WASTED LOVE (Completed)

By felisurya

128K 17.1K 571

[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Cold ass Jacqueline, direktur paling muda di Wardhana Group, harus terusik oleh k... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Epilog

Bab 19

2.2K 337 11
By felisurya

Alfons jelas akan mencarinya, who is she kidding? Saat Jacqueline sedang rapat bersama Adi dan beberapa staf petinggi lainnya, ada sebuah pesan masuk ke ponsel. Jantung Jacqueline langsung mencelus melihat nama Alfons di notifikasi. It's a big mistake to be checking the phone during meetings. Masalahnya, refleks Jacqueline sudah terlatih untuk langsung melongok jika layar ponselnya berpendar.

Alfons
Jacqueline, semalam kamu ke mana?

Jantung Jacqueline mulai berdebar cepat. Dia mendiamkan pesan Alfons, tetapi konsentrasinya langsung berkurang separuh. Jacqueline berusaha kembali mengikuti diskusi yang sedang dipimpin Adi. Baru lima menit, ponselnya berpendar lagi.

Alfons
Kamu masih berencana minggat malam ini?

Konsentrasi Jacqueline buyar lagi. Dia menelan ludah. Apakah dia masih berencana tinggal di apartemen Marshall malam ini? Jelas iya. Dia tidak mungkin kembali dan mengambil resiko dihajar Alfons habis-habisan. Jika Marshall meninjunya sekali, Alfons akan membalasnya seratus kali lipat kepada Jacqueline. Kalau Jacqueline tidak salah ingat, besok Alfons akan kembali ke Surabaya dan menghabiskan satu minggu penuh di sana. Saat itulah Jacqueline baru akan kembali ke apartemennya.

Alfons
Aku harus balik ke Surabaya besok dan stay di sana seminggu full. Kalau kamu masih nggak berniat pulang malam ini, at least talk to me for a while? Gimana kalau kita lunch bareng? Di mal gedung kantor kamu aja. We need to talk. Nggak mungkin kan kamu menghindari aku terus-terusan?

Jacqueline menggigit bibir. Dia meremas-remas jarinya dengan gugup, masih belum berani membuka notifikasi itu.

Alfons
Aku nggak marah sama kamu soal kemarin, Jacqueline. I just want to talk.

BRAK! Jacqueline tersentak kaget ketika tiba-tiba ada yang menyambar dan membanting ponselnya tepat di hadapannya.

"Kamu udah nggak niat kerja, Jacqueline?!" Adi membentaknya. "Dari tadi saya panggil nama kamu berkali-kali, kamu malah sibuk ngelihatin HP!"

"Maaf, Pak." Jacqueline langsung menunduk. Sekilas dari sudut matanya dia melihat wajah cemas Marshall yang duduk di sebelah kursi Adi yang kini kosong.

"Siapa yang lagi kontak kamu?"

"Su-suami saya."

"Suami kamu? Suami kamu ngerti kan yang namanya meeting?!"

"Iya, Pak. Maaf."

Adi menghela napas kesal. Mood-nya hari ini sepertinya sedang luar biasa jelek. Ketika Adi membalikkan badan, Jacqueline cepat-cepat menyimpan kembali ponselnya. Matanya sempat beradu pandang dengan Marshall, yang menggeleng kecil, memberi isyarat supaya Jacqueline jangan lagi coba-coba memancing kemarahan Adi. Setelah rapat selesai, Marshall segera menghampirinya.

"What the hell just happened?" Marshall mengerjap.

Jacqueline mengangkat bahu, sama bingungnya. "Saya juga nggak ngerti. Memangnya tadi Pak Adi beneran manggilin saya berkali-kali?"

Marshall mengangguk. "Yeah. Saya berusaha ngasih kamu isyarat, tapi gimana caranya kalau saya duduk jauh dari kamu? Papa hari ini lagi bad mood. Dari pagi aja saya udah kena semprot empat kali."

Jacqueline menggaruk pelipisnya.

"Kamu kenapa? Kelihatannya lagi bingung." Marshall mengamati raut wajah Jacqueline.

Jacqueline tidak menjawab. Otaknya masih mencari cara bagaimana harus menghadapi Alfons.

"Pasti Alfons."

"Hah?"

"For someone so smart and composed like you, pasti cuma Alfons yang bikin kamu tiba-tiba jadi panik dan linglung."

Jacqueline mengembuskan napas berat. "Dia minta ketemuan."

"No way!" Marshall berseru. "Jangan mau, lah! Gila aja. Yang ada kamu bakal babak belur!"

"Dia ke Surabaya lagi besok dan stay di sana seminggu penuh."

"So?"

"Marshall, Alfons itu statusnya masih suami saya. Nggak mungkin saya kabur dari dia begitu aja tanpa penjelasan selama-lamanya," ucap Jacqueline.

"Mau penjelasan apa lagi? Tinggal ajukan gugatan cerai ke pengadilan and see you on court."

Jacqueline membelalak mendengarnya. Marshall justru jadi kaget dengan reaksi Jacqueline.

"Rasanya nggak mungkin saya melakukan itu." Jacqueline menggumam. Keningnya masih berkerut memutar otak. Dia masih juga memilin-milin jarinya dengan tegang.

"Kenapa nggak mungkin?" Marshall mengernyit.

"Itu terlalu barbar."

"Barbar?"

"Iya, terlalu dingin."

Marshall mendengus, setengah tertawa mencemooh. "Terlalu dingin?! Kamu yang heartless dan seorang ice queen bisa-bisanya bilang itu terlalu dingin?"

"I mean, afterall—"

"Jacqueline, kamu masih cinta sama Alfons?" Marshall menyela ucapannya.

Jacqueline tidak bisa menjawab. Dia hanya mengerjap menatap Marshall, membuka sedikit mulutnya tanpa mengucapkan apa-apa.

Marshall menarik napas. Wajahnya terlihat gusar dan Jacqueline tidak mengerti kenapa. "Ya udah, terserah kamu aja, lah."

Marshall membalikkan badan dan memasukkan kedua tangan ke saku celananya, berjalan pergi meninggalkan Jacqueline.

"Marshall!" Jacqueline bergegas mencegatnya. "Kenapa kamu jadi kesal?"

"Kesal? Apa saya terlihat kesal?"

Jacqueline mengangguk. Matanya tidak lepas mengunci wajah Marshall. Ya, Jacqueline yakin raut wajah yang tengah ditunjukkan Marshall sekarang menunjukkan rasa kesal.

"Jelas saya kesal!" Marshall tidak menyangkal. "Saya capek-capek bantuin kamu, tapi ujung-ujungnya kamu malah balik lagi ke kubangan itu. Kamu ini bego atau apa?"

Darah Jacqueline berdesir mendengar hinaan Marshall. Tanpa pikir panjang, dia mengucap menuruti emosinya. "Kamu bilang saya bego? Kamu yang bego! Memangnya ada yang nyuruh kamu untuk nolong saya? And obviously you have never been in a serious relationship karena kamu bahkan nggak tahu etikanya!"

"Etika apa? Masih mau bicara etika kalau jelas-jelas laki-laki itu kerjanya mukulin kamu kayak samsak?! Kalau bukan bego, saya nggak tahu lagi apa namanya!"

Tangan Jacqueline siap terangkat untuk menampar Marshall, tetapi dia menahan diri. Jacqueline menghirup napas dalam-dalam. Tidak, dia tidak mau melanjutkan adu mulut ini seperti sepasang anak kecil. Marshall pun mulai menyadari bahwa mereka berdua mulai bertingkah layaknya anak TK.

"Terserah kamu." Marshall menggumam. "Hidup juga hidup kamu. Mati juga kamu yang mati."

Ada rasa pedih yang menyengat ketika Jacqueline mendengar ucapan Marshall. Kesannya seolah Marshall tidak peduli lagi pada Jacqueline dan itu terasa menyakitkan baginya. Jacqueline menelan ludah. Dia merogoh saku blazer dan mengetik pesan balasan untuk Alfons.

Jacqueline
Oke, di Jinan jam 12 nanti, ya. Jangan telat, aku ada meeting setelahnya.

Tak butuh waktu lama hingga Alfons membalas dengan emoji jempol. Jacqueline kembali ke ruang kerjanya dengan hati yang berat. Entah karena tegang akan bertemu Alfons atau karena baru saja berseteru dengan Marshall.

Tepat pukul dua belas siang, Jacqueline sudah tiba di depan Jinan, restoran dimsum di lantai empat mal yang menyatu dengan gedung kantor Wardhana Group. Di saat yang sama, Alfons juga muncul. Tubuh Jacqueline menegang seketika.

"Hai, Jacqueline." Alfons menyapa dengan senyuman. Dari raut wajahnya, dia tidak terlihat marah. Sebaliknya, dengan santai dia menyelipkan tangan dan menggenggam Jacqueline sembari masuk. Tangan Alfons terasa hangat, pegangannya begitu lembut, reminding her of the better days they used to have.

Alfons bicara sejenak dengan pelayan yang mengantarkan mereka ke meja untuk dua orang. Jacqueline duduk berhadapan dengan Alfons dan langsung membuka buku menu, meskipun dia sudah tahu apa yang hendak dipesannya jauh sebelum dia tiba di Jinan.

"Bubur ikan sama jasmine tea," ucap Jacqueline kepada pelayan yang segera menyentuh tab di tangannya.

"Udah? Itu aja?" Alfons menaikkan alis.

Jacqueline mengangguk.

"Kamu meeting-nya masih sejam lagi, kan?" Alfons melihat jam tangannya. "Kenapa cuma makan bubur?"

"Kayaknya maag-ku kambuh lagi." Jacqueline membalas. Sejak sejam yang lalu perutnya terasa sedikit perih. Entah karena semalam telat makan atau karena stres, atau keduanya.

"Are you okay?"

Jacqueline mengangguk. Alfons memesan makanannya, kemudian pelayan itu meninggalkan mereka.

"So, about yesterday—" Alfons menautkan jari-jarinya di atas meja.

"Maafin aku," ucap Jacqueline cepat. "Aku nggak tahu kalau orang itu bakal datang ke kamu dan nonjok kamu kayak gitu."

"Oh, yeah." Alfons mengangguk-angguk. "Yeah, aku juga kaget."

"Are you okay?"

"Still alive." Alfons tertawa. Ada rasa lega yang mengalir di dada Jacqueline, membuat jemarinya yang kaku kini sedikit rileks. "Aku nggak tahu dia siapa, tapi yang jelas, apa yang dia ucapkan itu nggak benar, kan?"

"Yang mana? Soal dia ngaku-ngaku sebagai pacarku? Itu nggak benar." Jacqueline menegaskan.

"Oke. Kenapa dia bilang kepadaku supaya nggak macam-macam lagi sama kamu?" Alfons mengerutkan kening. "Memangnya aku macam-macam apa? Kamu kan tahu aku nggak selingkuh."

Pelayan datang mengantarkan minuman. Jacqueline segera menuangkan teh dari teko ke cangkir dan menyeruputnya. Panas.

"Aku tahu, aku orang yang temperamental," ujar Alfons. "Beberapa kali aku berbuat kasar sama kamu saat marah. Tapi, aku bersumpah, aku nggak pernah bermaksud untuk sengaja melukai kamu."

Jacqueline menyeruput tehnya lagi, meskipun lidahnya sudah terbakar.

"Dan aku yakin, setelah aku pindah ke Jakarta lagi, semuanya akan jauh lebih baik. I mean, kamu juga pasti merasakan setahun terakhir ini pernikahan kita nggak baik-baik aja. Long distance marriage is hard. It frustrates me a lot. Aku jadi gampang senewen, gampang marah, dan akhirnya—"

Gantian Alfons yang meneguk teh di cangkirnya.

"Anyway, balik lagi ke kejadian kemarin. Siapa orang itu dan kenapa dia ngancam aku?"

Jacqueline menelan ludah. Dia menatap daun teh di dasar cangkir yang menumpuk, it's too much. Dia membuka tutup teko dan melihat bahwa ada bagian dari saringan teh yang sudah bolong.

"Kenapa?" tanya Alfons.

Jacqueline menggeleng. "Nggak apa-apa."

Jacqueline memang tidak mempermasalahkan saringan teh di teko. Dia hanya mengulur waktu, berusaha memikirkan jawaban yang paling tepat untuk Alfons.

"Kamu kenal baik dengan dia?" Alfons berusaha mendorong Jacqueline untuk segera menjawab.

"Dia rekan kerjaku di kantor," jawab Jacqueline.

"Kalian dekat?"

Well, dia tidak tahu. Dia tidak sedekat itu dengan Marshall sampai-sampai mereka sering mengobrol dan menghabiskan waktu bersama, tetapi dia cukup dekat dengan Marshall sehingga Marshall meminjamkan apartemennya untuk Jacqueline dan mereka saling tahu tentang luka terdalam masing-masing.

"Kami nggak dekat." Itulah jawaban yang dipilih Jacqueline.

"Terus, kenapa dia ngaku-ngaku pacar kamu dan ngancam aku segala? Buat apa?"

Kalau Alfons tahu, Marshall melihat luka-luka di tubuh Jacqueline, kalau Alfons tahu, Jacqueline sempat bercerita ke Marshall bahwa luka-luka itu ditorehkan oleh Alfons, dan kalau Alfons tahu, Marshall mengancam Alfons untuk melindungi Jacqueline, sudah pasti Alfons akan marah besar.

"Aku nggak tahu." Jacqueline menggumam.

Raut wajah Alfons berubah. Keningnya berkerut semakin dalam. Dia tidak percaya begitu saja dengan jawaban Jacqueline, membuat Jacqueline terpaksa mengimprovisasi jawabannya.

"Biar aku bicara jujur sama kamu, Alfons. Kamu tahu posisiku di kantor." Suara Jacqueline merendah. "People like me, people don't like me. People try to kiss my ass, people try to drag me down. Aku nggak pernah bisa tahu alasan persisnya apa. People have their own agenda."

Alfons menghela napas. Dia tidak terlalu senang dengan jawaban Jacqueline, tetapi berusaha memahaminya.

"One thing for sure, whatever motive he had by attacking you, aku udah bicara dengan orang itu untuk nggak lagi mencampuri urusan pribadiku dengan kamu."

"Oke. Terus, kenapa kamu nggak pulang kemarin? Kamu pergi ke mana?"

"I stayed at the office. Aku punya banyak banget kerjaan."

Alfons menatap Jacqueline lekat-lekat. Jacqueline berusaha menjaga kontak mata tanpa gentar. Dia hanya ingin percakapan ini cepat selesai. Untungnya saat itu pelayan datang membawakan makanan mereka.

"Alfons, aku minta maaf sekali lagi ke kamu, tapi kamu nggak perlu khawatir." Jacqueline menyunggingkan senyum lebar, berharap Alfons akan berhenti membicarakan hal ini.

It works. Alfons membalas senyum Jacqueline dan mengambil sumpit. "Oke. Ayo, makan."

Jacqueline mengambil sendok dan mulai mengaduk buburnya.

"Kamu akan pulang ke rumah kan malam ini?" tanya Alfons, mencapit siomay di depannya dan memasukkan ke mulut.

Jacqueline tidak bisa membaca dari wajah Alfons apakah itu merupakan sebuah pertanyaan, ancaman atau harapan. Namun, Alfons terlihat tenang dan tidak emosi. Kelihatannya mood-nya sedang baik hari ini. Mungkin nanti malam adalah saat yang tepat untuk membicarakan masa depan hubungan mereka.

"Yeah." Jacqueline mengangguk. "Aku pulang ke rumah malam ini."

Jacqueline tidak tahu, dia baru saja membuat keputusan yang salah.

***

Continue Reading

You'll Also Like

972K 89.6K 53
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
160K 19.5K 30
#1 The Justice Bergabung kembali dengan Adhikayasa membuat Bella harus menyeburkan diri pada marabahaya yang selalu siap menimpanya. Dilatih menjadi...
337K 44.6K 67
"You're always driving me crazy, Sabrina." kata Parameswara sungguh-sungguh. Sabrina menghela nafas. Entah untuk ke berapa kalinya di malam menuju ta...
293K 46.4K 37
TAMAT & PART MASIH LENGKAP Lelah bertahun-tahun sekolah, ujung-ujungnya pencapaian dibandingkan dengan anak tetangga. Lelah menjalani masa remaja de...