignon atau—"

"Bœuf bourguignon boleh."

"Memangnya kamu tahu bœuf bourguignon apa? Belum juga aku jelasin."

"Tahu, lah." Jacqueline mengulum senyum. "Yang kamu nggak tahu itu, dari mana aku bisa tahu bœuf bourguignon."

"And the answer is?"

"Kamu beneran nggak tahu?"

"Nggak."

Jacqueline tertawa kecil. "I'm glad to hear that. Berarti kamu belum stalk aku sampai segitunya. Let's keep it that way."

"Aku jadi penasaran parah sekarang. Bœuf bourguignon, it's a French dish. How do you know about it? Telingamu langsung ngerti apa yang aku katakan padahal nyebutnya aja udah njlimet. How? Kamu sering dengar nama makanan itu sebelumnya?"

"Yup."

"But how? Sering makan juga?"

"Jelas. Masa' cuma didengar? Walau, aku udah lama banget belum pernah makan bœuf bourguignon lagi."

"Mantan pacarmu orang Perancis?"

Senyum Jacqueline mengembang tipis. Mantan pacar? Bukan. Orang ini lebih penting daripada mantan pacar.

"Anyway, aku suka bœuf bourguignon. Kalau kamu mau masak itu, please go ahead. Sampai nanti."

"Jacq—"

Jacqueline mengakhiri percakapan dan tidak menanggapi lagi panggilan telepon yang bertubi-tubi datang dari Marshall setelahnya. Sudah lama Jacqueline tidak punya hiburan dan tingkah Marshall baru saja membuatnya menahan tawa. She might as well enjoy it a bit longer.

***

Continue Reading

You'll Also Like

219K 37.2K 34
[Wattys 2022 Winner Kategori Romance - Penghargaan Karakter Terbaik] ** Apa jadinya kalau calon CEO muda blusukan ke dalam desa? Benjamin Cokro haru...
1.4M 115K 36
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
162K 19.7K 30
#1 The Justice Bergabung kembali dengan Adhikayasa membuat Bella harus menyeburkan diri pada marabahaya yang selalu siap menimpanya. Dilatih menjadi...
779K 3.4K 12
Hts dengan om-om? bukan hanya sekedar chatan pada malam hari, namun mereka sampai tinggal bersama tanpa ada hubungan yang jelas. 🔛🔝 my storys by m...